HADIS DAN
HISTORISITASNYA
Khusnul Khotimah dan
Achmad Gilang R.
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas E
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: khusnulwon@gmail.com
Abstract: Hadith
is news sourced and come from the Prophet Muhammad in all forms of the words,
deeds, and statutes attributed to the Prophet. There are Several terms that are
synonyms of the hadith is sunnah, khabar, and atsar. Which of all of the differences
between one another. The development of the Prophet's hadith classified being 7
period, so in her book hadiths based on the quality or a specific topic.
Keywords: Hadith,
Prophet, Diversity, History
Pendahuluan
Islam mengenal
dua sumber utama dalam perundang-undangan. Pertama Al-Qur’an dan yang kedua
Al-Hadis. Hadis adalah sumber utama dalam islam selain Al-Qur’an. Seperti yang
telah diketahui bahwa hadis merupakan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW
berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, serta hal ihwalnya yang banyak
melengkapi isi kandungan dariAl-Qur’an.Pentingnya hadis di dalam islam, membuat
Rasulullah serta para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jalannya menaruh
perhatian besar atasnya. Penulisan hadis adalah salah satu bukti perhatian
Rasulullah dan para sahabat.
Hadis sangat
berkaitan erat dengan Al-Qur’an. Dimana dalam Al-Qur’an berisi garis-garis
besar syariat-syariat Islam, sedangkan hadis sendiri adalah mubayyin (penjelas)
terhadap Al-Qur’an dan memberikan gambaran tentang apa yang belum digambarkan
dalam Al-Qur’an. Dengan demikian, seseorang tidak akan bisa memahami Al-Qur’an
sebelum memahami dan menguasai hadis, serta begitu pula sebaliknya.
A.
PENGERTIAN
HADIS
Menurut Ibn Manzhur, kata ‘hadis’ berasal dari bahasa Arab,
yaitu al-hadits, jamaknya al-ahadits, al-haditsan, dan al-hudtsan.
Secara etimologis, kata ini memiliki banyak arti diantaranya[1]اَلْجَدِيْدُ,
yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat,
seperti perkataan: هُوَ حَدِيْثُ اْلعَهْدِ فِي اْلإِسْلَامِ , artinya Dia baru masuk/memeluk Islam. Lawan
kata اَلْحَدِيْثُ
adalahاَلْقَدِيْمُ Hadis juga berarti اَلْخَبَرُ
, “berita”, yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan
dari seseorang kepada orang lain. Disamping itu, hadis juga berarti اَلْقَرِيْبُ
, “dekat” tidak lama terjadi, sedangkan lawannya adalahاَلْبَعِيْدُ , artinya jauh.[2]
Hadis
dirumuskan dalam pengertian yang berbeda-beda di antara para ulama.
Perbedaan-perbedaan pandangan itu lebih disebabkan oleh terbatas dan luasnya
objek tinjauan masing-masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada
aliran ilmu yang didalaminya.
Ulama hadis mendefinisikan hadis sebagai berikut:
كُلُّ مَا اُثِرَ عَنِ النَّبِيّ صَلَّي اللهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْرٍ اَوْ صِفَةٍ
خَلْقيَّةٍاُوْخُلُقِيَّةٍ
Artinya :
“Segala sesuatu
yang diberitakan dari Nabi SAW. baik berupa sabda, perbuatan, taqrir,
sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi.”[3]
Menurut istilah
ahli ushul fiqih, pengertian hadis ialah:
كُلُّ مَا صُدِرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّي
اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ غَيْرُ الْقُرْاَن
Artinya:
“Hadis yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW.
selain Al-Qur’an Al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir Nabi
yang bersangkut paut dengan hukum syara.”
Tidak termasuk dalam istilah hadis adalah sesuatu yang tidak
bersangkut paut dengan hukum, seperti urusan pakaian yang merupakan bagian dari
kebudayaan. Akan tetapi, dalam cara-cara berpakaian seperti menutup aurat
merupakan bagian dari hadis karena merupakan tuntutan syariat Islam. Itu
sebabnya, dalam kajian fiqh, berpakaian termasuk Jibiliyah, yaitu sebagian merupakan tuntutan kebudayaan, sebagian
lagi merupakan tuntutan syariat.
Adapun menurut istilah para fuqaha, hadis adalah:
كُلُّ مَا ثُبِتَ عَنِ النَّبِيِّصَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ بَابِ اْلفَرْضِ وَلَا اْلوَاجِبِ
Artinya:
“Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW. yang tidak bersangkut
paut dengan masalah-masalah fardhu atau wajib.”[4]
Dari sudut terminologi, para ahli hadis tidak membedakan antara
hadis dan sunnah. Menurut mereka, hadis atau sunnah adalah hal-hal yang berasal
dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkatan, perbuatan, penetapan maupun
sifat beliau, dan sifat ini, baik berupa sifat-sifat fisik, moral maupun
perilaku, sebelum beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya. Sunnah pada dasarnya
sama dengan hadis, namun dapat dibedakan dalam pemaknaannya, seperti yang
diungkapkan oleh M.M. Azami bahwa sunnah berarti model kehidupan Nabi SAW.,
sedangkan hadis adalah periwayatan dari model kehidupan Nabi SAW. tersebut.[5]
B.
MACAM-MACAM
HADIS
1.
Hadis Qauli
Yang dimaksud
dengan hadis qauli adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW., baik berupa perkataan ataupun ucapan yang memuat berbagai maksud
syara’, peristiwa, dan keadaan yang berkaitan dengan aqidah, syariah, akhlak,
atau lainnya.[6] Diantara
contoh hadis qauli adalah hadis tentang kecaman Rasul kepada orang-orang
yang mencoba memalsukan hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah SAW.,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ كَذَ بَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًافَلْيَتَبَوَّأْمَقْعَدَهُ
مِنَ االنَّارِ . ~ رواه مسلم ~
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW. bersabda, “barang siapa
sengaja berdusta atas diriku, hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat
tinggalnya di neraka.” (H.R. Muslim)[7]
Contoh lain,
hadis tentang bacaan Al-Fatihah dalam shalat, yang berbunyi:
لَا صَلَا ةَ لِمَنْ
لَمْيَقْرَأْ بِأُمِّ اْلكِتَابِ
Artinya :
“Tidak sah
shalat seseorang yang tidak membaca ummul Quran (Al-Fatihah).”[8]
2.
Hadis Fi’li
Hadis fi’li
adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dalam hadis tersebut
terdapat berita tentang perbuatan Nabi SAW. yang menjadi anutan perilaku para
sahabat pada saat itu, dan menjadi keharusan bagi semua umat Islam untuk
mengikutinya.[9]Seperti
hadis tentang shalat dan haji.
Contoh hadis
fi’li tentang shalat adalah sabda Nabi SAW . yang berbunyi:
صَلُّوْا كَمَا
رَأَيْتُمُوْنِيْ أُ صَلِّىْ ~ رواه
البخارى ومسلم ~
Artinya:
“shalatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
(H.R. Bukhari Muslim).[10]
3.
Hadis Taqriri
Hadis taqriri
adalah hadis brupa ketetapan Nabi SAW. terhadap apa yang datang atau dilakukan
oleh para sahabatnya. Nabi SAW. membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang
dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah beliau
membenarkan atau mempermasalahkannya. Sikap Nabi yang demikian itu dijadikan
dasar oleh para sahabat sebagai dalil taqririyang dapat dijadikan hujah
atau mempunyai kekuatan hukum untuk menetapkan suatu kepastian syara’.
Diantara contoh
hadis taqriri adalah sikap Rasul SAW. yang membiarkan para sahabat dalam
menafsirkan sabdanya tentang shalat pada suatu peperangan, yaitu:
لَايُصَلِّيْنَ
أَحَدٌ اْلعَصْرَ إِلَّا فِيْ بَنِيْ قُرَيْضَةِ . ~ رواه البخا ري ~
“Janganlah
seorangpun shalat ashar, kecuali nanti di Bani Quraidhah”.
(H.R. Al-Bukhari)
Sebagian
sahabat memahami larangan itu berdasarkan pada hakikat perintah tersebut
sehingga mereka terlambat dalam melaksanakan shalat Ashar. Segolongan sahabat
lainnya memahami perintah tersebut untuk segera menuju Bani Quraidhah dan
serius dalam peperangan dan perjalanannya sehingga dapat shalat tepat pada
waktunya. Sikap para sahabat ini dibiarkan oleh Nabi SAW. tanpa ada yang
disalahkan atau diingkarinya.[11]
4. Hadis Ahwali
Yang
dimaksud dengan hadis ahwali ialah hadis yang menyebutkan hal ihwal Nabi
Muhammad SAW. yang menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat, dan kepribadiannya.
Adapun tentang keadaan fisik Nabi Muhammad SAW., dalam beberapa hadis
disebutkan bahwa beliau tidak telalu tinggi dan tidak pendek, sebagaimana
dikatakan Al-Bara’i dalam sebuah hadis berikut:
كَانَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ وَجْهًاوَأَحْسَنَهُ خَلْقًا
لَيْسَ بِاطَّوِيْلِ اْلبَائِنِ وَلَابِالْقَصِيْرِ. ~ رواه البخارى ~
Artinya :
“Rasulullah
SAW. adalah manusia yang memiliki sebaik-baiknya rupa dan tubuh. Keadaan
fisiknya tidak tinggi dan tidak pendek.” (H.R. Bukhari)
Dalam hadis
lain disebutkan:[12]
قاَلَ أَنَسٌ
رَضِيَ اَللهُ عَنْهُ ماَ مَسَسْتُ حَرَيْرًا وَلاَ دِيْبَاجًا اَلْيَنُ مِنْ
كَفِّ النَّبِيّ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَلاَشَمِمْتُ رِيْحاً قَصُّ
أَوْعَرَقًا قَطُّ أَطْيَبُ مِنْ رِيْحٍ أَوْعَرَقِ النَبِيِّ لَقَدْ جَدَمْتُ
رَسُوْلَ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلّمَ عَشْرَسِنِيْنَ فَمَا قَالَ لِى قَطُّ أُفٍّ.
Artinya :
“Berkata Anas
bin Malik, “Aku belum pernah memegang sutra murni dan sutra berwarna sehalus
telapak tangan Rasul SAW. juga belum pernah mencium wewangian seharum Rasul
SAW. Aku mengabdi kepada beliau selama sepuluh tahun, beliau tidak pernah
berkata yang menyakitkan hatiku.” (H.R. Bukhari dan
Muslim)
Mengenai sifat
Rasulullah SAW. disebutkan dalam hadis dari ibnu Umar berikut:
لَمْ يَكُنْ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَاحِشًا وَلاَ مُتَفَحِّشًا وَكَانَ
يَقُوْلُ اِنَّ مِنْ خِيَا رِكُمْ أَحْسَنُكُمْ أخْلاَقًا.
Artinya:
“Rasululah SAW.
bukanlah orang yang melampaui batas dan suka berkata kotor. Bahkan beliau
bersabda, “sebaik-baiknya kamu adalah sebaik akhlakmu.”
(H.R. Bukhari)[13]
C.
PERBEDAAN
ANTARA HADIS, SUNNAH, ATSAR, DAN KHABAR
1. Sunnah
Sunnah
menurut etimologi berarti “jalan”, sedang menurut terminologi ialah apa-apa
yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan, atau taqrir.[14]
Sunnah dalam artian ini identik dengan pengertian hadis. Menurut pendapat
sebagian ulama, bahwa pengertian sunnah dengan hadis itu berbeda, hadis
terbatas pada perkataan dan perbuatan Nabi SAW, sedang sunnah lebih luas.
2. Khabar
Dibandingkan
dengan sunnah, khabar lebih layak menjadi sinonim hadis.[15]
Khabar menurut etimologi berarti “berita”, kebalikan dari kata “insya`” yang
berarti mengarang. Menurut terminologi, mengenai arti khabar terdapat tiga
pendapat, yaitu:
a. Pengertian khabar identik dengan hadis.
b. Khabar ialah apa-apa atau sesuatu yang datang selain dari Nabi,
sedang hadis adalah sebaliknya. Sehingga terkenal dengan sebutan “Muhaddits”
bagi orang-orang yang menggeluti bidang ilmu hadis, dan disebut “Ikhbari” bagi
orang-orang yang menggeluti bidang sejarah dan sejenisnya.
3. Atsar
Atsar
menurut etimologi berarti “sisa-sisa perkampungan”, atau yang sejenisnya.
Sedangkan menurut terminologinya ada dua pendapat, yaitu:
a. Pengertian atsar identik dengan pengertian hadis, sebagaimana yang
dikatakan oleh Imam Al-Nawawi, bahwasanya para ahli hadis menyebut hadis marfu’
dan hadis mauquf dengan atsar.[16]
b. Atsar ialah sesuatu yang datang dari sahabat (baik perkataan maupun
perbuatan). Dalam hal ini atsar berarti hadis mauquf. Dan ini barangkali
ditinjau dari segi bahasa yang berarti bekas atau peninggalan sesuatu, karena
perkataan dan perbuatan merupakan sisa-sisa atau peninggalan-peninggalan Nabi
SAW. Dan oleh karena yang berasal dari Nabi SAW disebut khabar, maka pantaslah
kalau yang berasal dari sahabat disebut atsar.[17]
Dengan kata lain, semua informasi berupa perkataan atau perbuatan
yang bersumber dari sahabat dan tabi’in disebut sebagai atsar.[18]
Demikian
jelaslah bahwa kata sunnah, hadis, khabar, dan atsar adalah sinonim, yaitu
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, atau kepada sahabat, atau kepada
thabi’in, baik yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat-sifat.
Sedangkan yang membedakan antara yang datang dari Rasullullah saw, atau
sahabat, atau tabi’in, adalah keterangan-keterangan dalam periwayatannya.[19]
D.
SEJARAH
SINGKAT HADIS NABI
Azami
berpandangan bahwa proses periwayatan hadis secara tertulis dimulai sejak masa
sahabat sampai pada masa pengumpulan hadis di pertengahan abad ketiga Hijriah.
Artinya literatur hadis yang diwarisi dari masa ke masa tersebut adalah hasil
periwayatan tertulis dari masa sahabat, sehingga secara historis bukti itu
terjamin keaslian dan kualitasnya tanpa keraguan.[20]
Sejarah
perkembangan hadis merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadis
dari masa atau periode yang telah dilalui oleh hadis dari masa lahirnya dan
tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke
generasi.M. Hasbi Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadis menjadi tujuh
periode, sejak periode Nabi SAW. hingga sekarang, yaitu sebagai berikut.
1. Perkembangan Hadis pada Masa Rasulullah SAW.
Periode
ini disebut “Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin” (masa turunnya wahyu dan
pembentukan masyarakat Islam). Pada periode inilah, hadis lahir berupa sabda (aqwal),
af’al, dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan Al-Qur’an untuk
menegakkan syariat Islam dan membentuk masyarakat Islam.
Para
sahabat menerima hadis secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara
langsung misalnya saat Nabi SAW. memberi ceramah, pengajian, khotbah, atau
penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak
langsung adalah mendengar sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari
utusan yang dkirim oleh Nabi ke daerah-daerah atau utusan daerah yang datang
kepada Nabi.
Pada
masa Nabi SAW., kepandaian baca tulis di kalangan para sahabat sudah
bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis di
kalangan sahabat masih kurang, Nabi menekankan untuk menghapal, memahami,
memelihara, mematerikan, dan memantapkan hadis dalam amalan sehari-hari, serta
mentablighkannya kepada orang lain.
Tidak
ditulisnya hadis secara resmi pada masa Nabi, bukan berarti tidak ada sahabat
yang menulis hadis. Dalam sejarah penulisan hadis terdapat nama-nama sahabat
yang menulis hadis, diantaranya:
a.
‘Abdullah Ibn
Amr Ibn ‘Ash, shahifah-nya disebut Ash-Shadiqah.
b.
Ali Ibn Abi
Thalib, penulis hadis tentang hukum diyat, hukum keluarga, dan lain-lain.
c.
Anas Ibn Malik.[21]
Di samping itu,
ketika Nabi SAW. menyelenggarakan dakwah dan pembinaan umat, beliau sering
mengirimkan surat-surat seruan pemberitahuan, antara lain kepada para pejabat
di daerah dan surat tentang seruan dakwah Islamiyah kepada para raja dan
kabilah, baik di timur, utara, dan barat. Surat-surat tersebut merupakan
koleksi hadis juga. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa pada masa Nabi SAW.
telah dilakukan penulisan hadis di kalangan sahabat.
2. Perkembangan Hadis pada Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin (11 H-40 H)
Periode
ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah (masa
membatasi dan menyedikitkan riwayat).[22]Keadaan
hadis pada masa ini juga belum dibukukan, meskipun umat Islam pada waktu itu
sangat memerlukan hadis-hadis Nabi di samping Quran sebagai pedoman untuk
menyelesaikan masalah-masalah baru yang dihadapinya.[23]
Nabi
SAW. wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai
dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Qur’an dan hadis (As-Sunnah) yang harus
dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.
Pada
masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis tersebar secara terbatas.
Penulisan hadis pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan,
pada masa itu,Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadis,
dan sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya
untuk menyebarluaskan Al-Qur’an.[24]
3. Perkembangan pada Masa Sahabat Kecil dan Tabiin
Periode
ini disebut ‘Ashr Intisyar al - Riwayah ila Al-Amshar (masa berkembang
dan meluasnya periwayatan hadis). Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas,
yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas
sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke
daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan
pemerintahan dan penyebaran ilmu hadis.
Para
sahabat kecil dan tabiin yang ingin mengetahui hadis-hadis Nabi SAW. diharuskan
berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadis
kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di wilayah tersebut. Dengan
demikian, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan hadis ke
pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari hadis pun menjadi
ramai.[25]
Pada
periode ini juga muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak bertanggung
jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali r.a.[26]
setelah itu timbulah perpecahan di kalangan umat Islam karena soal khilafah/
pemerintahan/ politik.[27]Umat
Islam mulai terpecah menjadi beberapa golongan: pertama, golongan ‘Ali
Ibn Abi Thalib’ yang kemudian dinamakan golongan Syi’ah. Kedua, golongan
khawarij yang menentang ‘Ali, dan golongan Mu’awiyah, dan ketiga,
golongan jumhur (golongan pemerintah masa itu).
Terpecahnya
umat Islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak bertangggung jawab untuk
mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal dari Rasulullah SAW. untuk
mendukung golongan mereka. Oleh sebab itulah, mereka membuat hadis palsu dan
menyebarkannya kepada masyarakat.
4. Perkembangan Hadis pada Abad II dan III Hijriah
Periode
ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan).
Maksudnya, penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan
oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau perseorangan, sebelum abad II
H hadis sudah banyak ditulis, baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat
besar, bahkan masa Nabi SAW.
Masa
pembukuan resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan
Khalifah Umar Ibn Abdul Azis sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadis
dalam hapalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak
membukukan dan mengumpulkan dalam buku-buku hadis para perawinya, ada
kemungkinan hadis-hadis tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersamaan
dengan kepergian para penghapalnya ke alam barzakh.[28]
5. Masa Men-tashih-kan Hadis dan Penyusunan Kaidah-Kaidahnya
Abad
ketiga Hijriah merupakan puncak usaha pembukuan hadis. Pada awalnya, ulama
hanya mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di kotanya masing-masing. Hanya
sebagian kecil diantara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan
pengumpulan hadis.
Keadaan
ini kemudian diubah oleh Al-Bukhari. Beliaulah yang mula-mula meluaskan
daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadis dan membuat trobosan dengan
mengumpulkan hadis yang tersebar di berbagai daerah. Enam tahun lamanya
Al-Bukhari terus menjelajah untuk menyiapkan kitab shahih-nya[29](yang
sekarang telah diakui dan sepakati kebenarannya oleh para ahli hadis).[30]
Pada
mulanya para ulama menerima hadis dari para rawi lalu menulis ke kitabnya,
tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan sahih-tidaknya.
Namun, setelah terjadinya pemalsuan hadis dan adanya upaya dari orang-orang
zindiq untuk mengacaukan hadis, maka para ulama pun melakukan hal-hal berikut.[31]
a. Membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi
keadilan, tempat kediaman, masa, dan lain-lain.
b. Memisahkan hadis-hadis yang sahih dari hadis yang dha’if yakni
dengan mentashihkan hadis.
Pekerjaan yang
mulia ini kemudian diselenggarakan dengan sempurna oleh Al-Imam Al-Bukhari. Al-Bukhari juga
menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama AL-Famius Shahih. Di
dalam kitabnya, ia hanya membukukan hadis-hadis yang dianggap sahih. Kemudian,
usaha tersebut diikuti oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.[32]
6. Dari Abad IV hingga tahun 656 H
Periode keenam ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H, yaitu
pada masa 'Abasiyyah angkatan kedua. Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdib
wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-Fami'.
Ulama-ulama hadis yaang muncul pada abad ke-2 dan ke-3, digelari Mutaqaddimin,
yang mengumpulkan hadis dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiri dan
pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghapalnya yang tersebar di setiap
pelosok dan penjuru negara Arab, Parsi, dan lain-lainnya.
Setelah abad ke-3 berlalu, bengkitlah pujangga abad keempat. Para
ulama abad keempat ini dan seterusnya digelari 'Mutaakhirin'. Kebanyakan
hadis mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitab
Mutaqaddimin, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada
para penghapalnya dan juga muncul kitab-kitab shahih yang tidak terdapat dalam
kitab sahih pada abad ketiga.[33]
Diantara usaha-usaha ulama' hadis yang terpenting dalam periode ini
adalah mengumpulkan Hadis Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab, mengumpulkan
hadis-hadis dalam kitab enam, mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam
berbagai kitab, mengumpulkan hadis-hadis hukum dan menyusun kitab-kitab 'Athraf.[34]
Di samping usaha-usaha penting ulama hadis, pada periode ini juga
muncul usaha-usaha istikhraj, misalnya mengambil suatu hadis dari
Al-Bukhari Muslim, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang lain dari
sanad Al-Bukhari atau Muslim. Muncul pula usaha yang kedua yaitu istidrak,
yakni mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim
atau salah satunya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau disahihkan oleh
Bukhari dan Muslim.[35]
7.
Periode Ketujuh
(656- Sekarang)
Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abbasiyah ke
XVII Al-Mu’tasim. Sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa
Al-Fami’ wa At-Takhrij wa Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan,
pen-tahrij-an, dan pembahasan.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini
adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadis, menyaringnya, dan menyusun enam kitab
Tahrij, serta membuat kitab-kitab Fami’ yang umum. Pada periode
ini juga para ulama mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam beberapa kitab
ke dalam sebuah kitab tertentu dan muncul pula ulama-ulama hadis yang menyusun
kitab-kitab ‘Athraf.
KESIMPULAN
Hadis
adalah berita yang bersumber dan datang dari Nabi Muhammad SAW dalam semua
bentuk perkataan, perbuatan, dan ketetapan yang dinisbatkan kepada Rasulullah. Telah
diketahui bahwa kata sunnah, hadis, khabar, dan atsar adalah sinonim, yaitu
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, atau kepada sahabat, atau kepada
thabi’in, baik yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat-sifat.
Perkembangan hadis Nabi diklasifikasikan menjadi 7 periode, yaitu di mulai dari
perkembangan hadis pada masa Rasulullah SAW, pada masa khulafa’ Ar-Rasyidin, pada
masa sahabat kecil dan tabiin, pada abad II dan III Hijriah, lalu dilanjutkan
dengan Masa men-tashih-kan hadis dan penyusunan kaidah-kaidahnya, pada
abad IV hingga tahun 656 H, dan yang terakhir adalah pada pertengahan abad VII
sampai sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Soetari, Endang. 2005. Ilmu Hadis Kajian
Riwayah & Dirayah.Bandung: CV. Mimbar Pustaka.
Mudasir. 2005. Ilmu Hadis.
Bandung: Pustaka Setia.
Khaeruman, Badri. 2010. Ulumul
Al-Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
Solahudin, M. Agus dan Agus Suyadi.
2008. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
Al-Maliki, Muhammad Alawi. 2006. Ilmu
Ushul Hadis. Yogayakarta: Pustaka Pelajar.
As-shalih, Subhi. 1997. Membahas
Ilmu-Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Sumbulah, Umi. 2010. Kajian
Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press.
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Pengantar
Ilmu Hadis. Bandung: Putaka Pelajar.
‘Itr, Nuruddin. 2012. ‘Ulumul
Hadis. Bandung: PT Rosdakarya.
Isnaen, Ahmad. 2014. Historisitas
Hadis Menurut M. Mustafa Azami. Journal of Qur’an and Hadith Studies.
Vol. 3, No.1.
Catatan:
1.
Abstrak dwi
bahasa.
2.
Pendahuluan
tolong diperbaiki.
3.
Berikan letak
perbedaan antara hadis, sunnah, khabar, dan atsar.
[1]Endang Soetari, Ilmu Hadis
Kajian Riwayah & Dirayah(Bandung:CV. Mimbar Pustaka, 2005), hlm, 1.
[2]Mudasir, Ilmu
Hadis(Bandung:Pustaka Setia, 2005), hlm, 11.
[3] Badri Khaeruman, Ulumul Al-Hadis(Bandung:Pustaka Setia,
2010), hlm, 60.
[4]Ibid., hlm. 61.
[5] M.Agus Solahudin dan Agus
Suyadi, Ulumul Hadis(Bandung: Pustaka
Setia, 2008), hlm, 19.
[6]Mudasir, Ilmu
Hadis(Bandung:Pustaka Setia, 2005), hlm, 33.
[7]M.Agus Solahudin dan Agus Suyadi,
Ulumul Hadis(Bandung: Pustaka Setia,
2008), hlm, 21.
[8]Mudasir, Ilmu
Hadis(Bandung:Pustaka Setia, 2005), hlm, 34.
[9]M.Agus Solahudin dan Agus Suyadi,
Ulumul Hadis(Bandung: Pustaka Setia,
2008), hlm, 21.
[10]Mudasir, Ilmu
Hadis(Bandung:Pustaka Setia, 2005), hlm, 34.
[11]M.Agus Solahudin dan Agus Suyadi,
Ulumul Hadis(Bandung: Pustaka Setia,
2008), hlm, 22.
[12]Mudasir, Ilmu
Hadis(Bandung:Pustaka Setia, 2005), hlm, 37.
[13]Ibid., hlm. 38.
[14]Muhammad Alawi
Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2006), hlm, 45.
[15] Subhi
As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997),
hlm, 20.
[16]Muhammad Alawi
Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2006), hlm, 46.
[17]Ibid., hlm. 47.
[18] Umi Sumbulah, Kajian
Kritis Ilmu Hadis(Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm, 10.
[19]Muhammad Alawi
Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2006), hlm, 47.
[20]Ahmad Isnaeni, “Historisitas
Hadis Menurut M. Mustafa Azami”. Journal of Qur’an and Hadith Studies. Vol.
3 No. 1, hlm, 125.
[21]M.Agus Solahudin dan Agus Suyadi,
Ulumul Hadis(Bandung: Pustaka Setia,
2008), hlm, 34.
[22]Ibid., hlm. 35
[23]Masjfuk Zuhdi, Pengantar
Ilmu Hadits(Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1993), hlm, 81.
[24]M.Agus Solahudin dan Agus Suyadi,
Ulumul Hadis(Bandung: Pustaka Setia,
2008), hlm, 35.
[25] Ibid., hlm.
36.
[26] Ibid., hlm.
38.
[27]Masjfuk Zuhdi, Pengantar
Ilmu Hadits(Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1993), hlm, 83.
[30] Nuruddin ‘Itr,
‘Ulumul Hadis(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), hlm, 240.
[32]Ibid., hlm. 43.
[33]Ibid., hlm. 45.
[34]Ibid., hlm. 46.
[35]Ibid., hlm. 47.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar