Afifatud Diana Sari dan Falih
Anfasa
Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang
PAI B 2016
Abstract:
This
article discusses the nasikh mansukh that exists in al-quran. nasikh mansukh
has a meaning related to halal haram, then nasikh it replace or remove the
mansukh or the replaced or the deleted. there is a problem that has long been
the conversation and debate of scholars about still there are verses in the al-quran
commonly called nasikh and mansukh. the problem became the debate of the
scholars, some argue that there is a verse nasikh mansukh and some others have
no opinion. among the mujtahidin and the mufassirin even jumhurnya they hold
tight to their opinion that some of the verses of al-quran still in it. read
and stroked, has been manipulated by the law, no longer practiced. doctrinally,
the existing manuscripts in our hands today have covered the whole revelation
of the prophet Muhammad (SAW). however, a number of narrations that mention
that some other revelations were not recorded in writing in the official
manuscripts of ustmani. behind all the differences of opinion about nasikh
mansukh there are some wisdom that can also be taken from nasikh mansukh.
Key Words:Nasikh, Mansukh
Abstrak:
Artikel ini membahas tentang nasikh mansukh yang ada
pada Al-Qur`an. Nasikh mansukh memiliki makna yang berkaitan dengan halal
haram, maka nasikh itu mengganti atau menghapus yang mansukh atau yang diganti
atau yang dihapus. Terdapat sebuah masalah yang sudah lama menjadi perbincangan
dan perdebatan para ulama mengenai masih adakah ayat-ayat di dalam Al-Qur`an
yang biasa disebut nasikh dan mansukh. Permasalahan tersebut menjadi perdebatan
para ulama, sebagian ada yang berpendapat bahwa ada ayat nasikh mansukh dan
sebagian yang lain berpendapat tidak ada. Diantara para mujtahidin dan para
mufassirin bahkan jumhurnya mereka berpegang erat kepada pendapat mereka yaitu
sebagian ayat-ayat Al-Qur`an yang masih terdapat di dalamnya, dibaca dan
ditilawatkan, telah dimansuk hukumnya, tidak diamalkan lagi. Secara doktrinal,
mushaf yang ada di tangan kita sekarang ini telah mencakup keseluruhan wahyu
yang diterima Nabi Muhammad SAW. Namun demikian, sejumlah riwayat yang
menyebutkan bahwa ada beberapa wahyu lainnya yang tidak terekam secara tertulis
di dalam mushaf resmi Utsmani. Dibalik semua perbedaan pendapat mengenai nasikh
mansukh terdapat beberapa hikmah yang juga dapat diambil dari nasikh mansukh.
Kata Kunci: Nasikh, Mansukh
A. Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan mu’jizat Islam yang kekal dan abadi serta diperkuat
dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan teknologi, yang ditirunkan Allah kepada nabi Muhammad SWA untuk mengeluarkan manusia
dari zaman
jahiliah menuju kepada zaman islamiyah, serta dapat membimbing ke jalan yang lurus.
Rosulullah SAW menyampaikan Al-Qur’an kepada para sahabatnya (orang-orang
asli arab) sehingga mereka dapat memahaminya berasarkan naluri mereka. Apabila
mereka mengalami ketidakjelasan dalam memahami suatu ayat, mereka menanyakan
kepada Rosulullah SAW.
Semakin panjang hidup yang telah
berjalan, maka akan semakin terasa bahwa Al-Qur’an merupakan pedoman bagi
keidupan. Karena Al-Qur’an membawa ajaran yang penting bagi manusia disepanjang
zaman dan dalam segala segi kehidupan. Banyak manusia yang mempunyai Al-Qur’an,
tetapi belum mengetahui magna dan isi secara menyeluruh.
Nasikh dan mansukh mempunyai makna yang berkaitan dengan hukum halal dan
haram, maka nasikh itu mengganti atau menghapuskan yang mansukh, yang diganti
atau dihapuskan. Masalah yang sudah lama menjadi bahan perbincangan adalah
mengenai nasikh dan mansukh. Sekarang betulkah di dalam Al-Qur’an ada ayat-ayat
yang biasa disebut nasikh dan mansukh?
Permasalahan tersebut dalam lingkungan para ulama menjadi perselisihan
pendapat. Sebagian berpendapat “ada ayat nasikh dan mansukh”, dan sebagain yang
lain ada yang berpendapat “tidak ada”. Diantara para mujtahidin,
seperti Al-Imam Asy-Syafi’y dan juga demikian diantara para mufassirim, bahkan
jumhurnya, berpendapat dan berpegang erat kepada pendapatnya itu, yakni
“sebagian ayat-ayat Al-Qur’an yang masih terdapat di dalamnya, dibaca dan
ditilawatkan, telah dimansukhkan hukumnya, tidak diamalkan lagi. Pendapat
tersebut telah berkembang luas dalam masyarakat, sesuai dengan berkembangnya
madzhab yang mempunyai pendapat-pendapat itu.[1]
Sebelum mengeruaikan arti nasikh dan mansukh dari segi terminologi, perlu
digarisbawahi bahwa para ulama sepakat tentang tidak ditemukannya ikhtilaf
dalam arti kontradiksi dalam kandungan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam
menghadapi ayat-ayat sepintas lalu dinilai memiliki gejala kontra diksi, mereka
mengompromikannya. Pengkompromian tersebut ditempuh oleh satu pihak
tanpamenyatakan adanya ayat yang telah dibatalkan, dihapus, atau tak berlaku lagi,
dan ada pula dengan menyatakan bahwa ayat yang turun kemudian telah membatalkan
kandungan ayat sebelumnya, akibat kondisi sosial.[2]
B. Pengertian
Nasikh-Mansukh
Secara etimologis nasikh
mansukh(منسوخ – نسخ) berasal dari akar kata nasakha-yansukhu-naskhun (نسخ – نسخ
– نسخ). Nasikh
adalah isim fa’il dari nasakha dan mansukh adalah isim maf’ulnya. Dalam bentuk
masdar, naskun berarti al izala (اإلزالة) dengan
pengertian menghilangkan sesuatu dengan sesuatu yang mengikutinya (يتعقبهشيءبشيءاإلزالة) seperti matahari menghilangkan bayang- bayang ( الظلالشمسإزالة)
. [3]
Naskh mengandung dua makna, yaitu:
1.
Mengilangkan sesuatu dan meniadakannya (izalah
asy-syai’wa I’damuh) dalam Al-Qur’an Surat Al-Hajj 52:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَلَا
نَبِيٍّ إِلَّا إِذَا تَمَنَّى أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنْسَخُ
اللَّهُ مَا يُلْقِيالشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آيَاتِهِ وَاللَّهُ
عَلِيمٌ حَكِيمٌ
"Dan Kami
tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi,
melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan
godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkanapa yang dimasukkan
oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana."(Q.S. Al-Hajj
22:52)
2.
Memindahkan
sesuatu atau mengubanya,tetapi substansinya tetap, seperti mengolah madu
menjadi bentuk lain demikian pula tansulah al-mawarith, artinya
berpindahnya warisan dari satu kaum kepada kaum yang lain.[4]
Menurut Moenawar Kholil berpendapat
bahwa kata “Nasikh” artinya penganti, penukar atau penghapus dan kata “Mansukh”
artinya yang diganti, ditukar atau dihapuskan. Sehingga, kalau ada orang yang mengatakan ayat ini mansukh,
artinya ayat ini telah diganti atau ditukar dengan ayat lain yang nasikh.
Maksudnya, kalau ayat yang “nasikh” dan ada yang mansukh itu bersankut-paut
dengan hukum haram dan halal, maka yang nasikh itu yang menganti atau yang dihapuskan.[5]
Adanya perbedaan pendapat dalam mengartikan
nask ini disebabkan arti secara bahasa
dan istilah terapat ikatan yang sulit diberikan batasaannya. Pendapat
yang masyhur tentang naskh ini adalah raf al-ukm al-syari’at bid dalil
asy-syar’i. Definisi tersebut akan membawa pada pengertian bahwa naskh itu
menandung arti izalah dan raf’. Selanjutnya, apabila hukum syar’i hanya bisa
dihapus oleh hukum syar’i maka akan timbul persoalan, apakah naskh hanya
berlaku antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an saja, tidak dengan sunnah.[6]
Bagi para ulama yang menyetujui
adanya naskh dalam syari’at Islam, masih terdapat perbedaan antara mereka dalam
menentukan sampai di mana batas berlakunya nasihk dan mansukh itu. Sebagian
berpendapat bahwa wilayah nasikh apat terjadi antara uraian dalam Al-Qur’an
denan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan As-Sunnah dan As-Sunnah dengan Al-Qur’an.
Para ulama berpendirian bahwa ucapan Rasul itu pun bukan keluar begitu saja
tetapi semuanya bersumber pada wahyu Allah yan dijelaskan dalam surat (Q.S.
An-Najm: 3)
وَمَا
يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى, إِنْهُوَإِلَّاوَحْيٌيُوحَى
"Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)."(Q.S.
An-Najm 53: 3-4)
Ada yang
berpendapat bahwa Al-Qur’an dapat di-nask-an Al-Qur’an saja, dan dengan alasan
yang dipegunakan adalah firman Allah (Q.S. An-Nahl: 101 dan Q.S. Al-Baqarah:
106).
وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ
آيَةٍ ...(101)
"Dan
apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain…"(Q.S.
An-Nahl 16:101)
مَا
نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (106)
"Ayatmanasaja
yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupakepadanya, Kami datangkan
yang lebihbaikdaripadanyaatau yang sebandingdengannya…"(Q.S.
Al-Baqarah 2: 106)
Disamping itu, ada pula ulama yang menolak adanya nasikh
dan mansukh dalam Al-Qur’an, yaitu Muhammad ibn Bahr yan lebih dikenal dengan
Abu Muslim Al-Asfahany, seorang mufasir Mu’tazilah dan beliau menulis sebuah
kitab berjudul Jam’Al-Takwil. Ia tidak menerima adanya naskh karena hal
tersebut bertentangan dengan firman Allah:
لَا
يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ
حَكِيمٍ حَمِيدٍ (42)
"Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan
maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi
Maha Terpuji."(Q.S. Fushilat 41: 42)
Menurutnya,
arti naskh di sini bukan al-izala atau al-i’dam tetapiat-taksis. Tampaknya, Abu
Muslim berusaha menjaukan diri dari pernyataan membatalkan ukum Al-Qur’an yang
diturukan Allah.[7]
Pengembangan dalam pembahasan ini
sangat tergantung pada konsepsi awal tentang ada-tidaknya nasikh-mansukh dalam
al-Qur’an. Sebab beberapa kalangan tetap meyakini bahwa dalam sejara al-Qur’an
tidaklah terdapat apa yang dinamakan dengan nasikh-mansuk ini.[8]
Berkaitan
dengan ada dan tidaknya naskh dalam Al-Qur’an, ini tidak lain dengan melihat
bahwa ada suatu hukum, lalu ada perubahan, pengantian, dan penambahan. Inilah
yang menyebabkan adanya kesimplan tentang keberadaaan naskh.
Untuk memastikan bahwa telah terjadi proses
nasikh-mansukh dalam al-Qur’an maka harus dipastikan beberapa hal, bahwa
naskhharus memenuhi empat syarat:
a.
Hukum yang
dinasikh harus hukum syar'i, bukan hukum aqli.
b.
Dalîl syar'i
yang menasakh haruslah datang kemudian dari dalîl
syar'i yang dinasakh. Dan antara keduanya terdapat ق pertentangan yang hakiki ( التعارضالحقيي ) yang sama sekalitidak mungkin
dikompromikan dengan metode apapun termasuk dengan takhshîsh atau at-tadarruj
fi at-tasyrî'.
c.
Khithâb yang diangkat hukumnya tidak boleh merupakan khithâb yang dikaitkan
dengan waktu tertentu, karena hukum akan berhenti dengan sendirinya apabila
waktunya sudah habis, hal seperti ini tidak dinamai naskh.
d.
Naskhhanyaadapadamasalahhokumsemata.Dengandemikiantidakadanaskhuntukmasalahaqidah,
sejarah, tentangalamsemestadan lain-lain yang tidakbersifathukum.[9]
Dalam mengetahui naskh, seseorangharus mengetahui lebih
dahulu dua halpenting, yaitu mana nash yang nasikh dan mananash
yang mansukh. Menurut Al-Zarqany menjelaskan beberapa cara
dalammengetahuinya:
a. Harus ada keterangan di antara dua nash yang
menunjukkan atas ditentukannya nash yang datang kemudian, seperti QS.
