Difla Mawadda R dan Elfiyatus Sholihah
Mahasiswi UIN Malang Jurusan PAI kelas E tahun 2016
e-mail : diflarizqiya@gmail.com
Abstract
Basically, this article discuss about fiqih in growth period in the
same manner as the other religion science in Islam, fiqih science develop and
always stand on with Al Qur’an and As Sunnah (Hadits). Fiqih science not grow
it self, but the materials already exist since Rasulullah SAW, and his close
friends’s era. Ulama’ divide the periods that have been passed by Fiqih science
become two ways, the first is its growth was equated with the growth of human,
as like human through child period, teenager, adult, and then become old, Fiqih
also grew like that. And the second one is the growth based on the differences
and privileges that have clear influence in a law and different period. Based
on the result of research, this fiqih grow period divided into six periods, but
we’re only discuss the first three of them here, history of fiqih when prophet
period, history of fiqih when close friend of rasulullah’s period, history of
fiqih when tabi’in period and history of fiqih when tabi’ut tabi’in period
(golden age).
Abstrak
Artikel ini berbicara mengenai fiqih pada masa pertumbuhan, sebagaimana
ilmu keagamaan lain dalam islam, ilmu fiqih tumbuh dengan tetap berpijak pada
Al-Qur’an dan As-sunnah (Hadits). Ilmu fiqih tidak timbul dengan sendirinya,
tetapi benih – benihnya sudah ada sejak zaman Rosulullah dan sahabat. Ulama
membagi periode – periode yang dilalui ilmu fiqih ini kepada dua jalan yaitu,
yang pertama pertumbuhannya disamakan dengan pertumbuhan manusia, sebagaimana
orang melewati masa kanak – kanak, remaja, dewasa, lalu masa tua, demikian juga
keadaan fiqih. Yang kedua pertumbuhannya berdasarkan perbedaan dan keistimewaan
yang memiliki pengaruh yang jelas dalam hukun dan masa yang berbeda. Menurut
hasil penelitian, periode pertumbuhan fiqih ini dibagi dalam enam periode namun
disini kami hanya akan membahas tiga periode awal saja yaitu yang meliputi,
sejarah fiqih pada masa nabi, sejarah fiqih pada masa sahabat dan sejarah fiqih
pada tab’in dan tabiut tab’in (keemasaan)
Keywords : Al-qur’an, sunnah, ijma’, qiyas.
A. PENDAHULUAN
Periode kenabian dapat dibedakan menjadi periode Makkah dan
Madinah. Pada periode pertama risalah kenabian berisi ajaran – ajaran akidah
dan akhlak, sedangkan pada periode kedua lebih banyak berisi tentang hukum –
hukum. Namun hukum – hukum itu hanya berupa hukum yang terdapat pada Al –
Qur’an dan hukum – hukum yang berasal dari nabi yang berupa fatwa terhadap
pertanyaan. Para sahabat tidak perlu melakukan ijtihad sendiri, karena mereka
dapat langsung bertanya pada nabi jika mereka mendapat suatu masalah yang belum
mereka ketahui. Jadi hukum – hukum amaliyah pada masa ini hanya terbatas pada
hukum – hukum yang ditetapkan oleh Allah dan Rosul-Nya. Meski demikian, Nabi
juga memberi izin kepada orang tertentu dan dalam keadaan tertentu untuk
melaukan ijtihad jika seseorang tidak mendapatkan hukumnya di dalam Al- qur’an
dan Sunnah.[1]
Pada periode sahabat, dengan perkembangan islam diluar semenanjung
Arabia muncul peristiwa –peristiwa dan persoalan – persoalan yang baru yan
belum terjadi pada masa nabi, maka para sahabat yang memiliki kemampuan
berijtihad melakukan ijtihad untuk mengatasi persoalan itu. Para sahabat tidak
mengalami kesulitan dalam memahami hukum – hukum dalam Al-qur’an dan sunnah
itu, mereka juga tidak membutuhkan metodologi khusus karena mereka mendengarnya
secara langsung dari nabi. Dan pada masa – masa awal periode Tabi’in (masa
dinasti Umayyah) muncul aliran – aliran dalam memahami hukum syari’ah dan dalam
merespon persoalan – persolan baru yang muncul.[2]
B. Sejarah Fiqih Pada Masa Nabi
1. situasi Bangsa Arab Pra Islam
Bangsa Arab sebelum
kedatangan Nabi adalah bangsa yang tidak memiliki aturan, gelapnya kebodohan
yang menaungi mereka dan tidak ada agama yang mengikat meraka, serta tidak ada
undang – undang yang dapat mereka patuhi. Akibat dari itu semua aqidah mereka
dipenuhi dengan aqidah yang batil. Terkadang mereka menganggap patung yang mereka
buat sebagai tuhan yang mereka sembah, atau terkadang pada bintang - bintang.
Hanya sedikit dari mereka yang hidupnya berjalan sesuai dengan aturan. Sebagian
dari mereka memiliki kebiasaan yang baik, dan langkah yang mulia yang aturannya
itu didapat dari nenek moyangnya yaitu nabi Ismail. Sebagian yang lain memeluk
agama orang Yahudi dan nasrani yang ada di kalangan mereka, atau yan
mengelilingi wilayah mereka. Sebagian yang lain mendapat petunjuk dari
pengalaman dan melalui adat dan tradisi.[3]
Namun ketetapan ataupun adat istiadat itu bukanlah undang – undang
tertulis yang dijadikan patokan dalam menyelesaikan perselisihan dan memelihara
hak – hak mereka, tapi hanya ketetapan yang sedikit sekali pemanfaatannya,
tidak cukup untuk merealisasikan peraturan dan tidak dapat mencegah pembuat
kerusakan. Sampai akhirnya Allah mengizinkan Jazirah Arab yang tandus sebagai
tempat lahirnya agama islam, sebagai tempat sumber ilmu dan petunjuk dalam
mengokohkan alam ini.[4]
2. Periode Risalah
Periode ini dimulai sejak kerosulan Nabi Muhammad SAW sampai
wafatnya nabi (11 H. / 632 M.). pada periode ini penentuan hukum sepenuhnya
berada pada tangan Rosulullah, sumber hukum ketika itu adalah Al – Qur’an dan
Sunnah Nabi. Pengertian fiqih pada masa itu identik dengan Syari’ah, karena
penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya kembali pada Rosul. Periode
awal ini juga dapat di bagi menjadi dua periode, yaitu periode makkah dan
periode madinah. Pada periode makkah risalah nabi lebih banyak tertuju pada
masalah aqidah, ayat hukum yang turun pada saat itu tidak banyak jumlahnya dan
itupun masi dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem
kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah semata. Para
periode madinah, ayat – ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa
ini, seluruh persoalan hukum diturunkan Allah, baik yang menyangkut masalah
ibadah maupun muamalah. Oleh karena itu, periode madinah ini disebut juga oleh
ulama fiqih sebagai periode revolusi sosial politik.[5]
a. Hukum Islam di Makkah
Pada mulanya, islam
berorientasi memperbaiki aqidah, karena aqidah merupakan pondasi utama.
Sehingga bila telah selesai tujuan yang pertama ini, di lanjutkan dengan
meletakkan aturan kehidupan. Al – Qur’an yang turun pada mereka ketika di
Makkah sebelum hijrah yang memperhatikan penolakan terhadap syirik dan mengajak
mereka menuju tauhid, memuaskan mereka dengan kebenaran risalah yang di
sampaikan oleh para nabi. Mengiringi mereka agar mengambil pelajaran dari kisah
umat – umat terdahulu, menganjurkan mereka agar menmbuang taklid pada nenek
moyangnya, dan memalingkan mereka dari pengaruh kebodohan yang ditinggalkan
oleh leluhurnya seperti pembunuhan, zina, dan mengubur anak perempuan mereka
hidup – hidup. Al – Qur’an juga banyak mengajarkan mereka moral dan akhlak
islam seperti keadilan, menepati janji, berbuat baik, tolong menolong dalam
kebaikan dan taqwa. Kebanyakan ayat – ayat Al – Qur’an itu meminta kita agar
menggunakan akal pikiran, Allah mengistimewakan mereka dengan akal yang tidak
dimiliki oleh makhluk lainnya agar mereka mendapat petunjuk kebenaran dari
dirinya sendiri. Mengingatkan mereka agar tidak menyelisihi para nabi agar tidak
tertimpa adzab seperti apa yang ditimpakan pada umat terdahulu yang mendustakan
rosul – rosul mereka dan mendurhakai tuhannya. Pada masa ini Al- qur’an hanya
sedikit memaparkan tujuan yang kedua, sehingga mayoritas masalah ibadah belum
disyariatkan kecuali setelah hijrah. Ibadah yang disyariatkan setelah hijrah
erat kaitannya dengan pemeliharaan aqidah, seperti pengharaman bangkai, darah
dan sembelihan yang tidak disebut nama Allah atasnya. Penyampaian Al – Qur’an
seperti itu selama tiga belas tahun, sampai aqidah meresap dalam jiwa sebagian
besarnya dan terbias kesesatan syirik dihadapan cahayanya. Pada saat itu Allah
menizinkan orang – prang mu’min dan nabi untuk berhijrah ke Madinah, wilayah
Anshar dan tanah air yang baru bagi kaum muslimin, serta tempat yang akan
memberikan nuansa baru dalam menyiarkan agama Allah sampai selesai.[6]
Muhammad
Hadlori menjelaskan bahwa periode Makkah dapat dilihat dari ayat-ayatnya
sebagai berikut:
1.
Ayat-ayat makkiyah tidak menjelskan secara rinci
tentang aspek hukum, tetapi berfokus pada tujuan agama, yaitu tauhidullah.
2.
Penegakan dalil-dalil keberadaan Tuhan.
3.
Peringatan akan adzab Allah dan sifat-sifat hari
Kiamat.
4.
Mengajakk pada akhlak mulia sebagaimana Nabi SAW.
Diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.
5.
Berkenaan dengan umat terdahulu yang ditimpa musibah
karena tidak taat kepada nabi sebelumnya.[7]
Dengan
kata lain, periode Makkah merupakan periode revolusi akidah untuk mengubah
system kepercayaan masyarakat Jahiliyah menuju keimanan kepada Allah saja;
suatu revolusi yang menghasilkan fundamental, rekontruksi social dan moral pada
seluruh dimensi kehidupan masyarakat.[8]
b. Hukum Islam di Madinah
Proses pembetukan hukum pada masa kenabian tidak dipaparkan
peristiwa – peristiwa, menggambarkan kejadiannya, mencari sebab – sebab
percabangannya dan kodifikasi hukum-hukum, sebagaimana masa – masa akhir yang
telah dimaklumi. Tetepi pembentukan hukum pada masa ini berjalan bersama
kenyataan dan pembinaan bahwa kaum muslimin, apabila mereka menghadapi sebuah
masalah yang harus dijelaskan hukumnya, mereka kembali kepada nabi. Terkadang
nabi memberi fatwa kepada mereka dengan suatu ayat atau beberapa ayat (wahyu)
yang diturunkan allah kepadanya, terkadang dengan hadits dan terkadang dengan
pengalamannya, atau sebagian dari mereka melakukan suatu perbuatan lalu nabi
menetapkan (takrir) hal itu, jika hal itu benar. Dari semua penjelasan tersebut
dapat diringkas menjadi tiga yaitu :
1.
Bahwa kekuasaan hukum pada masa ini, disandarkan kepada nabi, tidak ada
campur tangan orang lain, dan sumbernya adalah wahyu baik matlu yaitu
Al-Qur’an ataupun ghair matlu yaitu sunnah.
2.
Bahwa ayat – ayat itu turn berkenaan
dengan suatu peristiwa atau jawaban dari pertanyaan.
3.
Hukum islam tidak ditetapkan
sekaligus melainkan di tetapkan sebagian – sebagian dan kontinu yang di dasari
dengan ayat – ayat al-qur’an dan hadits nabi.
Para fuqoha menanamkan ayat – ayat yang berkenaan dengan hukum
sebagai “ayat ahkam”, dan hadits yang berkenaan dengan hukum sebagai “hadits
ahkam”. Tidak hanya bersumber pada al-qur’an dan hadits, akan tetapi telah
diakui nabi telah melakukan ijtihad dalam sebagian hukum dan mengakui ijtihad
sahabat dalam sebagian yang lain ketika ada kebutuhan dan terlambat datangnya
wahyu, kemudian turun wahyu pada saat itu untuk menguatkan ijtihadnya atau
mengingatkan segi – segi kesalahannya. Sedangkan ijitihas sahabat juga
demikian, dilakukan apabila mereka kesulitan menemui nabi, tatkala mereka
kembali pada nabi maka nabi menjelaskan segi – segi hukum yang merela
ijtihadkan itu, benar atau salahnya. Dengan demikian ijtihat tidak dapat
dikategorikan salah satu sumber hukum pada masa ini.[9]
C. Sejarah Fiqih Pada Masa Sahabat
Periode sahabat dimulai sejak wafatnya nabi Muhammad (11 H / 632
M).sampai pada akhir abad I H. Disebut periode sahabat karena yang memegang
kekuasaan hukum adalah para tokoh sabahat. Sumber fiqih pada periode ini, di
samping al – qur’an dan sunnah, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad
para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan
hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini,
khususnya setelah pemerintahan umar bin khatab menjadi khalifah (13 H. / 634
M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai
persoalan hukum yang muncul di tengan masyarakat. Persoalan hukum pada periode
ini sudah semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk islam dari berbagai
etnis dan budaya. Pada periode ini untuk pertama kalinya fuqoha berbenturan
denga budaya, moral, etika dan nilai – nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat
majemuk. Hal ini terjadi karena daerah yang ditaklukkan islam sudah sangat luas
dan masing – masing telah memiliki budaya, tradisi, situasi, dan kondisi yang
menantang para fuqoha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam
persoalan – persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan baru itu,
para sahabat pertama kali merujuk pada al – qur’an, jika hukum yang dicari
tidak dijumpai dalam al – qur’an, mereka mencari jawabannya dengan sunnah,
namun jika dalam sunnah rosul tidak juga dijumpai maka mereka melakukan ijtihad,
cara mereka berijtihad ini dengan cara Ijma’ dan Ra’yu.[10]
Dasar argumentasi yang menjadikan ijtihad sahabat merupaka bagian
dari sumber hukum islam adalah :
1.
Mereka ikut menyaksikan tindakan dan
sikap Rosulullah saat berijtihad untuk menyelesaikan persoalan disaat wahyu itu
tidak turun.
2. Ketika
Rosulullah sedang berdialog dengan Muadz bin Jabal (qadhi / hakim negeri
Yaman). Rasulullah : “ bagaimana caramu menetapkan hukum atas suatu perkara
yang kamu hadapi ?” Muadz bin Jabal : “ aku menetapkan hukum berdasarkan al
–qur’an”. Rosulullah menjawab : “Kalau kamu tidak mendaptkan ketetapan dari al
– qur’an ?” Muadz bin Jabal : “aku akan menetapkan hukumnya berdasarkan sunnah
nabi.” Rasulullah : “kalau kamu tidak mendapatkan ketetapan dari sunnah ?”
Muadz bin Jabal : “aku akan berijtihad dengan pendapatku sendiri.” Mendengar
jawaban itu lalu nabi mengakui jawaban Muadz sambil memuji kepada Allah atas
pemberian taufiq kepada utusan Rosul-Nya.
3.
Mereka memahami berdasarkan adanya
penyebutan illat pada sebagian ayat – ayat hukum dalam al – qur’an dan sunnah,
sehingga mereka memahami bahwa tujuan penetapan hukum dalam al – qur’an dan
sunnah adalah untuk kemaslahatan umat. Dan apabila untuk merealisasikan
kemaslahatan umat itu memerlukan suatu aturan, maka umat islam wajib berusaha,
menyusun, dan merumuskan peraturan yang dapat menjadikan kemaslahatan itu.
Berdasarkan sumber diatas para mufti dari kalangan sahabat sepakat
menjadikan al – qur’an, sunnah, dan ijtihad sebagai sumber hukum.[11]
Serperti yang sudah dijelaskan diatas, setelah wilayah Islam
semakin luas, tentu permasalahan tentang hukum dalam menghadapi setiap
persoalan dalam kehidupan juga semakin berkembang, ada tiga permasalahan pokok
yang berkembang pada masa sahabat, diantaranya adalah:
1.
Banyak kejadian baru yang muncul dan
membutuhkan jawaban lahiriah yang tidak ditemukan jawabannya dalam al-Qur'an
dan Sunnah Nabi.
2. Munculnya
masalah yang secara lahiriah jawabannya sudah ada dalam al-Qur'an dam Sunnah
Nabi, tetapi jawaban atau ketentuan itu dalam keadaan tertentu sulit untuk
diterapkan dan akan menimbulkan pemahaman baru agar sesuai dengan perkembangan
dan permasalahan yang ada.
3.
Suatu kejadian yang jawabannya sudah
dijelaskan dalam al-Qur'an secara jelas dan terpisah. Jika kejadian tersebut
berlaku dalam kejadian tertentu, para sahabat mengalami kesulitan dalam
menerapakan dalil-dalil yang ada.[12]
Dari tiga pokok kejadian tersebut berkembanglah ijtihad atau
pemikiran para sahabat, diantaranya adalah:
Dalam menanggapi kejadian yang Pertama, para sahabat mencari
jawabannya dari zhahir ayat al-Qur'an, dan penjelasan yang pernah diberikan
Nabi. Apabila sahabat masih belum menemukan jawaban secara jelas, maka para
sahabat mencarinya dari balik zhahir lafadz hukum yang ada. Dengan cara, lafadza
zhahir itu direntangkan kepada kejadian yang dipersoalkan, usaha ini dapat
dilakukan dengan cara:
1.
Memahami lafadz, yaitu memahami
maksud secara lahir dari lafadz tersebut, misalnya: bagaimana hukum mebakar
harta anak yatim secara aniaya, sedangkan hukum membakar tidak ada. Ijtihad
para sahabat adalah menyamai kata membakar dengan menghilangkan, karena semua
juga tahu bahwa membakar sesuatu barang, tentunya juga menghilangkan atau
melenyapkan barang itu. Jadi hukumnya adalah haram. Cara ini sisebut dengan
menggunakan metode mafhum.
2. Memahami
alasan atau 'illat yang terkandung dalam suatu kejadian yang dipersoalkan,
kemudian menghubungkannya kepada dalil nash yang memiliki alasan atau 'illat
yang sama dengan kejadian yang lain. Cara ini disebut dengan metode qiyas.[13]
Persoalan Kedua yaitu perubahan keadaan yang menghendaki
perubahan pemikiran.Seperti masalah diwajibkannya zakat di dalam al-Qur’an.
Nabi dan Sunnahnya menjelaskan bahwa zakat itu diambil dari orang kaya dan
diberikan kepada orang miskin. Sesuai dengan perintah Allah (Q.s. al-Taubah/9:
103). Dengan cara yang bijaksana (Q.s. al-Nahl/16: 125) yang dapat
dijalankannya dengan baik. Tetapi pada zaman khalifah Abu Bakar pengambilan
zakat secara lemah lembut seperti pada zaman Nabi sudah tidak efektf lagi
karena adanya pembangkangan terhadap pembayaran zakat. Oleh karena itu Abu
Bakar mendasarkan pemikirannya terhadap sikap Nabi yang lemah lembut, kewajiban
membayar zakat tidak dapat ditegakkan. Maka Abu Bakar menggunakan sikap keras,
bahkan menetapkan untuk memerangi mereka yang tidak mau membayar kewajiban
zakat.[14]
Persoalan Ketiga yaitu pemahaman terhadap dua ayat al-Qur’an
yang menetapkan hukum secara terpisah. Nabi menjelaskan untuk penetapan
tersebut dapat dijalankan dengan apa adanya.[15]
Misalnya seperti kasus tentang bagaimana hukumnya suami yang
menceraikan istrinya dalam kondisi sakit keras, alasan suami tersebut adalah
untuk menghindarkan hak istri dari hak warisnya. Disini sahabat berbeda
pendapat, tetapi Utsman bn Affan berpendapat dan menetapkan fatwanya bahwa
istri berhak atas warisan itu menurut kadar yang berlaku. Sebagaimana dalam
riwayat bahwa Abdurrahman bin Auf yang menceraikan istrinya ketika sedang
sakit, dan Utsman memberikan hak waris terhadap istrinya yang ditinggal mati.[16]
Dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa ‘iddahnya wanita yang diceraikan
suaminya dalam keadaan hamil adalah sampai dia melahirkan anaknya, sesuai dalam
surah al-Thariq (65):4. Kemudian tentang ‘iddahnya wanita sebab
ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepluh hari, seperti dalam surah al-Baqarah
(2): 234. Tetapi tidak ada penjelasan pasti dari Allah tentang bagaimana
‘iddahnya istri yang ditinggal mati suaminya dan dia dalm keadaan sedang dalam
keadaan hamil; apakah dia harus menggunakan ayat 4 dalam surah al-Thariq walaupun
belum sampai pada masa empat bulan sepuluh hari atau menggunakan ayat 234 pada
surah al-Baqarah meskipun anaknya belum lahir. Dalam hal ini sahabat
berbeda pendapat lagi, tetapi Ali ibn Abi Thalib berpendapat dan berfatwa bahwa
masa ini adalah masa ‘iddah terpanjang bagi istri, pendapat Ali ini atas dasar
kehati-hatian dalam mengamalkan dua ayat tersebut. Sedangkan sahabt lain yaitu
Umar ibn Khattab berpendapat bahwa tetap melahirkan anak meskipun belum sampai
empat bulan sepuluh hari.[17]
D. Sejarah Fiqih Pada Masa Tabi’in
Periode ini dimulai ketika para khalifah Bani Umayyah memegang
kekuasaan kaum muslim setelah meninggalnya Ali bin Abi Thalib dan berakhir pada
awal abad kedua hijriyah sebelum Dinasti Umayyah berakhir. Pada masa ini juga
terjadi berbagai peristiwa dan perkembangan, perbedaan fiqih, dan pergolakan
politik karena sejak awal berdirinya dinasti ini kaum muslim telah terpecah
menjadi tiga golongan yaitu :
1.
Syi’ah, yaitu adalah mereka yang
berada di kubu Ali bin Abi Thalib atau mereka – mereka yang fanatik kepada Ali,
yang menganggap bahwa khilafah hanya untuk Ali dan keturunnya saja, bukan
dengan cara ba’iat.
2. Khawarij,
yaitu kelompok pengikut Ali yang kemudian keluar karena kecewa dengan adanya tahkim
(perdamaian) dengan kelompok Muawiyah, dan mayoritas dari mereka berpendapat
wajib melantik seorang khalifah taat agama, adil mutlak, tegas dan keras, dan
tidak harus dari suku quraisy atau keturunan arab.
3.
Jumhur kaum Muslimin, yaitu kaum
moderat yang memiliki sifat adil dan tidak radikal. Mereka berpendapat bahwa
khalifah harus dari suku quraisy, namun harus dipilih oleh kaum muslim dengan
cara ba’iat.
Pada awal periode ini perkembangan fiqih masi sama pada periode
sahabat, dimana tidak ada ulama khusus yang membahas fiqih, seorang alim
mengajarkan al – qur’an pada masyarakat, menafsirkan al-qur’an, meriwayatkan
sunnah dan memberi fatwa ketika ada masalah. Namun ketika masuk zaman khalifah
Abdul Malik bin Marwan, dapat ditemukan sekelompok ulama untuk memberi fatwa
hala dan haram, setelah itu bermunculan mujtahid dengan kemampuan yang berbeda-
beda yang menjadikan munculnya perbedaan fiqih.[18]
a.
Definisi Tabi’in
Tabi’in adalah
orang – orang yang tidak sempat bertenu atau melihat nabi, namun mereka masih
sempat bertemu dengan sahabat baik sahabat itu meriwayatkan hadits atau tidak.
Jadi dari penjelasan tersebut dapat di katakan bahwa tabi’in tidak harus
melihat dan betemu langsung dengan nabi, sebab jika bertemu berarti itu di
sebut sebagai sahabat. Dan juga tabi’in disyaratkan harus bertemu dengan
sahabat meskipun sahabat itu tidak meriwayatkan hadits, cukup hanya dengan
bertemu saja sudah dikategorikan sebagai tabi’in asalkan orang itu sudah dewasa
(baligh).
Seperti yang di
jelaskan Allah dalam (Q.S At- Taubah : 100) tentang adanya tabi’in, yang
artinya sebagai berikut ;
“ orang – orang
yang terdahulu lagi pertama – tama (masuk islam) dari golongan muhajirin dan
anshor dan orang – orang yang mengikuti mereka dengan baik, allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada allah dan allah menyediakan bagi mereka surga
– surga yang mengalir sungai – sungai didalamnya selama – lamanya. Mereka kekal
didalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”
Dari arti ayat diatas dapat disimpulkan bahwa allah memberi
penghormatan dengan memberikan pahala yang besarbagi para tabi’in yang mengikuti
para sahabat dengan ihsan.[19]
b.
Perpecahan politik dan aliran
pemikiran
Setelah
wafatnya Ali bin Abi Thalib kaum muslim terpecah menjadi tiga kelompok yaitu
khawarij, syi’ah, dan jumhur kaum muslimin. Hal ini selain merupak perpecahan
dalam bidang politik namun juga berimbas pada aliran – aliran fiqih, mengapa
demikian karena perbedaan mereka tentang sumber – sumber hukum fiqih dan juga
ada beberapa masalah fiqih yang berkaitan dengan keyakinan politik.
1)
Khawarij
Seperti yang
sudah dijelaskan di atas bahwasannya khawarij ini adalah kelompok orang – orang
yang keluar dari kubu Ali bin Abi Thalib karena kecewa dengan tindakan Ali yang
menerima perdamaian dengan Muawiyah. Dalam kelompok ini memiliki beberapa
doktrin yang pertama, yaitu menjadi khilafah adalah hak bagi seluruh
muslim, tidak terbatas hanya untuk kelompok tertentu dan juga pemilihannya
harus dilakukan secara umum dan terbuka dari semua kalangan serta khalifah
boleh lebih dari satu apabila ada pendukungnya. Kedua, orang khawarij
tidak menganggap qiyas sebagai sumber hukum syari’at dan menolak ijma’ sebagai
dasar hukum, yang menjadi dasar adalah sandaran ijma’ jika tampak, jika tidak
tampak ijma’ tidak dapat di jadikan dadil. Ketiga, sebagian dari mereka
mengingkari hukum – hukum syariat yang telah ditetapkan berdasarkan ijma’
seperti hukum rajam bagi orang yang berzina, hukum qazaf bagi kaum laki – laki,
dan mereka juga mewajibkan memotong tangan orang yang mencuri. Kaum khawarij
sendiri telah terpecah – pecah menjadi beberapa kelompok kecil yang cukup
banyak jumlahnya.[20]
2)
Syiah
Adalah kelompok
yang fanatik dengan Ali bin Abi Thalib sehingga setelah sepeninggalannya,
kelompok ini menganggap bahwa yang pastas menjadi penerus ke khalifahan Ali
adalah dari keturunannya. Kaum syiah juga terpecah menjadi beberapa kelompok
yaitu ; Zaidiyah, imamiyah itsna’asyariyah, dan isma’iliyah. Kelompok syiah ini
memiliki aliran fiqih yang berbeda dengan kaum muslim diantaranya yang pertama,
orang syiah memperbolehkan nikah mut’ah (kontrak) dan hal ini sebenarnya telah
diharamkan oleh Rasulullah. Kedua, orang syiah mengharamkan seorang
muslim menikahi ahli kitab. Ketiga, orang syiah tidak memakai sunnah sebagai
sumber hukum, kecuali hadits – hadits yang datang dari periwayat ahli bait dan
para pengikutnya dan mereka juga menolak ijma’ sebagai sumber hukum. Keempat,
orang syiah menolak qiyas karena qiyas berupa pendapat pribadi sedangkan agama
tidak dikaji sebagai pendapat sendiri melainkan dari Allah, rosul, dan imam
yang maksum.[21]
3)
Jumhur Kaum Muslimin
Mereka adalah
orang – orang yang abstain atau tidak mau terlibat dalam pergolakan politik,
mereka tidak bergabung bersama kelompok Ali ataupun lawan politiknya Ali.
kelompok ini menempuh jalan ilmu yang benar dan manhaj yang lurus serta kajia
yang tepat dalam memahami agama Allah berdasarkan penjelasan al – qur’an,
sunnah serta riwayat – riwayat para sahabat. Metode yang digunakan kelompok ini
telah melahirkan dua aliran dalam mengistinbat hukum syariat. Pertama,
kelompok yang berpegang zhahirnya nash – nash saja, pengikutnya ini dinamakan
ahli hadits (kaum literalis). Kedua, aliran yang mencari illat hukum dan
hikmahnya dari nash, baik al-qur’an maupun sunnah, kelompok ini dinamakan ahli
ra’yi (kaum rasional).[22]
c. Peningkatan
kreativitas fiqih
Banyaknya permasalahan
yang di hadapi para ahli fiqih sehingga menjadikan banyaknya fatwa yang
dikeluarkan para ulama untuk mengatasi permasalah tersebut, serta ruang lingkup
fiqih pun semakin meluas sehingga aktivitas fiqih juga semakin meningkat
dibandingkan dengan zaman sebelumnya. Hal ini dikarenakan ada beberapa faktor
yang mempengaruhi yaitu, menyebarnya para sahabat ke seluruh pelosok wilayah,
meluasnya periwayatan hadits, para hamba sahaya mulai mempelajari fiqih serta
ilmu sayariat, dan yang terakhir adalah munculnya beberpa aliran fiqih.[23]
1.
Menyebarnya para sahabat keseluruh
pelosok wilayah
Awalnya Umar bin khatab melarang para pembesar sahabat terutama
yang ahli dalam bidang ra’yi untuk meninggalkan kota madinah, hal ini
dikarenakan agar mempermudah melakukan ijma’ jika sewaktu – waktu yerjadi
permasalahan yang menjadi perselisihan. Namun pada masa Ustman ini wilayah
islam menjadi semakin luas dan ustman membolehkan mereka untuk menyebar dan
menetap di daerah – daerah taklukan yang mana di daerah itu juga kekurangan
orang – orang yang ahli dalam ajaran – ajaran agama, sehingga penduduk yang
tinggal di situ menghadap kepada sahabat
yang menetap disitu untuk dimintai fatwa dan belajar darinya. Pada pengetahuan para sahabat tidak selalu
sama dan apa yang dihafalkan para sahabatpun belum tentu juga dihafalkan oleh
sahabat yang lain dan juga adat istiadat masing – masing daerah berbeda,
hasilnya adalah bahwa penduduk setiap daerah bergantung pada fatwa, haidts, dan
tradisi perbuatan para ulama yang ada di masing – masing daerah karena mereka
telah percaya pada sahabat.[24]
2.
Meluasnya periwayat hadits
Pada masa tabi’in ini kebutuhan untuk memperbanyak periwayat hadist
semakin menguat di bandingkan dengan pada masa sahabat, hal ini dikarenakan
semakin luasnya daerah taklukan islam sehingga menimbulkan banyak masalah yang
membutuhkan fatwa. Jauhnya jarak antar suatu negeri mempersulit komunikasi
sesama mereka sehingga setiap ulama hadits terpaksa meriwayatkan hadits yang
telah dihafalanya untuk berfatwa dan terkadang mereka pergi ke Madinah untuk
mengumpulkan hadits dan dihafalkannya. Hal ini tentu juga menimbulkan dampak
negatif yaitu munculnya indikasi pemalsu hadits.[25]
3.
Munculnya ulama dari kalangan mawali
Mawali adalah mereka yang semualanya adalah hamba sahaya yang
dimerdekakan oleh tuannya, bekas tawanan perang, dan juga mereka yang masuk
islam dari bangsa selain arab. Jadi yang di maksudkan mawali disini adalah
mereka yang masuk islam selain dari bangsa arab. Munculnya ulama dari kalangan
mawali ini salah satunya disebabkan karena ketekukan dan semangat mereka yang
tinggi unruk mempelajari islam dengan cara berguru dengan para sahabat.[26]
4.
Munculnya aliran – aliran fiqih
Seperti yang telah dijelaskan pada point pertama, luasnya wilayah
taklukan islam dan corak adat kebiasaan yang berbeda di setiap daerahnya seta
banyaknya permasalah yang muncul di setiap daerah itu melahirkan corak fiqih
yang berbeda – beda dan lain dari fiqih yang ada di hegeri lain. Inilah yang
disebut sebagai aliran fiqih, seperti aliran fiqih syam, hijaz, mesir, kufah,
aliran bashrah dan lain – lain. Keberagaman aliran fiqih ini juga diakibatkan
karena perbedaan sosilogis yang sulit untuk dihindari, sehingga mereka tidak
menganggapnya sebagai masalah yang besar.[27]
Pada garis besar aliran itu terbagi menjadi dua yaitu aliran hijaz
dan aliran iran. Aliran hijaz terkelan dengan berpegang pada nash as-sunnah
karena itu hijaz disebut sebagai madrasah ahli hadits, mereka mengikuti fiqih
dua sahabat Ibn umar dan Zaid ibn sabit, dan tujuh tabi’in fuqoha yaitu, Said ibn
musayyab, Sulaiman Ibn yasar, Urwah Ibn zubair, Kharijah ibn zaid, Ubaidillah
ibn utbah, Aby bak ibn abdurrahman, dan Qasim bin muhammad. Sedangkan aliran
Iran cenderung menggunakan qiyas sehingga mereka dinamai Al-ra’yi. Dalam fiqih
mereka mengikuti fiqih sahabat Abdullah ibnu mas’ud di kufah dan tabi’in yang
termasyhur diantaranya Ibrahim An-nakha’i (kufi).[28]
d.
Sumber – sumber fiqih pada masa
Dinasti Umayyah
Sumber
fiqih pada masa tabi’in masih terbatas pada al – qur’an, sunnah, ijma’, dan
qiyas (logika). Tapi ada sedikit perubahan dalam aspek penggunaannya. Terhadap
al-qur’an, terdapat banyak perbedaan dalam menafsirka nash-nash yang tidak
qath’i interpretasinya yang sebelumnya tidak terjadi pada masa sahabat. Hal ini
terjadi karena para fuqoha pada masa ini tidak melihat langsung turunnya
al-qur’an sehingga sulit memahami asbabun nuzul yang dapat membantu dalam
memahami maksud ayat, sejarah turunnya ayat, mengenal nashik dan manshuk
kecuali jika bertemu langsung denga sahabat sedangkan tidak semua tabi’in
bertemu langsung dengan sahabat, ditambah lagi perbedaan kemampuan linguistik
diantara mereka yang terus mengalami perkembangan. Setelah berakhirnya zaman
sahabat, beberapa penggunaan bahasa yang banyak digunakan di zaman nabi dan
digunakan oleh al-qur’an mulai ditinggalkan, para fuqoha menggunakan bahasanya
sendiri secara umum dan ini menjadikan menambahnya jurang pemisah diantara
mereka dalam memahami al-qur’an. Sedang terhadap sunnah, mereka lebih
menggantungkan diri dengannya terutam setelah menyebarnya periwayat hadits dan
fuqoha yang memberi fatwa, akhirnya muncullah kelompok yang komitmen dengan
sunnah dan sangat selktif dan juga ada kelompok yang sangat bebas menggunakan
logika.[29]
Terhadap ijma’,
terdapat perbedaan tentang ijma’ yang dapat dijadikan sumber hukum, yaitu
kesepakatan semua mujtahid atau sebagian kelompok khusus, termasuk pendapat
kaum syiah yang mengatakan semua kesepakatan mujtahid dari kalangan ahli bait.
Berawal dari zaman inilah ijma’ mengalami penurunan sebagai sumber hukum islam,
setelah para fuqoha menyebar keseluruh pelosok negeri sehingga menyulitkan
untuk saling bertemu. Dan yang terakhir terhadap ra’yi (logika), biasanya
mereka menamakannya qiyas secara umum. Pada masa sahabat mereka menjadikan
fiqih sebagai praktik harian sehingga sangat kuat hubungnnya dengan maslahat
mursalah, sedang pada zama tabi’in fiqih menjadi sebuah teori fuqoha yang
menjadi objek kajian dan proses pembelajaran yang jauh dari sentuhan negara,
sedangkan secara teori mereka mengarah pada pemakaian logika.[30]
E. Sejarah Fiqih Pada Masa Tabiut dan Tabi’in (keemasan)
Periode ini dimulai dari awal abad ke 2 sampai pada pertengahan
abad ke 4.H. periode ini termasuk pada dalam periode kemajuan islam pertama
(700-1000). Sama seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol disini
adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai
pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan ini tidak dalam
bidang ilmu agama saja namun juga dalam bidang ilmu pengetahuan umum. Para
penguasa awal abbasiyah sangat mendorong para fuqoha untuk melakukan ijtihad
dalam mencari formulasi fiqih yang digunakan untuk menghadapi permasalahan –
permasalahn sosial yang semakin kompleks. Khalifah Harun ar-rosyid meminta
kepada Imam abu yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi,
keuangan, ketatanegaraan, dan pertanahan, dan akhirnya Imam Yusun ini menyusun
buku yang diberi judul al-Kharaj. Ketika Abu ja’far al-mansur menjadi khalifah,
ia juga meminta kepada Imam Malik untuk menulis sebuah kitab fiqih yang akan
dijadikan pegangan resmi pemerintah dan lembaga peradilan, dan buku itu di beri
judul al-Muwaththa’ (yang disepakati). Pada awal periode keemasan ini,
pertentangan antara ahlu hadits dan ahlu ra’yi semakin menjadi, sehingga
penimbulkan semangat berijtihad diantara keduanya. Semangat ijtihad ini juga
menajadi awal munculnya mazhab – mazhab fiqih, yaitu mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i, dan Hambali. Upaya ijtihad ini tidak hanya dilakukan untuk keperluan
praktis masa itu tapi juga untuk membahas persoalan – persoalan yang mungkin
akan terjadi, biasa disebut sebagai fiqih taqdiri (fiqih hipotesis).
Pertempuran kedua aliran ini baru mereda setelah murid – murid kelompok
ahlurra’yi berupaya membatasi, mensistematisasi, dan menyusun kaidah ra’yu yang
dapat digunakan untuk mengistinbat hukum, akhirnya aliran ahlu hadits menerima
pengertian ra’yu yang dimaksudkan oleh ahli ra’yu dan juga menerima ra’yu
sebagai salah satu cara mengistinbatkan hukum.[31]
Dibawah
ini adalah mujtahid-mujtahid besar yang dikenal sebagai empat mazhab yang
sangat popular, yaitu:
1.
Imam Abu Hanifah (80 H–150 H / 697 M–767 M)
Adapun
penetapan metodologi hukum yang telah ditempuhnya yaitu seperti yang
diungkapkannya sendiri sebagai berikut : ”Sesungguhnya saya berpedoman kepada
Alquran, jika saya tidak mendapatkannya dari Alquran, maka saya berpedoman pada
Sunnah rasul dan atsar-atsar yang sahih dan yang terdapat di kalangan orang
tsiqah (adil dan dhabith). Bila Al-qur’an dan Sunnah tidak saya temukan, maka
saya beralih kepada keterangan para sahabat jika saya kehendaki dan
meninggalkan pendapatnya jika saya kehendaki. Kalau suatu masalah tidak
ditemukan hukumnya dalam Al-qur’an, sunnah dan pendapat para sahabat, maka saya
berijtihad sebagaimana halnya Ibrahim al-Nakha’iy, al-Sya’biy, al-Hasan, Ibnu
Sirin dan Said bin Musayyab berijtihad.”. Dari keterangan di atas dapat
dipahami bahwa metodologi istinbath hukum yang ditempuh oleh Abu Hanifah
adalah: Al – qur’an, sunnah Rasulullah, qiyas, istihsan, dan adat yang berlaku
di masyarakat. Atas dasar metodologi penetapan inilah, sehingga fiqhi dan ilmu
ushul fiqh mengalami perkembangan dan kemajuan baru.[32]
2.
Imam Malik bin Anas (93 H–173 H / 712 M–792 M)
Pemikiran
Imam Malik dalam bidang hukum Islam sangat dipengaruhi oleh lingkungannya,
yaitu Madinah sebagai pusat timbulnya Sunnah Rasulullah dan sunnah sahabat.
Sehingga pemikiran hukumnya banyak berpegang kepada sunnah - sunnah tersebut,
kalau terjadi perbedaan satu Sunnah dengan yang lainnya, maka ia berpegang pada
tradisi yang biasa berlaku di masyarakat Madinah. Imam Malik lebih mendahulukan
amalan penduduk Madinah daripada hadits ahad, jika terjadinya perbedaan antara
keduanya. Karena penduduk Madinah itu mewarisi apa yang mereka amalkan dari
ulama salaf mereka, kemudian ulama salaf itu mewarisi dari para sahabat. Selain
itu Imam Malik juga merujuk kepada metode qiyas (analogi). Selain itu juga
banyak persoalan hukum yang dibangun dengan metode maslahah mursalah. Dari
pemikiran Imam Malik tersebut, maka dalam menentukan hukum adalah sebagai
berikut: Al-qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, maslahah mursalah.[33]
3.
Imam Syafi’i (150 H–204 H / 767 M–820 M)
Metodologi
penetapan hukum menurut Imam Syafi’i adalah sebagai berikut – Alquran, sunnah,
ijma’, fatwa sahabat yang disepakati, fatwa sahabat yang diperselisihkan,
qiyas, dan istidlal. Dasar pertama dalam menetapkan hukum adalah Al-qur’an dan
Sunnah. Al-qur’an dan Sunnah ditempatkan sejajar, karena baik Al-qur’an maupun sunnah
datang dari Allah sekalipun berbeda cara dan sebab datangnya. Mengenai hadits
ahad, Syafi’i tidak mewajibkan syarat kemashuran, alasannya bahwa Allah telah
memerintahkan beriman kepada-Nya dan rasul-Nya, dengan konsekwensi wajib
mematuhinya baik dalam perkataan, perbuatan maupun takrirnya. Hadits ahad tidak
dipersoalkan untuk dijadikan sandaran, selama yang meriwayatkannya dapat
dipercaya, teliti dan sanadnya bersambung kepada Rasulullah. Dasar kedua adalah
ijma’, jika ijma’ belum juga didapatkan, maka beliau beralih ke fatwa sahabat
yang disepakati, apabila fatwa sahabat yang disepakati belum juga didapatkan
maka beliau beralih pada fatwa sahabat yang diperselisihkan. Setelah itu
barulah menempuh jalan qiyas bila keadaan telah memaksa. Apabila tidak dijumpai
dalil qiyas, maka ia memilih jalan istidlal, yaitu menetapkan hukum berdasarkan
kaidah-kaidah umum agama Islam.[34]
4.
Imam Ahmad bin Hanbal (164 H–241 H / 780 M–855 M)
Ahmad
bin Hanbal belajar fiqhi dari Imam Syafi’i dan menyertainya selama ia tinggal
di Bagdad. Ahmad bin Hanbal termasuk imam mujtahid hanya lebih cenderung
kemuhaddisannya daripada kefaqihannya. Dasar-dasar penetapan hukum Imam Ahmad
bin Hanbal adalah sebagai berikut:
·
Nash (al-qur’an dan hadits marfu’)
·
Fatwa sahabat yang tidak diketahui ada yang
menentangnya
·
Apabila sahabat berbeda pendapat, ia memilih
pendapat mereka kepada yang dekat pada kitabullah dan sunnah
·
Hadits mursal dan dhaif, yang dianggap lebih kuat
dari pada qiyas. Akan tetapi hadits mursal dan dhaif dapat dijadikan dasar
hukum selama tidak ada dalil lain, dan tidak termasuk hadits munkar dan
tertuduh pendusta perawinya
·
Qiyas, jika keempat tersebut tidak dapat ditemukan
barulah beralih kepada qiyas. Jadi, qiyas dilakukan karena keterpaksaan.
Landasan ijtihad Imam Ahmad bin
Hanbali tidak jauh berbeda dengan prinsip Imam Syafi’i, hal ini dimungkinkan
karena ia belajar fiqhi dari Imam Syafi’i.[35]
F. PENUTUP
Pada masa Rosulullah SAW perkembangan fiqih terbagi menjadi dua priode yaitu Periode Makkah dan Priode
Madinah, pada priode Makkah yang di tonjolkan adalah perbaikan Akidah agar
menjadi Pondasi hidup, sedangkan pada periode Madinah ini baru
munculnya perintah - perintah pondasi islam lainnya seperti perintah
zakat, puasa, dan haji. Pada masa Rosulullah juga sudah terjadi Ijtihad, baik yang
dilakukan oleh Rosulullah sendiri ataupun dilakukan oleh
para shahabat.Pada masa shahabat penyebaran agama islam sangat luas
sekali, perkembangan fiqih islam pun sudah sangat banyak, dikarenakan bertambah
luasnya daerah taklukan islam dan beragamnya adat kebiasaan penduduk taklukan
islam diluar Jazirah Arab sehingga mendorong terjadinya Ijtihad. Pada masa
Tabi’in perkembangan fiqih islam sudah sampai pada titik sempurna yang ditandai
dengan lahirnya ulama’ - ulama’ besar, berkembangnya pusat studi islam serta dibukukannya
ilmu penting dalam hukum islam sebagai pedoman hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Wahab, Abdul
Khallaf. Sejarah Pembentukan & Perkembangan Hukum Islam. Jakarta :
RajaGrafindo Persada, 2002.
Nata,
Abuddin. Masail Al-Fiqhiyah. Jakarta : KENCANA, 2006.
Anwar,
Syahrul. Ilmu Fiqh & ushul Fiqh. Bogor : Ghalia Indonesia, 2010.
Ali, Muhammad As-sayis. Sejarah Fikih Islam. Jakarta :
PUSTAKA AL-KAUTSAR, 2003.
Hasan, Rasyad Khalil. Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum
Islam. Jakarta : AMZAH, 2009.
Djatnika, Rachmat. Perkembangan Ilmu Fiqih di Dunia Islam.
Jakarta : Departemen Agama Republik Indonesia, 1986.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jilid I. Jakarta : Logos
Wacana Ilmu, 1997.
Darmawati, H. 2012. Hukum Islam pada Masa-Masa Imam
Mujtahid. Sulesana, Vol 7, No 2.
Supriyadi, Dedi. Sejarah hukum Islam. Bandung : Pustaka
Setia, 2010.
Catatan:
1.
Tolong footnote dirapikan.
2. Dalam
pendahuluan, diberikan kata-kata penghubung dengan materi.
3.
Dalam masa keemasan diberikan
keterangan tentang adanya tokoh-tokoh mujtahid mutlak lain selain pendiri madzhab
empat.
Makalah ini sudah cukup baik, Good...
[1] Abuddin
Nata, Masail Al-Fiqhiyyah (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006),
hlm. 21-22.
[2] Ibid,
hlm 22
[3] Muhammad
Ali As-Sayis, Sejarah Fikih Islam (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm
17-18
[4] Ibid,
hlm 18
[5] Syahrul
Anwar, Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), hlm 33
[6] Muhammad
Ali As-Sayis, Sejarah Fikih Islam (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm 18
-20
[7]Dedi Supriyadi,
Sejarah hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm 62
[8] Ibid,
hlm. 63
[9] Ibid,
hlm 20-22
[10] Syahrul
Anwar, Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), hlm 34
[11] Abdul
Wahab, Sejarah Pembentukan & Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 49
[12]Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997), hlm. 22
[18] Rasyad
Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, (Jakarta : AMZAH, 2009), hlm. 77-78
[19] Ibid,
hlm. 78-79
[20] Ibid,
hlm. 80-81
[21] Ibid,
hlm. 81-83
[22] Ibid,
hlm. 83
[23] Ibid,
hlm. 84
[24] Ibid,
hlm. 84-85
[25] Ibid,
hlm. 86-88
[26] Ibid,
hlm. 90
[27] Ibid, hlm.
92
[28] Rachmat
Djatnika, Perkembangan Ilmu Fiqih di Dunia Muslim, (Departemen Agama Republik
Indonesia : Jakarta, 1986), hlm. 13
[29] Rasyad
Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, (Jakarta : AMZAH, 2009), hlm. 99-100
[30] Ibid,
hlm. 100-101
[31] Syahrul
Anwar, Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 36-37
[32]Darmawati,
H. 2012. Hukum Islam pada Masa-Masa Imam
Mujtahid. Sulesana, Vol 7, No 2, hlm. 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar