Integrasi Ilmu-Ilmu Sosial dan al-Qur’an
(Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo)
Sayu Darmayanti, Ferdha Indra Prasetya,
dan Istianah
Mahasiswa Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial Kelas C Angkatan 2015
Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail : sayudarma.28@gmail.com
Abstract
This
article discusses the matters relating to the integration of social science and
the Qur’an or socialprophetic science by Kuntowijoyo. Starting from a position
of social science and the Qur’an, the biography of Kuntowijoyo, and the social
propheticsciences according Kuntowijoyo. One of his thinking is the
socialprophetic science. For him, the social sciences should not be complacent
in an attempt to explain or understand the reality and then forgive him for
granted but more than that, the social sciences also should to assume the task
of transformation towards the ideals of idealized society. Then, he formulated
three basic values as the basis of socialprophetic science, namely:
humanization, liberation and transcendence. Thus, this prophetic knowledge is
presenting Islam as a science with the natural way of thinking of the Qur'an.
Moslem not only thinking rationally and left ways of thinking myth, but also
thinking empirically in understanding the Qur'an.
Keywords: Kuntowijoyo, Social Sciences
Prophetic, Al-Qur’an, Integration
Abstrak
Artikel ini
membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan integrasi ilmu sosial dan
Al-quran atau ilmu sosial profetik menurut Kuntowijoyo. Mulai dari posisi ilmu
sosial dan Al-Qur’an, biografi Kuntowijoyo, serta ilmu sosial profetik menurut
Kuntowijoyo. Yang mana pemikirannya yaitu tentang ilmu sosial profetik. Baginya,
ilmu sosial tidak boleh berpuas diri dalam usaha untuk menjelaskan atau
memahami realitas dan kemudian
memanfaatkannya begitu saja tetapi lebih dari itu, ilmu sosial harus
juga mengemban tugas transformasi menuju cita-cita yang diidealkan
masyarakatnya. Ia kemudian merumuskan tiga nilai dasar sebagai pijakan ilmu
sosial profetik, yaitu : humanisasi, liberasi dan transendensi. Dengan
demikian, dengan adanya ilmu sosial profetik ini menghadirkan islam sebagai
ilmu dengan cara berpikir alamiah terhadap Al-Qur’an. Selain berpikir secara
rasional dan meninggalkan cara-cara berpikir mitos, umat islam harus juga
berpikir secara empiris dalam memahami Al-Qur’an.
Keywords: Kuntowijoyo, Ilmu Sosial Profetik,
Al-Qur’an, Integrasi
A. Pendahuluan
Kehidupan manusia saat ini hanya sekedar
memenuhi kebutuhannya tanpa memperhatikan berbagai batasan yang ada, baik
batasan sosial, moral maupun ketuhanan. Jika hal itu terus dibiarkan akan
semakin menunjukkan kemunduran di segala bidang kehidupan. Oleh karena itu kita
harus membutuhkan sebuah perubahan. Untuk mewujudkan perubahan tersebut kita
harus mulai mengevaluasi dan mengembangkan perubahan di segala hal. Salah
satunya adalah bidang sosial, dengan mempelajari ilmu sosial kita diajarkan mengenai
cara atau metode yang tepat dalam melakukan transformasi.
Menurut pandangan Kuntowijoyo berkaitan
dengan persoalan tersebut, beliau merumuskan sebuah kajian tentang ilmu sosial
yang menekan pada penggabungan antara ilmu sosial dan agama dalam kerangka
pemikiran profetik dikalangan masyarakat yang kemudian disebut sebagai Ilmu
Sosial Profetik. Kuntowijoyo juga mengemukakan perlunya islam sebagai teks
(al-Qur’an dan al-Sunnah) dihadapkan kepada realitas, baik realitas sehari-hari
maupun realitas ilmiah. Ia kemudian merumuskan tiga nilai dasar sebagai pijakan
ilmu sosial profetik, yaitu humanisasi, liberasi dan transedensi. Dalam tulisan
ini penulis akan menguraikan pemikiran Kuntowijoyo tentang integrasi ilmu
sosial dan al-Qur’an atau ilmu sosial profetik.
B. Posisi Ilmu Sosial dan al-Qur’an
Ilmu sosial, selama ini telah terlanjur
dikembangkan dengan satu asumsi yang sangat kuat mempengaruhi perkembangan ilmu
sosial, bahwa ilmu dan agama adalah dua hal yang terpisah. Ilmu berada di satu
wilayah, agama di wilayah yang lain lagi. Asumsi inilah yang hingga saat ini
masih dengan begitu fanatik dipegang oleh para ilmuwan sosial, terutama yang
berhaluan positivis. Walaupun tentu saja di sana-sini terdengar gugatan-gugatan
terhadapnya, yang tidak saja berasal dari para ilmuwan sosial muslim tapi juga
dari para ilmuwan sosial Barat yang menyadari arti penting integrasi agama dan
ilmu sosial.[1]
Secara kebahasaan ilmu sosial terdiri
atas dua suku kata, yaitu ilmu dan sosial. Ilmu dalam bahasa Inggris
diredaksikan dengan science yang berasal dari bahasa Latin scientia mempunyai
arti pengetahuan. Sementara itu sosial yang dalam bahasa Inggris
dikatakan dengan social memiliki banyak arti. Soekanto menuturkan bahwa
istilah sosial dalam ilmu sosial sendiri merujuk pada objeknya, yaitu
masyarakat. Dengan demikian dari pemaknaan secara leksikal tersebut, bisa
disederhanakan bahwa ilmu sosial merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang mengkaji
tentang masyarakat.[2]
Ilmu-Ilmu sosial (social sciences)
tidak pernah mengenal kebenaran pasti. Hal ini jugalah yang membedakannya
dengan ilmu-ilmu alam (natural sciences). llmu-ilmu alam menuntut ukuran
matematis yang pasti untuk menghasilkan sebuah pengetahuan objektif sebagai
kebenaran tunggal. Ilmu-ilmu alam lebih melihat dunia berdasarkan kacamata
oposisi biner; hitam-putih, atau benar-salah. Namun, ilmu-ilmu sosial tidak
pernah mengenal kebenaran tunggal. Ia melihat dunia dengan kacamata yang
berwarna-warni; merah, putih, hitam, hijau, kuning, biru, dan berbagai warna
lainnya.[3]
Ismail Raji al-Faruqi mengemukakan juga
pentingnya relevansi ilmu-ilmu Islam dengan ilmu modern dan sintesa kreatif
keduanya, tetapi ia tidak mengemukakan tentang bagaimana proses relevansi
ilmu-ilmu modern dengan teks al-Qur’an termasuk tidak diungkapkan tentang
proses penilaian kritis dan sintesa kreatifnya dalam penafsiran teks al-Qur’an.[4]
Al-Quran merupakan wahyu Tuhan, yang
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan (fisik,
sosial , budaya). Kitab yang diturunkan merupakan petunjuk etika,kebijaksanaan,
dan dapat menjadi Grand Theory.[5] Menurut
Hamdi, al-Qur’an bisa menjadi sumber inspirasi atau sumber ilmu pengetahuan
tanpa harus terjebak pada penciptaan dinding pemisah antara ilmu Islami dan non-Islami.
Mungkin saja ada satu disiplin ilmu yang bisa diturunkan secara langsung maupun
terinspirasi dari ayat-ayat al-Qur’an, tetapi itu tidak kemudian menjadikan
al-Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan.[6]
Kuntowijoyo (2005: 24) mengusulkan apa
yang disebut dengan pengilmuan Islam, bukan islamisasi pengetahuan. Dengan
pemahaman mengenai adanya struktur transendental al-Qur’an, yaitu gambaran kita
mengenai sebuah bengunan ide yang sempurna mengenai kehidupan, suatu ide murni
yang bersifat metahistoris, Al-Qur’an sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang
sangat besar untuk dijadikan sebagai cara berpikir. Premis-premis normatif
al-Qur’an dapat dirumuskan menjadi teori-teori yang empiris dan rasional.[7]
Ayat-ayat Al-Quran sesungguhnya
merupakan pernyataan-pernyataan normatif yang harus dianalisis uantuk
diterjemahkan pada level yang objektif, bukan subjektif. Ini berarti al-Qur’an
harus dirumuskan dalam bentuk konstruk-konstruk teoritis. Sebagaimana kegiatan
analisis data akan menghasilkan konstruk, maka demikian pula analisis terhadap
pernyataan-pernyataan al-Qur’an akan meghasilkan konstruk-konstruk teoretis
al-Qur’an.[8]
Ilmu Integralistik adalah ilmu yang
menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran
manusia. Ilmu ini tidak akan mengucilkan Tuhan (sekulerisme) atau
mengucilkan manusia (other wordly asceticisme) (Kuntowijoyo, 2005:
54-58). Keinginan untuk integrasi ilmu ini telah umum di dunia Islam,
baik Sunni maupun Syi’ah (Amin Abdullah,2002).[9]
Dari konsep Alquran, menurut Kuntowijoyo
dapat diciptakan teori-teori ilmu sosial. Dalam beberapa tulisan dan artikelnya
dia telah memberikan contoh penerapan metode penafsirannya, seperti teori
humanisme, emansipasi, liberalisme dan transedental, dengan berpegang ayat 110
surat Ali Imran. Dia juga memberikan penafsiran tentang kaidah-kaidah
demokrasi: ta’aruf, syura, ta’awun, maslahah dan ‘adl,
teori ekonomi dalam konsep zakat dan sebagainya.[10]
Untuk bisa memahami makna ayat-ayat
Al-Qur’an secara lebih memadai, maka Kuntowijoyo menganjurkan umat Islam untuk
kembali kepada misi rasional dan empiris Islam. Upaya ini diperlukan guna
mewujudkan program pembaharuan pemikiran untuk reaktualisasi Islam. Adapun
program pembaharuan pemikiran yang ia maksudkan adalah: Program pertama, adalah
perlunya dikembangkan penafsiran sosial struktural lebih dari pada penafsiran
individual ketika memahami ketentuan-ketentuan tertentu di dalam Al-Qur’an.