Al-Mujadilah/58: 13.
أَأَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدِّمُوا
بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ
عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ
وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Apakah
kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum
mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan
Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat,
taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
Ayat di atas me-naskh ayat
sebelumnya, yakni QS. Al-Mujadilah/58: 12.
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ
نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا
فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Hai
orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul
hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan
itu. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak
memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”
b.
Harus ada ijma' ummah yang sah pada saat
tertentu atas penentuan nash yang datang lebih dahulu dan nash yang
datang kemudian.
c.
Harus ada keterangan yang menjelaskan tentang
ditentukannya salah satu nash dari dua nash yang bertentangan
dalam kedatangannya, lebih dahulu atau lebih akhir, dari sumber yang benar,
dari salah satu sahabat, seperti dikatakan, misalnya, ayat ini diturunkan
sebelum ayat ini atau ayat ini diturunkan pada tahun sekian dan tahun itu
diketahui mendahului turunnya ayat yang bertentangan dengan ayat tersebut atau
tahun itu diketahui sesudah turunnya ayat tersebut.[10]
C. Bentuk-bentuk
nasikh-mansukh dalam
Al-Qur’an
Secara
doktrinal, mushaf yang ada di tangan kita sekarang ini, telah mencakup
keseluruhan wahyu Tuhan yang diterima Nabi Muhammad SAW. Namun demikian,
sejumlah riwayat yang menyebutkan bahwa ada beberapa wahyu lainnya yang tidak
terekam secara tertulis di dalam mushaf resmi Utsmani. Pengetahuan masalah ini
banyak ditemukan dalam beberapa bahasan yang secara khusus berbicara tentang
nasikh dan mansukh dalam Al-Qur`an.
Atas dasar itulah, para ulama ketika membahas masalah nasikh dan mansukh
membagi nasikh kedalam tiga kategori utama, yaitu pertama, wahyu yang terhapus,
baik hokum maupun teksnya di dalam mushaf (naskh al-hukm wa al-tilawah
jami`an); kedua, wahyu yang terhapus teks atau bacaannya saja, sedangkan
hukumnya masih tetap berlaku (naskh al-tilawah duna al-hukm); dan ketiga, wahyu
yang hanya terhapus hukumnya, sementara teks atau bacaannya masih terdapat di
dalam mushaf (naskh al-hukm duna al-tilawah).
Tipe yang disebutkan pertama adalah unit-unit wahyu yang teksnya masih
sempat direkam dalam sejumlah propetologia, tetapi baik teks maupun hukumnya
dinyatakan terhapus (naskh al-hukm wa al-tilawah jami`an). Dalam beberapa riwayat, tipe yang pertama ini diakui
eksistensinya sabagai bagian dari Al-Qur`an pada masa tertentu. Contoh yang
sering disebut diantaranya adalah riwayat yang datang dari `Aisyah tentang
terjadinya muhrim karena sepuluh kali susuan, kemudian di naskh dengan lima
kali susuan.`Aisyah mengatakan:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَاقَالَتْ كَانَ فِيْمَا أُنْزِلَ
مِنَ اْلقُرْأَنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُوْمَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمّ نُسِخْنَ
بِخَمْسِ مَعْلُوْمَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَهُنّ فِيْمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْأَنِ
“Aisyah
berkata :”Diantara yang diturunkan kepada beliau adalah sepuluh susuan yang
diketahui (ma`lum) itu menyebabkan muhrim, kemudian ketentuan ini di naskh oleh
lima susuan yang diketahui (ma`lum). Maka ketika Rasulullah saw meninggal
dunia, lima susuan ini (hokum yang terakhir) tetap dibaca sebagai bagian dari
teks Al-Qur`an”.
Hadist diatas
adalah hadist shahih, meskipun berstatus mauquf, yaitu disandarkan kepada
`Aisyah, meskipun demikian, hadist tersebut dihukumi sebagai marfu`, yaitu
setingkat dengan hadist yang dtang dari Nabi Muhammad saw.
Kata-kata `Aisyah `lima susunan ini termasuk ayat al-Qur`an yang
dibaca`, secara zhahir dapat dipahami bahwa tilawahnya masih tetap, padahal
tidak demikian sebab teks tersebut tidak terdapat di dalam mushaf resmi
Ustmani. Yang jelas bahwa teks ayat tersebut juga telah dinaskh. Hal ini baru
diketahui masyarakat setelah meninggalnya Rasulullah SAW, sementara sebagian
dari mereka masih membacanya.
Kata-kata `Aisyah `lima susunan ini termasuk ayat al-Qur`an yang
dibaca`, secara zhahir dapat dipahami bahwa tilawahnya masih tetap, padahal
tidak demikian sebab teks tersebut tidak terdapat di dalam mushaf resmi
Ustmani. Yang jelas bahwa teks ayat tersebut juga telah dinaskh. Hal ini baru
diketahui masyarakat setelah meninggalnya Rasulullah SAW, sementara sebagian
dari mereka masih membacanya. Contoh senada juga dapat dilihat dalam
riwayat Bukhari Muslim, sebagai berikut:
لَوْاِنّ لإِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنَ
مَالٍ لاَبْتَغَى وَادِيًا ثَالِثًا وَلَا يَمْلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلّا
التُرَابُ وَيَتُوْبُ اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ
“Seandainya
anak adam (manusia) memiliki dua gunungan harta kekayaan, maka akan meminta
tambah untuk ketiga kalinya dua gunungan harta kekayaan itu, tetapi hanya debu
yang akan memenuhi perutnya. Dan Allah akan mengampuni orang-orang yang kembali
(bertaubat) kepada-Nya”
Ubay
bin Ka`ab memasukkan ayat ini dalam mushafnya diantara ayat 24 dan 25 dari QS.
Yunus (10). Menurut sejumlah sahabat seperti Abu Musa al-Asy`ari, berpandangan
bahwa hadist diatas termasuk bagian dari Al-Qur`an yang diwahyukan, tetapi pada
masa belakangan telah di naskh. Dilihat dari segi rima (taqfiyah), tampak bahwa
ayat tersebut tidak cocok disisipkan pada surat yang dimaksud. Sebab, ayat-ayat sebelum dan sesudahnya rata-rata
berirama dalam un (takfurun), kecuali ayat 25 yang berirama -im (atau -in,
mustaqim). Labih jauh, kata-kata yang digunakannya secara jelas menunjukkan
asal-usulnya sebagai hadist. Bahkan, ungkapan ibn Adam, sebagaimana
Schwally, merupakan ungkapan yang asing bagi Al-Qur`an.[11]
Di
samping itu, dalam riwayat Bukhari dari Ibn Zubair, ayat diatas hanya disebut
sebagai hadist Nabi Muhammad SAW, bukan wahyu Al-Qur`an. Ada juga hadist yang
hampir sama dengan hadist diatas yang dirawikan oleh Anas r.a. katanya Kami
pernah membicarakan di masa Rasulullah SAW. Surat termasuk surat Taubah. Yang
aku hafal bukan hanya satu ayat. Diantaranya ayat yang berbunyi:
وَلَوْلَا إِنَّ لإبْنِ آدَمَ وَادِيْنَ
مِنْ ذَهْبٍ لَايَبْتَغِى إِلَيْهَا رَابِعًا وَلَا يَمْلَأُ جَوْفِ اِبْنِ آدَمَ
إِلّا التُرَابُ وَيَتُوْبُ اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ
“Kalau
tidaklah, bahwa untuk anak Adam ini dua buah lembah emas, maka dia masih
meminta yang keempatnya. Rongga perut anak Adam ini tidak akan penuh kecuali
tanah. Bertaubatlah kepada Allah orang-orang yang bertaubat.”
Kata
Ibnu Mas`ud, Rasulullah pernah membacakan sepotong ayat kepadaku, lalu aku
hafal dan aku tuliskan pada mushafku. Setelah hari malam aku lihat kembali
mushafku itu, dan tidak ada sesuatu yang tampak. Dan keesokan paginya diatas mushafku itu ada selembar kertas putih. Hal
ini aku beritahukan kepada Nabi Muhammad SAW. Kata Nabi Muhammad SAW: Hai Ibnu
Mas`ud, kemarin sudah diangkat (dibuang).
Apa yang aku alami ini hampir saja aku tunjukkan
kepada Nabi Muhammad SAW supaya dia menyingkapkan rahasia itu. Allah Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui.tidak ada tulisan yang ditulis oleh tangan
manusia yang dikatakan sama rata, atau yang ditulis itu dapat dibatalkan.
Rasulullah SAW menyampaikan hadist ini kepada kaum Muslimin dan membacakan
wahyu langit kepada mereka itu. Rasulullah pernah mengingkari apa-apa yang
disampaikan orang kepadanya itu secara berturut-turut, karena ingin untuk
menyelamatkan wahyu dari menghafal yang lainnya itu.
Berapa banyaknya orang salah dengar tentang wahyu atau
hadist. Tapi hanya sedikit yang ditolak untuk diselamatkan ketika dia menemui
Rasulullah SAW dan sahabat yang mempunyai bashirah (melihat dengan mata hati)
apakah dia wahyu atau apakah dia hadist. Keduanya ini
harus cepat-cepat dibetulkan. Harus cepat-cepat didudukan persoalannya. Setelah
tiba waktunya Allah menerangkan kepada Rasulullah SAW tujuan akhir dari
Al-Qur`an.
Selain
itu diriwayatkan pula bahwa dalam mushaf Ubay pada surat al-Bayyinah (98)
terdapat ayat yang berbunyi sebagai berikut:
إِنّ ذَاتَ
الدّيْنِ عِنْدَ اللهِ الْخَلِيْفَةِ الْمُسْلِمَةِ لَا اْليَهُوْدِيّةُ وَلَا
النّصْرَنِيّةُ مَنْ يَعْمَلْ خَيْرًا فَلَنْ يُكْفَرَ
“Sesungguhnya
Agama di sisi Allah SWT adalah al-hanifiyyah, bukan Yahudi bukan pula Nashrani.
Maka barang siapa yang berbuat baik, tidak akan diingkari jerih payahnya.”
Rima
ayat diatas yakni-ah hingga taraf tertentu, bisa dikatakan relatife cocok
dengan rima ayat-ayat dalam surat al-Bayyinah (98). Tetapi, kalau ayat ini
betul-betul bagian dari Al-Qur`an, maka bentuk awalnya pasti agak berbeda,
karena kata-kata hanifiyyah, yahudiyyah, dan nashraniyyah, dalam kasus ayat ini
terlihat merupakan kata bentukan yang asing dalam pemakaian kitab suci
tersebut. Kata hanifiyyah misalnya, dalam Al-Qur`an tidak pernah digunakan.
Hanya saja yang sering digunakan adalah hanifan, atau hunafa. Demikian juga,
kata yahudiyyah dalam Al-Quran juga tidak pernah digunakan, yang digunakan
adalah al-yahud dan yahudiyyan. Sama halnya dengan dua kata yang telah
disebutkan, kata nashraniyyah juga tidak pernah digunakan dalam Al-Qur`an,
tetapi yang sering digunakan adalah kata nashrani dan nashara.
Riwayat
lain juga mengatakan bahwa Maslamah ibnMukhallad al-Anshari pernah membacakan
dua ayat berikut ini kepada temannya sebagai bagian dari Al-Qur`an. Namun,
keduanya di dalm mushaf Utsman tidak ditulis. Kedua ayat tersebut adalah
sebagai berikut:
ان الذين أمنوا
وهاجروا وجاهدوا فى سبيل الله بأ موالهم وأنفسهم ألا ابشروا انتم المفلحون –
والذين اووهم ونصرهم وجادلوا عنهم القوم الذين غضب الله عليهم اولائك لا تعلم نفسا
ما أخفى لهم من قرة أعين جزاء بما كانوا يعلمون
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjuang di jalan Allah dengan
harta dan jiwa mereka, maka bergembiralah kamu, karena sesungguhnya kamu adalah
orang-orang yang beruntung. Dan orang-orang yang member tempat kediaman dan
membantu serta berperang bersama mereka melawan kaum yang dikutuk Tuhan, maka
tak satu jiwa pun yang mengetahui apa yang disimpankan untuk mereka dari berbagai
hal yang menyenangkan pandangan mata, sebagai balasan terhadap apa yang telah
mereka lakukan.”
Kedua
ayat diatas menurut penilaian Adnan Amal dalam keseluruhan kasus, menggunakan
kata yang banyak digunakan di dalam Al-Qur`an. Menurutnya, perubahan gramatik
kata ganti orang seperti tercermin di dalamnya, juga sering digunakan di dalam
Al-Qur`an. Tetapi penggunaan konstruksi (tarkib) ala dengan bentuk imperative
(`amr) dalam ayat pertama tidak pernah muncul dibagian manapun dari Al-Qur`an.
Di samping itu, bunyi kedua ayat di atas lebih merupakan gabungan dengan
sedikit tambahan dari QS. Al-Anfal/8:72 dan QS. Al-sajdah/32:17, tang
barangkali dilakukan Maslamah untuk menonjolkan para sahabat Nabi berhadapan
dengan pemimpin dinasti Umayyah, Mu`awwiyah.
Kategori
kedua adalah beberapa unit wahyu yang terhapus teks atau bacaannya, tetapi
hukumnya masih berlaku (naskh al-tilawah duna al-hukm). Contoh yang sering
muncul dalam literature adalah ayat rajam, ayat al-rajm yang mengungkapkan
bentuk hukuman rajam bagi orang yang berzina. Dalam beberapa riwayat dinyatakan
bahwa Umar bin Khattab memandangnya sebagai bagian dari teks Al-Qur`an. Adapun
ayat al-rajm tersebut berbunyi sebagai berikut:
اَلشّيْخُ
وَالشّيْخَةُ إِذَا زَيَنَا فَارْجُمُوْهُمَا البَتّةَ نَكَالًا مِنَ اللهِ
وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
“Apabila seorang laki-laki dewasa
dan seorang perempuan dewasa berzina, maka rajamlah keduanya, itulah kepastian
hukum dari Tuhan dan Tuhan Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”
Dalam beberapa
riwayat dinyatakan bahwa teks ayat di atas termasuk bagian dari teks Al-Qur`an
yang dinaskh. Menurut riwayat tersebut bahwa posisi semula ayat ini berada di
dalam QS. Al-Ahzab (33). Tetapi, gagasan terlihat tidak logis, karena ayat-ayat
dalam surat tersebut berirama dalam -`a, sedangkan ayat diatas berirama –im.
Sementara itu, dalam riwayat Bukhari menyatakan bahwa posisi semula ayat
tersebut di dalam QS. Al-Nur (24).
Riwayat kedua ini lebih logis dibandingkan yang pertama. Sebab, disamping
memiliki kecocokan rima, dalam QS. Al-Nur (24) salah satunya berisi tentang
perbuatan zina yang dilakukan laki-laki dan wanita. Namun, terdapat perbedaan
antara keduanya, di mana dalam QS. Al-Nur (24), terdapat batasan terhadap
hukuman perbuatan zina dengan cambukan, sementara dalam ayat di atas tidak demikian.
Di sisi lain secara fraseologis, term al-syaikh, al-syaikhah, dan albattah,
tidak pernah digunakan dalam Al-Qur`an. Dengan demikian, keberadaan ayat di
atas sebagai bagian dari teks Al-Qur`an sangat meragukan.
Demikian juga hadis yang diriwayatkan Bukhari dari Anas bin Malik
tentang kisah orang-orang yang dibunuh dalam pertempuran Bi`r Ma`una, sehingga
Rasulullah berqunut untuk mendoakan para pembunuh mereka. Anas bin malik
berkata: “Berkenaan dengan mereka, turunlah ayat Al-Qur`an yang kami baca sampai
ia dihapuskan (rafa`a) kembali”. Ayat tersebut berbunyi:
أَنّ بَلّغُوْا عَنّا قَوْمَنَا بِأَنّا قَدْ لَقِيَنَا رَبّنَا فَرَضِيَ
عَنّا وَأَرْضَانَا
“sampaikanlah kepada kaum kami bahwa kami telah
bertemu Tuhan kami, dan dia ridha kepada kami serta kami pun ridha kepadanya.”
Teks ayat di atas terdapat di dalam beberapa riwayat
dengan sedikit perbedaan redaksi dan kebanyakan dituturkan dalam bentuk hadist.
Kenyataan ini jelas membuktikan bahwa asal-usulnya sebagai bukan bagian dari
teks Al-Qur`an, meskipun secara fraseologis hampir mirip dengan Al-Qur`an.
Kategori yang terakhir dari nasikh mansukh adalah
wahyu yang hanya terhapus hukumnya, sementara teks atau bacaannya masih
terdapat dalam mushaf (naskh al-hukm duna al-tilawah). Bentuk naskh yang
terkahir ini merupakan materi yang banyak dibahas oleh para sarjana klasik
maupun kontemporer dalam beberapa karyanya. Menurut kami
bahwa jenis ini adalah yang paling relevan dengan kosep nasikh mansukh.
Contoh
naskh ini adalah pada Surat Al-Mujadilah ayat 12 dinasakh oleh Surat yang sama
ayat 13 berikutnya. Yang dinasakh hanyalah hukumnya, sedangkan tilawah keduanya
tetap ada dalam mushaf Utsmani.
يَا أَيّهَا الّذِيْنَ أَمَنُوْا إِذَا
نَاجَيْتُمُ الرّسُوْلَ فَقَدّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذلِكَ
خَيْرٌ لَكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوْا فَإِنّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Hai orang-orang beriman, apabila
kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan
sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu lebih
baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan
disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.
Al-Mujadilah 58:12)
ءَأَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدّمُوْا بَيْنَ
يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوْا وَتَابَ اللهُ عَلَيْكُمْ
فَأَقِيْمُوْا الصّلَاةَ وَآتُوْا الزّكَاةَ وَأَطِيْعُ اللهَ وَرَسُوْلَهُ
وَاللهُ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
“Apakah
kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum
mengadakan pembicaraan dengan Rasul ? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan
Allah telah member taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat,
taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
(QS. Al-Mujadilah 58:13)
Hukum
memberikan sedekah terlebih dahulu kepada orang miskin sebagai syarat untuk
dapat berbicara secara khusus dengan Rasulullah SAW pada ayat 12 diatas,
dinasakh oleh ayat 13 berikutnya sebagai keringanan bagi umat.[12]
Pembagian Naskh ada empat bagian: pertama,
nask al-Qur’an dengan al-Qur’an. Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah
terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh. Misalnya, ayat
tentang idah empat bulan sepuluh hari.
