SUMBER HUKUM
YANG TIDAK DISEPAKATI (ISTIHSAN, ISTISHAB, DAN MASLAHAH MURSALAH)
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang
e-mail:
finaachmad42@gmail.com
Abstract
In usul fiqh sources of law are not agreed upon which includes istihsan, istishab, and maslahah mursalah. The three sources of this law still refers to the Qur'an and the Sunnah of the Prophet, but here too there are elements Mujtahids ratios and also in terms of the kemadharatan (good and bad) to be received by a man of the law set forth above him. Of the three sources of this law in practice there mujtahid imams who use as evidence and some are refusing to make the three sources of this law as evidence in determining the laws of Personality '. Why the need for sources of Islamic law, namely as a means Muslims to determine a law that is not in the Qur'an and Sunnah, so it is necessary to use these laws to facilitate applying the laws, with due regard to the provisions of the terms may dijadikannya as evidence. Thus, in this paper will explain what it istihsan, istishab, mursalah beneficiaries along with requisite conditions, kehujahan position.
In usul fiqh sources of law are not agreed upon which includes istihsan, istishab, and maslahah mursalah. The three sources of this law still refers to the Qur'an and the Sunnah of the Prophet, but here too there are elements Mujtahids ratios and also in terms of the kemadharatan (good and bad) to be received by a man of the law set forth above him. Of the three sources of this law in practice there mujtahid imams who use as evidence and some are refusing to make the three sources of this law as evidence in determining the laws of Personality '. Why the need for sources of Islamic law, namely as a means Muslims to determine a law that is not in the Qur'an and Sunnah, so it is necessary to use these laws to facilitate applying the laws, with due regard to the provisions of the terms may dijadikannya as evidence. Thus, in this paper will explain what it istihsan, istishab, mursalah beneficiaries along with requisite conditions, kehujahan position.
Abstrak
Dalam
ushul fiqih terdapat sumber hukum yang tidak disepakati yang meliputi istihsan,
istishab, dan maslahah mursalah. Ke tiga sumber hukum ini tetap mengacu kepada
al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, tapi disini juga terdapat unsur-unsur rasio
para mujtahid dan juga melihat dari segi kemadharatan (baik-buruk) yang akan
diterima oleh manusia atas hukum yang ditetapkan atas dirinya. Dari ketiga
sumber hukum ini dalam prakteknya para imam mujtahid ada yang memakai sebagai
hujjah dan ada pula yang menolak menjadikan ketiga sumber hukum ini sebagai
hujjah dalam menentukan hukum syara’. Mengapa perlu adanya sumber-sumber hukum
islam ini, yaitu sebagai alat umat islam untuk menentukan suatu hukum yang
belum terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, sehingga perlu digunakan
sumber hukum tersebut untuk memudahkan menetapkan hukum, dengan memperhatikan
syarat ketentuan boleh dijadikannya sebagai hujjah. Sehingga dalam makalah ini
akan dipaparkan apa itu istihsan, istishab, maslahat mursalah beserta syarat
ketentuan, kedudukan kehujahan.
Kata kunci : Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah.
A. Pendahuluan
ushul fikih merupakan salah satu
instrumen yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan ijtihad dan
istinbath hukum islam. Oleh sebab itu penguasaan ilmu yang harus dimiliki oleh
seorang mujtahid merupakan syarat mutlak untuk menjaga agar proses ijtihad dan
istinbath tetap berada pada aturan dan tatanan yang semestinya. Meskipun
demikian, tidak daapat dipungkiri dan dijamin bahwa keputusan atau hasil dari
ijtihad para ulama ini sama. Karena pada hakikatnya setiap manusia memliki
pemahaman yang berbeda-beda misalnya, pada penentuan ke-shahiahan sebuah hadits
yang akan dijadikan sebagai hujjah dari sebuah hukum dan banyak mengalami
perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para ushuliyyun.
Dalam ilmu ushul fiqih Dalam
menentukan sumber hukum sendiri ada 2 macam yaitu sumber hukum yang
dipsepakatiyaitu ijma’ dan qiyas serta sumber hukum islam yang tdak diseakati
yang meliputi istishan, istishab, san masalahah mursalah. Dengan perkembangan
zaman permasalahan-permasalahan yang harus dipecahkan juga semakin banyak dan
kesemuanya itu harus dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasullah, dan
dengan perkembangan zaman itu pula banyak permasalahan-permasalahan yang ada
belum dibahas secara gamblang di zaman Rasulullah, sehingga para ulama harus
berijtihad dengan menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pegangan dan dengan
bantuan beberapa sumber hukum seperti yang sudah disebut diatas.
Sehingga para mujtahid juga harus
memahami apa saja sumber hukum yang disetujui dan mana sumber hukum yang tidak
disepakati, sehingga dalam memutuskan suatu hukum mujtahid tetap ada pada
tatanan syariat islam. Sebagai seorang muslim sepatutnya kita mengetahui
tentang ilmu ushul fikih agar kita tahu bagaimana suatu hukum itu dibuat dan
diputuskan sehingga dijadikan sebagai panutan atau tuntunan seorang muslim
dalam beribadah. Sehingga disini akan diulas sedikit tentang sumber hukum islam
yang tidak disepakati yaitu istihsan, istishab, dan maslahah mursalah.
B. Pembahasan
sumber hukum istihsan
a.
Pengertian
Istihsan
Secara etimologi
istihsan ialah “mengatakan dan meyakini baiknya sesuatu”. Tidak terdapat
perbedaan pendapat ulama ushul fiqih dalam mempergunakan lafal istihsan dalam
pengertian etimologi karena lafal yang seakar dengan istihsan banyak dijumpai
dalam al-qur’an dan sunnah rasulullah saw. Misalnya dalam surat al-zumar ayat
18 Allah berfirman:[1]
Artinya:Yang mendengarkan perkataan
lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang
yang telah diberi allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai
akal.
Secara terminologi
Imam Al-Bazdawi (400-482 H/1010-1079 M: Ahli Ushul Fiqih Hanafi) mendefinisikan
istihsan dengan:[2]
“Berpaling
dari kehendak qiyas kepada yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan
dalil yang lebih kuat”.
Menurutnya dalam kasus-kasus metode qiyas sulit untuk
diterapkan, karena ‘illat yang ada pada qiyas amat lemah. Oleh sebab itu perlu
dicarikan metode lain yang mengandung motivasi hukum yang lebih kuat sehingga
hukum yang diterapkan pada kasus tersebut lebih tepat dan sejalan dengan
tujuan-tujuan syara’.[3]
Imam Al-Sarakhsi (w.
483 H/1090 M, Ahli Fiqih Hanafi), mengatakan:“Istihsan itu berarti
meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu, karena adanya
dalil yang menghendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia”.
Imam Malik sebagai
dinukilkan Imam Syathibi (w. 790 H, Ahli Ushul Fiqih Maliki), mendefinisikan
istihsan dengan:“Memberlakukan kemaslahatan jui’z ketika berhadapan dengan
kaidah umum”.
Kemudian ia menambahkan bahwa hakikat istihsan adalah
mendahulukan mashlahah al-mursalah dari qiyas. Artinya apabila terjadi
pebenturan antara qiyas dengan mashlalah al-mursalah, maka yang diambil adalah
mashlahah al-mursalah, dan qiyas ditinggalkan karena apabila qiyas tetap
digunakan dalam kasus seperti ini maka tujuan syara’ dalam pensyariatan hukum
tidak tercapai. Oleh sebab itu bagi ulama Malikiyyah teori istihsan merupakan
salah satu teori dalam mencapai kemaslahatan yang merupakan tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum.[4]
Al-Syathibi
mengatakan bahwa istihsan tidak semata-mata didasrkan kepada logika dan hawa
nafsu, tetapi didasarkan kepada dalil yang lebih kuat. Dalil yang menyebabkan
pemalingan ini adalah nash (ayat atau hadits), ijma, ‘urf (adat kebiasaan yang berlaku umum), dan ada kalanya
melalui kaidah-kaidah yang berkaitan dengan menghilangkan kesulitan. Dikalangan
ulama Hanabilah terdapat definisi istihsan. Ibn Qudamah (541-620 H/1147-1223
M), Ahli Ushul Fiqih Hanbali mendefinisikannya dengan:[5]
“Berpaling dari hukum dalam suatu
masalahdisebabkan adanya dalil khusus yang menyebabkan pemalingan baik dari
ayat al-qur’an maupun sunnah rasul.
Imam Al-Ghazali
secara tegas memang menolak istilah istihsan tetapi secara substansial ia
menerima konsep istihsan yang dikemukakan imam al-karakhi (tokoh ushul fiqih
hanafiyyah) ada empat bentuk yaitu:
1.
Meninggalkan
qiyas al-jaliy dan mengambil giyas al-khafiy karena ada indikasi yang
menguatkanya.
2.
Meninggalkan
qiyas karena mengikuti pendabat sahabat.
3.
Meninggalkan
qiyas karena ada hadits yang lebih tepat
4.
Meninggalkan
qiyas karena adat kebiasaan (‘urf) menghendakinya.[6]
Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa tiga bentuk pertama dapat
diterima, tetapi bentuk terakhir termasuk istihsan al-bathil (istihsan yang
batal). Dengan demikian istihsan yang ditolak imam al-ghazali adalah istihsan
al-‘urfi.Dari berbagai definisi istihsan yang dikemukakan ulama mazhab di atas
maka dapat disimpulkan bahwa esensi dari istihsan yaitu:
1.
Mentarjih qiyas
al-khafiy dari pada qiyas al-jaliy karena ada dalil yang mendukungnya.
2.
Memberlakukan
pengecualian hukum juz’i dari hukum kulli atau kaidah umum, didasarkan kepada
dalil khusus yang mendukungnya.
b.
Kehujjahan
Istihsan
Sebagaimana
telah dijelaskan, istihsan berarti berpalingnya seorang mujtahid dari suatu
hukum pada suatu masalah dari yang sebandingnya kepada hukum yang lain karena
ada dasar pertimbangan yag lebih pendting yang menghendaki perpaligan.Adapun
dasar pertimbangan ulama dalam menetapkan hukum dengan istihsan adalah
terwujudnya tujuan hukum yang hendak dicapai untuk kepentingan umat, atau
dengan perketaan lain yang menjadi dasar pertimbangan istihsan adalah realisasi
dan terpeliharanya kemaslahatan dan kepentingan umat sebagai tujuan syari’at
atau maqasid al-syar’i.[7]
Maqasid
adalah bentuk jamak dari maqshid, artinya tujuan kehendak, atau rahasia. Untuk
menjelaskan tentang tujuan dan rahasia syari’at, para ulama ushul fikih sering
menggunakan bentuk jamaknya, yaitu maqashid al-syari’at. Untuk menjelaskan
tentang tujuan dan rahasia syari’at itu, kata maqashid kadang-kadang
digabungkan dengan al-syari’at dan kadang-kadang digabungkan dengan al-syar’i
dengan maksud dan pengertian yang sama.
Pendapat ulama terbagi dalam dua
kelompok tentang kehujjahan istihsan. Pertama kelompok yang berpendapat bahwa
istihsan merupakan dalil syara’ yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, dan Mazhab Imam
Ahmad bin Hanbal. Sedangkan kelompok kedua yang menolak penggunaan isthihsan
sebagai dalil syara’ yaitu Asy-Syafi’i, Zahriyyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah.[8]
Para ulama yang menggunakan
istihsan sebagai dalil syara’ mengemukakan banyak argumen diantaranya[9]:
·
Menggunakan
istihsan berarti mencari yang mudah dan meninggalkan yang sulit, sesuai dengan
firman Allah SWT pada Surah Al-Baqarah 185:
Artinya:Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.
·
Firman Allah
SWT Pada Surah Az-Zumar 55:
Artinya: Dan ikutilah sebaik-baik
apa yang telah diturunkan kepadamu dari tuhanmu sebelum datang azab kepadamu
dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya.
·
Ucapan Abdullah
bin Mas’ud
فمارآه المسلمون حسنا فهوعند ا للله حسن
Sesuatu
yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka ia dipandang baik oleh Allah SWT.
Sementara itu, kelompok ulama yang
menolak kehujjahan istihsan mengemukakan dalil antara lain:
a.
Firman Allah
SWT Pada Surah Al-Maidah 49:
Artinya:Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengiku
hawa nafsu mereka.
b.
Firman Allah
SWT Pada Surah An-Nahl 44:
Artinya:
Dan kami turunkan kepada al-qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
c.
Rasulullah SWT
tidak pernah menetapkan hukum berdasarkan istihsan yang dasarnya adalah nalar
murni, melainkan menunggu turunya wahyu. Setiap orang boleh menetapkan hukum
baru untuk kepentingan dirinya.
c.
Macam-macam
Istihsan
Para Ulama Hanafiyyah membagi istihsan beberapa macam yaitu[10]:
·
Istihsan Bi
Al-Nash
Yaitu berpindahnya dari satu penerapan
hukum berdasarkan prinsip dasar universal yang ditetapkan dengan dalil dengan
cakupan umum karena secara spesifik terdapat nash dari Al-Qur’an atau Al-Sunnah
yang menyalahi kaidah umum.[11]
Contoh Istihsan dari
Al-Qur’an adalah diperbolehkan wasiat. Karena dengan penerapan qiyas, maksudnya
kaidah umum. Seharusnya hal ini tidak diperbolehkan, karena dalam wasiat
terdapat pengalihan hak milik setelah status kepemilikannya hilang, yakni
dengan meninggalnya pemilik hak. Namun kaidah umum ini mengalami pengencualian
dengan adanya nash Al-Qur’an yakni:
Artinya
:Pembagian-pembagiantersebut di atas
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat dan sesudah dibayar hutangnya (QS:
An-Nisa 11).
Atau
juga dalam kasus ketika seseorang bernadzar untuk menyedekahkan hartanya.Dengan
penerapan qiyas, seharusnya ia menyedekahkan seluruh hartanya. Namun dengan
istishan, ungkapan harta diarahkan pada hal yang menjadi kewajiban zakatnya
berdasarkan firmal allah:
Artinya:Ambillah zakat dari
harta mereka (QS: At-Taubah 103)
Sedangkan contoh istihsan dengan
Al-Sunnah adalah keabsahan puasa dari orang yang makan atau minum karena lupa.
Berdasarkan kaidah umum seharusnya puasa orang tersebut adalah batal. Akan
tetapi hukum ini dikecualikan oleh hadits Rasulullah saw yang mengatakan:“siapa
yang makan atau minum karena lupa tidak batal puasannya karena hal itu
merupakan rezeki yang diturunkan allah kepadanya. (H.R. Al-Tirmidzi).
·
Istihsan Bi
Al-Ijmah (istihsan yang didasarkan ke pada ijma)
Misalnya dalam kasus
pemandian umum. Menurut ketentuan kaidah umum, jasa pemandian umum itu harus
jelas yaitu berapa lama seseorang mandi dan beberapa jumlah air yang ia pakai.
Akan tetapi hal ini dilakukan maka akan
menyulitkan bagi orang banyak. Oleh sebab itu para ulama sepakat menyatakan
bahwa boleh mempergunakan jasa pemandian umum, sekalipun tanpa menentukan
jumlah air dan lama waktu yang terpakai.
·
Istihsan Bi
Al-Qiyas al-Khofi (istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi)
Misalnya dalam masalah
wakaf lahan pertanian. Menurut ketentuan qiyas jaliy (qiyas yang nyata), wakaf
ini sama dengan jual beli, karena pemilik lahan telah menggudurkan hak miliknya
dengan memindahtangankan lahan tersebut. Oleh sebab itu hak orang lain untuk
melewati tanah tersebut hak orang lain untuk mengalirkan air ke lahan
pertaniannya melalui tanah tersebut, tidak termaksud dalam akad wakaf, kecuali
jika dinyatakan dalam akad. Menurut qiyas al-kahafiy (qiyas yang tersembunyi)
wakaf ini sama dengan sewa menyewa karena dari wakaf ini memanfaatkan lahan
pertanian yang diwakafkan. Apabila seorang mujtahid mengambil hukum kedua qiyas
al-khafiy maka ia disebut berdalil dengan istihsan.
·
Istihsan Bi
Al-Mashlahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan)
Misalnya ketentuan umum
menetapkan bahwa buruh di suatu pabrik tidak bertanggungjawab atas kerusakan
hasil komoditi yang diproduk pabrik, kecuali atas kalaian dan kengesengajaan
mereka karena mereka hanya sebagai buruh yang menerima upah. Maka ulama
Hanafiyyah menggunakan istihsan dengan menyatakan bahwa buruh harus
bertanggungjawab atas kerusakan setiap produk pabrik iru, baik disengaja maupun
tidak.
Ulama Malikiyyah
mencontohkan dengan kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam berobat.
Menurut kaidah umum (qiyas) seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tetapi
dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk didiagnosa
penyakitnya, maka untuk kemaslahatan diri orang itu, menurut kiadah istihsan
seorang dokter boleh melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.
·
Istihsan Bi
Al-‘Urfl (istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum) Contohnya sama
dengan contoh istihsan yang berdasarkan ijma no kedua di atas tadi yaitu dalam
masalah pemandian umum yang tidak ditentukan banyak air dan lama pemandian itu
digunakan oleh seseorang, karena adat kebiasaan setempat bisa dijadikan ukuran
dalam menentukan lama dan jumlah yang terpakai.
·
Istihsan Bi
Al-Dharurah ( istihsan berdasarkan keadaan darurat)
Artinya keadaan-keadaan
darurat yng menyebabkan seseorang mujthhid tidak memberlakukan kaidah umum
qiyas. Misalnya dalam kasus sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum
sumur itu sulit untuk dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air dari sumur
tersebut, karena sumur yang sumbernya dari air mata air, sulit untuk
dikeringkan. Akan tetapi ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa dalam keadaan
seperti ini untuk menghilangkan najis cukup dengan memasukkan beberapa galon
air ke dalam sumur itu karena keadaan drurat menghendaki agar orang tidak
mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan air untuk beribadah dan kebutuhan
hidupnya.
Ditinjau dari segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari
qiyas, istishan ada 3 macam, Yaitu :[12]
a.
Beralih dari
apa yang dituntut oleh qiyas-dhahir kepada yang dikehendaki oleh qiyas-Khafi.
Dalam hal ini si mujtahid tidak menggunakan qiyas dhahir dalam menetapkan
hukumnya, tetapi menggunakan qiyas khafi, karena menurut perhitunggannya cara
itulah yang paling kuat (tepat).
b.
Beralih dari
apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus. Jadi,
meskipun ada dalil umum yang dapat digunakan dalam menetapkan hukum suatu
masalah, namun dalam keadaan tertentu dalil umum itu tidak digunakan, dan
sebagai gantinya digunakan dalil khusus.
c.
Beralih dari
tuntutan hukum kulli kepada tuntutan yang dikehendaki hukum pengecualian.
C.
Pembahasan sumber hukum istishab
a.
Pengertian Istishhab
Menurut Istilah
Ushul istisab yaitu hukum terhadap sesuatu dengan keadaan yang ada sebelumnya,
sampai adanya dalil untuk mengubah keadaan. Atau menjadikan hukum yang tetap
dimasa yang lalu, tetapi tetap dipakai sampai sekarang dan sampai ada dalilnya
untuk mengubahnya[13].
Secara Istilah ada
beberapa definisi istishhab yang dikemukakan para ahli ushul fiqih. Imam
Al-Ghazali mendefinisikan istishhab yaitu berpegang teguh pada dalil akal atau
syara’, bukan didasarkana karena tidak mengetahui adanya dalil, tetapi setelah
dilakukan pembahasan dan penelitian, serta diketahui tidak ada dalil yang
mengubah hukum yang telah ada. Ibn Hazm (384-456 H/994-1064 M/Tokoh Ushul Fiqh
Zhahiriyah) mendefinisihkan istishhab dengan berlakunya hukum asal yang
ditetapkan berdasarkan nash (ayat dan hadits) sampai ada dalil lain yang
menunjukkan perubahan[14]. Kedua
definisi ini mengandung pengertian bahwa hukum-hukum yang sudah ada pada masa
lampau tetap berlaku untuk zaman sekarang dan yang akan datang, selama tidak
ada dalil lain yang mengubah hukum itu. Misalnya seorang membeli seekor kuda
pacuan yang menurut penjualnya kuda tersebut telah terlatih untuk berpacu dan
telah sering ikut pacuan. Akan tetapi setelah dibeli ternyata kuda tersebut
belum terlatih untuk berrpacu, karena pada dasarnya karena pada dasarnya seekor
kuda belum terlatih untuk berpacu, kecuali ada bukti-bukti yang menunjukkan
bahwa kuda itu telah sering ikut pacuan[15].
Dari segi etimologi
istishhab berarti meminta kebersamaan (thalab al-mushahabah), atau berlanjutnya
kebersamaan (istimrar ash-shuhbah). Sedangkan dari segi terminologi terdapat
beberapa definisi istishhab yang dikemukakan ulama antara lain[16].
1.
Menurut
Asy-Syaukani
بقاءالامرمالم يوجدمايغيره
Tetap
berlakunya suatu keadaan selama belum ada yang mengubahnya. Maksudnya yaitu
hukum suatu masalah di masa lalu tetap berlaku di masa kini dan di masa yang
akan datang, dengan syarat tidak terdapat perubahan pada masalah tersebut.
2.
Menurut Ibnu
Al-Qayyim Al-Jauziyyah (w. 715 H)
إستد ا مة ما كا ن ث بتا ونفي ماكان
منفيا حتى يقوم دليل على تغيرالحال
Mengukuhkan
berlakunya suatu hukum yang telah ada, atau menegaskan suatu uhukum yang memang tidak ada, sampai terdapat
dalil lain yang mengubah keadaan tersebut. Maksudnya ialah suatu hukum baik
dalam bentuk positif atau negatif, tetap berlaku selama belum ada yang mengubahnya,
dan status keberlakuan hukum tersebut tidak memerlukan dalil lain untuk tetap
terus berlaku.
3.
Menurut Ibnu
Hazm
بقاءحكم الاصل الثابت بالنصو ص حتى
يقوم الدليل منهاعلى التغير
Tetap
berlakunya suatu hukum didasrkan atas nashsh, sampai ada dalil yang menyatakan
berubahnya hukum tersebut. Maksudnya ialah suatu hukum dinyatakan tetap berlaku
jika landasannya adalah nashsh.
Dari ketiga definisi yang dilakukan ulama di atas dapat
dipahami bahwa yang dimaksud dengan istishhab memiliki beberapa unsur ketentuan
sebagai berikut.
1.
Setiap hukum
yang telah ada pada masa lalu, baik dalam bentuk itsbat (pengukuhan
suatu hukum) maupun dalam bentuk nafy (penegasian hukum), maka hukum
tersebut dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang.
2.
Perubahan hukum
yang ada hanya dapat terjadi, jika terdapat dalil yang mengubahnya.
3.
Berbeda dengan
ulama lainya, Ibnu Hazm menegaskan pengakuan terhadap berlakunya hukum di masa
lalu harus berdasarkan dalil nashsh.
b.
Macam-Macam Istishhab disepakati
Para ulama ushul fiqh mengemukakan
bahwa istishhab ada 5 macam, yang sebagiannya disepakati dan sebagian lainnya
diperselisihkan yaitu[17]:
1.
استصحاب
حكم الاباحة الأصلية (Tetap
berlakunya hukum mubah yang dasar)
Yaitu pada dasarnya seseorang boleh
melakukan atau menggunakan segala sesuatu yang bermanfaat, selama tidak ada
dalil syara’ yang menegaskan hukum tertentu. Istishhab yang pertama ini hanya
berlaku dalam bidang muamalah, tidak dalam bidang ibadah dan akidah. Contohnya
semua jenis makanan dan minuman yang tidak ada larangan syara’ terhadapnya,
maka ia boleh dimakan, selama ia bermanfaat. Istishhab dalam bentuk pertama ini
terdapat dalam surat al-baqarah ayat 29 yang berfirman:[18]
Artinya: Dia (Allah) yang menciptakan
semua yang ada di bumi untuk kamu.
Demikian juga firman allah pada surah al-a’raf 32:
Artinya:
“Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari allah yang telah dikeluarkan
untuk hambanya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezekiyang baik-baik ?”
Katakanlah semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam
kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah kami
menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.
Dan firman allah pada surah
Al-Maidah 87:
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu haramkan sesuatu yang baik yang
telah allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
2. Istishhab
menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus.Contohnya
seseorang yang telah berwudhu dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab
yang membatalkannya. Apabila seseorang merasa ragu apakah wudhunya masih ada
atau telah batal, maka berdasarkan istishhab, wudhunya itu dianggap masih ada
karena keraguan yang muncul terhadap batal atau tidaknya wudhu tersebut, tidak
bisa mengalahkan keyakinan seseorang bahwa ia masih dalam keadaan berwudhu.
3.Istishhab
terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya
dan istishhab dengan nash selama tidak ada dalil naskh (yang membatalkannya).
Contohnya kewajiban berpuasa yang dicantumkan allah dalam surat Al-Baqarah Ayat
183 yang Berfirman:
Artinya
:Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan bagi kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan bagi umat sebelum kamu bertaqwah.
4.
Istishhab hukum
akal sampai datangnya hukum syar’i Maksudnya umat manusia tidak dikenalkan
hukum-hukum syar’i sebelum datangnya syara’, seperti tidak adanya pembebanan
hukum dan akibat hukumnya terhadap umat manusia sampai datangnya dalil syara’
yang menentukan hukum. Misalnya
seseorang menggugat (penggugat) orang lain (tergugat) bahwa ia berhutang kepada
penggugat sejumlah uang, maka penggugat berkewajiban untuk mengemukakan
alat-alat bukti atas tuduhannya
5.
Istishhab hukum
yang ditetapkan berdasarkan ijma’ Tetapi keberadaan ijma’ itu diperselisihkan.
Istishhab seperti ini diperselisihkan para ulama tentang kehujjahannya[19].
Misalnya para ulama fiqih menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak
ada, seseorang boleh bertayammum untuk mengerjakan shalat. Apabila shalatnya
selesai ia kerjakan, maka shalatnya dinyatakan sah. Akan tetapi apabila dalam
keadaan shalat ia melihat ada air apakah shalatnya harus di batalkan untuk
kemudian berwudhu’ atau shalat itu ia teruskan?
Menurut ulama Malikiyyah dan Syafi’iyyah, orang tersebut
tidak boleh membatalkan shalatnya karena adanya ijma’ yang menyatakan bahwa
shalat itu sah apabila dikerjakan sebelum melihat air. Mereka menganggap hukum
ijma’ itu tetap berlaku sampai adanya dalil yang menenjukkan bahwa ia harus
membatalkan shalatnya untuk kemudian berwudhu dan mengulang kembali shalatnya.
Akan tetapi
ulama Hanafiyyah dan Hanabilah mengatakan orang yang melakukan shalat dengan
tayamum dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan shalatnya, untuk
kemudian berwudhu’ dan mengulangi shalatnya. Mereka tidak menerima ijma’
tentang sahnya shalat orang yang bertayammum sebelum melihat air karena ijma’
menurut mereka hanya terkait dengan hukum sahnya shalat bagi orang dalam
keadaan ketiadaan air, bukan dalam keadaan tersedianya air.
c. Kehujjahan
Istishhab
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang
kehujjahan istishhab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu yang
dihadapi[20].
1. Menurut Mayoritas Mutakallimin (ahli kalam)
Yaitu
istishhab tidak bisa dijadikan dalil karena hukum yang ditetapkan pada masa
lampau menghendaki adanya dalil. Alasan mereka bahwa istishhab merupakan
penentapan hukum tanpa dalil, karena sekalipun suatu hukum telah ditetapkan
pada masa lampau dengan suatu dalil, namun untuk memberlakukan itu untuk masa
yang akan datang diperlukan dalil lain. Istishhab menurut mereka bukan dalil.
Karena menetapkan hukum yang ada di masa lampau berlangsung terus untuk masa
yang akan datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal ini tidak
dibolehkan syara’.
2. Menurut Mayoritas Ulama Hanafiyyah, khususnya muta’akhkhirin
(generasi belakangan), istishab bisa menjadi hujjah untuk menetapkan hukum yang
telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan
datang, tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan datang. Alasannya seorang
mujtahid meneliti suatu masalah yang sudah ada dan mempunyai gambaran bahwa
hukumnya sudah ada atau sudah dibatalkan. Akan tetapi ia tidak mengetahui atau
tidak menemukan dalil yang menyatakan bahwa hukum itu telah dibatalkan.
3. Menurut Ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Zhahiriyyah dan
Syi’ah Berpendapat bahwa Istishhab bisa menjadi hujjah secara mutlak untuk
menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada dalil yang mengubahnya.
Alasannya mereka yaitu sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu, selama
tidak ada dalil yang mengubahnya, baik secara qath’i (pasti) maupun zhanni
(relatif) bisa dijadikan landassan hukum.
d.
Kaidah-Kaidah Istishhab
Para Ulama Fiqih menetapkan beberapa kaidah umum yang didasarkan
kepada istishhab yaitu sebagai berikut[21]:
1. Al-ashl Baqa’ ma’ ka’na ala’ ma’ ka’na h atta yutsbita ma
yughayyiruhYaitu seluruh hukum yang sudah ada dianggap berlaku terus sampai
ditemukan dalil yang menunjukkan hukum itu tidak berlaku lagi.
2. Al-ashl fi’ al-asyya’ al-ibahah Yaitu hal-hal yang bersifat
bermanfaat bagi manusia hukumnya boleh dimanfaatkan.
3. Al-ashl la yuzal bi al-syakkYaitu suatu keyakinan tidak bisa
dibatalkan oleh sesuatu yang diragukan akan
D. Pembahasan
sumber hukum maslahat mursalah
a. Pengertian
maslahah muursalah
Secara
etimologis, kata اَلْمَصْلَحَةْ jamak المصا لح berarti
sesuatu yang baik. Yang bermanfaat dan ia merupakan lawan dari keburukan atau
kerusakan dan didalam bahasa Arab sering pula disebut dengan الخير والوصب yaitu
yang baik dan benar.[22]
Jalaludin
abdurrahman secara tegas menyebutkan bahwa maslahat dengan pengertian yang
lebih umum dan yang dibutuhkan itu ialah semua apa yang bermanfaat bagi manusia
baik yang bermanfaat untuk meraih kebaikan dan kesenangan maupun yang bersifat
untuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan[23] Dalam buku lain disebutkan bahwa, Maslahah
mursalah (kesejahteraan umum) yakni yang di mutlakkan (masalah bersifat umum)
menurut istilah ulama ushul yaitu, maslahah dimana syar’i tidak mensyari’atkan
hukum untuk mewujudkan maslahah itu, juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan
atas pengakuannya atau pembatalannya. Maslahah itu disebut mutlak, karena tidak
dibatasi dengan dalil pengakuan atau dalil pembatalan.[24]
Penjelasan
definisi ini, yaitu bahwa pembentukan hukum itu tidak dimaksudkan, kecuali
merealisir kemaslahatam umat manusia. Artinya mendatangkan keuntungan bagi
mereka dan menolak madharat serta menghilangkan kesulitan daripadanya. Dan
bahwasannya kemaslahatan umat manusia itu tidak terungakap bagian-bagiannya,
tidak terhingga pula individu-individunya. Maslahah itu jadi baru menurut
barunya eadaan umat manusia, dan berkembang menurut perkembangan lingkungan.
Sedangkan pemebentukan hukum itu, terkadang mendatagkan keuntungan pada suatu
zaman dan mendatangkan madharat pada zaman yang lain. Pada suatu zaman, hukum
itu terkadang mendatangkan keuntungan bagi suatu lingkungan dan bisa
mendatangkan madharat bagi lingkungan yang lain.
Dengan
kata lain dapat difahami bahwa maslahah mursalah adalah suatu hukum yang
ditetapkan sesuai dengan kebaikan yang akan didapat oleh seseorang yang
menjalankan hukum tersebut. Dan maslahah disini tidak hanya untuk perseorangan
melainkan mencakup banyak umat muslim.
Kemudian
maslahat menurut pengertian syara’ pada dasarnya di kalangan ulama ushul
mempunyai pandangan yang sama, meskipun berbeda dalam memberikan definisi.
Jalaludin Abdurrahman misalnya menyebutkan sebagai berikut:
“maslahat ialah memelihara
maksud hukum syara’ terhadap berbagai kebaikan yang telah digariskan dan
ditetapkan batas-batasnya, bukan berdasarkan keinginan dan hawa nafsu manusia
belaka.”[25]
Selanjutnya, imam ghazali, mendefinisikan
maslahat sebagai berikut:
المصلحة فهي عبارة فى الأصل عن جلب منفعة أو دفع مرة
Maslahat pada dasarnya ialah berusaha meraih dan mewujudkan manfaat
atau menolak kemudaratan.
Sementara
itu menurut Ibnu Taimiyah sebagaimana dikutip oleh abu zahrah, bahwa yang
dimaksud dengan maslahat ialah pandangan mujtahid tentang perbuatan yang
mengandung kebaikan yang jelas dan bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum syara’.[26]
Untuk menghukumi sesuatu yang tidak
dijelaskan oleh syariat perlu dipertimbangkan faktor manfaat dan madharatnya.
Bila madharatynya lebih banyak maka dilarang oleh agama, atau sebaliknya. Hal
ini sebagaimana dijelaskan ibnu taimiyah:[27]
حكم شيء هو حرام أومباح فلينظر الى مفسدة ومصلحة
Artinya: “berubahnya suatu hukum menjadi haram atau mubah
bergantung kepada mafsadatan atau maslahahnya.”
Contoh maslah mursalah sendiri diantaranya,
dalam al-Quran tidak ada perintah pengumpulan al-Quran dari hafalan da tulisan,
tapi para sahabat melakukannya. Kemudian masalah mensyaratkan adanya surat
kawin, untk syahnya gugatan dalam soal perkawinan, nafkah, waris dll.[28]
b.
Dalil-dalil ulama yang menjadikan hujjah maslahah mursalah
Jumhur
ulama umat islam berpendapat, bahwa maslahah mursalah itu adalah hujjah
syari’at yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasannya kejadian yang
tidak ada hukumnya dalam nash dan ijma’ atau Qiyas atau istihsan itu
disyari’atkan padanya hukum yang dikehendaki oleh maslahah umum, dan tidaklah
berhenti pembentukan hukum atas dasar maslahah ini karena adanya saksi syar’i
yang mengakuinya.[29]Dalil
mereka mengenai hal ini ada dua hal:
Pertama,
yaitu bahwa maslahah umat manusia itu selalu baru dan tidak ada habisnya. Maka
seandainya tidak disyariatkan hukum mengenai kemaslahatan manusia yang baru dan
mengenai sesuatu yang dikehendaki oleh perkembangan mereka, serta pembentukan
hukum itu hanya berkisar atas masalah yang diakui oleh syar’i saja, maka
berarti telah ditinggalkan beberapa kemaslahatan umat manusia pada berbagai
zaman dan tempat. Dan pembentukan hukum itu tidak termakudkan merealisir
kemaslahatan ummat manusia.[30]
Kedua, bahwasannya orang yang
meneliti pembentukan hukum para sahabat, tabi’in dan para mujtahid, maka jadi
jelas, bahwa mereka telah mensyariatkan beberapa hukum untuk merealisir
maslahah secara umum,bukan karena adanya saksi yang mengakuinya. Maka: Abu
Bakar telah menghimpun beberapa lembaran yang cerai-berai, yang telah ditulis
di dalamnya Al-Qur’an dan menerangi para penghalang zakat. Kemudian mengangkat
khalifah Umar bin Khattab sebagai gantinya.[31]
Berdasarkan penelitian para ulama
jelas bahwa syari’ah islamiyah mengandung kemaslahatan bagi manusia di dalam
mengatur hidup dan kehidupannya di dunia, hal ini ditegaskan di dalam al-qur’an[32]:
Artinya: Kami tidak mengutusmu (Muhammad) melainkan sebagai
(pembawa) rahmat bagi sekalian alam (Al-Anbiya:107).
Artinya:
Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat dari tuhan kamu dan
penawar bagi (penyakit) yang ada pada dada-dada (kamu) dan (telah datang)
petunjuk serta rahmat bagi orang-orang mukmin (Yunus:57).
Artinya:
Dan mereka bertanya kepadamu (hai Muhammad) tentang anak-anak yatim,
katakanlah: “Berbuat kebaikan kepada mereka adalah lebih baik, dan jika kamu
.bercampu (urusan) dengan mereka, maka mereka itu saudara-saudara kamu. Dan
Allah mengetahui orang-orang yang berbuat jahat (mafsadat) daripada orang yang
berbuat baik (maslahah) (Al-Baqarah:220).
c.
Syarat-syarat menjadikan hujjah maslahah mursalah
Para
ulama yang menjadikan hujjah maslahah mursalah, mereka berhati-hati dalam hal
itu, sehingga tidak menjadi pintu bagi pembentukan hukum syari’at menurut hawa
nafsu dan keinginan perorangan. Karena itu mereka mensyaratkan dalam maslahah
mursalah yang dijadikan dasar pembentukan hukum itu tiga syarat sebagai
berikut:[33]
1.
Berupa maslahah
yang sebenarnya, bukan maslahah yang bersifat dugaan. Yang imaksud dengan ini,
yaitu agar dapat direalisir pembentukan hukum itu mendatangkan keuntungan atau
menolak madharat. Adapun dugaan semata bahwa pembentukan hukum itu
mendatangakan keuntungan-keuntungan tanpa pertimbangan diantara maslahah yang
dapat didatangkan oleh pembentukan hukum itu, maka ini berarti adalah
didasarkan atas masalah yang bersifat dugaan, contoh maslahah ini ialah maslaha
yang didengar dalam hal merampas hak suami untuk menceraikan istrinya, dan
menjadikan hak menjatuhkan talak itu bagi hakim (qadhi) saja dalam segala
keadaan.
2.
Berupa maslahah
yang umum, bukan maslahah yang bersifat perorangan. Yang dimaksud dengan ini,
yaitu agar dapat direalisir bahwa dalam pembentukan hukum suatu keajadian dapat
mendatangkan keuntungan kepada kebanyakan ummat manusia, atau dapat menolak
madharat dari mereka, dan bukan mendatangkan keuntungan kepada seseorang atau
beberapa orang saja diantara mereka . kalau begitu, maka tidak dapat
disyariatkan sebuah hukum, karena ia hanya dapat merealisir maslahah secara khusus kepada amir, atau kepada
kalangan elit saja, tanpa memperlihatkan mayoritas umat dan kemaslahatannya.
Jadi maslahah harus menguntungkan (manfaat) bagi mayoritas umat manusia.
3.
Pembentukan
hukum bagi maslahah ini tidak bertentangan dengn hukum atau prinsip yang telah
ditetapkan oleh nash atau ijma’. Jadi tidak sah mengakui maslahah yang menuntut
adanya kesamaan hak diantara anak laki-laki dan perempuan dalam hal pembagian
harta pusaka, karena masalah ini adalah masalah yang dibatallkan. oleh karena
itu fatwa Yahya Ibnu Yahya al-Laits al-Maliki, ulama fikih andalus berbuka
secara sengaja pada siang bulan ramadlan, kemudian Imam Yahya memberi fatwa
bahwa tidak ada denda, tebusan bagi perbuatan berbuka raja itu, kecuali
berpuasa dua bulan berturut-turut. Dia mendasarkan fatwanya, bahwa maslahah
mengehendaki ini, karena yang dimaksud dengan kafarat ialah melarang orang yang
berbuat dosa dan menahannya sehingga tidak kembali kepada perbuatan semisal
dosanya, dan tidak bisa menahan kepada raja ini kecuali ini. Adapun keadaan
memerdekakan budak maka hal ini mudah sekali bagi raja, namun tidak bisa
menghajar kepadanya. Fatw didasarkan kepada maslahah, namun fatwa itu
bertentngan dengan nash, karena dalam nash telah jelas, bahwa kafarat orang
yang berbuka pada siang hari di bulan ramadhan secara sengaja adalah
memerdekakan budak, maka siapa yang tidak mendapat budak harus berpuasa dua
bulan berturut-turut. Sedangkan yang tidak mampu mengerjakan puasa dua bulan
berturut-turut harus memberi makan kepada 60 orang miskin, dengan tanpa
membedakan antara raja yang berbuka atau fakir yang berbuka jadi maslahah yang
diakui oleh mufti karena menetapkan raja dengan kafarat puasa dua bulan secara
khusus, adalah bukanlah maslahah yang umum, bahkan maslahah yang dibatalkan.
Tentang persyaratan untuk menggunakan maslahat mursalah ini,
dikalan ulama ushul memang terdapat perbedaan baik dari segi istilah maupun
jumlahnya. Zaky al-Din Sya’ban, misalnya meyebutkan tiga syarat yang harus
diperhatikan bila menggunakan maslahat mursalah dalam menetapkan hukum. Ketiga
syarat itu adalah sebagai berikut:[34]
1. Kemaslahatan itu hendaknya kemaslahatan yang memang tidak terdapat
dalil yang menolaknya. Dengan kata lain, jika terdapat dalil yang menolaknya
tidak dapat diamalkan. Misalnya, menyamakan anak laki-laki dan anak
perempuandalam pembagian harta warisan. Sebab ketentuan pembagian warisan telah
diatur dalam nash secara tegas. Hal seperti ini tidak dinamakan dengan maslahat
mursalah. Hakekakt maslahat mursalah itu sama sekali tidak ada dalil dalam nash
baik yang menolak maupun yang mengakuinya, tetapi terdapat kemalshatan yang
dihajatkan oleh manusia yang keberadaannya
sejalan dengan tujuan syara’.
2. Maslahat mursalah itu hendaknyaa maslahat yang dapat dipastikan
bukan hal yang samar-samar atau perkiraan dan rekayasa saja. Menurut Zaky
al-Din sya’ban, disyaratkan bahwa maslahat mursalah itu berdasarkan keinginan
saja, karena hal yang demikian tidak dapat diamalkan.
3. Maslahat mursalah hendaklah maslahat yang bersifat umum. Yang dimaksud
dengan maslahat yang bersifat umum ini adalah kemaslahatan yang memang terkait
dengan kepentingan orang banyak.
d.
Pembagian Maslahat
Dilihat
dari segi pembagian maslahat ini, dapat dibedakan kepada dua macam yaitu,
dilihat dari segi tingkatannya dan eksistensinya.[35]
a. Maslahat dari segi tingakatannya
Yang dimaksud
dengan macam maslahat dari segi tingkatannya ini ialah berkaitan dengan
kepentingan yang menjadi hajat hidup manusia. Menurut mustafa said al-kind.
Maslaha dilihat dari segi martabatnya ini dapat dibedakan menjadi tiga macam.
1.
Disebut dengan
maslahat dharuriyat
Yang dimaksud dengan maslahat dharuriyat pada
tingkatan ini ialah kemaslahatan yag menjadi dasar tegaknya kehidupan asasi
manusia baik yang berkaitan dengan agama maupun dunia. Jika ia luput dalam
kehidupan manusia maka mengakibatkan rusakya tatanan kehidupan manusia
tersebut.Zakaria al-Biri menyebutkan bahwa maslahat daruriyat ini
merupakandasar asasi untuk terjaminnya kelangsungan hidup manusia. Jika ia
rusak, maka akan muncullah fitnah dan bencana yang besar.
Lebih lanjut zakaria al-Birimenjelaskan
bahwa yang termasuk dalam lingkup maslahat doruriyat ini ada lima macam, yaitu
hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta. Umumnya para pakar ushul fiqh, seperti jalaludin Abdurrahman Muhammad
Said Ali Rabuh, Muhammad Abu Zahrah dan Mustafa Said al-Kind berpendapat sama
dengan Zakariyya al-Biri bahwa kelima macam aspek yang termasuk dalam lingkup
maslahat daruriyat yang disebutkan diatas tadi, merupakan maslahat yang paling
asasi. Kelima macam maslahat ini harus dipelihara dan dilindungi. Karena jika
terganggu akan mengakibatkan rusaknya sendi-sendi kehidupan.
2.
Disebut dengan
maslahat hajiyyat
Yang dimaksud dengan maslahat hajiyyat jenis
ini ialah persoalan-persoalan yang dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan
kesulitan dan kesusahan yang dihadapi. Dengan kata lain, dilihat dari segi
kepentingannya, maka maslahat ini lebih rendah tingkatannya dari maslahat
daruriyat. Diantara ketentuan hukum yang disyariatkan untuk meringankan dan
memudahkan kepentingan manusia ialah semua keringanan yang dibawa oleh ajaran
islam, seperti boleh berbuka puasa bagi musafir, dan orang yang sedang sakit,
mengqasar shalat ketika dalam perjalanan. Contoh yang disebutkan ini merupakan
kemaslahatan yang dibutuhkan manusia. Sekiranya tidak dapat diwujudkan dalam
kehidupan tidaklah akan mengakibatkan kegoncangan dan kerusakan, tetapi hanya
akan menimbulkan kesulitan saja.
3.
Disebut dengan
maslahat tahsiniyyah
Maslahat
ini sering pula disebut dengan maslahat takmiliyyah yang dimaksud dengan
maslahat jenis ini adalah sifatnya untuk memelihara kebagusan dan kebaikan budi
pekerti serta keindahan saja. Sekiranya, kemaslahatan tidak dapat diwujudkan
dalam kehidupan tidaklah menimbulkan kesulitan dan kegoncangan serta rusaknya
tatanan kehidupan manusia. Dengan kata lain kemaslahatan ini hanya mementingkan
keindahan saja. Misalnya, seperti disebutkan oleh Muhammad al-Said Ali Abd
Rabuh bahwa dalam urusan ibadat Allah telah mensyariatkan berbagai bentuk
kesucian, menutup aurat dan berpakaian yang indah dan begitu pula dalam hadits
Nabi diajarkan untuk memakai harum-haruman yang pada dasarnya menjadi
kesenangan manusia. Dan termasuk pula, misalnya yang berkenan dengan adab dan
tata cara makan-minum serta membersihkan diri. Kesemua maslahat yang dikategorikan
kepada maslahat tahsiniyyat ini, sifatnya hanya untuk kebaikan dan
kesempurnaan. Sekiranya tidak dapat diwujudkan dan dicapai tidak sampai
menyulitkan dan merusak tatanan kehidupan mereka, tetapi ia dipandang penting
dan dibutuhkan.
b. Maslahat dilihat dari segi eksitensinya
Jika maslahat dilihat dari segi ekdidtensi
atau wujudnya para ulama ushul, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Karim Zaidan,
membaginya kepada tiga macam.
1.
Disebut dengan
maslahat mu’tabarah
Yang
dimaksud dengan maslahat jenis ini adalah kemaslahatan yang terdapat nash
secara tegas menjelaskan dan mengakui keberadaannya. Dengan kata lain, seperti
disebutkan oleh muhammad al-Said Ali Abd. Rabuh, kemaslahatan yang diakui oleh
syar’i yang terdapatnya dalil yang jelas untuk memelihara dan melindunginya.
Jika syar’i menyebutkn dalam nash
tentang hukum suatu peristiwa dan menyebutkan nilai maslahat yang dikandungnya,
maka hal tersebut disebut dengan maslahat mu’tabarah. Yang termasuk kedalam
maslahat ini adalah semua kemaslahatan yang dijelaskan dan disebukan oleh nash,
seperti memelihara agama, jiwa, keturunan, dan harta benda. Oleh karena itu,
Allah SWT. Telah menetapkan agar berusaha dengan jihad untuk melindungi agama,
melakukan qisas bagi pembunuhan, menghukum pelaku pemabuk demi memelihara akal,
menghukum pelaku zina dan begitu pula menghukum pelaku pencurian
2.
Disebut dengan
maslahah mulgah
Yang dimaksud dengan maslahah ini ialah
maslahat yang berlawanan dengan ketentuan nash. Dengan kata lain, maslahat yang
tertolak karena ada dalil yang menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan
ketentuan dalil yang jelas.
Contoh yang sering dirujuk dan
ditampilkan oleh ulama ushul ialah menyamakan pembagian harta warisan antara
seorang perempuan dengan saudara laki-lakinya. Penyamaan antara seorang
perempuan dengan saudara laki-lakinya tentang warisan memang terlihat ada
kemaslahatannya, tetapi berlawanan dengan ketentuan dalil nash yang jelas dan
rinci dalam QS an-Nisa’: 11
3.
Disebut dengan
maslahat mursalah
Yang dimaksud dengan maslahat mursalah
ini ialah maslahat yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun baik yang
mengakuinya maupun yang menolaknya. secara lebih tegas maslahat mursalah ini
termasuk jenis maslahat yang didiamkan oleh nash, Abdul Karim Zaidan
meneyebutkan yang dimaksud dengan maslahat mursalah ialah “ maslahat yang tidak
disebutkan oleh nash baik penolakannya maupun pengakuannya.”.
Dengan demikian maslahat mursalah ini
merupakan maslahat yang sejalan dengan tujuan syara’ yang dapat dijadikan dasar
pijakan dalam mewujudkan kebaikan yang dihajatkan oleh manusia serta terhindar
dari kemudaratan. Diakui hanya dalam kenyataannya jenis maslahat yang disebut
terakhir ini terus tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat
islam yang dipengaruhi oleh perbedaan kondisi dan tempat.
E. Kesimpulan
Istihsan Secara etimologi
istihsan ialah “mengatakan dan meyakini baiknya sesuatu”. Secara terminologi
Imam Al-Bazdawi (400-482 H/1010-1079 M: Ahli Ushul Fiqih Hanafi) mendefinisikan
istihsan dengan: “Berpaling dari kehendak qiyas kepada yang lebih kuat atau
pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang lebih kuat”.
Para ulama yang menggunakan istihsan
sebagai dalil syara’ mengemukakan banyak argumen diantaranya[36]:
·
Menggunakan
istihsan berarti mencari yang mudah dan meninggalkan yang sulit, sesuai dengan
firman Allah SWT pada Surah Al-Baqarah 185:
Artinya:Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.
·
Firman Allah
SWT Pada Surah Az-Zumar 55:
Artinya: Dan ikutilah sebaik-baik
apa yang telah diturunkan kepadamu dari tuhanmu sebelum datang azab kepadamu
dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya.
·
Ucapan Abdullah
bin Mas’ud
فمارآه المسلمون حسنا فهوعند ا للله حسن
Sesuatu
yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka ia dipandang baik oleh Allah SWT.
Istishab
merupakan hukum yang sudah ada sampai adanya hukum lain yang mengubahnya, bila
hukum yang sudah ada menyatakan hukum ithbat (penetapan), maka hukum ithbat itu
tetap berlaku sampai adanya dalil yang merubahnya. Begitu pula bila hukum yang
sudah ada menetapkan hukum Nafy (peniadaan), maka hukum nafy itu tetap berlaku
sampai dengan adanya dalil yang merubahnya. Istishab terdiri dari beberapa
macam yaitu: Istishhab menurut akal dan syara’, Istishhab terhadap dalil yang
bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya, Istishhab hukum
akal sampai datangnya hukum syar’i, Istishhab hukum yang ditetapkan berdasarkan
ijma’ Tetapi keberadaan ijma’ itu diperselisihkan dan Al-ashl baqa’ ma kana ala
ma kana batta yutsbita ma yughayyiruh. Terdapat beberapa kaidah yang dapat
dikatakan muncul berdasarkan istishab seperti: Al-ashl Baqa’ ma’ ka’na ala’ ma’
ka’na h atta yutsbita ma yughayyiruh, Al-ashl fi’ al-asyya’ al-ibahah, dan Al-ashl
la yuzal bi al-syakk.
maslahah mursalah adalah suatu hukum
yang ditetapkan sesuai dengan kebaikanyang akan didapat oleh seseorang yang
menjalankan hukum tersebut. Dan maslahah disini tidak hanya untuk perseorangan
melainkan mencakup banyak umat muslim.Berdasarkan penelitian para ulama jelas
bahwa syari’ah islamiyah mengandung kemaslahatan bagi manusia di dalam mengatur
hidup dan kehidupannya di dunia, hal ini ditegaskan di dalam al-qur’an[37]:
Artinya: Kami tidak mengutusmu (Muhammad) melainkan sebagai
(pembawa) rahmat bagi sekalian alam (Al-Anbiya:107).
Artinya:
Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat dari tuhan kamu dan
penawar bagi (penyakit) yang ada pada dada-dada (kamu) dan (telah datang)
petunjuk serta rahmat bagi orang-orang mukmin (Yunus:57).
Artinya:
Dan mereka bertanya kepadamu (hai Muhammad) tentang anak-anak yatim,
katakanlah: “Berbuat kebaikan kepada mereka adalah lebih baik, dan jika kamu
.bercampu (urusan) dengan mereka, maka mereka itu saudara-saudara kamu. Dan
Allah mengetahui orang-orang yang berbuat jahat (mafsadat) daripada orang yang
berbuat baik (maslahah) (Al-Baqarah:220).
DAFTAR
PUSTAKA
Dahlan,
Abd Rahman. 2011.Ushul fikih. Jakarta: Amzah
Djazuli,
Nurol Aen. 2000. Ushul Fiqh Metode Hukum Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Forum
karya ilmiah. 2004. Kilas balik teoritis fikih islam. Kediri: PP Lirboyo
Haroen,
Nasrun.1997. Ilmu suhul fiqih 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Karim,
Syafi’i. 2001. Fiqih-shul fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia
Romli.
1999. Muqaranah mazahib fil ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama
Syafe’i,
Rachmat. 2010 . ilimu ushul fikih. Bandung: Pustaka Setia
Usman,
Iskandar. 1994. Istihsan dan pembaharuan hukum islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Wahab,
Abdul Khallaf. 2002.Kaidah-kaidah hukum islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Wahab,
Abdul khallaf. 1999. Ilmu ushul fikih. Jakarta: PT Rineka Cipta
Catatan:
1.
Perujukan
masih belum maksimal.
2. Cara penulisan kesimpulan salah.
[1]Op,
Chit,Nasrun Haroen, hal. 102
[2]Op,
Chit,Nasrun Haroen, hal. 103
[3]Op,Chit,
Nasrun Haroen, hal. 103
[4]Op,
Chit,Nasrun Haroen, hal. 104
[5]Op,
Chit,Nasrun Haroen, hal. 104
[6]Op,
Chit,Nasrun Haroen, hal 105
[7]
Usman.1994. istihsan dan pembaharuan hukum islam. Jakarta: RaJa Grafindo
Prasada. Hal:67
[8]ibid
[9]Op,
Chit, Abd Rahman Dahlan, hal. 203-205
[10]Op,
Chit,Nasrun Haroen, hal. 105-107
[11]Op,
Chit,Forum Karya Ilmiah, hal. 233
[12]
Syafe’i. 2010.Ilmu Ushul Fikih. Bandung: Pustaka Setia. Hal:111
[13] Syekh
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta:PT Rineka Cipta, 2005),
hal. 107
[14] Nasrun
Haroen, Ushul Fiqih I, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 128
[15]Op,
Chit, Nasrun Haroen, hal.129
[16] Abd
Rahman Dahlan, Ushul Fiqih., (Jakarta:AMZAH, 2011), hal. 217-218
[17]Op,
Chit, Nasrun Haroen, hal.129
[18]Op,
Chit, Abd. Rahman Dahlan, hal.219-220
[19] Forum
Karya Ilmiah, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kediri Jawa Timur: PP.
Lirboyo Kediri Jawa Timur, 2004), hal. 202
[20]Op,Chit,
Nasrun Haroen, hal.129-133
[21]Op,
Chit,Nasrun Haroen, hal.136-137
[22] Romli. muqaranah
mazahib fil ushul. (Jakarta: Gaya Media Pratama. 1999), Hal. 159
[23] Ibid
[25] Ibid
[26] Ibid
[27] Karim. Fiqih-ushul
fikih. (Bandung: CV Pustaka Setia.2001), Hal:84
[28] ibid
[29] Wahab. Kaidah-kaidah
hukum islam. (Jakarta:Raja Grafindo Persada. 2002), Hal. 125
[30]
Wahab Kaidah-kaidah hukum islam.
Jakarta:Raja Grafindo Persada.2002), hal:127-128
[31] Ibid
[32]Op,Chit,Djazuli,
Nurol Aen, hal. 173
[33] Ibid
[34] Romli. muqaranah
mazahib fil ushul. (Jakarta: Gaya Media Pratama. 1999),Hal: 165-166
[35] Romli. Muqaranah
mazahib fil ushul. (Jakarta: Gaya Media Pratama. 1999), Hal: 159-165
[36]Op,
Chit, Abd Rahman Dahlan, hal. 203-205
[37]Op,Chit,Djazuli,
Nurol Aen, hal. 173
Tidak ada komentar:
Posting Komentar