Program kedua, adalah mengubah cara berpikir subyektif ke cara berpikir
obyektif. Program ketiga, adalah mengubah Islam yang normatif menjadi
teoritis. Program keempat, adalah mengubah pemahaman yang a-historis
menjadi historis. Dan program yang terakhir adalah bagaimana merumuskan
formulasi-formulasi wahyu yang bersifat umum (general) menjadi formulasi-formulasi
yang bersifat spesifik dan empiris”[11]
C. Biografi Kuntowijoyo
Sebagai
salah seorang cendekiawan muslim yang khas, Kuntowijoyo atau yang akrab disapa
dengan Kunto, juga dikenal sebagai sejarawan, sastrawan dan budayawan. la
dilahirkan di utara pesisir pantaiselatan DIY, tepatnya di desa yang bernama
Sorobayan, Sanden, Bantul Yogyakarta pada tanggal 18 September 1943. Kunto
adalah anak kedua dari sembilan bersaudara2 dari pasangan suami-istri H.Abdul
WahidSosromartojo dan Hj. Warasti.[12] Ayahnya
seorang dalang dan pembaca macapat, sedang eyang buyut nya sebagai seorang
khathath (penulis mushaf Al-Qur’an dengan tangan). Posisi ayahnya sebagai
dalang dan eyang buyut sebagai penulis mushaf Al-Qur’an agaknya berpengaruh
terhadap perkembangan pribadinya, khususnya perkembangan sastrawannya. Karyanya
yang kental dengan budaya jawa, khususnya dalang dan Islam, bukan tidak mungkin
merupakan endapan pengalaman yang semakin lama bersemayam di dalam dirinya. Kuntowijoyo sendiri mengaku banyak dari karyanya merupakan endapan pengalaman sendiri,
entah itu pengalaman berpindah-pindah tempat tinggal,
kedekatannya dengan surau,
persentuhannya dengan pasar, selain pengalaman bacanya. [13]
Kegemaran Kuntowijoyo membaca karya sastra semakin matang semasa ia kuliah
di UGM. Selain menulis, semasa mahasiswa Kuntowijoyo mendirikan Lembaga
Kebudayaan dan Seniman Islam (Leksi) dan Studi Grup Mantika (bersama dawan
Rahardjo, Sju’bahAsa, Chaerul Umam, Arifin C, Noer, Amri Yahya, Ikranagara, dan
Abdul Hadi W.M.) Kematangannya sebagai sastrawan dan intelektual semakin terbukti dengan beberapa karya semasa dan setelah ia menyelesaikan studi
S- (University of Connecticut, 197) dan S-3 (Columbia University, 1980) di
Amerika Serikat. Tidak banyak sastrawan Indonesia yang
“sukses” sebagai sastrawan sekaligus sebagai intelektual dan akademisi. Kualitas dan produktifitas Kuntowijoyo menulis karya sastra sebanding dengan kekuatannya menulis karya ilmiah dalam bidang sejarah atau pemikiran
sosial berbasis Islam.[14]
Pemikiran
keislamannya digodok dalam berbagai aktivitas sosial dan budaya. Ia pernah
aktif di PII dan kelompok diskusi Limited Group. Selama menjadi
mahasiswa, ia banyak aktif dalam bidang kesenian dan kebudayaan sehingga
dikenal sebagai seorang sastrawan dan budayawan. Karya sastranya banyak yang
diterbitkan dan mendapat penghargaan. Perhatiannya yang sangat besar terhadap
masalah sosial umat Islam juga dilatarbelakangi oleh bidang keilmuan yang
ditekuninya, yaitu ilmu sejarah. Ia menyelesaikan sarjananya pada tahun 1969 di
UGM Fakultas Sastra Jurusan Sejarah. Gelar Master-nya diperoleh dari University
of Connecticut, USA. Gelar Ph.D. dalam study sejarah dari University
of Columbia pada tahun 1980 dengan disertasi berjudul “Social Change in
an Agrarian Society Madura 1850-1940”. (Kuntowijoyo, 1991).[15]
Kuntowijoyo mencapai puncak karir akademik sebagai dosenyaitu pada 21 Juli
2001. la dikukuhkan sebagai guru besar ilmu sejarahpada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada Yogyakartadengan membawakan pidato pengukuhan berjudul
“Periodisasi Sejarah Kesadaran Keagamaan Umat Islam di Indonesia yang Meliputi
Mitos,Idiologi, dan Ilmu”.[16]
Selain
latar belakang di atas, ada dua hal penting yang melatarbelakangi pemikirannya
tentang transformasi sosial. Pertama, perhatiannya yang sangat
besar terhadap pola pikir masyarakat yang masih dibelenggu mitos-mitos dan
kemudian berkembang hanya sampai pada tingkat ideologi. Menurutnya, Islam yang
masuk ke Indonesia telah mengalami agrarisasi. Peradaban Islam yang bersifat
terbuka, global, kosmopolit dan merupakan mata rantai penting peradaban dunia
telah mengalami penyempitan dan stagnasi dalam bentuk budaya-budaya lokal.