Kedua,
naskh al-Qur’an dengan sunnah. Naskh ini ada dua macam: a. Naskh al-Qur’an
dengan hadits ahad. Umhur berpendapat, al-Qur’an tidak boleh disakhkan oleh
hadist ahad zanni, bersifat dugaan, di samping tidak sah pula
mengahpuskan sesuatu yang ma’lum (jelas diketahui) dengan yang maznun
(diduga). b. Naskh Al-Qur'an dengan hadits mutawâtir, dalam hal ini para
ulama berpeda pendapat. Imâm Mâlik, Abu Hanîfah dan Ahmad dalam suatu riwayat
membolehkannya karena keduanya adalah wahyu sebagaimana dinyatakan oleh Allah
SWT:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ
يُوحَى
"Dan
tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)."(Q.S.
An-Najm 53: 3-4)
Dan juga
berdasarkan firman Allah SWT:
بِالْبَيِّنَاتِوَالزُّبُرِوَأَنْزَلْنَاإِلَيْكَالذِّكْرَلِتُبَيِّنَلِلنَّاسِمَانُزِّلَإِلَيْهِمْوَلَعَلَّهُمْيَتَفَكَّرُونَ
"….
dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan."(Q.S.
An-Nahl 16: 44)
Dalam
pada saat itu asy-syafi’I, ahli Zahir dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain
menolak naskh seperti ini, berdasarkan firman Allah:
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا
نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ...
“Ayat mana saja
yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupakepadanya, Kami datangkan
yang lebihbaikdaripadanyaatau yang sebanding dengannya…" (Q.S. Al-Baqarah/2: 106). Sedan hadits tidak lebih baik dari atau
sebanding dengan al-Qur’an.
Ketiga, Naskh As-Sunnah dengan Al-Qur'an, Jumhur ulama membolehkan naskh as-Sunnah
dengan Al-Qur'an. Shalat menghadap Baitul Maqdis ditetapkan dengan as-Sunnah,
lalu dinasakh oleh Al-Qur'an:
قَدْنَرَىتَقَلُّبَوَجْهِكَفِيالسَّمَاءِفَلَنُوَلِّيَنَّكَقِبْلَةًتَرْضَاهَافَوَلِّوَجْهَكَشَطْرَالْمَسْجِدِالْحَرَامِوَحَيْثُمَاكُنْتُمْفَوَلُّواوُجُوهَكُمْشَطْرَهُ
"Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit,
maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Maka
palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada,
palingkanlah mukamu ke arahnya ..."(Q.S. Al-Baqarah 2:144)[13]
Keempat, Naskh As-Sunnah
dengan As-Sunnah, Ada empat macam naskh as-Sunnah
dengan as-Sunnah: a. Naskh mutawâtir dengan mutawâtir; b. Nasakh
âhâd dengan âhâd
; c. Naskh âhâd dengan
mutawâtir; dan d. Naskh mutawâtir
dengan âhâd. Tiga bentuk pertama dibolehkan. Sedangkan bentuk
keempat, jumhur ulama tidak membolehkannya.[14]
D. Hikmah adanya nasikh-mansukh
Syariat Islam datang untuk menyempurnakan syariat yang
datang sebelumnya al ini menunjukkan keutamaan dankesempurnaan Islam
itu. Syariat Muhammad SAW. secara langsung tela menasakhkan syariat yang dibawa
oleh nabi-nabi sebelumnya. Alasan yang jelas adalah bahwa tuntunan kebutuhan
manusia terus berkembang sesuai dengan tingkat perkembangan keadaan
masing-masing.
Adapun
macam-macam hikmah yang dapat ditarikdari nasikh-mansukh ini, Antara lain:
1.
Hukum nasikh lebih
berat dari mansukh
Sebagai alasan
adanya naskh yang membawa hukum yang lebih berat bertujuan
untuk membawa umat ke derajat yang lebih tingi akhlak dan tingkat peraabannya.
Pada mulanya mereka cukup untuk meningalkan kebiasaan yang sudah lama seperti
kasus minum khamar. Pada mulanya masik dinyatakan bahwa khamar mengandung
manfaat akan tetapi dosanya lebih berat dari manfaatnya, kemudian khamar
diharamkan sama sekali.
2.
Hukum nasikh
lebih ringan dan mansukh
Hikmah jenis kedua ini bertujuan untk memberikan keringanan kepada
hamba-Nya dan menunjukkan karunia Allah SWT. rahmat-Nya. Dengan demikian,
hamba-Nya dituntut untuk lebih memperbanyak syukur, memuliakan, dan mencintai
agama-Nya.
3.
Hukum nasikh
sama beratnya dengan mansukh
Sebagai kebalikan dari pertama dan kedua, dalam bagian ketiga ini nasikh
dan mansukh tidak memberikan petunjuk mana yang lebih ringan dan berat. Para
ulama menasirkan hikmanya untuk menjadi cobaan bagi hamba-Nya sekaligus sebagai
pemberitaan untuk menuji siapa di antara mereka yan betul-betul beriman. Siapa
yang beriman berarti dia akan selamat dan siapa yang menadi munafik. Pemisahan
antara yang betul-betul beriman menjadi faktor utama.
Kajian tentang nâsikh
mansûkh sangat penting sekali dalam kajian Islam, terutama dalam bidang
fiqh karena menyangkut ketetapan hukum. Lebih-lebih lagi dalam menyelesaikan
kasus ayat-ayat yang terdapat pertentangan satu sama lain, dan tidak ada cara
untuk menyelesaikannya kecuali dengan meneliti kronologi turunnya, mana yang
lebih dahulu turun dibandingkan dengan yang lain, sehingga dapat ditentukan
mana yang nâsikh dan mana yang mansûkh. Itulah sebabnya kenapa
para ulama pada masa yang lalu sangat memperhatikan hal ini. Betapa pentingnya
ilmu ini dapat dilihat dari penafsiran Ibn 'Abbâs tentang makna al-hikmah pada
ayat berikut ini:
…..وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ
خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
"… dan barangsiapa yang
dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang
banyak..."(Q.S. Al-Baqarah 269)
Menurut Ibn
'Abbâs, yang dimaksud dengan hikmah dalam ayat ini adalah "pengetahuan
tentang nâsikh mansûkh, muhkam mutasyâbih, kronologi turunnya
ayat-ayat Al-Qur'an dan pengetahuan tentang halal dan haram dalam
Al-Qur'an".
Adanya nâsikh
mansûkh ini juga memberikan keuntungan kepada umat Islam. Jika pengganti
hukum yang dihapus ternyata lebih berat daripada yang diganti akan memberikan
tambahan pahala kepada umat yang melaksanakannya. Jika pengganti lebih ringan
akan memberikan kemudahan dan keringanan kepada umat.[15]
Al-Maraghi
menjelaskan hikmah adanya naskh dengan menyatakan bahwa: “Hukum-hukum tidak
diundang kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda
akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada satu hokum yang
diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuan yang mendesak (ketika itu)
kemudian kebutuhan tersebut berakhir, maka merupakan suatu tindakan bijaksana
apabila ia di-naskh (dibatalkan) dan diganti dengan hokum yang sesuai dengan
waktu, sehingga dengan demikian ia menjadi lebih baik dari hokum semula atau
sama dari segi manfaatnya untuk hemba-hamba Allah.”[16]
Berkaitan dengan
itu, Allah SWT senantiasa telah memelihara dan mempertimbangkan konisi yang ada
dimasyarakat. Teradinya perubahan hukum yang diberlakukan kepada manusia tiada
lain berdasarkan kondisi yang terjadi dan supaya kemaslahatan tetap teramin.
Akan tetapi, tidak berarti bahwa Allah tidak mengetahui kejadian yang akan
terjadi, justru di sinilah kelebihan islam, yakni menetapkan hukum secara
berangsur-angsur. Oleh karena itu, persoalan nasikh hanya berlaku pada masa
Rasulullah masih hidup makna setelah Rasulullah SAW. itu wafat, tidak ada lagi
nasakh.
Menurut Muhammad
Said Ramadhan AL-Buthi, diantara hikmah adanya konsep naskh adalah berkaitan
dengan pemeliharaan kemaslahatan umat manusia, sekaligus menunjukkan
fleksibilitas hokum berlakunya suatu hokum telah selesai menurut kehendak
syar’i, maka datang tahapan berikutnya, sehingga kemaslahatan manusia tetap
terpelihara.[17]
E. Contoh-contoh
Nasakh
As-Suyuti menyebutkan dalam al-Itqan sebanyak dua puluh satu ayat
yang dipandangnya sebagai ayat-ayat mansukh diantaranya sebagai berikut:
1.
Firman
Allah:
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ
وَجْهُ اللَّهِ …
“Dan
kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah
wajah Allah……” (al-Baqarah/2: 115)
...فَوَلِّ
وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ...
“………Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil
Haram……” (al-Baqarah/2:
144).
Telah dikatakan, dan inilah yang benar, bahwa ayat pertama tidak dinasakh
sebab ia berkenan dengan salat sunnah saat alam perjalanan yang dilakukan di
atas kendaraan, uga dalam keadaan takut dan darurat. Dengan demikian, hukum
ayat ini tetap berlaku, sebagaimana dielaskan dalam as-Sahihain. Sedang
ayat kedua berkenaan dengan shalat fardhu lima waktu. Dan yang benar, ayat
kedua ini menasakhkan perintah menghadap ke Baitul Maqdis ayat ditetapkan dalam
sunnah.
2.
Firman Allah:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ
خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ.....
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya....” (al-Baqarah/2: 180).
Dikatakan, ayat ini mansukh oleh ayat tentang kewarisan dan oleh hadis,
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang mempunyai hak
akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.”
3.
Firman Allah:
...وَعَلَى الَّذِينَ
يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ...
“...bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah...” (al-Baqarah/2: 184). Ayat ini dinasakh oleh:
...فَمَنْ شَهِدَ
مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ...
“...Karema
itu, barang siapa diantara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah...” (al-Baqarah/2: 185).
Hal ini berdasarkan keterangan dalam as-Sahihain, berasal
dari Salamah bin Akwa’, “ketika turun Surah al-Baqarah/2: 184, maka orang yang
ingin tidak berpuasa, ia membayar fidyah, sehingga turunlah ayat sesudahnya
yang menasakhkannya.”
Ibn abbas berpendapat, ayat pertama adalah muhkan, tidak mansukh. Bukhori
meriwayatkan dari 'Ata', bahwa ia mendengar Ibn Abbas membaca: "Dan bagi
mereka yang kuat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah,
memberi makan seorang miskin." Ibn Abbas mengatakan, ayat ini dimansukh,
tetapi tetap berlaku bagi mereka yang telah lanjut usia yang tidak lagi sanggup
berpuasa. Mereka boleh tidak berpuasa dengan memberikan makanan kepada seorang
miskin pada setiap harinya. Dengan demikian, maka makna يطيقونه bukanlah يستطيعونه
(sanggup menjalankannya). Tetapi maknanya ialah "mereka sanggup
menjalankannya dengan sangat susah payah dan memaksakan diri."
Sebagian ulama berpendapat, ayat tersebut mengadung لا النافية (huruf yang menyatakan "tidak")
sehingga artinya ialah: وعلى الذين لا يطيقونه
(dan wajib bagi orang-orang yang tidak sanggup berpuasa...)
4.
Firman Allah:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ
فِيهِ كَبِيرٌ...
“Mereka bertanya
kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam
bulan itu adalah dosa besar...” (al-Baqarah/9:
217).
Ada yang
berpendapat, keumuman perintah berperang dalam ayat ini arus diartikan sebagai
perintah berperang diluar bulan-bulan haram. Karena itu dalam hal ini tidak ada
nasakh.
5.
Firman Allah:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا
وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu
dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu)
diberi nafkah hingga setahun lamanya tanpa mengeluarkannya (dari rumah)...” (al-Baqarah/2: 240). Ayat ini dinasakh oleh:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا...
“Orang-orang yang
meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para
isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari...” (al-Baqarah/2: 234).
Ada yang berpendapat, ayat pertama muhkam, sebab ia berkaitan dengan
pemberian wasiat bagi istri jika istri itubtidak keluar dari rumah suami dan
tidak kawin lagi. Sedangkan ayat kedua bereknaan dengan masalah 'iddah. Dengan
demikian maka tak ada pertentangan antata kedua ayat itu.
6.
Firman Allah:
وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ
بِهِ اللَّهُ فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ
"Dan jika kamu
melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah
akan membuat perhitungannya (tentang perbuatan itu) bagimu...” (al-Baqarah/2: 284). Ayat dinaskakh oleh firman-Nya: “
...لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا
وُسْعَهَا...
“Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya...” (al-Baqarah/2: 286).
7.
Firman Allah:
وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ
"Dan
apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka
berilah mereka dari harta itu (sekedarnya)...” (an-Nisa’/4: 8).
Ayat ini dinaskh oleh mawaris. Namun adayang berpendapat,
dan inilah yang benar, ayat tersebut tidak mansukh, dan hukumnya tetap berlaku
sebagai anjuran.
8.
Firman Allah:
وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ
فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا
فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ
اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا . وَاللَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآذُوهُمَا
فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَا...
“Dan
(terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat
orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah
memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah
sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di
antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya
bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka...” (an-Nisa’/4: 15-16). Kedua ayat ini dinaskh oleh ayat
dera bagi yang belum nikah sebagaimana dijelaskan dalam ayat:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا
مِائَةَ جَلْدَةٍ...
"Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera...” (an-Nur/24: 2),
Dan oleh hukuman dera bagi yang belum nikah dan hukuman rajam bagi yang
telah nikah seperti ditetapkan dalam sunnah, “perzinahan antara bujang dengan
perawan itu didera seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Sedankan
perzinaan antara duda dengan janda didera seratus kali dan dirajam.
9.
Firman Allah:
...إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ
يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ...
"...Jika
ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh...” (al-Anal/8: 65). Ayat ini dinaskh oleh ayat berikutnya:
الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا
فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ
"Sekarang
Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa padamu ada
kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka
akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada ratus
orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu ratus (orang musuh)...” (al-Anfal/8: 66).
10. Firman Allah:
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا...
"Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun
berat...” (at-Taubah/9: 41). Ayat ini dinaskh oleh firman-Nya:
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلَا عَلَى الْمَرْضَى...
"Tiada
dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang
yang sakit...” (at-Taubah/9:
91), dan ole firman-Nya:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً...
“Tidak sepatutnya
bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang)...” (at-Taubah/9: 122).
Dalam hal ini ada yang berpendapat, ayat tersebut
termasuk kategori takhsis, bukan naskh. Dan contoh-contoh lainnya telah dikemukakan oada bagian
muka.[18]
F. Penutup
Setelah melalui proses pembahasan dan kajian di atas, terlihat bahwa
terdapat beberapa bukti bahwa adanya nasikh mansukh itu benar adanya karena
banyak riwayat yang menjelaskan peristiwa nasikh mansukh tersebut. Dan
rata-rata para mujtahid membagi nasikh mansukh yang terdapat dalam Al-Qur`an
membagi kedalam tiga bagian seperti yang sudah di jelaskan di atas.
Syariat Islam datang untuk menyempurnakan syariat yang telah datang
sebelumnya, hal ini menunjukkan keutamaan dan kesempurnaan Islam itu sendiri.
Syariat Nabi Muhammad SAW secara langsung telah menasakh syariat Nabi
sebelumnya. Dan alasan yang jelas tentang adanya nasikh mansukh yaitu karena
tuntutan kebutuhan manusia yang terus berkembang sesuai dengan tingkat
perkembangan keadaan masing-masing. Selain itu juga ada hikmah tersendiri yang
ingin Allah SWT manusia dapat mengambilnya dan mengamalkannya agar menjadi
Muslim yang kaffah dimata Allah SWT.
Daftar Pustaka
Al-Abyadi, Ibrahim. 1992. Sejarah
AL-Qur’an. Jakarta: PT Melton Putra.
Al-Qattan,
Manna’ Khalil. 2015. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Bogor: Pustaka Litera
Antar Nusa.
Ichwan, Nor. 2002. Memahami Bahasa
Al-Qur’an. Semarang: Pustaka Pelajar.
Ilyas, Yunahar. 2004.Kuliah Ulumul Qur’an.Yogyakarta:
ITQAN Publishing.
Kholil, Moenawar.1985.
Al-Qur’an Dari Masa Ke Masa. Solo: C.V. Ramadhani.
Madyan,Shams.
2008.Peta Pembelajaran Al-Qur’an.
Yogyakarta; Pustaka Belajar
Syafe’i, Rachmat.
2006.Pengantar Ilmu Tafsir.Bandung: Pustaka Setia.
Shiddieqy, M.
Hasbi Ash. 1987.Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir. Jakarta: PT
Bulan Bintang.
Shihab, M. Quraish.2007. Membumikan
Al-Qur’an. Jakarta: Mizan Media Utama
Syae’i, Rachmat. 2015. Ilmu Ushul
Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.
Fauzan,
Noor Rohman. 2014. “Urgensi Nasikh-Mansukh Dalam Legislasi Hukum
Islam.”Isti’dal: Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1, No. 2, Juli-Desember
2014.
Catatan:
Makalah ini sudah cukup baik, hanya saja ada beberapa hal
yang perlu diperbaiki:
1. Teliti dalam menulis footnote, judul buku ditulis miring.
2. Dalam beberapa bagian, perujukan masih minim.
[1] M. Hasbi Ash
Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1987), hlm. 107-108
[2] M. Quraish Shihab,
Membumikan Al-Qur’an, (Jakarta: Mizan Media Utama, 2007), 143
[8] Ahmad Shams
Madyan, Peta Pembelajaran Al-Qur’an, (Yogyakarta; Pustaka Belajar, 2008), hlm.
194-195
[10] Noor
Rohman Fauzan, “Urgensi Nasikh-Mansukh Dalam Legislasi Hukum Islam.” Isti’dal:Jurnal
Studi Hukum Islam, Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2014,hlm. 210
[11] Nor Ichwan, Memahami
Bahasa Al-Qur’an, (Semarang: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 292-295
[16] M. Quraish Shihab, Op.
Cit., hlm. 145
[17] Rachmat Syae’I, Ilmu
Ushul Fiqih, Op. Cit., hlm. 232-233
[18] Manna’ Khalil
Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa), 2015
hlm. 344-349)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar