Ilmu Sosial Profetik
Winda
rahmatu laili, Fanny rafida akhmad, dan Dwi mulyo utomo
Mahasiswa
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas D Angkatan 2015
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail:
windalely1345@gmail.com
ABSTRAK
Kuntowijoyo (1943-2005) was an Indonesian Muslim
thinker who coined the prophetic thoughts on the social sciences. Social
sciences Kuntowijoyo prophetic in thinking this is a social science discipline
that is an alternative in the middle of the development of a variety of science
tends to be positivist. In addition, the values in the social sciences have
adopted a prophetic Kuntowijoyo besumber teachings of the Islamic religion (ie
the Qur'an and Hadith), which is in use as the foundation humanization process
transformation, liberation. So that it becomes a knowledge that has the values
of divinity, which is based on faith and the unity of Allah SWT. The type of
this research is the research library is research literature. The primary
sources are the books or writings containing Kuntowijoyo thinking. While the
secondary source is the books or writings that complement and support in this
study
ABSTRAK
Kuntowijoyo (1943-2005) adalah
seorang pemikir muslim Indonesia yang mencetuskan pemikirannya mengenai ilmu
sosial profetik. Ilmu sosial profetik dalam pemikiran Kuntowijoyo ini adalah
suatu disiplin ilmu sosial yang merupakan alternative di tengah-tengah
perkembangan berbagai ilmu pengetahuan yang cendrung bersifat positivis. Selain
itu, nilai-nilai dalam ilmu sosial profetik Kuntowijoyo ini mengadopsi suatu
ajaran yang besumber dari agama islam (yakni Al Qur’an dan Hadist), yang di
jadikan sebagai dasar pijakan proses tranformasi humanisasi, liberasi. Sehingga
ia menjadi suatu pengetahuan yang memiliki nilai-nilai keilahian, yang
didasarkan pada keimanan dan tauhid kepada Allah SWT. Adapaun
jenis penelitian ini adalah library research yaitu penelitian
kepustakaan.Sumber primernya adalah buku-buku ataupun tulisan yang memuat
pemikiran Kuntowijoyo.Sementara sumber sekundernya adalah buku-buku atau
tulisan yang menjadi pelengkap serta pendukung dalam penelitian ini.
Keyword: ilmu sosial profetik dan Al Qur’an
A. Pendahuluan
Sejarah
pertumbuhan gerakan pembaruan Islam di Indonesia sudah berjalan hampir
satuabad. Selama rentang waktu itu banyak terjadi perubahan, baik yang bersifat
sosial, politik, ekonomi maupun perubahan sikap dan pandangan hidup umat Islam
yang disebabkan olehadanya perubahan-perubahan masa dan situasi politik yang
penuh gejolak dan pergolakan.Pola, sasaran dan unsur-unsur gerakan pembaruan
tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan ini. Semangat dan
kecenderungannya pun menjadi berbeda dilihat daritingkat pemahaman terhadap
corak perubahan yang terjadi, ruang lingkup dan batas-batasyang memungkinkan
ditolelirnya perubahan dan pembaharuan.Karena itu, dalam makalah ini penulis
mencoba membahas unsur-unsur gerakan pembaruan tersebut, lewat pemikiran
Kuntowijoyo yang tertuang dalam beberapa karya dan tulisannya di berbagai
tempat, terutama yang berkaitan dengan gagasan paradigma Islam dan transformasi
sosialnya.
Kuntowijoyo mengalami kegelisahan intelektual melihat fenomena keberagamaan
umat Islam di Indonesia yang masih di belenggu oleh berbagai mitos sebagai
akibat dari proses agrarisasi masuknya Islam ke Indonesia. Selain itu,
dibukanya kran industrialisasi-informasi, semakin mengarah pada sekularisasi
agama.Untuk itulah kemudian Kuntowijoyo melontarkan gagasannya mengenai
Paradigma Islam. Sebuah tawaran konsep mendekati dan memahami agama Islam
dengan menggunakan pendekatan historis-sosiologis yang darinya akan melahirkan
lima program re-interpretasi. Kelima program dimaksud adalah pengembangan
penafsiran dari individual menjadi sosial struktural, mengubah Islam normatif
menjadi teoritis, mengubah pemahaman a historis menjadi historis, reorientasi berfikir
dari subjektif ke arah objektif, dan mereformulasi wahyu yang bersifat umum
menjadi khusus.
B.
Posisi ilmu Sosial dan Al quran
Ada perkembangan penting dalam sejarah intelektual
Islam Indonesia dalam dasawarsa 1980-an. Ahmad Syafi’i Ma’arif menyebut pemikiran
Islam Kontemporer sebagai senuah pergumulan dan kerja kreatif untuk menciptakan
tradisi islam baru setelah umat islam mengalami kekalahan dalam perjuangan
politik. Tradisi baru itu dikatakannya sebagai lahan yang justru lebih
strategis, mendasar dan berorientasi ke depan. [1]
Alquran sebagai kitab suci bagi umat islam, juga
merupakan kitab yang memberikan pedoman untuk hidup secara individu dengan
individu lain, maupun secara bersama maupun sosial bagi umat manusia. Kitab ini
juga sekaligus memberikan petunjuk dan ajaran dalam membangun hubungan antar
individu, masyarakat dengan Tuhannya. [2]
Partisipasi dalam gerakan intelektual itu rupanya
sunnguh meluas. Banyak buku yang ditulis oleh para pemikir yang hanya memiliki
latar belakang minimal mengenai disiplin ilmu yang ditulisnya, seperti misalnya
seorang penyandang gelar sarjana ekonomi menulis tentang sosiologi islam,
seorang guru menulis tentang psikologi. Apa yang disebut-sebut ilmu sosial
Islam menjadi sungguh terbuka, baik bagi profesional maupun bagi ilmuwan di
bidang lain.
1. Konteks Sosial Historis
Pusat pemikiran Islam yang menjadi rujukan seluruh
Dunia Islam adalah Timur Tengah saja.Keadaan ini berubah dengan mengali rnya sarjana-sarjana Islam dari Timur
Tengah dan anak Benua India ke Dunia Barat.Dengan perubahan itu, banyak
literatur Islam yang semula di tulis dalam bahasa Arab mulai diterjemahkan atau
ditulis langsung dalam bahasa Inggris.Konteks nasional perkembangan pemikiran
Islam kontemporer dapat dilihat dari berbagai segi.
Pertama, pada dasawarsa
1980-an sudah terjadi perubahan kultural di lingkungan umat Islam, perubahan
itu adalah menghilangnya jarak kultural antara apa yang disebut sebagai santri.
Kedua, isu nasional
yang paling menonjol sejak 1970-an ialah pembangunan.Sejak 1969, pemerintah
melaksanakan Pelita (Pembangunan Lima Tahun) untuk pertama kalinya.Masyarakat
juga mulai membangun pesantren.
Ketiga, pancasila juga
merupakan kekuatan yang mendorong pemikiran beberapa cendekiawan.Banyak pemikir
yang memasukkan nilai Agama dalam Pancasila misalnya.Itu artinya Agama sangat
berpengaruh terhadap segala aspek kehidupan.
2. Inetgrasi Ilmu Sosial dan Agama
Usaha untuk memberikan dasar epistimologis terhadap
pertemuan antara nilai dan norma agama dengan ilmu sosial sudah dikerjakan oleh
Hidajat Nataatmadja. Dikatakannya bahwa tingkat kebenaran ilmu-ilmu tidak
pasti, tetapi relatif.Agama dalam hal ini jauh lebih pasti daripada ilmu karena
tidak mengenal relativisme moral.Apa yang pasti harus berada di atas yang tidak
pasti. Artinya agama di atas ilmu, dan ilmu harus merupakan penurunan dari
agama.Ia ingin membalikkan kenyataan yang ada yang meletakkan ilmu di atas
agama. Beliau mengajak untuk menegakkan ilmu yang lebih beragama dan manusiawi,
ilmu yang sumbernya adalah nilai.Ilmu itu disebutnya sebagai Ilmu Humanika.[3]
3. Konsep Integrasi Keilmuan
Secara leksikal, term ‘integrasi’ berasal dari
kata Inggris integration
dari kata kerja integrate yang
berarti menggabungkan,
menyatupadukan, mempersatukan, ataumengintegrasikan.Imam Suprayogo
juga mendefinisikan
integrasi keilmuan sebagai pemosisian Alquran
dan Hadis sebagai
grand theory bagi pengetahuan.Dengan begitu, argumentasi naqli
tersebut dapat terpadukan dengan temuan ilmu.
Pada dasarnya, Alquran tidak mengenal prinsip dikotomi antara ilmu agama ataupun ilmu non-agama. Bahkan, Alquran sangat menganjurkan agar setiap orang memerhatikan ayat-ayat qawliyah (Alquran), di samping menggunakan akal dalam memahaminya.[4]
Pada dasarnya, Alquran tidak mengenal prinsip dikotomi antara ilmu agama ataupun ilmu non-agama. Bahkan, Alquran sangat menganjurkan agar setiap orang memerhatikan ayat-ayat qawliyah (Alquran), di samping menggunakan akal dalam memahaminya.[4]
4. Relasi Ilmu-Ilmu Sosial dan Hadis
Nabi
Adanya
penyatuan ilmu-ilmu sosial
–begitu pula ilmuilmu
alam- dan teks
keagamaan pada dasarnya
diharapkan dapat menciptakan solusi
bagi problem kekinian
sekaligus menyelesaikan
masalah-masalah yang mungkin
menghinggapi bunyi-bunyi teks yang
bersangkutan.Teks al-Qur’an maupun
hadis, meskipun berasal dari
Tuhan dan Nabi
Muhammad sebagai pembuat
syariat,tetapi patut disadari bahwaaudensinya adalah
manusia, sehingga manusia mempunyai peran dalamproses interpretasi
kedua sumber ajaran itu. Dengan demikian, paradigma yang diusung di sini bukan
lagi sekedar teosentris, yaitu pengetahuan
yang berasal pada
Tuhan semata, tetapi lebih
padaparadigma teo-antroposentris
yang merupakan penggabungan dua dimensi
pengetahuan yang berbeda, yaitu dimensi ketuhanan dan kemanusiaan.[5]
Dalam konteks fikih, al-Qur‟an harus diletakkan
sebagai basis etis bagi rumusan-rumusan hukum yang dibangun oleh para ahli
hukum Islam.Artinya, alQur‟an yang mengisi ruang aksiologis pengembangan
keilmuan. Di sini nilai-nilai
kemanusiaan, toleransi, keadilan,
kebenaran, dan kejujuran harus dijunjung
tinggi sebagai pondasi
etis bagi seluruh
aktivitas keilmuan.
Di titik ini,
seorang ilmuwan Muslim
bisa berdiskusi secara hangat dan akrab dengan seorang
humanis-sekuler-ateis tanpa dirisaukan dengan
keyakinan ketuhanan masing-masing,karena sebenarnya
tidak ada pertentangan yang tajam antara metode ilmiah dan ideologi
tertentu. Oleh sebab itu,
sangatlah mungkin bagi
seorang pakar untuk berpijak pada
sikap ilmiah sekaligus ideologis.
5. Posisi Filsafat
dan Teori Sosial
dalam Epistemologi Tafsir
Ayat Ayat Sosial
Agar
sesuai dengan tuntutan
zamannya, tafsir sosial
dapat memanfaatkan ilmu-ilmu sosial yang berkembang dewasa ini termasuk
di dalamnya filsafat sosial.
Sebuah tawaran yang
perlu dibuat
sistematisasinya sehingga akan
lebih mampu menjawab
problem sosial atau mendialogkan
fenomena sosial secara
lebih memadai dengan menggunakan tafsir ayat-ayat sosial.
Sebuah tafsir sosial yang berangkat dari
konteks menuju teks.
Perkembangan tafsir sosial
ini, kemudian dirumuskan dalam
sebuah sistematika yang mengintegrasikan paradigma ilmu pengetahuan
− sebagai landasan
pemilahan ayat −
dengan paradigma tafsir al-Qur‟an sebagai proses memahami ayat al-Qur’an.[6]
Hal itu menunjukan
pentingnya melakukan kolaborasi
dalam proses penafsiran al-Qur’an,
dan pada ayat-ayat
sosial, untuk lebih dituntut adanya
kerjasama antara sosiolog
dengan ulama ahli
tafsir. Dalam bahasa lain
diperlukan dua paradigma
sekaligus jika hendak menafsirkan al-Qur‟an dengan ilmu
pengetahuan atau teori ilmiah, yaitu paradigma
ilmu pengetahuan sosial
yang terkait dengan
ayat dan paradigma teori
penafsiran ayat al-Qur’an („Ulûm
al-Qur’ân). Sesuatu yang belum
maksimal dilakukan para
penulis tafsir al-Qur’an,
dalam arti penafsirannya masih
bersifat anjuran umum
dan belum bisa
menjadi jawaban serta solusi konkret bagi problem sosial mutakhir yang
terjadi di masyarakat.