Untuk itu ia melakukan analisis-analisis historis dan kultural untuk melihat
perkembangan umat Islam Indonesia. Kondisi seperti ini telah mendorongnya untuk
melontarkan gagasan-gagasan transformasi sosial melalui reinterpretasi
nilai-nilai Islam, yang menurutnya sejak awal telah mendorong manusia untuk
berpikir secara rasional dan empiris. (Kuntowijoyo, 1984); kedua,
adanya respon terhadap tantangan masa depan yang cenderung mereduksi agama
dan menekankan sekularisasi dan teknokratisasi yang akan melahirkan moralitas
baru yang menekankan rasionalitas ekonomi, pencapaian perorangan dan kesamaan.
(Kuntowijoyo, 1994) Inilah yang mendorong Kuntowijoyo untuk melontarkan Sidik,
Paradigma Islam & Transformasi Sosial. pemikirannya tentang paradigma
Islam untuk melakukan rumusan teori ilmu-ilmu sosial Islam. Sampai pada tahap
ini, iabanyakmelakukananalisissosiologistentangstrukturbudaya, struktur sosial
dan struktur teknik.[17]
Kendati
menjalani hidup dalam keadaan sakit, semenjakmengalami serangan virus meningo
enchepalitis pada 6 Januari 1992, diaterus berkarya sampai detik-detik akhir
hayatnya. Prof Dr Kuntowijoyomeninggal dunia di Rumah Sakit Dr. Sardjito
Yogyakarta, Selasa 22 Februari 2005 pukul 16.00 akibat komplikasi penyakit
sesak napas, diaredan ginjal.Kuntowijoyo merupakan sosok yang produktif dan
begitukonsisten dalam melahirkan karya-karya berbobot. Salah satu
karyamonomentalnya yaitu Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi (1991)
yangmenjadi magnum opusnya. Buku-buku Dinamika Sejarah Umat IslamIndonesia (1985);
Budaya dan Masyarakat (1987); Identitas Politik Umat Islam(1987);
Muslim Tanpa Masjid (2001); dan Selamat Tinggal Mitos, SelamatDatang
Realitas (2002). Karya-karya ini dapat pengakuan luas dariberbagai kalangan
media masa, perorangan dan masyarakat muslim lebihluas.[18]
Mengenai
corak pemikiran Kuntowijoyo, Syafi’i Anwar menulisdi dalam bukunya yang
berjudul Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia,memasukkan Kuntowijoyo dalam
kelompok cendikiawan muslimdengan pemikiran transformatif.7 Pada sisi ini
pemikiran Kuntowijoyobanyak didasarkan pada analisis sejarah sosial.Menurut M.
Dawam Raharjo, sebagai seorang cendekiawanmuslim, pemikiran-pemikiran
sosial-keagamaan Kuntowijoyo bertolakdari usaha pemahaman langsung terhadap
ajaran-ajaran Islam, terutamaAl-Qur’an, tanpa lewat tafsir-formal Al-Qur’an.
Dalam hal ini diaberusaha menangkap makna-makna dalam Al-Qur’an dengan
memakaikerangka ilmu.Fahri All dan Bahtiar Efendi menyatakan bahwa
“GagasangagasanKuntowijoyo mewakili pandangan kekinian berdasarkan
evolusisejarah”.9 Itu berarti gagasan-gagasannya telah memberikan kontribusidalam
memperkaya khazanah pemikiran Islam dan menjadi variantersendiri spektrum
intelektual Islam Indonesia.Bahkan sebagaimana yang dikatakan M. Azhar,
gagasanKuntowijoyo sangat unik dan genuine yang tiada padanya
denganintelektual lainnya, di mana ia dapat mensintesiskan antara
paradigmaIslam maupun pendekatan ilmu-ilmu sosial Barat secara genuine.[19]
D. Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo
Ilmu-ilmu sosial profetik yang
ditawarkan Kuntowijoyo, pada mulanya lebih bersifat tawaran alternatif, karena
dia kurang sependapat dengan istilah teologi transpormatifnya Abdurrahman. Dia
mengatakan bahwa di lingkungan kita, gagasan mengenai pembaruan teologi dan
sejenisnya tampak belum dapat diterima. Ini terjadi karena beberapa alasan,
terutama berkenaan dengan konsep teologi itu sendiri. Umat Islam memahami
teologi dengan persepsi yang berbeda-beda, sebagian besar mengartikan konsep
tersebut sebagai suatu cabang dari khazanah ilmu pengetahuan keislaman yang
membahas doktrin tentang ketuhanan (tauhid). Mereka menganggap masalah
teologis sudah selesai dan tidak perlu dirombak. (Kuntowijoyo, 1994)[20]
Ilmu Sosial Profetik. Kritik – kritik
terhadap ilmu sosial akademis (value-free,
empiris analitis, liberal) semuanya merujuk kepada ilmu yang memperhatikan
nilai (perfeksionis, berpihak). Disusulkannya ilmu – ilmu yang communitarian ialah supaya demokrasi
bener – bener terwujud. Maka sebuah ilmu yang mengandung nilai – nilai Islam
dan berpihak kepada umat adalah sah
sebagai ilmu.[21]
Dalam pandangan Kuntowijoyo, ilmu-ilmu
sosial sekarang sedang mengalami kemandekan, fungsinya hanya terbatas pada
memberi penjelasan terhadap gejala-gejala saja. Ini menurutnya tidak cukup.
Ilmu-ilmu sosial di samping menjelaskan, juga harus dapat memberi petunjuk ke
arah transpormasi, sesuai dengan cita-cita profetiknya, yaitu humanisasi atau
emansipasi, liberalisasi dan transedental. (Raharjo, 1994).[22]
Ilmu
sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tapi mengubah
berdasarkan cita – cita etik dan profetik tertentu. Dalam pengertian ini maka
ilmu sosial profetik secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita – cita
perubahan yang diidamkan masyarakatnya.[23]
Bagi kita itu berarti perubahan yang di dasarkan pada cita – cita humaniasi /
emansipasi, liberasi, dan transedensi, suatu cita –
cita profetik yang di derrivikasikan dari misi historis islam sebagai mana
terkandung dalam ayat 110, surat Ali – Imron : [24]
öNçGZä.
uöyz
>p¨Bé&
ôMy_Ì÷zé&
Ĩ$¨Y=Ï9
tbrâßDù's?
Å$rã÷èyJø9$$Î/
cöqyg÷Ys?ur
Ç`tã
Ìx6ZßJø9$#
tbqãZÏB÷sè?ur
«!$$Î/
3 öqs9ur
ÆtB#uä
ã@÷dr&
É=»tGÅ6ø9$#
tb%s3s9
#Zöyz
Nßg©9
4 ãNßg÷ZÏiB
cqãYÏB÷sßJø9$#
ãNèdçsYò2r&ur
tbqà)Å¡»xÿø9$#
ÇÊÊÉÈ
Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli
kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.[25]
Ilmu Sosial Profetik atau biasa disingkat ISP adalah salah satu gagasan
penting Kuntowijoyo. Baginya, ilmu sosial tidak boleh berpuas diri dalam usaha
untuk menjelaskan atau memahami realitas dan memahaminya begitu saja tapi lebih
dari itu. Secara substansial kata “Profetik” dipakai sebagai kategori etis yang
mengarah pada kesadaran para nabi (prophet) yang terlibat dalam sejarah
1) memanusiakan manusia, 2) membebaskan manusia, dan 3) membawa manusia
berjalan menuju Tuhan. Dengan kata lain, upaya profetik mencoba menyatukan
wahyu Tuhan dengan temuan pikiran manusia. la kemudian merumuskan tiga nilai
dasar sebagai pijakan ilmu sosial profetik, yaitu: humanisasi, liberasi dan
transendensi. Upaya para nabi untuk memanusiakan manusia kemudian disebut
humanisme/emansipasi, membebaskan manusia disebut liberasi, dan membawa manusia
berjalan menuju Tuhan disebut transendensi.[26]
1. Humanisasi
Humanisasi merupakan terjemahan kreatif
dari amar ma’ruf yang makna asalnya adalah menganjurkan atau menegakkan
kebajikan. Dalam Ilmu Sosial Profetik, humanisasi artinya memanusiakan manusia,
menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari
manusia. Humanisasi
sesuai dengan semangat liberalisme Barat. Hanya saja perlu segera ditambahkan,
jika peradaban Barat lahir dan bertumpu pada humanisme antroposentris, konsep
humanisme Kuntowijoyo berakar pada humanisme teosentris. Karenanya, humanisasi
tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memahami konsep transendensi yang
menjadi dasarnya.[27]
Kuntowijoyo lalu mengusulkan humanisme
teosentris sebagai ganti humanisme antroposentris untuk mengangkat kembali
martabat manusia.13 Dengan konsep ini, manusia harus memusatkan diri pada
Tuhan, tapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusi (kemanusiaan) sendiri.
Perkembangan peradaban manusia tidak lagi diukur dengan rasionalitas tapi
transendensi.[28]
Dalam tema umum humanisasi dapat
dilakukan penelitian tentang berbagai gejala sosial dan pemecahannya, yaitu dehumanisasi (obejktivitas teknologis,
ekonomis, budaya, atau negara), agresivitas (agresivitas kolektif, dan
kriminalitas), dan loneliness (privatisasi,
individuasi). Ketiganya perlu penelitian teoritis, historis, dan kasus.[29]
Pilar humanisasi atau amar ma’ruf. Individu yang terinternalisasi oleh nilai ini akan
memiliki karakter seperti: (1) menjaga persaudaraan sesama meski berbeda agama,
keyakinan, status sosial-ekonomi, dan tradisi, (2) memandang seseorang secara
total meliputi aspek fisik dan psikisnya atau raga dan jiwanya, (3)
menghindarkan berbagai bentuk kekerasan terhadap siapa pun dan di mana pun
termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan (4) membuang jauh sifat
kebencian. Setiap orang memiliki keterbatasan sehingga dimungkinkan melakukan
kesalahan atau ketidaksempurnaan. Menerima kekurangan orang lain akan
menghilangkan kebencian yang terkadang mendera jiwa seseorang.[30]
2. Liberasi
Liberasi dalam Ilmu Sosial Profetik adalah
definisi teoritis dari Nahiy Mungkar yang diterjemahkan secara
operasional menjadi membebaskan manusia dari perbudakan.[31]
Liberasi di sini sesuai dengan prinsip sosialisme (marxisme, komunisme, teori
ketergantungan, teologi pembebasan). Hanya saja Ilmu Sosial Profetik tidak
hendak menjadikan liberasinya sebagai ideology sebagaimana komunisme. Liberasi
Ilmu Sosial Profetik adalah dalam konteks ilmu, ilmu yang didasari nilai-nilai
luhur transendental. Jika nilai-nilai liberatif dalam teologi pembebasan
dipahami dalam konteks ajaran teologis, maka nilai-nilai liberatif dalam Ilmu
Sosial Profetik dipahami dan didudukkan dalam konteks ilmu sosial yang memiliki
tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan,
pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran
palsu.[32]
Kuntowijoyo menggariskan empat sasaran
liberasi, yaitu sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem
politik yang membelenggu manusia sehingga tidak dapat mengaktualisasikan
dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan mulia.[33]
Pilar liberasi atau nahi munkar. Individu yang terinternalisasi nilai ini akan
memiliki karakter di antaranya: 1) memihak kepada kepentingan rakyat (wong
cilik), tidak membebani rakyat dengan prosedur yang rumit atau biaya
tinggi, 2) menegakkan keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan, dengan
membuat program dan sistem yang mampu menjaga diri dan lingkungan sosialnya
untuk mendukung dan berpartisipasi, dan 3) memberantas kebodohan dan
keterbelakangan sosial-ekonomi (kemiskinan) melalui pendidikan yang membebaskan
dan pengembangan ekonomi kerakyatan.[34]
3. Transendensi
Transendensi merupakan dasar dari dua
unsurnya yang lain. Transendensi adalah konsep yang diderivasikan dari tu’minuna
bi Allah (beriman kepada Allah). Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai
transendental (keimanan) sebagai bagian penting dari proses membangun
peradaban. Transendensi menempatkan agama (nilai-nilai Islam) pada kedudukan
yang sangat sentral dalam Ilmu Sosial Profetik.[35]
Transendensi adalah dasar dari humanisasi
dan liberasi. Transendensi memberi arah kemana dan untuk tujuan apa humanisasi
dan liberasi itu dilakukan. Transendensi dalam Ilmu Sosial Profetik di samping
berfungsi sebagai dasar nilai bagi praksis humanisasi dan liberasi, juga
berfungsi sebagai kritik. Dengan kritik transendensi, kemajuan teknik dapat
diarahkan untuk mengabdi pada perkembangan manusia dan kemanusiaan, bukan pada kehancurannya.[36]
Tujuan transendensi adalah
menambahkan dimensi transedental dalam kebudayaan. Kita sudah banyak menyerah
kepada arus hedonisme, materialisme, dan budaya yang dekaden. Kita percaya
bahwa sesuatu harus di lakukkan, yaitu membersihkan diri dengan mengingat
kembali dimensi transendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan.
Kita ingin merasakan kembali dunia ini sebagai rahmat Tuhan. Kita ingin kembali
dalam suasana yang lepas dari ruang dan waktu, ketika kita bersentuhan dengan
kebesaran Tuhan.[37]
Dari gagasan
mengenai ilmu sosial profetik ini, sesungguhnya kita tak perlu mengidap
kekhawatiran yang berlebihan terhadap dominasi sains Barat dewasa ini.[38] Dalam
bidang ilmu dan teknologi, kita tidak boleh bersikap tertutup. Sekalipun kita
yakin bahwa islam itu bukan timur dan bukan barat. Dalam sejarah kita melihat
islam mewarisi peradaban Yunani – Romawi di barat, dan peradaban, Persia,
India, dan Cina di timur.[39]
Selama abad VII sampai abad XV, ketika peradaban – peradaban besar di barat dan
timur tenggelam dan mengalami kemerosotan, Islam bertindak sebagai pewaris
umatnya untuk kemudian di ambil alih oleh peradaban barat sekarang melalu
Renaisme. Jadi islam menjadi mata rantai yang penting dalam sejarah peradaban
dunia. Dalam kurun selama delapan abad itu, Islam bahkan mengembangkan warisan
– warisan ilmu pengetahuan dan teknologi dari peradaban – peradaban tersebut.[40]
E. Penutup
Ilmu
sosial merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang masyarakat. Ilmu-Ilmu
sosial (social sciences) tidak pernah mengenal kebenaran pasti. Sedangkan Al-Quran merupakan wahyu Tuhan, yang
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan (fisik,
sosial , budaya). Kitab yang diturunkan merupakan petunjuk etika, kebijaksanaan,
dan dapat menjadi Grand Theory.
Dari konsep Al-quran, menurut Kuntowijoyo dapat diciptakan
teori-teori ilmu sosial. Dalam beberapa tulisan dan artikelnya dia telah
memberikan contoh penerapan metode penafsirannya, seperti teori humanisme,
liberalisme dan transedental, dengan berpegang ayat 110 surat Ali Imran.
Kuntowijoyo
lahir di Yogyakarta
pada tanggal 18 September 1943, ia merupakan
seseorang yang menggemari membaca dan menulis. Selain menulis, semasa
mahasiswa Kuntowijoyo mendirikan Lembaga Kebudayaan dan Seniman Islam dan Studi
Grup Mantika berbagai aktivitas sosial dan budaya. Perhatiannya
yang sangat besar terhadap masalah sosial umat Islam juga dilatarbelakangi oleh
bidang keilmuan yang ditekuninya, yaitu ilmu sejarah. Ia menyelesaikan
sarjananya pada tahun 1969 di UGM Fakultas Sastra Jurusan Sejarah. S-2 di University of Connecticut, USA. S-3 di University of Columbia (1980). Hal yang melatar belakangi
pemikirannya tentang transformasi sosial. Menurutnya, pertama; Islam
yang masuk ke Indonesia bersifat terbuka, global dan kondisi
seperti ini telah mendorongnya untuk melontarkan gagasan transformasi sosial
melalui reinterpretasi nilai-nilai Islam, yang menurutnya sejak awal telah
mendorong manusia untuk berpikir secara rasional dan empiris. Kedua;
adanya
respon terhadap tantangan masa depan yang cenderung mereduksi agama dan
menekankan sekularisasi dan teknokratisasi yang akan melahirkan moralitas baru
yang menekankan rasionalitas ekonomi, pencapaian perorangan dan kesamaan
pemikirannya tentang paradigma Islam untuk melakukan rumusan teori ilmu-ilmu
sosial Islam.
Dalam Ilmu
Sosial Profetik Kuntowijoyo, menawarkan adanya cara pandang baru terhadap
Al-Qur’an dilihat dari segi ilmu sosial. Dengan ilmu sosial profetik, kita juga
akan melakukan reorientasi terhadap epistimologi, yaitu berorientasi terhadap mode oh thought and made of inquiry, bahwa
sumber ilmu pengetahuan itu tidak hanya dari rasio dan empiri, tapi juga dari
wahyu. Dengan kata lain, upaya profetik mencoba menyatukan
wahyu Tuhan dengan temuan pikiran manusia yang kemudian akan memunculkan
penafsiran baru yang nantinya akan merujuk pada perubahan atau transformasi
sosial. la kemudian merumuskan tiga nilai dasar sebagai pijakan ilmu sosial
profetik, yaitu: humanisasi, liberasi dan transendensi.
Daftar Pustaka
Afwadzi,
Benny. Membangun Integrasi Ilmu-ilmu
Sosial dan Hadis Nabi. Jurnal Living Hadis, Volume 1, no. 1, Mei 2016.
Anwar,
Wan. 2016. Kuntowijoyo : Karya dan
Dunianya. Jakarta : PT. Grasindo.
Bisyri,
M. Hasan. Mengakhiri Dikotomi Ilmu Dalam
Dunia Pendidikan. Forum Tarbiyah Vol. 7, no. 2, Desember 2009.
Irwanto.
Pendektan Ilmu Sosial Profetik Dalam
Memahami Makna Ayat-ayat Al-Qur’an. Literasi, Volume. V, no. 1 Juni 2014.
Kuntowijoyo.
Ilmu Sosial Profetik : Etika Perkembangan
Ilmu-Ilmu Sosial. Al-Jami’ah, no. 61/1998.
Kuntowijoyo.
2004. Islam Sebagai Ilmu : Epistimologi,
Metodologi, dan Etika. Jakarta : Teraju.
Kuntowijoyo.
2008. Paradigma Islam : Interprestasi
Untuk Aksi. Bandung : PT Mizan Pustaka.
Muttaqin,
Husnul. Menuju Sosiologi Profetik.
Sosiologi Reflektif, Volume 10, no. 1 Oktober 2015.
Roqib,
Moh. Pendidikan Karakter Dalam Prespektif
Profetik. Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, no. 3, Oktober 2013.
Rosadisastra,
Andi. Integrasi Ilmu Sosial Dengan Teks Agama
Dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an. Mutawatir : Jurnal Ilmu Keilmuan Tafsir
Hadis Volime. 4, no. 1, Juni 2014.
Sidik.
Paradigma Islam dan Transformasi Sosial
(Studi Pemikiran Kuntowijoyo). Jurnal
Hunafa Vol. 2 no. 3 Desember 2005: 243-250.
Catatan:
1.
Makalah ini tolong diperbaiki, sebab
banyak yang hanya copy-paste dari jurnal ilmiah apa adanya, dan tidak melihat
logika kalimat/paragraf/bahasan yang dibangun.
2.
Berikan cakupan yang jelas di
masing-masing pembahasan, jangan tumpang tindih.
3.
Cara penulisan penutup salah.
[1]
Husnul Muttaqin, Menuju Sosiologi Profetik, Sosiologi
Reflektif, Volume 10, no. 1 Oktober
2015, hlm. 222.
[2]
Benny Afwadzi, Membangun Integrasi Ilmu-ilmu Sosial dan
Hadis Nabi, Jurnal Living Hadis, Volume 1, no. 1, Mei 2016, hlm. 103.
[3]
Ibid, hlm. 104.
[4] Andi
Rosadisastra, Integrasi Ilmu Sosial
Dengan Teks Agama Dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an, Mutawatir : Jurnal
Ilmu Keilmuan Tafsir Hadis Volime. 4, no. 1, Juni 2014, hlm. 92.
[5] M.
Hasan Bisyri, Mengakhiri Dikotomi Ilmu
Dalam Dunia Pendidikan, Forum
Tarbiyah Vol. 7, no. 2, Desember 2009, hlm. 190.
[6] Andi
Rosadisastra, Integrasi Ilmu Sosial,
Op.cit, hlm. 93.
[7] M.
Hasan Bisyri, Mengakhiri Dikotomi,
Op.cit, hlm. 190.
[8]
Ibid.
[9]
Ibid, hlm. 191.
[10]
Sidik, Paradigma Islam dan Transformasi
Sosial (Studi Pemikiran Kuntowijoyo), Jurnal Hunafa Vol. 2 no. 3 Desember 2005: 243-250,
hlm. 248.
[11]
Irwanto, Pendektan Ilmu Sosial Profetik
Dalam Memahami Makna Ayat-ayat Al-Qur’an, Literasi, Volume. V, no. 1 Juni
2014, hlm. 8
[14]Ibid,
hlm. 4.
[15]Sidik,
Paradigma Islam, Op.cit, hlm. 244.
[16]Irwanto.
Pendektan Ilmu Sosial, Op.cit, hlm.
3.
[17]Sidik,
Paradigma Islam, hlm. 244.
[18]Irwanto,
Pendektan Ilmu Sosial, Op.cit, hlm. 3
[19]Ibid,
hlm. 4.
[20]
Sidik, Paradigma Islam, Op.cit, hlm.
248.
[21]Kuntowijoyo, Ilmu
Sosial Profetik : Etika Perkembangan Ilmu-Ilmu Sosial, Al-Jami’ah, no. 61/1998, hlm. 68
[22]
Sidik, Paradigma Islam, Op.cit, hlm.
249.
[23]
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu :
Epistimologi, Metodologi, dan Etika, (Jakarta : Teraju, 2004), hlm. 91.
[24]
Kuntowijoyo, Paradigma Islam :
Interprestasi Untuk Aksi, (Bandung : PT Mizan Pustaka, 2008), hlm. 483.
[25]
Al-Qur’an Al-Karim surat Ali Imran ayat 110
[26]
Irwanto, Pendekatan Ilmu, Op.cit,
hlm. 4-5.
[30] Moh
Roqib, Pendidikan Karakter Dalam
Prespektif Profetik, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, no. 3, Oktober
2013, hlm. 245.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar