Nur Rofiqoh dan Hidhayatul Hilmiah
PAI
E 2016 UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
e-mail:
qouz.f2@gmail.com
Abstract
This article
tells about the method of ijtihad which is involving several resourcers and
debated argumentation divided into 6 parts those are, istihsan, istishab,
maslahah mursalah, ‘urf and qoul shahabah. Each part has different devinition
for mujtahid. Event, several mujtahid are disagree and rejecting the source of
this postulate, so it’s still debated until now. For example istihsan which is
agred by Imam Hanafi, Hambali and maliki. Where as Imam Syafi’i tended to
reject and said that who embrace istihsan has made the new religion. As we
remember that problems and challenges are developed and occured because of the
progress of science and technology which tend to be incomplete. So, with the
existence of this postulate it can adapt the problems and challenges happened
nowaday. However, the debates between the postulates and other sources are
still exist. Basically, this different thought of mujtahid happened because of
the different of their basic thought, which they think is more acceptable, in
order to make moslem people more aware to do everything related with the
islamic law.
Abstrak
Artikel ini berbicara
mengenai metode ijtihat yang berupa sumber-sumber dan dalil fiqih yang mukhtalaf
(diperdebatkan) yang terbagi menjadi 6 bagian diantaranya ihtisan, istishab,
mashlahah mursalah, urf, qoul shohabi. Dari bagian-bagian tersebut memiliki
definisi yang berbedapendapat dari para mujtahid. Bahkan diantara mujtahid ada
yang menyetujui dan ada yang menolak akan adanya sumber dalil ini,sehingga
sampai saat ini masih diperdebatkan. Seperti halnya ihtisan yang
disetujui oleh imam hanafi, hambali, dan maliki. Sedangkan imam syafi’i
cenderung menolaknya dan mengatakan bahwa yang menganut ihtisan ini
telah membuat syari’at baru. Mengingat semakin berkembangnya problem dan
masalah-masalah baru yang muncul atas tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang cenderung belum tertampung secara memadai. Jadi, adanya
sumber-sumber dalil ini dapat menyesuaikan dengan problem dan masalah-masalah
yang terjadi di zaman yang semakin berkembang ini. Namun masih ada perdebatan
antara sumber-sumber dan dalil fiqih. Pada dasarnya perbedaan pemikiran para
mujtahid ini, berbeda karena landasan-landasan tertentu yang dianggapnya lebih
syari’at. Supaya umat islam lebih berhati-hati dalam melakukan segala sesuatu
yang berhubungan dengan hukum.
Keywords : Istihsan, Maslahah mursalah, Istishab, ‘Urf, Qoul sohabi, Syar’u
man qoblan
A.
Pendahuluan
Meskipun ada
beberapa metode ijtihad dalam menetapkan hukum fiqih, namun tidak semua metode
itu di sepakati oleh para ulama. Oleh karena itu, munculnya kaidah-kaidah baru
merupakan kelanjutan dari kerja keras yang dilakukan ulama’ dalam mengembangkan
ilmu kaidah fiqih. Hampir semua kitab ushul fiqih metode ijtihad disebut
sebagai dalil-dalil syara’ yang penggunaannya tidak disepakati oleh
ulama’ sebagai pelengkap dari empat dalil syara’ yang disepakati yaitu:
Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiayas. Namun ada sumber-sumber dalil syara’ yang
mukhtalaf (diperdebatkan) seperti: Istihsan, Maslahah Mursalah,
Istishhab, Urf, Qoul shohabi, dan Syar’u man Qoblana.
B.
Istihsan
Dikalangan
ulama’ushul fiqih, istihsanmerupakan suatu metode pemutus hukum yang
menjadi bahan perdebatan diantara mereka. Mulai dari perdebatan seputar
pendefinisiannya, sampai legalitasnya sebagai salah satu sumber hukum syari’at.
Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya sering menggunakan metode istihsan ini.
Selain kalangan Hanafiyyah, para ulama’ dari kalangan Malikiyyah dan Hanabiyyah
juga termasuk pengguna istihsan bahkan Imam Malik berkata: “Istihsan
adalah sembilan puluh persen ilmu”.[1]
Dipihak lain, Imam Al-Syafi’i keras mengcounter
para pengguna istihsan. Dalam pernyataan yang populer beliau berkata: “Man
istihsana faqad syarra’a” (barang siapa yang ber-istihsan, maka ia
telah membuat syari’at baru).
Alasan-alasan Al-Syafi’i menolak istihsan,
salah satunya adalah melakukan istihsan berarti menentang ayat-ayat Al-Qur’an
yang memerintahkan agar mengikuti wahyu dan menetapkan hukum sesuai dengan
kebenaran (Al-Haqq) yang diturunkan Allah dan melarang mengikuti hawa nafsu
manusia. Untuk dapat menetapkan hukum sesuai dengan kebenaran itu, tentu
seseorang harus mengetahuinya lebih dahulu, melalui nash atau petunjuk
(dilalah)Nya. Allah telah menerangkan kebenaran itu dengan kitabnya melalui
sunnah nabi SAW. sehingga setiap peristiwa yang terjadi atas seseorang pasti
ada petunjuk mengenainya di dalam Al-Kitab bisa secara terperinci atau hanya
secara global. Oleh karena itu, kenyataan bahwa istihsan diterima dan digunakan
oleh sebagian ulama’ mujtahid terkemuka, menimbulkan permasalahan yang cukup penting.[2]
Ditetapkan dalam Risalah Ushuliyahnya: perumpamaan
orang yang menetapkan hukum dengan ihtisan adalah seperti orang yang shalat
menghadap kearah yang dianggapnya baik itu adalah ka’bah, tanpa menggunakan
dalil-dalil yang telah ditetapkan syar’i dalam menentukan arah ka’bah. Dalam
kitab itu juga disebutkan bahwa ihtisan adalah berenak-enak, seandainya
melakukan ihtisan dalam agama itu diperbolehkan, niscaya boleh juga dilakukan
oleh orang-orang yang punya akal meskipun bukan ahli ilmu. Dan niscaya boleh
menciptakan syari’atdalam agama disetiap permasalahan, serta setiap orang boleh
membuat syari’at untuk dirinya sendiri.[3]
1.
Istihsan secara harfiah
Menganggap
baik sesuatu dan meyakininya. Hal ini tidak ada pertentangan sedikitpun
mengenai penggunaan kosakata istihsan karena terdapat dalam Al-Qur’an
dan Hadits. Allah berfirman:
الذِينَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَولَ فَيَتَّبِعُوْنَ
أَحْسَنَهُ (الزمور18)
Artinya: “(yaitu)
orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik
diantaranya. (QS: Az-Zumar 18)”.
وَأْمُرْ قَوْمَكَ يَأْخُذُوْا بِأَحْسَنِهَا
(الأعراف 145 )
Artinya: “Dan suruhlah kaummu
berpegang kepada (perintah-perintah taurat) yang terbaik. (QS: Al-A’raf
145)”.[4]
Rasulullah SAW. bersabda:
مَا رَأهُ
الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللّهِ حَسَنٌ (رؤاه أحمد)
Artinya:”Apa yang dipandang baik
oleh orang-orang Islam, maka ia adalah baik disisi Allah. (HR. Ahmad)”.[5]
2.
Ihtisan
secara etimologis (lughawi/bahasa)
Istihsan(استحسان) berarti
“memperhitungkan sesuatu lebih baik” atau, “mencari yang lebih baik untuk
diikuti, karena memang disuruh untuk itu”. Dari arti lughawi tergambar
adanya seseorang yang menghadapi dua hal yang keduanya baik. Namun ada hal yang
mendorong untuk meninggalkan.[6]
Ada beberapa
pendapat ulama’ mengenai istihsan diantaranya: mazhab Hanafi, Maliki,
dan Hambali berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikanlandasan dalam menetapkan
hukum dengan beberapa alasan antara lain firman Allah SWT:
الَذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنُهُ
أُوْلئِكَ الَّذِيْنَ هَدَاهُمُ اللّهُ وَأُلَئِكَ هُمْ أُولُوالْأَلْبَابْ
{الزمر/٣٩ : ١٨}
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah
petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan
mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS. Az-Zumar/39:18).”[7]
Dari ayat diatas menurut mereka, memuji orang-orang orang yang
mengikuti perkataan (pendapat) yang baik, sedangkan mengikuti istihsan
berarti mengikuti sesuatu yang dianggap baik, dan oleh karena itu saja
dijadikan landasan hukum.
Saperti halnya
transplantasi organ tubuh untuk kepentingan pengobatan. Semestinya hal ini
tidak perlu dipermasalahkan lagi. Meskipun ada ketentuan umum yang melarang
menyakiti tubuh seseorang, termasuk jenazah, namun dalil yang menyarankan
manusia untuk berobat itu lebih baik diikuti. Dalam hal inipun pendekatan Istihsan
lebih tepat untuk dilaksanakan.[8]
Tampak jelas
bahwa permasalahan fiqih akan semakin banyak bermunculan dalam pesatnya
perkembangan dan kemajuan kehidupan manusia. Tidak bisa bersikap seenaknya
dalam solusi hukumnya, karena hal demikian menyalahi prinsip umum dalam
mengamalkan hukum, meskipun agama tidak memberatkan manusia dalam beramal. Menggunakan
istihsan bukan berarti berbuat seenaknya sebagaimana yang telah
dikemukakan para pengguna istihsan dari kalangan ulama’ mazhab Maliki,
asalkan betul-betul mengikuti kaidah istihsan.[9]
C. Maslahah Mursalah
Mashlahah
mursalah adalah metode pengambilan hukum dengan prinsip kemaslahatan secara
bebas, mutlak atau absolut dengan sekedar persyaratan tidak bertentangan dengan
nash-nash syari’at secara spesifik. Mashlahah ((مصلحه berasal dari kata shalaha ((صلح dengan menambah alif di awalnya yang secara arti kata berarti
“baik” lawan dari kata “buruk” atau”rusak”. Masdar dari kata صلاح, yaitu “manfaat”
atau “terlepas dari kerusakan”. Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya mashlahah
itu berarti sesuatu yang
mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menjauhkan mudharat (kerusakan), hakikat
dari mashlalah adalah:
الْمُحَافَظَةُ عَلَى مَقْصُوْدِالشَّرْعِ
Artinya: “Memelihara tujuan syara’(dalam menetapkan hukum)”.
Sedangkan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu ada lima
yaitu: Memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.[10]
Dr Muhammad Muslehuddin mengatakan bahwa keadaan darurat
membolehkan hal yang terlarang, adalah sudah menjadi kaidah umum dalam syari’at
islam. Menurut al-Ghazali, semua yang terlarang menjadi boleh ketika darurat.
Contohnya dalam keadaan dibawah umur, sakit ingatan, sakit keadaan terpaksa,
lupa, dan tidak tidur. Contoh lain yang menjelaskan keadaan darurat membuat hal
yang terlarang dibolehkan ialah memakan bangkai oleh orang yang akan mati
kelaparan, minum-minuman keras oleh orang yang kehausan, atau menurut sebagian
ahli hukum, oleh orang sakit sebagai obat.
Hukum islamcukup menaruh perhatian terhadap keadaan khusus, yang
kesukarannya perlu dikurangi guna memberikan kemudahan bagi orang-orang yang
terpaksa. “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.” (al-Baqarah:185)[11]
Sedangkan,
Al-mursalah (المرسلة) adalah isim maf’ul, objek dari fi’il madhi dalam
bentuk tsulasi, yaitu رسل, dengan penambahan huruf “alif” di pangkalnya, sehingga menjadi
ارسل.
Al-Ghazali dalam kitab al-mustasyfa merumuskan mashlahah mursalah sebagai
berikut:
مَالَمْ يَشْهَدْ لَهُ مِنَ الشَّرْعِ بِالْبُطْلَانِ
وَلاَبِالاِعْتِبَارِنَصُّمُعَيَّنُ
Apa-apa (mashlahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam
bentuk nash tertentu yang membatalkan dan tidak ada yang memperhatikannya.[12]
Secara istilah mashlahah
mursalah terdiri dari dua kata. Yaitu mashlahah dan mursalah. Kata mashlahah menurut
bahasa berarti “manfaat”, dan kata mursalah berarti “lepas”. Jadi secara
istilah seperti yang dikemukakan Abdul-Wahhab Khallaf, berarti “sesuatu yang
dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan
tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolak”.
Sehingga disebut mashlahah mursalah (maslahah yang lepas dari dalil
secara khusus).[13]
Jadi, bisa
disimpulkan bahwa maslahah mursalah adalah maslahat maslahat dimana syari’
(pembuat syari’at) tidak mensyari’atkan hukum-hukum untuk mewujudkanya, tidak
ada dalil tertentu yang mempertimbangkan atau mengabaikanya.[14]
Pada dasarnya
mayoritas ahli ushul fiqih menerima metode maslahatul mursalah untuk menerima
metode tersebut mereka memberikan beberapa syarat. Berdasarkan persyaratan maslahat
yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqh dapat dipahami bahwa betapa eratnya
hubungan antara metode maslahat mursalah dan maqosit al-syari’at.[15]
Maslahah Mursalah dibagi menjadi 3:
1.
Maslahah
dhoririyah, yaitu kemaslahatan yang harus dipenuhi, apabila tidak dipenuhi maka
kehidupan akan rusak.
حفظ الدين, menjaga agama. Hidup tanpa agama akan
hancur, maka dari itu ada syara’ yaitu jihad.
حفظ النفس, menjaga diri agar hidup. Contohnya adalah
qishos, jikalau tidak ada hukuman qishos maka umat manusia tidak bisa menjaga
dirinya dari perbuatan mencuri.
حفظ العقل menjaga akal. Contohnya adalah larangan
meminum khomr, jikalau tidak ada larangan meminum khomr maka kehidupan di dunia
akan rusak karena akal manusia yang terganggu.
حفظ انساب menjaga keturunan. Contohnya adalah larangan
berzina, jikalau tidak ada larangan berzina maka umat manusia tidak mempunyai
keluarga dan nasab yang jelas.
حفظ المالmenjaga
harta, sesuatu yang merusak harta maka dilarang Allah, contohnya adalah
larangan mencuri.
2.
Maslahah Hajiyah
adalah sesuatu yang bila tidak dipenuhi maka menimbulkan gangguan/kesukaran.
Contohnya adalah membunuh lebih dari satu orang maka harus membayar diyah, jika
tidak ada denda maka ditakutkan akan terjadi pembunuhan berantai.
3.
Maslahah
Tahsiniyah adalah sesuatu yang bila tidak dipenuhi maka tidak menimbulkan
gangguan. Contohnya adalah tidak boleh membunuh perempuan didalam perang.[16]
Diantara contoh
hukum-hukum yang disyari’atkan berdasarkan kemaslahatan adalah pengumpulan
Al-Qur’an dalam satu mushaf oleh Abu Bakar, pembuatan administrasi oleh Umar,
penggunaan penjara oleh sahabat, hukum qishos atau sekelompok orang karena
membunuh satu jiwa, jaminan pekerja atas harta orang lain yang rusak
ditanganya, hak waliyul amri mewajibkan pajak atas orang-orang kaya dalam
keadaan darurat dan semisalnya.[17]
D.
Istishab
Istishbab (استصحاب)
termasuk dalam dalil hukum Islam yang disepakati penggunaanya dikalangan ulama’
ushul. Metode istishab digunakan oleh ulama’ yang menggunakanya setelah mereka
tidak dapat menyelesaikan masalah hukum melalui 4 dalil hukum yang disepakati,
yaitu: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Perbedaan pendapat dalam
penggunaanya, bukan disebabkan oleh perbedaan dalam mengartikan istishab
tersebut, tetapi memang berbeda dalam menempatkanya sebagai suatu dalil yang
berdiri sendiri.[18]
Ishtishab
menurut bahasa berarti muhasabah, atau terus-menerus menyertai. Menurut istilah
ulama’, istishab adalah hukum berdasarkan berlangsungnya sesuatu pada
kondisinya di masa lampau sehingga ada dalil yang mengubahnya. Atau dari kata
lain, tetapnya hukum yang ada di masa lampau hingga ada dalil yang mengubahnya.[19]
Berikut ini
akan diuraikan tentang perbedaan pendapat ulama’ mengenai beberapa bentuk
istishbab tersebut.
1.
Istishab
al-bara’ah al-ashliyah
Ibnu subki
menyebutnya sebagai hujah secara pasti tanpa terdapat perbedaan pendapat. Akan
tetapi Ibnu Qayyim menolak adanya ijma’ dalam hal penggunan istishab ini,
alasanya karena ada sebagian ulama’ Hanafiyah yang membatasi penggunaan
istishab ini hanya untuk menetapkan hukum pada masalah yang telah ada hukumnya,
tidak (berlaku) digunakan untuk masalah yang belum ada hukumnya.
2.
Istishab hukum
akal
Istishab hukum
akal (dalam arti hukum yang ditetapkan oleh akal sebelum datangnya wahyu) dapat
digunakan sebagai dalil atau petunjuk sampai datang dalil syara’ yang
menyatakan hukumnya. Cara seperti ini berlaku di kalangan ulama’ Mu’tazilah
akan tetapi ulama’ Ahlu Sunnah tidak dapat menerima cara penetapan hukum oleh
akal tersebut. Alasanya karena satu satunya yang berhak menetapkan beban hukum
itu hanya Allah.
3.
Istishab dalil
umum atau nash
Di kalangan
ulama’ Hanafiyah terdapat dua pendapat dalam hal mengamalkanya. Begitu juga di
kalangan Syafi’iyah terpecah dalam dua pendapat. Hal yang sama berlaku di
kalangan ulama’ Hambali. Dari perbedan pendapat itu, dapat disimpulkan pada
tiga kelompok yang berbeda:
a. Jumhur
ulama’ berpendapat bahwa tidak dapat beramal dengan dalil umum secara langsung,
tetapi harus mencari dan mendapatkan dahulu dalil yang akan men-takhsis-kanya.
Dalam hal ini, golongan ini tidak mengamalkan istishbab dalil umum tersebut.
b.
Pendapat kedua justru mengharuskan mengamalkan dalil umum sebelum menemukan
dalil lain yang men-takhsis-kanya agar hukum yang umum tidak sampai
terbengkalai karena dibayangi oleh kemungkinan adanya takhsis. Dengan demikian,
menurut golongan ini istishab umum dapat dijadikan hujjah.
c. Pendapat ketiga
yang merupakan jalan tengah dikemukakan kalangan ulama’ “muta’akhirin” yang
berpendapat bila bertemu lafadz umum dan belum masuk waktu pelaksanaan hukum
menurut petunjuk umum itu. Dalam pandangan ini istishab dalil umum dapat
dijadikan hujjah (pegangan).
4.
Istishab al-hal
(istishab atas adanya petunjuk syara’, istishab hukum dan istishab sifat).
Pendapat jumhur
yang pada dasarnya menjadikan istishab al-hal itu sebagai salah satu metode
dalam ijtihad dan menjadikanya sebagai hujjah. Akan tetapi pada kalangan
Hanafiyah menolak istishab al-hal dalam metode ijtihad. Alasanya kaena untuk
menetapkanay diperlukan dalil dari masa lalu.
5.
Istishab hukum
ijma’
Kalangan yang
berpendapat bahwa istishab ijma’ ini dapat dijadikan pegangan dalam ijtihad dan
punya kekuatan hujjah. Diantara penganut agama ini adalah: Al-Muzani,
Al-Sairafi, Ya’la, Ibn Aqil, Abu Khatab, Ibn- Zaghuni, dan Al-Hulwani, Abu
tsaur, Daud Al-Zhahiri, Ibn Sureij, Ibn Khairan, Abu Husein Ibn Qathan.
Pendapat ini paling kuat menurut Al-Syaukani dan dianggap terpilih menurut
Al-Amidi.
Kalangan ulama’
yang mengatakan bahwa istishab ijma’ tidak dapat dijadikan hujjah dan metode
dalam ijtihad. Diantara penganut agama ini adalah: Al-Qadhi Abu Ishaq
Al-Syairazi, Ibn Sabbaq dan Al-Ghazali. Diantara argumen yang mereka kemukakan
adalah: Yang pertama, ijma’ adalah hujjah syar’iyah sebagaimana juga dalil
syara’ lainya. Adapun yang kedua adalah ijma’ itu menjadi hujjah sebelum muncul
perbedaan pendapat. Menurutnya, tidak ada lagi yang perlu di-istishab-kan,
karena sudah terjadi perbedaan pendapat (tidak ada lagi ijma’).[20]
Berikut ini
adalah contoh istishab dalam bentuk tsubut (pernah ada), yakni bila tadi pagi
seseorang berwudhu’ untuk melalukan sholat subuh, maka keadaan telah berwudhu’
itu masih diperhitungkan keberadaanya pada waktu ia melaksanakan sholat dhuha,
selama tidak ada bukti dan tanda-tanda bahwa wudhunya yang dilakukan pada waktu
subuh itu tidak batal. Akan tetapi Imam Malik berpendapat bahwa ia tidak boleh
sholat kecuali setelah ia berwudhu’ dengan wudhu’ yang baru. Alasanya karena
hal ini terbenturan karena ada dua prisip yang pertama yaitu, tidak berlakunya
sifat suci karena meragukanya. Kedua, orang itu masih terbebani adanya
tanggungan sholat. Dalam rangka tindakan
berhati-hati dalam pelaksanaan ibadah, maka pendapat Imam Malik lebih
kuat.
Adapun contoh
istishab dalam bentuk nafi (tidak pernah ada), yakni di masa lalu tidak pernah
ada hukum tentang wajibnya puasa di bulan syawal, karena memang tidak ada dalil
syara’ yang mewajibkanya. Keadaan tidak adanya hukum wajib itu tetap berlaku
sampai masa kini dan mendatang karena memang dalil syara’ yang akan
mengubahnya, untyuk itu tidak akan pernah ada lagi setelah meninggalnya Nabi
Muhammad SAW..[21]
E.
Adat
atau ‘Urf
Kata ‘urf
berasal dari عرف يعرف yang sering diartikan dengan kata المعرف dengan arti “sesuatu yang dikenal”. Kalau
dikatakan فلان اولى فلانا عرفا (Si Fulan lebih dari yang lain dari segi urfnya) maksudnya
adalah si Fulan lebih dikenal daripada yang lain. Pengertian “dikenal” ini
lebih dekat dengan pengertian “diakui oleh orang lain”. Kata ‘urf juga terdapat
dalam Al-Qur’an dengan arti “ma’ruf” yang artinya kebijakan (berbuat baik),
seperti dalam surat Al-A’raf (7): 199:
خذ العفو و امر
بالعرف
Artinya: “ Maafkanlah dia dan
suruhlah berbuat ma’ruf”.[22]
‘Urf
yang tidak bertentangan dengan hukum ilsam dapat dikukuhkan tetap terus berlaku
bagi masyarakat yang bersangkutan. Adat istiadat ini tentu saja yang berkenaan
dengan soal muamalah. Menurut kaidah hukum islam yang menyatakan “adat dapat
dikukuhkan menjadi hukum” (Al- ‘adatu mahakkamah) hukum adat yang demikian
dapat berlaku bagi umat islam.[23]
‘Urf adalah
hal-hal yang dibiasakan dan menjadi acuan manusia dalam perkara kehidupan dan
mu’amalah mereka, berupa ucapan atau perbuatan, atau pantangan. ‘Urf juga
disebut adat menurut banyak ulama’ fiqih. Dan sebagian ulama’ fiqih
mendefinikan adat sebagai perkara yang diulang-ulang, lebih umum dari urf,
dimana setiap urf adalah adat, namun tidak setiap adat adalah’urf. Sebagian
ulama’ yang lain menilai urf lebih umum dari adat.[24]
Kata urf selalu digunakan jama’ah atau golongan, sedangkan kata adat dapat
dijadikan untuk sebagian orang disamping berlaku pula untuk golongan.
Adapun
pembagian ‘urf, ditinjau dari bentuknya terdapat ‘urf amali (praktek) dan ‘urf
qauli (lingual). Berdasarkan objek cakupanya, terdapat urf amm (umum) dan ‘urf
khash (khusus). Dari segi legalitasnya di hadapan syara’, terdapat ‘urf shahih
(legal) dan ‘urf fasid (ilegal). Dan dari sudut pandang kontinuitas
keberlangsunganya, terdapat ‘urf tsabit (berkesinambungan, statis) dan ‘urf
mutabaddil (dinamis).
a. ‘Urf qauli adalah suatu ungkapan yang digunakan untuk sebuah
komunitas untuk mengungkapkan makna tertentu, sehingga tatkala ungkapan
tersebut terlontar, orang akan memahaminya dengan makna tersebut. Sedangkan
‘urf amali adalah setiap tindakan yang biasa dilakukan oleh sekumpulan manusia
dan telah lazim dikenal diantara mereka dalam melakukan aktivitas keseharian.
b. ‘Urf amm adalah tradisi yang telah dikenal umum oleh suatu
kalangan. Sedangkan ‘urf khash adalah kebiasaan yang tidak dikenal oleh semua
kalangan, namun hanya sekelompok tertentu.
c. ‘Urf shahih adalah hal-hal yang telah lazim dikenal dan tidak
bertentangan dengan nash syari’at tidak mengandung pengabaian terhadap
kemaslahatan, serta tidak berimplikasi pada kerusakan. Sedangkan ‘urf fasid
adalah tradisi yang bertentangan dengan sebagian garis ketentuan syara’ atau
kaidah-kaidahnya. Sebagaimana tradisi transaksi yang mengandung riba.
d. ‘Urf tsabit adalah tradisi yang statis, tidak berubah karena
perbedaan ruang dan waktu atau karena berubahnya kondisi. Sedangkan ‘Urf
mutabaddil adalah tradisi yang dinamis, dapat berubah karena ruang, waktu,
bahkan kondisi.[25]
Disamping
pembagian di atas, ‘urf dibagi pula menjadi dua, yakni adat kebiasaan yang
benar, dan adat kebiasaan yang fasid (tidak benar).
a. Adat kebiasan yang shohih(benar), yaitu suatu hal baik ynag menjadi
kebiasaan suatu masyarakat, namun tidak sampai menghalalkan yang haram dan
tidak pula sebaliknya.
b. Adat kebiasaan yang fasid (tidak benar), yaitu sesuatu yang menjadi
adat masyarakat sampai menghalalkan yang haram.[26]
Misalnya, upacara yang dimana kepala kerbau untuk dijadikan sesajen yang
diyakini untuk menghormati ruh-ruh yang telah tiada.
Para ulama’
sepakat menolak ‘urf fasid untuk dijadikan landasan hukum. ‘urf shohih banyak
dijadikan landasan di kalangan madzhab hanafiyah dan malikiyah dan selanjutnya
oleh kalangan hanabilah dan syafi’iyah. ‘Urf mereka terima dengan landasan
hukum dengan beberapa alasan, antara lain:
Ayat
199 surat al-A’raf:
خُذِ الْعَفْوَ
وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْن (الأعرف /7:199)
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah
orang mengerjakan yang ma’ruf (al-urfi), serta berpalinglah dari pada
orang-orang yang bodoh. (QS.al-A’raf/7:199)
Kata al-urfi
dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakan, oleh para
ulama’ Ushul Fiqh dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi
kebiasaan masyarakat. Maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk
mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi
dalam suatu masyarakat.
Hukum-hukum
yang dibagun berdasarkan ‘urf dan adat bisa berubah. Mengenai perbedaan
pendapat para fuqaha’ ini dikarenakan perbedaan zaman, bukan perbedaan hujjah
dan dalil. Imam Al-Qarafi yang menjelaskan makna ini: “Hukum-hukum yang
ditentukan berdasarkan adat-istiadat itu berputar bersama adat kemanapun ia berputar,
dan batal bersama adat jika ia juga batal...”. dengan undang-undang seperti
inilah seluruh hukum syari’at yang dibangun di atas adat dijadikan acuan. ‘Urf
merupakan tahqiq (verifikasi) yang disepakati di kalangan ulama’.[27]
‘Urf sering
dianggap membingungkan karena ada dua sisi yang berbeda: pada sisi pertama,
hukum dapat berubah karena perubahan perkembangan manusia. Oleh karena itu,
hukum islam bersifat dinamis (tidak anti perubahan). Pada sisi lain, hukum
islam jumud (statis) karena ulama’ menyadarkan diri kepada aliran hukum
tertentu sehingga mereka agak sulit menerima perubahan.[28]
F.
Syar’u
Man Qoblana
Yang di maksud
Syar'u Man Qablana ialah syari'at atau ajaran nabi-nabi sebelum Islam yang
berhubungan dengan hukum, seperti syari'at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa,
as. Para ulama' Ushul Fiqh berbeda pendapat tentang hukum syari'at Nabi
terdahulu yang tercantum dalam Al-Qur'an, namun tidak ada ketegasan mengenai
hukum-hukum itu masih berlaku bagi umat Islam dan tidak pula ada penjelasan
yang membatalkannya.[29]
a) Syar'u man qoblana pra kenabian
Para ulama' berbeda pendapat, secara garis
besar terdapat tiga versi pendapat.Pertama , sebelum diangkat menjadi
utusan, Nabi Muhammad saw. Dituntut untuk menjalankan syari'at
terdahulu.Pendapat ini di kemukakan oleh ulam' madzhab Hanafi, Hanbali, IBN
al-Hajib dan Al-Baidlawi.
Kedua, tidak ada tuntutan atas Nabi Muhammad saw. Sebelum
menjadi Rasul untuk menjalankan syari'at terdahulu.Pendapat ini di kemukakan
oleh ulama' kalangan Malikiyyah dan mayoritas ulama' ahli Kalam
(teologi).Pendapat ini lah menurut Al-Ghazali dijadikan kesepakatan kelompok
Mu'tazilah.Mereka beranggapan bahwasanya saat itu tidak ada syari'at, dan semua
hukum dikembalikan kepada akal untuk menilai baik buruknya, halal haramnya dan
lain-lain.Dan pendapat ini oleh Ibnu al-Qusyairy divonis sebagai pendapat yang
batal dan salah.Karena tidak ada hukum syari'at yang didasarkan pada akal.
Ketiga, menangguhkan permasalahan tersebut, dalam artian tidak
ada keputusan yang pasti. Disebabkan karena tidak adanya petunjuk yang jelas,
baik dari nash, ijma' maupun secara rasional. Pendapat ini sebagaimana yang
diungkapkan oleh al-Qusyairy dalam kitab Al-Mursyid.Yang
berkomentar bahwa"semua pendapat yang ada saling bertentangan, dan di antara
kesekian pendapat tersebut, tidak ada satupun yang menyuguhkan dalil-dalil yang
pasti (qath'i). Rasio sebenarnya membenarkan pendapat-pendapat ini, akan tetapi
hingga kini, kita belum Pernah mendapat kejelasan atau dalilnya".
b)
Syar'u man qoblana pasca kenabian
Dalam prinsip-prinsip dasar agama,
syari'at pasca kenabian bukanlah
menghapus secara total terhadap syari'at-syari'at sebelumnya. Terbukti dengan
adanya diwajibkannya iman, keharaman berbuat kufur, membunuh, zina dan mencuri,
dan semua itu diperlukan pemilihan secara mendetail yakni seperti halnya hukum
yang ditetapkan ulang oleh syari'at kita.Dalam hal ini pun juga tidak ada
perbedaan diantara para ulama', bahwa hukum ini merupakan bagian dari syari'at
kita. Seperti kewajiban berpuasa yang di jelaskan dalam Al-Qur'an:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ (البقر1831)
Artinya: Telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (QS: Al-Baqarah
183).[30]
Para ulama'
Ushul Fiqh berbeda pendapat tentang hukum-hukum syari'at Nabi terdahulu yang
tercantum dalam Al-Qur'an, tetapi tidak ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu
masih berlaku bagi umat Islam dan tidak pula ada penjelasan yang membatalkan.
Contohnya hukuman qishash (hukuman
setimpal) dalam syari'at Nabi yang diceritakan dalam Al-Qur'an ayat 45 surat Al-Maidah:
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ
فِيْهَا أّنَّ الَّنفسَ بِالّنَّفْسِ وَالعَيْنَ بِالعَيْنِ وَالأَنْفَ بِالْأنف
والأذن بالأذن والسن بالسن والجروح قصاص فمن تصدق به فهو كفارة له ومن لم يحكم بما
أنزل الله فأولئك همالظالمون
Artinya: Dan kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya
(AtTaurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung
dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka- luka (pun)
ada qishashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishas) nya, maka melepaskan hak itu
(menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (QS.al-Maidah/5:45).[31]
Para ulama'
sepakat menjadikannya dalil kewajiban hukum qishash maka andai kata Nabi
Muhammad saw. tidak diperintahkan untuk mengikuti Nabi sebelumnya, maka
bagaimana bisa dibenarkan menjadikan qishash yang diwajibkan terhadap
Bani Israil sebagaimana kewajiban sekarang.
G.
Qoul
Sohabi
Qoul shohabi merupakan pendapat sahabat Rasulullah SAW.tentang sesuatu
yang khusus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara mendetail dalam Al-Qur'an
dan Sunnah Rasulullah.[32]Dalam
artian lain qoul shohabi adalah perkataan, tindakan dan keputusan shahabat
dalam meriwayatkan dan menyikapi suatu permasalahan. Shahabat, menurut
mayoritas ulama' Ushul Fiqh adalah orang yang pernah bertemu dengan Rasulullah
saw. disertai keimanannya, dan semasa dengan beliau dalam jangka masa yang
panjang. Sedangkan mayoritas ulama' hadits mendefinisikannya sebagai seseorang
yang bertatap muka dengan Rasulullah saw. dalam keadaan muslim dan meninggal
dunia dengan keislamannya, panjang atau pendek masa kebersamaannya dengan
beliau.[33]
Dalam hal permasalahan yang dibahas
dalam Ushul Fiqh mengenai fatwa-fatwa yang harus diikuti para Mujtahid. Abdul
Karim Zaidan membagi pendapat sahabat kedalam empat kategori:
1. Fatwa shohabat yang bukan merupakan hasil
ijtihad. Misalnya, fatwa Ibnu Mas'ud, bahwa batas minimal waktu haid tiga hari,
dan batas minimal mas kawin sebanyak sepuluh dirham. Fatwa-fatwa seperti ini
bukan merupakan hasil ijtihad sahabat dan besar kemungkinan hal itu mereka
terima dari Rasulullah. Oleh karena itu, fatwa-fatwa semacam ini disepakati
menjadi landasan hukum bagi generasi sesudahnya.
2. Fatwa shahabat yang disepakati secara tegas
dikalangan mereka kenal dengan 'ijma' sahabat. Fatwa seperti inilah yang
menjadi pegangan bagi generasi sesudahnya.
3. Fatwa sahabat secara perorangan yang tidak
mengikat sahabat yang lain. Para Mujtahid dikalangan sahabat memang sering
berbeda pendapat dalam satu masalah, namun dalam hal ini fatwa seorang sahabat
tidak mengikat (diikuti) Sahabat yang lain.
4. Fatwa sahabat secara perorangan yang didasarkan
oleh ra'yu dan ijtihad.[34]
Adapun pendapat
Al-Syafi'i mengenai qoul shohabi, bahwa qoul shohabi adalah hujjah yang
mendapat prioritas lebih dari qiyas.Itu pun pemikiran Al-Syafi'i dalam qoul
qadim-nya. Namun dalam qoul jadid-nya, ia juga melansir pendapat ini
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, dan tercantum dalam manuskrip
karyanya, Al-Umm yang diperdebatkan dengan Imam Malik. Dalam Al-Umm-nya Al-Syafi'i
menuturkan bahwa:
Selama terdapat keterangan dalam Al-Kitab dan
Al-Sunnah, maka tidak ada alasan kecuali keharusan mengikutinya.Bila Al-Kitab
dan Al-Sunnah tidak menjelaskannya, maka kami beralih pada perkataan para
shahabat Rasulullah atau per-individu dari mereka.Dan perkataan para imam - Abu
Bakar, 'Umar, Ustman dan Ali ra. - lebih dipilih dalam bertaqlid. Hal ini bila
dalam perbedaan pendapat diantara shahabat tidak ditemukan petunjuk yang
mengarah pada pendapat yang mendekati pada Al-Kitab dan Al-Sunnah.Karena
perkataan imam (Khalifah) adalah perkataan masyhur yang mengarahkan ketundukan
rakyat. Karenanya, ia lebih zhahir dari pada fatwa orang per-orang atau
sekelompok orang, karena bisa jadi seseorang mengambil atau meninggalkan
fatwanya. Hal ini karena kebanyakan mufti memberikan fatwa dikediaman
mereka atau dimajelis pengajaran.[35]
Menurut kalangan Hanafiyah, Imam Malik, Imam Syafi'i,
dan pendapat terkuat dari Ahmad bin Hambal, bahwa fatwa shahabat dapat
dijadikan pegangan oleh generasi sesudahnya. Alasannya:
Firman Allah:
كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون
عن المنكر وتؤمنون بالله ولو ءامن أهل الكتب لكان خيرا لهم منهم المؤمنون وأكثرهم
الفاسقون
Artinya:kamuadalahumatyangterbaikyangdilahirkanuntukmanusia, menyuruhkepadayangma'ruf, dan mencegah dari yang
mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka; diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang fasik.(QS.Ali Imran/3:110).
Ayat
tersebut menurut mereka ditujukan kepada para sahabat dan menunjukkan bahwa apa
yang mereka sampaikan adalah ma'ruf (kebaikan), dan oleh karena itu
harus diikuti.
Sabda Rasulullah:
أصحاپى والنجوم بأي اقدتديتم اهتديتم (الحديث)
Parasahabatku bagaikan bintang-bintang, siapa
pun diantara mereka yang kalian ikuti, maka kalian akan mendapat petunjuk.
Hadits tersebut menurut penganut aliran ini
menunjukkan wajib hukumnya mengikuti fatwa sahabat.Tetapi menurut Ibnu Hazm,
hadits ini termasuk hadits maudhu' yang tidak bisa dijadikan sandaran
hukum.
Contoh fatwa sahabat adalah:
Ø Menurut Aisyah, batas maksimal kehamilan
seorang perempuan selama dua tahun dengan mengatakan: "Anak tidak berada
dalam perut ibunya lebih dari dua tahun",
Ø Menurut Anas bin Malik, batas minimal waktu
haid seorang wanita adalah tiga hari, dan
Ø Menurut Umar bin Khattab, lelaki yang menikahi seorang wanita yang
sedang dalam 'iddah harus dipisahkan dan diharamkan baginya menikahinya
untuk selamanya.
H.
Penutup
Segala puji
bagi Allah yang telah meberikan pertolongan atas proses pembuatan artikel ini.
Dalam artikel ini telah dijelaskan tentang definisi-definisi yang terkait
dengan dalil-dalil dan sumber hukum yang mukhtalaf (diperdebatkan). Apabila
terjadi sesuatu peristiwa yang tidak terdapat nash hukumnya, sebagian mujtahid
ada yang menggunakan dalil-dalil yang masih diperdebatkan ini. Sebagian ulama’
ada yang menggunakan dan ada sebagian yang menolak. Tujuan dari adanya
dalil-dalil ini tak lain hanya untuk umat islam jika dalam keadaan darurat,
yang tidak ditemukan pemecah dari suatu persoalan.
Artikel ini
juga memberikan penjelasan mengenai perbedaan antara istihsan, maslahah
mursalah, istishab, ‘urf, qoul sohabi dan syar’u man qoblana. Yang terpenting
dalam artikel ini adalah memperhatikan bahwa penjelasan dalil-dalil dan sumber
hukum yang mukhtalaf ini bukan bersifat ibadah murni, tetapi hanya merupakan
alat dan sarana bagi pelaksanaan hukum syara’ dalam memelihara kemaslahatan
umum dan tunduk kepada Allah SWT. dalam pelaksanaanya.
Daftar Pustaka
Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqh
Sejarah dan Kaidah Asasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Nasution, Lahmuddin. Pembaharuan
Hukum Islam dalam Madzhab Syafi’i, Jakarta: PT Remaja Rosdakarya, 2001.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2011.
Mahfudh, Sahal. Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, Kediri:
Purna Siswa Aliyyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-in, 2004.
Effendi, Satria. Ushul Fiqh, Jakarta:
kencana, 2005.
Zaidan, Abdul Karim. Pengantar Studi Syari’ah, Jakarta: Robbani
Press, 2008.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam,
Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Mu’allim Amir, Yusdani. Jogjakarta:
UII Press Indonesia, 11998
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul
Fiqh. Kuwait: Darul Qalam, 1977.
Sula Muhammad Syakir. Asuransi
Syari’ah. Jakarta: Gema Insani Press, 2004
Catatan:
1.
Pendahuluan
tolong ditambahi lagi.
2.
Penulisan
keterangan buku di footnote tidak lengkap.
3.
Tulisan yang
dibuat hendaknya terstruktur rapi: pengertian, contoh, perdebatan ulama.
4.
Penutup
diperbaiki lagi.
[1] Sahal
Mahfudh, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, hlm 225.
[2]Lahmuddin
Nasution, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi’i, hlm. 108-112
[3]Abdul
wahhab khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 108
[4]Ibid.,
hlm 226
[5]Satria
Effendi, Ushul Fiqh, hlm146
[6]Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, hlm 324-325.
[7]Satria
Effendi, Op.cit., hlm 145-146
[8]Amir
Syarifuddin, Op.cit., hlm 342
[9]Ibid.,
hlm. 342-343
[10]Ibid.,
hlm. 345-346
[11]Muhammad
Syakir Sula, Asuransi Syari’ah, hlm. 734
[12]Ibid.,hlm.
354-355
[13]Satria
Effendi, op.cit., hlm 148-149
[14]Abdul
Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’ah, hlm. 255-256
[15]Amir
Mu’allim dan Yuzdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, hlm. 69.
[16]Abdul
Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 84
[17]Ibid.,
hlm. 256
[18]Amir
Syarifuddin, Op.cit., hlm 364
[19]Abdul
Karim Zaidan, op.cit., hlm. 268
[20]Amir
Syarifuddin, Op.cit., hlm. 376-385
[21]Ibid.,
hlm.367
[22]Ibid.,
hlm. 386-387
[23]Muhammad
Daud Ali, Hukum Islam, hlm. 123-123
[24]Abdul
Karim Zaidan, op.cit., hlm. 258-259
[25]Sahal
Mahfudz, op.cit., hlm. 217-219
[26]Satria
Effendi, op.cit., hlm. 154-155
[27]Abdul
Karim Zaidan, op.cit., hlm. 261
[28]Jaih
Mubarok, Kaidah Fiqh, hlm.156
[29]Satria
Effendi,op.cit, hlm. 162
[30]Sahlan
Mahfudh, op.cit, hlm.286-290
[31]Satria
Effendi, op.cit, hlm. 163-164
[32]Ibid;
hlm. 169
[33]Sahlan
mahfudh, op.cit, hlm. 271-272
[34]Satria
Efendi, op.cit, hlm. 169
[35]Sahlan Mahfudz,
op.cit, hkm. 278-279
Tidak ada komentar:
Posting Komentar