C. Biografi Kuntowijoyo
Kuntowijoyo, Sosok sejarahwan
terkemuka yang juga dikenal sebagai sastrawan dan budayawan yang lahir di
Yogyakarta, 18 September 1943 Doktor ilmu sejarah dari Universitas Columbia ini
juga begitu konsisten dalam melahirkan karya-karya berbobot. Juga kepiawaiannya
dalam memanfaatkan dua medium ungkap sastra (puisi, cerpen, drama, novel) dan
nonsastra (esai-esai dalam bidang sejarah, budaya, politik) senantiasa membuat
iri cendekiawan lain.[7]
Banyak karya
yang di hasilkannya berupa puisi, cerpen dan novel yang telah mendapat
penghargaan. Kemudian puluhan tulisan dan makalahnya baik yang sudah
terbukukan, seperti paradigma Islam: interpretasi untuk aksi(1991),
maupun yang belum, serta buku-bukunya mengenai budaya, masyarakat dan sejara,
seperti budaya dan masyarakat (1987) atau metodologi sejarah (1994) adalah
bukti nyata lain.
Setelah sembuh
dari sakit yang dideritannya, dan sudah banyak yang tahu, kesembuhan mas kunto,
demikian kami biasa memanggilnya- dari penyakit meningo encephalitis (infeksi
otak) sejak 6 Januari 1992 itu membutuhkan perjuangan yang panjang, keyakinan
yang dalam, serta kesabaran yang luar biasa. Untunglah mas Kunto punya mbak
Ning (Ny.Dra.Susilaningsih Kuntowijoyo, M.A), dan anak-anak tersayang dan penuh
cinta kasih terus-menerus merawat dan mengusahakan kesembuhannya. Juga
teman-teman, kerabat, dan handaitolan yang selalu terus mengirim do’a agar
sembuh dari penyakit, dan jangan lupa getaran bibir mas Kunto yang terus
mengucapkan Asmaul husna seperti Ya Khaliq, Ya Bari’, Ya Musshawwir,
sebagai mana yang disarankan budayawan Emha Ainun Nadjib, rupanya didengar oleh
Al Khaliq. Syukur Alhamdulillah, Tuhan Yang Maha adil akhirnya memberikan
kesembuhan untuk mas Kunto.[8]
Setelah dua
tahun absen, sejak 1994 mas Kunto kembali pada duniannyasebagai seorang
intelektual.Sebuah dunia yang hanya digeluti oleh “orang-orang yang
berani”.Sebab/untuk menjadi intelektual, kata mas Kunto mengutip ucapan gurunya
Prof.Dr. Sartono Kartodirdjo “orang harus berani tadak berkuasa, berani tidak
berpangkat, dan berani tidak berharta. Dengan kata lain, yang bersangkutan
harus berani hidup sederhana. Dan saya memberikan kesaksian terhadap
kesederhanaan hidup mas Kunto dan keluarga.[9]
Bagi mereka
yang akrab dengan karya-karya Kuntowojoyo, benang merah dari pemikirannya amat
jelas.Ia adlah ilmuwan sosial Muslim yang pertama kali mengetengahkan perlunya
“ilmu sosial profetik” (ISP), berdasarkan pandangan dunia Islam. Adapun ciri
pokok imu sosial profetik yang dikonseptulisasikan oleh Kuntowijoyo, intinya,
didasarkan pada dua hal.[10]
Pertama,
transformasi
sosial dan perubahan. Sebagaimana dikemukakan oleh M. Dwam Rahardjo dalam kata
pengantarnya untuk buku paradigma Islam:interpretasi untuk aksi (1991).
ISP yang ditawarkan Kunto merupakan alternatif terhadap kondisi status quo
teori-teori sosial positivis (yang kuat pengaruhnya di kalangan intelektual dan
akademisi Indonesia).ISP tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial.
Tetapi juga memberikan interpretasi mengarahkan, serta membawa perubahan bagi
pencapaian nilai-nilai yang di anut oleh kaum Muslim sesuai petunjuk Al Qur’an,
yakni emansipasi atau humansipasi, liberasi dan transendensi.[11]
Kedua, menjadikan Al Qur’an sebagai paradigma. Al Qur’an, bagi
Kuntowijoyo adalah paradigma,. Yang dimaksud “paradigma” oleh Kunto dalam
konteks ini adalah sebagaimana dipahami oleh Thomas Kuhn, yakni bahwa realitas
sosial diskontruksi oleh mode of thought atau mode inquiry
tertentu, yang pada giirannya akan menghasilkan mode of knowing teretntu pula.
Dengan mengikuti penegrtian ini, paradigma Al Qur’an bagi Kunto adalah
“konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami apa yang dimaksudkan di
dalam Al Qur’an itu sendiri.”Ini artinya, Al Qur’an “mengkonstruksi”
pengetahuan yang memberikan dasar bagi kita untuk bertindak.Kontruksi ini
memungkinkan kita untuk mendesain sistem, termasuk didalamnya sistem ilmu
pengetahuan.Dengan demikian, disamping memberikan gambaran aksiologis,
paradigma Al Qur’an juga berfungsi untuk memberikan wawasan epistemologis.[12]
Kuntowijoyo
merupakan sosok yang
produktif dan begitu konsisten dalam melahirkan karya-karya
berbobot. Salah satu
karya monomentalnya yaitu Paradigma Islam;Interpretasi untuk Aksi (1991)
yang menjadi magnum opusnya. Buku-buku Dinamika Sejarah
Umat Islam Indonesia (1985),
Budaya dan Masyarakat(1987), Identitas Politik Umat Islam (1987), Muslim Tanpa
Masjid (2001), dan Selamat
Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas (2002).[13]
Ada beberapa
hal yang menarik untuk dicatat dari karya-karya Kuntowijoyo.dia dengan sadar
tidak memaksakan diri untuk menghindari teori-teori dan metodologi barat yang
konvensional. Bahkan dia secara sadar pula meminjam peralatan ilmu dari barat
dalam rangka “enrichment” perbendaharaan pemikiran.Tetapi dengan
peminjaman itu dia berupaya melakukan sintesis-sintesis teori, bahkan melakukan
“twisting” terhadap teori-teori yang dipinjamnya, misalnya mengenai
konsep kelas.
Dengan
pemahamannya terhadap Islam sebagai
agama yang dihayatinya sejak kecil, juga dengan keterlibatannya secara langsung
dengan pergerakan islam, dia berusaha mempelajari berbagai peristiwa sejarah
dan kejadian-kejadian sosial yang menyangkut umat islam. Peranannya penting ,
karena dia mengimbangi analisis sarjana non muslim mengenai Islam yang mungkin
mengandung penilaian yang sepihak.[14]
Dalam konsep
Kuntowijoyo, ilmu-ilmu sosial sekarang sedang mengalami kemandekan.Ilmu-ilmu
sosial akademis maupun ilmu-ilmu sosial kritis, fungsinya hanya terhadap
memberi penjelasan terhadap gejala-gejala saja.Ini menurut pendapatnya tidak
cukup.Ilmu-ilmu sosial, di samping menjelaskan juga harus dapat memberi
petunjuk ke arah transformasi. Disinilah Kuntowijoyo bertolak dari ajaran Al
Qur’an dalam surah Ali Imran ayat 110, yaitu petunjuk ke arah tindakan-tindakan
emansipasi atau humanisasi, liberasi dan transendensi[15]
D. ilmu sosial profetik Kuntowijoyo
1. pengertian ilmu sosial profetik
Ilmu sosial profetik dalam
pemikiran Kuntowijoyo ini adalah suatu disiplin ilmu sosial yang menjadikan
dimensi transedental sebagai landasanya.Ia merupakan alternative di
tengah-tengah perkembangan berbagai ilmu pengetahuan yang cendrung bersifat
positivis. Selain itu, nilai-nilai transedental dalam ilmu sosial profetik
Kuntowijoyo ini mengadopsi suatu ajaran yang besumber dari teks keagamaan
otoritatif (yakni alquran dan hadist), yang di jadikan sebagai dasar pijakan
proses tranformasi humanisasi, liberasi. Sehingga ia menjadi suatu pengetahuan
yang memiliki nilai-nilai keilahian, yang pada dasarnya keimanan dan tauhid
kepada Allah SWT.
Asal-usul Ilmu Sosial Profetik
ialah buku Muhammad Iqbal Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam. Dalam
Bab tentang “Jiwa dan Kebudayaan Islam”dengan mengutip kata-kata seorang sufi,
Abdul Quddus, Iqbal memaparkan perbedaan kesadaran Rasul (profetik) dengan
kesadaran mistik. Abdul Quddus mengatakan (h. 123): “Muhammad telah naik ke
langit tertinggi lalu kembali lagi. Demi Allah aku bersumpah, bahwa kalau aku
yang mencapai tingkat itu, aku tidak akan kembali lagi”.[16]Jadi,
makna profetik adalah mempunyai sifat atau ciri seperti nabi, atau bersifat
prediktif, memrakirakan.Profetik di sini dapat kita terjemahkan menjadi
“kenabian”.Nabi adalah seorang manusia pilihan yang sadar sepenuhnya dengan
tanggung jawab sosial.Ia bekerja kembali dalam lintasan waktu sejarah, hidup
dengan realitas sosial kemanusiaan dan melakukan kerja-kerja transformasi
sosial. Seorang nabi datang dengan membawa cita-cita perubahan dan semangat
revolusioner.
Ilmu sosial profetik tidak sekedar
mengubah demi perubahan, tapi mengubah berdasarkan cita-cita dan profetik
tertentu.Dalam pengertian ini maka ilmu social profetik secara sengaja memuat
kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan masyarakat. Bagi kita
itu berarti perubahan yang berdasarkan pada cita- cita Humanisasi/emansipasi,
libersi, dan transedensi, suatu cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi
historis Islam sebagaimana terkandung ayat 110, surat Ali Imran[17].
نَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا لَنْ تُغْنِيَ عَنْهُمْ أَمْوَالُهُمْ وَلَا أَوْلَادُهُمْ
مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَأُولَٰئِكَ هُمْ وَقُودُ النَّارِ
﴿آل عمران:١۰﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak
mereka, sedikitpun tidak dapat menolak (siksa) Allah dari mereka. Dan mereka
itu adalah bahan bakar api neraka,
Ada
empat hal yang tersirat dalam ayat itu, yaitu :
(I) konsep tentang umat terbaik,
(2) aktivisme sejarah,
(3) pentingnya kesadaran,
(4) etika profetik.
Pertama,
konsep tentang umat terbaik (the chosen
people).Umat Islam menjadi umat terbaik (khaz'ra ummah) dengan syarat
mengerjakan tiga hal sebagaimana disebut dalam ayat itu.Umat Islam tidak secara
otomatis menjadi the chosen people.Ini
tentu saja berbeda dengan konsep the chosen people dari Yudaisme, suatu mandat
kosong yang menyebabkan rasialisme.Sama-sama konsep tentang the chosen people,
Yudaisme menyebabkan rasialisme, konsep umat terbaik dalam Islam justru berupa
suatu tantangan untuk bekerja lebih keras, ke arah aktivisme sejarah.[18]
Kedua,
aktivisme sejarah.Bekerja di tengah-tengah manusia (uhhrijat linnas) berarti
bahwa yang ideal bagi Islam ialah keterlibatan umat dalam sejarah.Wadat (tidak kawin), uzlah (mengasingkan diri), dan kerahiban
tidak dibenarkan.Demikian pula gerakan mistik yang berlebihan (ngunghurake
kadonyan) bukanlah kehendak Islam, karena Islam adalah agama amal.[19]
Ketiga,
pentingnya kesadaran.Nilai-nilai ilahiah (ma’ruf, munkar, imam) menjadi tumpuan
aktivisme Islam.Peranan kesadaran ini membedakan etika Islam dari etika
materialistis. Pandangan kaum Marxis bahwa superstructure (kesadaran)
ditentukan oleh structure (basis sosial, kondisi material) bertentangan dengan
pandangan islam tentang independensi kesadaran. Demikian pula pandangan yang
selalu mengembalikan pada individu (indvidualisme, eksistensisme, liberalisme,
dan kapitalisme) bertentangan dengan islam, karena yang menentkan bentuk
kesadaran bukan individu tetapi tuhan. Demikian juga segala bentuk sekularisme
bertententangan dengan kesadaran ilahiah.[20]
Keempat, etika profetik.Ayat ini berlaku umum, untuk siapa saja, baik
individu (orang awam, ahli, super ahli), lembaga (ilmu, universitas, ormas,
orsospol), maupun kolektivitas (jamaah, umat, kelompok masyarakat).Ilmu,
sebagai pelembagaan dari pengalaman, penelitian, dan pengetahuan, diharuskan
melaksanakan ayat ini, yaitu amar ma’ruf
(menyuruh kebaikan), nahi munkar
(mencegah kejelekan), dan tu’minana
billah (beriman kepada Allah).Ketiganya adalah unsur yang tak terpisahkan
dari Ilmu Sosial Profetik. Ilmu Sosial Profetik harus merupakan gerakan yang
sadar, yang buahnya akan dipetik dalam waktu lama. Di bawah dominasi ilmu-ilmu
sosial empiris-analitis, Ilmu Sosial Profetik ini memang tidak akan populer.
Mungkin melalui semacam “gerilya
intelektual”, mirip dengan gerakan intelektual underground dari sosiologi akademis di Uni Soviet waktu negeri itu
masih di bawah dominasi Marxisme ortodoks. Kalau gerakan intelektual
bawah-tanah di Uni Soviet hambatannya fisikal, maka gerakan Ilmu Sosial
Profetik hambatannya akan lebih bersifat mental, rasa rendah diri intelektual.[21]
1.
Unsur-Unsur
Ilmu Sosial Profetik
Jadi pilar dari Ilmu Sosial Profetik
itu ada tiga, yaitu amar ma‘ruf
(humanisasi), nahi munkar (liberasi),
dan tu’minuna billah (transendensi)
.Liberalisme mementingkan yang pertama, Marxisme yang kedua, dan kebanyakan
agama yang ketiga. Ilmu Sosial Profetik mencoba untuk menggabungkan ketiganya,
yang satu tidak terpisah dariyang lain. Tema-tema penelitian dapat diambil dari
ketiga pilar itu, baik tema yang makro maupun mikro.[22]
a.
Humanisasi (amar ma’ruf) Amar ma’ruf
dalam bahasa sehari-hari dapat berarti
apa saja, dari yang sangat individual seperti berdoa, berzikir, dan shalat,
sampai yang semi-sosial, seperti menghormati orangtua, menyambung persaudaraan,
dan menyantuni anak yatirn, serta yang bersifat kolektif seperti mendirikan clean government, mengusahakan
jamsostek, dan membangun sistem social
security. Kita akan memakai kata humanisasi.
Dalam bahasa Latin humanitas berarti
“makhluk manusia”, “kondisi menjadi manusia” Jadi humanisasi artinya
memanusiakan manusia; menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan, dan
kebencian dari manusia.[23]
b.
Liberasi (nahi munkar) Nahi
munkar dalam bahasa sehari-hari berarti apa saja, dari mencegah teman
mengonsurnsi ecstacy, melarang carok,
memberantas judi, menghilangkan lintah darat, sampai membela nasib buruh dan
mengusir penjajah. Untuk itu kita akan memakai kata liberasi (bahasa latin liberare
berarti memerdekakan ) artinya
pernbebasan , semuanya dengan konotasi yang mempunyaj signifikansi
sosial.[24]
c.
Tu’minuna
billah dalam Al-Quran yang mempunyai arti khusus, Kata transedensi (bahasa Latintranscendere
berarti naik ke atas, bahasa Inggris to transcend ialah menembus,
melewati, melampaui), artinya perjalanan di atas atau di luar. sastra
transcendental (sastra yang mencoba mencari realitas spiritual di balik gejala gejala),
filsafat transendental (misalnya Kantianisme yang percaya pada pengetahuan
apriori di luar pengalaman), gejala supernatural (misalnya ESP [Extra Sensory Perception] dan TM [Transcendental Meditation]), dan istilah
teologis (misalnya soal Ketuhanan, makhluk-makhluk gaib). Istilah teologislah
yang kita maksudkan dengan transendensi.[25]
E. penutup
Kesimpulan
makalah ini adalah menyetujui pendapat Kuntowijoyo yang menyatakan
bahwa Islam sangat fokus pada transformasi sosial. Menurut
Kuntowijoyo, manusia selalu melakukan perubahan sosial dan Al Qur’an
harus menjadi paradigma pemikiran. Sumber bahan utama yang digunakan dalam
makalah ini adalah pemikiran politik dengan paradigma Alquran. Islam masih
dapat terus dikembangkan untuk menjadikan perubahan sejarah kehidupan
manusia. Agama Islam datang untuk manusia bukan untuk Allah swt.dan
penganutnya harus menjunjung tinggi nilai-nilai tauhid yang dikembangkan
oleh Islam.
Catatan:
1.
Menulis bukan hanya persoalan menaruh data, tapi memahamkan pembaca. Jadi
tolong diperbaiki logika penulisannya.
2.
Kesimpulan tolong diperbaiki.
3.
Pembahasan posisi al-Qur’an dan Ilmu sosial tolong diperbaiki, masih sulit
dicerna.
4.
Pembahasan mengenai hadis tolong dihilangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Rahardjo, Dawam,
Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Bandung: PT Mizan Pustaka,
2008.
Iskandar, Syahrullah,
“Studi Alquran dan Integrasi Keilmuwan Studi Kasus Uin Sunan Gunung Djati
Bandung”, Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2016
Afwadzi, Benny,
“Membangun Integrasi Ilmu-Ilmu Sosial Dan Hadis Nabi”, Jurnal Living Hadis,
Volume 1, Nomor 1, Mei 2016, 106.
Rosadisastra,
Andi, “Integrasi Ilmu Sosial Dengan Teks Agama Dalam Perspektif Tafsir
Al-Qur’an”, Jurnal Mutawatir |Vol.4|No.1| Januari-Juni 2014, 102
Kuntowijoyo. Identitas politik umat Islam, Bandung: Mizan, 1997.
-----------------.
Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi,Bandung:
Mizan, 1997.
-----------------.
Islam Sebagai Ilmu, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2006.
-----------------.
Muslim tanpa masjid, Bandung:
mizan, 2001.
Irwanto, “Pendekatan Ilmu Sosial Profetik
Dalam Memahami Makna Ayat-Ayat Al-Qur’an”, LiterasiVolume.V,
No. 1 Juni2014
Abid
Rohman, “Stratifikasi Sosial dalam Alquran”, Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3,
No.2
[1] Dawam
Rahardjo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, PT Mizan Pustaka,
Bandung, 2008.
[2]Abid
Rohman, “Stratifikasi Sosial dalam Alquran”, Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3,
No.2, Oktober 2013, 18
[3]Dawam
Rahardjo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, PT Mizan Pustaka,
Bandung, 2008.
[4]Syahrullah
Iskandar, “Studi Alquran dan Integrasi Keilmuwan Studi Kasus Uin Sunan Gunung
Djati Bandung”, Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 (Januari
2016): 86-93
[5]Benny
Afwadzi, “Membangun Integrasi Ilmu-Ilmu Sosial Dan Hadis Nabi”, Jurnal Living
Hadis, Volume 1, Nomor 1, Mei 2016, 106.
[6]Andi
Rosadisastra, “Integrasi Ilmu Sosial Dengan Teks Agama Dalam Perspektif Tafsir
Al-Qur’an”, Jurnal Mutawatir |Vol.4|No.1| Januari-Juni 2014, 102
[7]Kuntowijoyo. Identitas politik umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997). Hal
vii
[8]
Kuntowijoyo. Paradigma Islam
Interpretasi Untuk Aksi,(Bandung: Mizan,), 1997. Hal xviii
[9]ibid
[10]
Kuntowijoyo. Paradigma Islam
Interpretasi Untuk Aksi,(Bandung: Mizan), 1997. Hal xix
[11]ibid
[12]ibid
[13]Irwanto, “Pendekatan Ilmu Sosial Profetik Dalam Memahami Makna
Ayat-Ayat Al-Qur’an”, LiterasiVolume.V, No. 1 Juni2014, 3
[14]
Kuntowijoyo. Paradigma Islam
Interpretasi Untuk Aksi,(Bandung: Mizan). Hal 17
[15]ibid
[16]Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006). Hal 97
[17]
Kuntowijoyo. Paradigma Islam
Interpretasi Untuk Aksi,(Bandung: Mizan), 1991. Hal 288-289
[18] Kuntowijoyo. OP.Cit,Hal 91
[19]Ibid
[20]Ibid
[22] Kuntowijoyo. Muslim tanpa masjid, (Bandung:mizan), 2001. Hal 365
[23] Kuntowijoyo, Op.Cit, Hal 98
[24]Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar