Dwi Sartika dan Retno Windari
PAI D Angkatan 2016
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail : dwis236@gmail.com
Abstrack
This article talks about Nasikh and Mansukh. In the article is the definition of Nasikh and Mansukh, the examples of verses Nasikh and Mansukh in the Qur'an, forms of Nasikh and Mansukh, and the usability of Nasikh and Mansukh. Until now, the existence of Nasikh and Mansukh is still disputed by the scholars who support and reject it. However the establishment of an Islamic law does not mean it has become a final decision. It could have changed with the development and change of history.
Keywords : Nasikh, Mansukh,
Definition, Examples, form, Usability
Abstrak
Artikel ini berbicara tentang Nasikh dan Mansukh.
Didalamnya terdapat definisi Nasikh dan Mansukh, contoh-contoh ayat Nasikh dan
Mansukh di dalam Al-Quran, bentuk-bentuk Nasikh dan Mansukh, serta hikmah
adanya Nasikh dan Mansukh. Sampai saat ini, keberadaan Nasikh dan Mansukh masih
diperdebatkan oleh para ulama yang mendukung dan menolaknya. Bagaimanapun
penetapan suatu hukum Islam, bukan berarti sudah menjadi suatu keputusan akhir.
Bisa saja keputusan itu berubah seiring dengan perkembangan dan perubahan
sejarah.
Kata Kunci : Nasikh, Mansukh,
Pengertian, Contoh, Bentuk, Hikmah
A. Pendahuluan
Al-Quran merupakan
sumber pertama dan utama hukum Islam, sehingga diyakini oleh setiap muslim
bersifat abadi dan universal. Abadi berarti terus berlaku sampai akhir zaman.
Sedangkan universal berarti syariatnya berlaku untuk seluruh dunia tanpa
memandang perbedaan etnis dan geografis. Hanya saja, dalam menjabarkan arti
abadi dan universal itu menjadi bahan diskusi para ulama karena adanya
perbedaan masalah yang menjadi penekanannya. Perbedaan pandangan adalah rahmat,
yang menurut imam Taufiq , menunjukkan beragamnya cara pandang manusia sebagai
makhluk yang berakal, memahami simbul, intelek, berilmu pengetahuan dan
normatif.[1]
Diantara masalah
rumit yang diperdebatkan oleh para ulama mufassirin adalah tentang keberadaan
nasikh dan mansukh. Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh merupakan asas utama
dalam memahami Islam, sebagaimana ucapan Ali ibn. Abi Thalib dan Ibnu Abbas,
r.a. ketika menafsirkan kata “al-hikmah” dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat
269 dengan pengetahuan nasikh dan mansukh, muhkam, dan mutasyabihah-nya.[2]
“Allah menganugerahkan
al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa
yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar
telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah
yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”
B. Pengertian
Nasikh dan Mansukh
Nasikh-mansukh
berasal dari kata naskh yang secara etimologi digunakan untuk beberapa
pengertian, yaitu penghapusan, penggantian/pembatalan, pemindahan, dan
pengubahan. Perbedaan makna ini disebabkan kata naskh dengan padanan katanya
terdapat pada empat tempat di dalam Al-Quran; yansakhu, nasthansikhu, nansakhu
, dan nuskh. Sesuatu yang membatalkan/mengganti, menghapus, memindahkan, dan
sebagainya dinamai nasikh. Adapun yang dibatalkan/diganti, dihapus,
dipindahkan, dan sebagainya dinamai mansukh.[3]
Yang dimaksud
dengan nasikh adalah yang menghapus, dan mansukh adalah yang dihapus. Contohnya
: cahaya matahari menghapus bayangan. Jelasnya, bila di suatu tempat tadinya
ada bayangan, dengan datangnya cahaya maka bayangan itu hilang, diganti oleh
cahaya.[4]
Para ulama telah
panjang dan lebar bertukar pikiran tentang takrif nasakh menurut istilah,
karena lafal nasakh mengandung beberapa makna dari segi bahasa nasakh bermakna
‘izalah (menghilangkan), tabdil (mengganti/menukar), tahwil (memalingkan), dan
juga bermakna menukilkan.[5]
Pengetahuan yang
mendalam mengenai nasikh dan mansukh memudahkan kita dalam menentukan mana
ayat-ayat Al-Quran yang turun terdahulu dan turun kemudian. Peristiwa-peristiwa
yang dijelaskan dalam Al-Quran dan memperlihatkan kepada kita bahwa Al-Quran
itu datangnya dari Allah, Allah yang menghapuskan mana yang dikehendaki dan
menetapkan apa yang di kehendaki pula, tanpa seseorangpun bisa ikut campur di
dalamnya.
Nasikh-mansukh
menurut para ulama salaf pada umumnya adalah pembatalan hukum secara global,
dan itu merupakan istilah para ulama muta’akhirin (belakangan); atau pembatalan
dalalah (aspek dalil) yang umum, mutlak, dan nyata. Pembatalan ini dapat berupa
pengkhususan atau pemberian syarat tertentu, atau mengartikan yang mutlak
menjadi yang terikat dengan suatu syarat, menafsirkannya dan menjelaskannya.[6]
Berikut ini adalah
definsi yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin abad ke-1 hingga abad ke
3 H yang memperluas arti naskh[7] :
1.
Pembatalan
hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian
2.
Pengecualian
hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian
3.
Penjelasan
yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar
4.
Penetapan
syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat
Dari berbagai
penjelasan di atas, dapat di ambil kesimpulan bahwa definisi naskh sendiri
bergantung pada kelompok ulama siapa yang akan diambil. Namun secara kasat mata
dapat disimpulkan bahwa naskh merupakan dalil syar’i yang ditetapkan kemudian,
tidak hanya ketentuan hukum yang mencabut atau merubah ketentuaan hukum
sebelumnya, tetapi ketentuan hukum yang menyatakan bahwa suatu ketentuan hukum
tidak berlaku terus menerus. Oleh karena itu, menurut Alie Yafie, ketentuan
yang diberlakukan adalah ketentuan yang ditetapkan terakhir dan menggantikan
ketentuan yang mendahuluinya.
Salah satu contoh
nasikh dan mansukh dalam agama Islam adalah hukum syara’ atau undang-undang
syariat yang diganti dengan undang-undang yang baru atau yang datang kemudian.
Contohnya ialah sabda Rasulullah saw[8] :
“Dulu aku melarang kalian berziarah ke kuburan, maka sekarang (larangan itu aku
tarik) berziarahlah ke kuburan.” (Hadis sahih riwayat Muslim).
Imam as-Suyuthi
telah menyebutkan bahwa dari keseluruhan 114 surat dalam Al-Quran, terdapat[9] :
1. 43 surat yang
tidak terdapat nasikh dan mansukh di dalamnya.
2. 6 surat yang
terdapat nasikh saja.
3. 40 surat yang
terdapat mansukh saja.
4. 25 surat yang
terdapat nasikh mansukh.
Keberadaan nasikh
dan mansukh dalam Al-Quran ini masih diperdebatkan kalangan ulama Islam hingga
sekarang. Namun mayoritas ulama mengakui keberadaannya melalui
argumentasi-argumentasi logis, historis serta dalil-dalil Al-Quran yang
menunjang ( diantaranya : QS. Al-Baqarah: 106 , Ar-Ra’d: 39, dan QS. An-Nahl:
101 ).[10]
“Ayat mana saja yang
Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang
lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui
bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?" ( QS. Al-Baqarah
106)
“Allah menghapuskan apa
yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah
terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh)”. (QS Ar-Ra’d 39)
“Dan
apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya
padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata:
"Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan
kebanyakan mereka tiada mengetahui”. (QS. An-Nahl 101)
Secara logis (dalil
Aqli); bahwa tidak ada yang menghalangi kemungkinan terjadinya nasikh dan
mansukh ini dalam Al-Quran. Saksi sejarah (argument historis) juga menguatkan
terjadinya nasakh dalam Al-Quran bahwa memang telah terjadi penggantian
aturan-aturan syari’at dari syari’at umat terdahulu yang digantikan kemudian
oleh syari’at Muhammad SAW juga memang telah disaksikan sejarah bahwa dalam
Islam memang telah terjadi penggantian suatu hukum dengan hukum lain yang turun
setelahnya.[11]
Naskh hanya terjadi
pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun
yang diungkapkan dengan berita (khabar) yang bermakna amr (perintah) atau nahy
(larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, yang
berhubungan dengan Dzat Allah, sifat-sifat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya
dan hari kemudian, juga tidak berkaitan dengan etika dan akhlak atau dengan
pokok-pokok ibadah dan muamalah. Hal ini karena semua syari’at Illahi tidak
lepas dari pokok-pokok tersebut. Dalam masalah prinsip ini semua syari’at
adalah sama.[12]
Untuk mengetahui nasikh dan mansukh terdapat beberapa
cara[13] :
1)
Keterangan
tegas dari Nabi atau sahabat, seperti hadits :
“Aku (dulu)
pernah melarangmu berziarah kubur, maka (kini) berziarah kuburlah.” (HR.Al-Hakim)
2) Ijma’ umat bahwa ayat ini nasikh dan yang itu
mansukh.
3) Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana
yang belakangan berdasarkan sejarah.
Macam-Macam Naskh dalam Al-Quran
a.
Lafadz Tetap,
Hukum Dihapus
Contohnya
adalah tentang hukum shalat malam bagi umat islam. Awalnya Allah SWT berfirman:
“Wahai
orang yang berselimut, bangunlah malam hari kecuali sedikit, yaitu setengahnya
atau kurang dari itu sedikit.” (QS Al-Muzamil 73:1-3)
Kemudian
dihapus dengan ayat:
“Sesungguhnya
Tuhanmu mengetahui bahwa engkau berdiri (shalat) kurang dua pertiga malam, atau
seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari
orang-orang yang bersamamu. Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah
mengetahui bahwa kamu tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka
Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah
apa yang mudah dari Al-Qurandan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat
dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja
yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi
Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan
mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang..” (QS Al-Muzamil 73:20)
Kesimpulannya,
ayat pertama menunjukkan bahwa shalat pada malam hari hukumnya wajib. Akan
tetapi, karena ada ayat lain yang menghapusnya, hukumnya menjadi sunah.
b.
Hukumnya Tetap,
Lafadznya Dihapus
Sebagai
contoh dalam hukum Islam, laki-laki dan perempuan yang melakukan zina, mereka
sudah menikah, hukmnya adalah dirajam sampai mati.
Akan
tetapi, ayat tentang rajam tidak terdapat dalam Al-Quran, yang ada hanya hukum
cambuk sebanyak seratus kali.
“pezina
perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus
kali,dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu
untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari
akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS
An-Nuur 24:2)
Ternyata,
dahulu pernah turun ayat yang isinya perintah untuk merajam pezina, kemudian
dihapus. Ayat itu adalah: “Laki-laki yang sudah menikah dan perempuan yang
sudah menikah apabila mereka masing-masing berzina, maka rajamlah sampai mati,
sebagai peringatan dari Allah. Dan sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”
c. Lafadz dan Hukumnya Dihapus
Contohnya,
hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, “Dahulu pernah diturunkan ketentuan
yang mengharuskan minimal sepuluh hisapan susu sehingga ia (ibu susuan) menjadi
mahram (anak susuan), kemudian dihapus dengan hanya lima hisapan saja yang
diketahui (ma’lum).” (HR Muslim)[14]
C. Bentuk-Bentuk Nasikh dalam Al-Quran
Menurut
Jalaluddin Abdurrahan Abi Bakar Al-Shuyuthi dan Manaul Qathan, bentuk-bentuk
nasikh dalam Al-Quran terbagi menjadi tiga. Pertama, naskh teks dan hukumnya
bersamaan.
Contohnya,
sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud adalah ketika suatu saat Rasul SAWmembacakan
sepotong ayat kepadaku, lalu aku hafal dan aku tuliskan pada mashaf-ku. Pada
malam harinya, aku melihat kembali mashafku itu, tidak ada suatu yang tampak
(hilang). Keesokan harinya, pagi-pagi diatas mashafku itu ada selembar kertas
putih dengan bacaannya. Hal ini kuberitahukan kepada Nabi SAW.berkata, “Hai
Ibnu Mas’ud, kemarin sudah diangkat (dibuang).”
Kedua,
menasikhkan hukum dan tetap adanya teks. Contoh jenis
ini dalam ayat iddah dan pengharaman khamr. Jenis nasikh seperti ini terdapat
di dalam kitab-kitab. Artinya, teks masih menjadi bagian dari Al-Quran, tetapi
dianggap tidak dianggap secara hukum.
Ketiga,
menasikhkan teks dan tetap hukumnya. Contohnya,
ayat pada mushaf Aisyah sebelum mushaf Utsman mengubahnya.
Kemudian,
ayat ini berubah menjadi (lihat, Al-Ahzab: 52):[15]
“Tidak halal bagimu
mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti
mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu
kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. Dan adalah Allah Maha
Mengawasi segala sesuatu.”
Bentuk-Bentuk Nasikh-Mansukh dalam Syariat Islam
Proses
Nasikh Mansukh dalam syariat Islam ada empat bentuk:
1. Nasikh
Al-Quran dengan Al-Quran. Bentuk Nasakh ini tidak diperdebatkan
kebradaannya.
2. Nasikh
Sunnah dengan Al-Quran. Bentuk Nasakh ini juga diterima, seperti Nasakh
syariat puasa wajib hari Asyuara (10 Muharram) dengan syariat puasa
wajib bulan Ramadhan.
3. Nasikh
Al-Quran dengan Sunnah. Bentuk Naskh ini masih diperdebatkan para Ulama.
Imam Syafi’I dalam kitab Ar-Risalah nya jelas menolak adanya penasakhan
ini.
4. Nasikh
Sunnah dengan Sunnah. Nasakh jenis ini tidaklah dipermasalahkan.[16]
D. Hikmah Adanya Nasikh dan Mansukh
Menurut Fazlur
Rahman, Al-Quran bukanlah dokumen hukum semata, melainkan berisi prinsip dan
seruan moral. Oleh karena itu, Al-Quran terlibat dengan persoalan historis
dan a-historis. Terbukti, legislasi Al-Quran bersifat gradual dan
eksperimental. Oleh karena itu, adanya nasikh mansukh tidak dapat
dipisahkan dari sifat turunnya Al-Quran itu sendiri dan tujuan yang ingin
dicapainya. Turunnya kitab suci Al-Quran tidak terjadi sekaligus, tetapi
berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang
ketika itu, lalu Al-Quran menjawab, penahapan itu untuk pemantapan (Al-Furqan:
32), khususnya di bidang hukum. Dalam hal ini, Syekh Al-Qasimi berkata,
“Sesungguhnya Al-Khalik Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab
selama 23 tahun dalam proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai
kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sara sosial. Hukum-hukum itu
mulanya bersifat kedaerahan, kemudia secara bertahap diganti oleh Allah dengan
yang lain sehingga bersifat universal.”
Demikianlah,
Sunnah Al-Khalik diberlakukan terhadap perseorangan dan
bangsa-bangsadengan sama. Oleh karena itu, nasikh (penghapusan)
senantiasa inheren dengan alam manusia. Ia adalah undang-undang alami yang
lazim, baik dalam bidang material maupun spiritual, seperti proses kejadian
manusia dari unsure-unsur sperma dan telur, kemudian menjadi janin, anak,
kemudian tumbuh menjadi remaja, dewasa, orang tua, dan seterusnya.
Setiap proses
peredaran (keadaan) itu merupakan bukti nyata dan selalu berjalan secara rutin.
Kalau nasikh yang terjadi pada alam raya ini tidak lagi diingkari, mengapa
dipersoalkan adanya penghapusan dan proses pengembangan serta tadarruj dari
yang rendah ke yang lebih tinggi. Apakah seorang
tidak menyadari bahwa Al-Khalik yang bijaksana akan langsung membenahi bangsa
Arab yang masih dalam proses permulaan itu, padahal beban-beban itu hanya patut
bagi suatu bangsa yang telah mencapai kemajuan dan kesempurnaan dalam
kebudayaan yang tinggi. Pikiran seperti ini, tidak akan diucapkan seorang yang
berakal sehat, maka bagaimana mungkin hal semacam itu akan dilakukan Allah
SWT.yang Maha menentukan hukum, memberikan beban kepada suatu bangsa yang masih
dalam proses pertumbuhannya dengan beban yang tidak akan bisa dilakukan,
melainkan oleh suatu bangsa yang telah menaiki jenjang kedewasaannya. Lalu,
manakah yang lebih baik, apakah syariat kita yang menuntut, sunnah Allah
ditentukan hukum-hukumnya sendiri, kemudian di-nasikh-kan karena dipandang
perlu atau disempurnakan hal-hal yang dipandang tidak mampu dilaksanakan
manusia dengan alasan kemanusiaan. Ataukah syariat-syariat agama lain
yang diubah sendiri oleh para pemimpinnya sehingga sebagian hukum lenyap sama
sekali.
Syariat Allah
adalah perwujudan dari rahmat-Nya. Dialah yang Maha Mengetahui kemaslahatan
hidup hamba-Nya. Melalui sarana syariat-Nya, Dia mendidik manusia hidup tertib
dan adil untuk mencapai kehidupan yang aman, sejahtera, dan bahagia di dunia
dan akhirat. Menarik untuk dinukil penjelasan Manaul Qathan bahwa nikmat naskh
adalah memelihara kemaslahatan manusia, mengembangkan tasyri’ kepada tingkat
yang sempurna dengan menunjang perkembangan dakwah dan melihat perkembangan
keadaan orang banyak, pengujian mukallaf dengan percobaan dengan mengikuti
perintah dan meniadaknnya, dan menanamkan kemauan yang lebih baik kepada umat
dan memudahkannya, sebenarnya nasikh itu untuk memecahkan persoalan di samping
menambah pahala, dan jika itu meringankan, disini merupakan suatu kemudahan.[17]
Berkatalah
orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya
sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan
Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).
Jadi
dapat disimpulkan bahwa hikmah adanya nasikh dan mansukh antara lain adalah :
a. Memelihara
kemaslahatan hamba-hambaNya.
b. Perubahan
syariat yang selalu menuju kesempurnaan sesuai dengan perkembangan dakwah dan
juga bperkembangan hidup manusia.
c. Sebagai
ujian bagi manusia apakah ia akan tunduk pada aturan yang telah ditentukan oleh
Allah SWT, ataukah ia akan melanggarNya.
d. Merupakan
kehendak Allah SWT untuk memberikan yang terbaik bagi hambaNya, sekaligus
memberikan kemudahan dalam menjalankannya. Jika hukum naskh memneratkan
umatNya, Dia akan memberikan pahala yang lebih besar dan kalaulah dengan hiukum
ini lebih meringankan, hal itu merupakan keringanan bagi hamba-hambaNya.
E. Penutup
Setelah melalui
proses kajian di atas, dapat diketahui bahwa Nasikh dan Mansukh merupakan
sebuah penghapusan atau pengangkatan hukum syara’ dengan dalil hukum syara’
yang lain. Meskipun di dalam Al-Quran telah dijelaskan mengenai adanya Nasikh
dan Mansukh, tetapi hingga saat ini masih ada beberapa ulama yang masih
memperdebatkan keberadaan Nasikh dan Mansukh. Pembahasan mengenai Nasikh dan
Mansukh merupakan pembahasan yang sangat vital bagi seorang mufassir untuk
menghindari kekeliruan dan kesalahan dalam menangkap maksud Al-Quran.
Dari keseluruhan
114 surat dalam Al-Quran, terdapat 43 surat yang tidak terdapat nasikh dan
mansukh di dalamnya, 6 surat yang terdapat nasikh saja, 40 surat yang terdapat
mansukh saja, dan 25 surat yang terdapat nasikh mansukh. Hikmah mengetahui
Nasikh dan Mansukh yang lebih utama adalah untuk memelihara kemaslahatan umat
Islam, memperbaiki hukum syara’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan
perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 1990, Menempatkan
Hukum dalam Agama, Bandung: Sinar Baru
Al Jauziah, Ibnu
Qayyim. 2000, Panduan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Azzam
As-Salih, Subhi.
1993, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Quran, Jakarta: Pustaka Firdaus
Ash Shiddieqy,
Teungku Muhammad Hasbi. 2002, Ilmu-Ilmu Al-Quran, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra
Manna,
Syaikh Al-Qaththan. 2006,Pengantar
Studi Ilmu Al-Quran, Jakarta: Pustaka Kautsar
Nizhan,
Abu. 2008,Buku
Pintar Al-Quran, Jakarta: QultumMedia
Madyan, Ahmad Shams. 2008,Peta
Pembelajaran Al-Quran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
S
Juhaya Praja. 2013,Ushul
Fiqih Perbandingan, Bandung: Pustaka Setia
Ulama’i, Hasan Asyari. Artikel : Konsep Nasikh dan Mansukh dalam
Al-Quran. (http://stitmkendal.ac.id/docs/jurnal/konsep_nasikh_dan_mansukh_dalam_alquran_0.pdf.)
Yafie, Ali. 2007,Menyikapi Hadis-Hadis Nasikh dan Mansukh yang Saling
Bertentangan, Jakarta: Pustaka Firdaus
Catatan:
1. Abstrak tolong diperbaiki.
2. Footnote juga diperbaiki.
3. Keterangan jurnal dicantumkan lengkap keterangannya,
termasuk jurnal apa.
4. Pembahasan dalam makalah ini kurang sistematis, misalnya bentuk-bentuk
nasikh mansukh dalam al-Qur’an ada di bagian pengertian (dituliskan dengan
macam-macam nasikh mansukh).
5.
Makalah
kurang referensial di beberapa bagian.
[1]Hasan Asyari
Ulama’i, Konsep Nasikh dan Mansukh dalam Al-Quran. Vol. 7 No. 1, Februari
2016. hlm. 63
[2] Ibid.,64
[3]Juhaya S
Pradja, Ushul Fiqih Perbandingan, Bandung: CV Pustaka Setia, hlm.375
[4]Abdurrahman,
Menempatkan Hukum dalam Agama, Bandung: Sinar Baru, hlm. 30
[5]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu
Al-Quran, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, hlm.150
[6]Ibnu Qayyim
Al Jauziah, Panduan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Azzam, hlm.28
[7]Juhaya S
Pradja, Op. Cit.,376
[8]Abdurrahman,
Menempatkan Hukum dalam Agama, Bandung: Sinar Baru, hlm. 31
[9]Ahmad Shams
Madyan, Peta PembelajaranAl-Quran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 200
[10]Ibid.,193.
[11]Ibid.
[12]Manna
Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
hlm. 286
[13]Ibid.,288.
[15] Juhaya S Praja, Ushul
Fiqih Perbandingan, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm 379.
[16] Ahmad Shams Madyan, Peta
Pembelajaran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm 200.
[17] Juhaya S Praja, Ushul
Fiqih Perbandingan, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm 384.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar