Hadis dan Historisitasnya
Nadia Nisa’ul Hikmah, Muhimmatun
Alfiyah, dan Reviana Novianti
Mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas C
Angkatan 2015
Universitas Islam Mulana Malik Ibrahim Malang
e-mail : muhimmatun.alfiyah@gmail.com
Abstract
Sunnah according to the understanding of language is the road
According to the snake by language is new, or it means "something that is
talked and quoted both” .Hadith that something related to the Prophet Muhammad
conjunction with the provisions of the law or not. Knowledge of the hadith of
the importance to us that we should not assume that everything is there after death
of the Prophet come into one's vision the bid’ah. So in this article about the
hadith, sunnah and wide-ranged beseta historical and differences between the
hadith, Sunnah, Atsar and Khabar. We will discusses the hadith and sunnah are deep
order not teriadi upset unfamiliarity hadith and Sunnah there are differences
among the hadith is something is theoretical Sunnah is a practical or on an act
Khabar is Sesua sourced apart from the Prophet. Atsar a word in clerical sal and
other dits will experience. Keywords: Sunnah, Hadith, Atsar, Khabar.
Abstrak
Sunnah
menurut pengertian bahasa adalah jalan yang ditempuh baik terpuji atupun tidak.Hadits
menurut bahasa adalah baru, atau berarti “sesuatu yang dibicarakan dan
dinukil”.Menurut ulama Hadits membicarakan bahwa sesuatu yang berhubungan
dengan Nabi Muhammad baik ada hubungannya dengan ketetapan hukum syaria maupun
tidak.Pengetahuan tentang hadits sangat penting bagi kita agar kita tidak
sembarang menganggap bahwa semuanya yang ada sesudah meninggalnya Nabi
merupakan bid’ah. Maka dari dalam artikel ini mengenai hadits, sunnah, dan macam-macamnya
beserta historisnya dan perbedaan antara Hadits, Sunnah, Atsar, dan Khabar.
Kita akan membahas hadits dan sunnah secara mendalam agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Hadits dan sunnah terdapat perbedaan diantaranya: Hadits merupakan sesuatu yang
bersifat teoritis. Sunnah bersifat praktis atau tentang suatu perbuatan.Khabar
merupakan sesuatu yang bersumber selain dari Nabi. Atsar merupakan perkataan
sahabat, tabi’in dan ulama’ salaf, dan lainnya.
Keywords
:Sunnah, Hadits, Atsar, Khabar
A.
Pendahuluan
Rasulullah merupakan manusia yang sempurna (insanul kamil)
atau pribadi pilihan Allah yang tidak saja perkataan, perbuatan, atau ketetapan
beliau dapat dicontoh, akan tetapi semua prilaku dan perjalanan hidup beliau
adalah pantas untuk dijadikan teladan utama. Rasulullah
adalah figur sentral dan model terbaik (uswah hasanah) yang harus
diteladani oleh setiap umat islam. Karena
itu dalam kerangka menjadikan nabi sebagai uswah hasanah ini,
muhadditsin juga mengikuti segala perilaku Muhammad SAW, sejak sebelum beliau
diangkat menjadi Nabi/ Rasul. Oleh karena itu ulama’ hadits berusaha meliputi
sebanyak mungkin riwayat yang berkenaan dengan Rasulullah, tidak saja berkenaan
dengan aspek hukum, akan tetapi juga menceritakan keadaan beliau, sifat-sifat
dan kebiasaan, bahkan hingga gambaran dan performa fisik beliau sekalipun.
Hadits mempunyai beberapa sinonim / muradhif menurut pakar ilmu hadits yaitu
sunnah, khabar, atau atsar.
Keteladanan nabi ini tidak hanya berwujud dari
perbuatannya saja, tetapi juga sifat dan karakternya yang diilustrasikan’aisyah
sebagai “ al-quran Berjalan”. Oleh karena itu jika dilihat dari sisi itu ulama’
menjadikan sifat (fisik dan psikisnya).Dalam hal ini semua mnegacu kepada Nabi
Muhammad SAW berupa perbuata, perkataan, keadaan, dan taqrir baik yang terjadi
sesudah kenabian maupun sebelum kenabian.
Banyak
ulama’ yang mengartikan bahwa sunnah, hadits, khabar, dan atsar adalah sinonim.
Tetapi banyak pula yang beranggapan bahwa masih masing istilah tersebut
terdapat perbedaan yang menjadi ciri khas masing-masing istilah. Maka dari itu,
kami menelaah lebih dalam perbedaan sunnah, khabar, dan atsar. Dan akan kami
kupas sejarah perkembangan Hadits dari masa-ke masa.
- Pengertian Hadis/Sunnah Menurut Para Ulama (Ahli Hadis, Ahli Ushul Fiqih, dan Ahli Fiqih) dan Macam-Macamnya (Qauli, Fi’li, Taqriri, dan Ahwali)
Menurut Ibn Manzhur, kata ‘Hadis’ berasal dari
Bahasa Arab, yaitu al-Hadis, jamaknya al-Hadisan, al-Hadisan, dan
al-hudtsan.[1]Secara
etimologis, kata ini memiliki banyak arti, diantaranya al-jadid (yang baru)
lawannya al- qadim (yang lama),
dan al-khabar [2]yang berarti khabar
atau berita.[3]
Selain itu hadis juga berarti dekat yang belum lama terjadi, seperti
perkataan Hadisul ahdi bil islam (orang
yang baru memeluk agama Islam).[4]
Secara termologis, para ulama merumuskan
pengertian hadis secara berbeda-beda.Berbedaan tersebut disebabkan oleh objek
tinjauan dan konsentrasi bidang keilmuan masing-masing ulama. Berikut ini
pengertian hadis secara termologis menurut para ulama, yaitu:
1.
MenurutUlama
Hadis (Muhandditsun)
كُلُّ ما أُثِرَعَنِ النَّبِثيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْفِعْلٍ أَوْتَقْرِيْرٍ أَوْصِفَةٍ أَوْ
خُلُقِيَةٍ
Segala sesuatu yang diberitahukan dari Nabi
SAW, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal
Nabi.Yang dimaksud ikhwal adalah segala sifat maupun keadaan peribadi Nabi.[5]
Ulama Hadis dalam
mendefinisikan hadis melihat Nabi sebagai manusia yang sempurna baik dari segi
perkataan, perbuatan atau ketetapan beliau yang harusnya dicontoh oleh manusia,
bukan hanya itu saja tetapi semua yang berhubungan Nabi bahkan perjalanan hidup
Nabi pantas dijadikan teladan manusia.
2.
Menurut Ulama
Usul Fiqh(Ushuliyyun)
كُلُّ
ماَ صَدَرَعَنِ النَّبِثيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرَ الْقُرْآنَ
الْكَرِيْمِ مِنْ مِنْ قَوْلٍ أَوْفِعْلٍ أَوْتَقْرِيْرٍ مِمَّا يَصْلُحُ أَنْ
يَكُوْنَ دَلِيْلً لِحُكْمٍ شَرْعِيٍّ
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
SAW, selain Al Qur’an Al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir
Nabi yang bersangkut-paut dengan hukum Syara’ [6](syari’ah)[7].
Ulama Usul Fiqh mendefinisikan hadis
berdasarkan objek tinjauan hukum, sehingga Hadis dikaitkan dengan hukum syara’.
3.
Menurut Ulama
Fiqih(Fuqaha)
كُلُّ ماَ ثَبَتَ عَنِ النَّبِثيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ بَا بِ الْفَرْضِ وَلاَ الْوَا
جِبِ
Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW yang
tidak bersangkut-paut dengan masalah-masalah fardhu atau wajib.[8]
Ulama
Fiqih mendefinisikan hadis berdasarkan objek tinjauan ilmu fiqih, sehingga
pengertian Hadis lebih mendekati pengertian sunnah.
Perbedaan
pandangan tersebut kemudian melahirkan dua macam pengertian hadis, yaitu hadis
secara terbatas dan pengertian luas. Pengertian hadis secara terbatas,
dikemukaan oleh Jumhur Al-Muhadditsin,[9]
yaitu hadis adalah sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan, pertanyaan (taqrir) dan sebagainya, [10]
sedangkan hadis secara luas dikatakan Muhammad Mahfudz At-Tirmidzi, adalah
sesungguhnya hadis bukan hanya yang dimarfu’ kan kepada Nabi Muhammad SAW,
melainkan dapat pula disebutkan pada yang mauquf (dinisbatkan pada perkataan
dan sebagainya dari sahabat) dan maqthu’ (dinisbatkan pada perkataan dan
sebagainya dari tabiin).[11]
Dalam kajian ilmu hadis, istilah hadis sering dikaitkan
dengan istilah sunnah.Secara etimologis, sunnah memiliki beberapa arti;
‘jalan yang ditempuh’ (al-tharīqah al-maslūkah); ‘kesinambungan’ (al-dawām);
‘jalan yang baik’ (al-tharīqah al-mahmūdah); dan ‘jalan yang terus
diulang-ulang, yang baik atau yang buruk’(al-tharīqah al-mu’tādah hasanah
kānat am sayyi’ah). [12]
الَطَّرِيقَةُمَحْمُدَةًكَانَت أَوْمَذْمُوْمَةً
Jalan yang dilalui, baik terpuji maupun tercela.[13]
Adapun secara terminologis, sunnah juga
didefinisikan secara beragam oleh para ulama. Berikut penjelasan hadis
menurut beberapa ulama:
1.
Menurut Ulama
Hadis,
Ulama Hadis beranggapan bahwa sunnah adalah
sinonim dengan Hadis.[14]
Dalam artian sunnah berartisegala yang berasal dari Nabi Muhammad SAW., baik
perkataan berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi.
2.
Menurut
Ulama Usul Fikih,
Ulama usul fikih mengartikan sunnah secara
lebih sempit.Sunnah hanya berkaitan dengan hal-hal yang berasal dari Nabi SAW., selain al- Qur’an, yang dapat dijadikan
sebagai sumber hukum, baik berupa sabda, perbuatan, persetujuan, maupun penolakannya.[15] Dalam artian sunnah merupakan segala sesuatu
yang hanya berasal dari Nabi Muhammad SAW., yang dapat dijadikan sumber hukum
setelah Al-Qur’an.
3.
Menurut
Ulama Fikih,
Ulama fikih mendefinisikan
sunnah dengan perspektif yang berbeda dari ushūliyyūn dan muhadditsūn.
sunnah diartikan sebagai ‘sesuatu yang ditetapkan dari Nabi SAW., yang
tidak termasuk dalam kategori wajib atau fardhu’. Perspektif
ini muncul karena mereka memandang Nabi SAW., sebagai seorang yang menunjukkan
perbuatan-perbuatannya yang berdasarkan hukum syariat.[16]
Macam-Macam
Hadis Qauli, Fi’li, Taqriri, dan Ahwali
1.
Hadis
Qauli
Hadis qauli adalah segala bentuk perkataan atau ucapan yang
disandarkan kepada Nabi SAW.Dengan kata
lain, hadis qauli adalah hadis berupa perkataan Nabi SAW., yang berisi berbagai
tututan dan petunjuk Syara’, peristiwa, dan kisah, baik yang berkaitan dengan
aspek akidah, syariat, maupun akhlak.[17]Dengan
demikian hadis qauli menjadikan perkataan Nabi SAW., menjadi sumber hadis
tersebut.
Diantara contoh hadis qauli adalah hadis
tentang kecaman Rasul kepada orang-orang yang mencoba memalsukan hadis-hadis
yang berasal dari Rasulullah SAW.,
عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَا لَ: قَا لَ رَسُوْلُ الَّلهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَليَتَبَوَّأْمَقْعَدَهُ
مِنَالنَّارِّ (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW.
bersabda, “Barang siapa sengaja berdustaatas diriku, hendaklah ia bersiap-siap
menempati tempat tinggal di neraka.” (H.R.
Muslim)[18]
2.
Hadis Fi’li
Hadis fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada
Nabi SAW.Dalam hadis tersebut terdapat berita tentang perbuatan Nabi SAW.yang
menjadi anutan perilaku para sahabat pada saat itu, dan menjadi keharusan bagi semua umat Islam
untuk mengikutinya.
Hadis yang termasuk kategori ini di antaranya
adalah hadis-hadis yang di dalamnyaterdapat kata-kata kanalyakunu atau ra’aitu/ra
aina. Contohnya hadis berikut ini,
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْسِمُ بَيْنَ نِسائِهِ فَيَعْدِلُ وَيَقُوْلُ
:اللّهُمَ هَذِهِ قِسْمَتِيْ ِفِيْمَا أَمْلِكُ فَلأَ تَلُمْنِنِيْ فِيْمَا
تَمْلِكُ وَلاَأَمْلِكُ (رواه أبوداود و التر مذى و النساىى و ابن ماجه)
Dari ‘Aisyah,
Rasul SAW. membagi (nafkah dan giliranyaj antar istri-istrinya dengan
adil. Beliau bersabda, “Ya Allah! Inilah pembagianku pada apa yang aku
miliki. Janganlah Engkau mencelaku dalam
hal yang tidak aku miliki.”(HR. Abu
Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i,
dan Ibn Majah).[19]
3.
Hadis
Taqriri
Hadis taqriri adalah hadis berupa ketetapan
Nabi SAW terhadap apa yang datang atau dilakukan oleh para sahabatnya. Nabi SAW.
membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan,apakah beliau
membenarkan atau mempermasalahkannya.
Sikap Nabi yang demikian itu dijadikan dasar oleh para sahabat sebagai
dalil taqriri, yang dapat dijadikan hujah
atau mempunyai kekuatan hukum untuk menetapkan suatu kepastian Syara
Di antara contoh hadis taqriri adalah sikap
Rasul SAW.yang membiarkan para sahabat dalam menafsirkan sabdanya tentang
shalat pada suatu peperangan, yaitu,
لاَيُصَلِّيْنَّ
اَحَدٌ الْعَصْرَ اِلاَّ فِيْ بَنِيْ قُرَيْضَةَ (رواه البخارى)
Janganlah seorang pun shalat Ashar, kecuali nanti di Bani Quraidhah. (H.R. Al-Bukhari)
Sebagian
sahabat memahami larangan itu berdasarkan pada hakikat perintah tersebut
sehingga mereka terlambat dalam melaksanakan shalat Ashar.Segolongan sahabat
lainnya memahami perintah tersebut untuk segera menuju Bani Quraidhah dan
serius dalam peperangan dan
perjalanannya sehingga dapat shalat tepat pada waktunya.Sikap para sahabat ini
dibiarkan oleh Nabi SAW.tanpa ada yang disalahkan atau diingkarinya.[20]
4.
Hadis Ahwali
Hadis
ahwali adalah hadis yang berupa hal ikhwal Nabi SAW. Hadis yang termasuk
kategori ini adalah hadis-hadis yang menyangkut sifat-sifat dan
kepribadian, serta keadaan fisik Nabi
SAW
Sifat
Nabi SAW diceritakan dalam hadis yang diriwayatknn oleh Annas bin Malik, sebagai berikut,
كَنَ
رَسُوْلُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا (متفق عليه)
Rasul SAW., adalah orang yang paling mulia
akhlaknya. (Mutafaq’alaih)
Tentang keadaan fisik Nabi SAW, dijelaskan dalam hadis,
كَنَ رَسُوْلُ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم أَحْسَنَ النَّاسِ وَجْهًا وَاَحْسَنَهُ خَلْقًا
لَيْسَ بِا الطَّوِيْلِ الْبَائِنِ وَلاَبِاالْقَصِيْرِ (رواه البخارى)
Rasul SAW adalah manusia yang sebaik-baiknya
rupa dan tubuh.Keadaan fisiknya ridak tinggi dan tidak pendek.(H
R. Al-Bukkari)
Pada hadis lainnya disebutkan bahwa Anas bin
Malik berkata,
عَنْ
أَنَسن رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَا لَ: مَا مَسِسْثُ حَرِيْرً وَلاَدِيْبَا جًا
الْيَنَ مِنْ كَفِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم وَشَمِمْتُ رِيحًا
قَطُّ أَوْعَرْفَا قَطُّ أطْيَبَ مِنْ رِيْحٍ أَوْعَرْفِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم (رواه البخارى)
Dari Anas ra,
berkata,“Aku belum pernah memegang sutra murni dan sutra berwarna)
sehalus telapak tangan Rasul SAW., juga belum pernah mencium wewangian seharum
Rasulullah SAW”. (HR Bukhari).[21]
- Perbedaan Antara Hadits, Sunnah, Atsar, dan Khabar
Sebelum kita memperdalam pembahasan mengenai Hadits,
terlebih dulu kita perlu mengetahui istilah-istilah yang digunakannya dalam
pembahasan ini.Ada istilah-istilah yang digunakan dalam pembahasan Hadits,
yaitu al-Hadits, as-Sunnah, Atsar, dan
Khabar.Agar tidak mengalami kesalahpahaman dalam memahami dan membedakan
dantara istilah-istilah tersebut.
Hadits
Hadits secara
bahasa (etimologi), berarti: khabar, jadid, dan qarib. Khabar artinya “berita”,
misalnya, berita yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Jadid,
artinya “baru” lawan dari qatim, yang berarti “lama”. Qorib, berarti “dekat”
atau “belum lama terjadi”, seperti dalam kalimat: [22]
حديث في
الاسلا مهو
“Dia orang baru/belum lama
mengenal islam”
Dan
secara istilah merupakan apa yang disandarkan kepada nabi Muhammad dari
perkataannya, perbuatannya, atau taqrirnya. Menurut Alhafidz, hadits merupakan
segala ucapan, perbuatan, dan keadaan Rasulullah Saw. Yang termasuk keadaan
beliau adalah menyangkut sejarah kelahiran beliau, tempatnya, dan segala hal
yang berkaitan dengan beliau, baik sebelum diangkat sebagai rasul maupun
setelahnya.[23]
Sunnah
Assunnah
menurut pengertian bahasa (Etimologi) berarti tradisi yang bisa dilakukan, atau
jalan yang dilalui (al-toriqoh al-maslukah)baik yang terpuji maupun ynag tercela.[24]Sunnah
menurut bahasa artinya “jalan yang dilaui, baik atau buruk”. Arti lain ialah
“jalan yang ditempuh kemudian dikuti orang lain” arti lain lagi adalah arah,
peraturan, mode, atau tentang tindakan atau sikap atau sikap hidup.[25]
Sunnah
merupakan suatu perbuatan Nabi yang terus menerus dilakukan dan ditiru oleh
sahabat-sahabat Rasulullah sehingga menjadi tradisi disuatu masyarakat.
Khabar
Al-khabar
berarti al-Naba’ (pemberitaan), yaitu berita yang disampaikan dari seseorang
kepada orang lain. Dengan demikian al-Khabar lebih luas dari assunnah, karena
tidak hanya bersumber dari Nabi Muhammad saja tetapi juga bersumber dari
sahabat dan tabiin.[26]
Mayoritas
ulama’ melihat hadits lebih khusus yang datang dari Nabi, sedangkan Khabar
sesuatu yang datang darinya dan yang lain, termasuk berita-berita umat
terdahulu, para nabi, dan lain-lain. Misalnya, nabi berkata:…, Nabi Isa
berkata:…., Nabi Ibrahim berkata:…, dan lain-lain, termasuk khabar,bukan
hadits. Bahkan pergaulan diantara sesama kita sering terjadi menanyakan
Khabar.Apa khabar?Dengan demikian, khabar lebih umum dari pada hadits dan dapat
dikatakan bahwa setiap hadits adalah khabar dan tidak sebaliknya, khabar tidak
mesti hadits.[27]
Atsar
Sedangkan
al-Atsar berarti bekas atau sisa sesuatu.[28]Para
fuqaha’ memakai istilah atsar khusus diperuntukkan bagi perkataan sahabat
tabiin dan ulama’ salaf.Tetapi jumhur ulama’ menyamakan atsar dengan al-hadits as-sunnah.Al Nawawi menyatakan
bahwa ulama’ fiqih menyebut perkataan sahabat (hadits Mauquf) dengan atsar
juga.[29]
Atsar
adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, para sahabat, dan ulama’
salaf.Sesuatu yang disandarkan kepada nabi dinamakan Marfu’, para sahabat
dinamakan mawquf.Sementara fuqaha’ Khurrasan membedakannya atsar adalah berita
mawquf, sedangkan khabar adalah berita marfu’.[30]
Menurut
para ahli fiqih, istilah atsar merupakan perkataan sahabat, tabi’in, dan ulama’
salaf. Sebagai contoh, perkataan Ubaidillah ibn Abdillah ibn Utbah ibn Masud (tabiin) sebagai berikut:
السُّنَّةُ اَنْ يُّكَبِّرَ اْلاِمَامُ الْفِطْرَ وَيَوْمَ اْلآَضْحى
حِيْنَ يَجْلِسُ عَلَى اْلمِنْبَرِ قَبْلَ اْلخُطْبَةِ تِسْعَ تَكْبِرَاتٍ (رواه
البيهقى
Artinya:
Menurut
sunnah hendaknya imam bertakbir pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha
sebanyak sembilan kali takbir ketika duduk diatas mimbar sebelum berkhutbah.
(HR.Al-Baihaqi).[31]
Perbedaan
Mengenai
pengertian istilah terminlogi as-Sunnah dan al-Hadits ini ada ulama’ yang
membedakan keduanya dan ada pula yang yang menyamakan. Ulama’ yang membedakan
pengertian keduanya adalah Ibnu Timiyah, menurutnya bahwa al-Hadits merupakan
ucapan, perbuatan, maupun taqrir Nabi Muhammad sebatas beliau diangkat menjadi
Nabi atau Rasul, sedangkan sunnah lebih dari itu, yakni sebelum dan sesudah
diangkat menjadi Nabi atau Rasul. Sedangkan jumhur ulama’ menyamakan arti
as-Sunnah dengan al-Hadits, hanya saja ulama’ Hadits banyak memakai istilah
al-Hadits, sedangkan ulama’ ushul memakai istilah assunnah.Terlepas dari
perbedaan pendapat tersebut, yang patut digaris bawahi adalah pemakaian kalimat
“apa yang datang (dinukilkan) dari Rasulullah SAW”.Dalam definisi-definisi
tersebut, kalimat itu mempunyai konsekuensi bahwa semua assunnah atau al-Hadits
adalah shohih, karena datangnya dari Nabi SAW.Pada kenyataannya tidak demikian,
yakni ada pula hadits hasan, dhoif, dan bahkan ada pula yang maudhu’ (palsu)
yang semuanya itu dapat dijadikan sebagai al-Hadits dan as-Sunnah.[32]
Perbedaan
dari sunnah dan hadits adalah jika sunnah merupakan suatu perbuatan yang
dilakukan oleh Nabi, perkataan, dan taqrir Nabi. Kalau hadits adalah sebatas
perkataannya saja.Berarti cangkupan Sunnah itu lebih luas dari cangkupan
Hadits.Hal ini sesuai dengan perkataan Dr. Yusuf Musa, seorang guru besar pada
Cairo University dalam bukunya: “sunnah ialah apa yang keluar dari Rasul, baik
perkataan, atau perbuatan, ataupun taqrirnya. Sedangkan hadits ialah apa yang
keluar dari Rasul berupa perkataan saja”.Dan juga perkataan Ibnul Al-Kamal
“sunnah ialah sesuatu yang dinukil dari Nabi Muhammad Saw baik berupa perbuatan
ataupun sabdahnya, sedangkan Hadits adalah khusus sabdahnya”. Persepsi Dr
Taufiq dalam kitabnya menerangkan bahwa “Sunnah adalah suatu jalan yang
dilakukan atau dipraktekkan oleh nabi secara continue dan diikuti para sahabat;
sedangkan Hadits ialah ucapan ucapan nabi yang diriwayatkan oleh seseorang,
dua, atau tiga orang perawi, dan tidak menggetahui ucapan-ucapan tersebut
selain mereka sendiri”.
Rangkuman perbedaan Hadits, Sunnah, Khabar,
Atsar
Macamnya
|
Sandaran
|
Asek dan spesifikasinya
|
Sifatnya
|
Hadits
|
Nabi
|
Perkataan
(qشuli),
perbuatan (fi’li), pesetujuan (taqriri)
|
Lebih
khusus dan sekalipun dilakukan sekali
|
Sunnah
|
Nabi
dan para sahabat
|
Perbuatan
(fi’li)
|
Menjadi
tradisi
|
Khabar
|
Nabi
dan selainnya
|
Perkataan
(qauli) dan perbuatan (fi’li)
|
Lebih
umum
|
Atsar
|
Sahabat
dan tabi’in
|
Perkataan
(qauli) dan perbuatan (fi’li)
|
Umum
|
- Sejarah Singkat Hadis Nabi dari Masa ke Masa
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits Nabi
dapat diklasifikasi dalam beberapa periode, yaitu : (1) hadits pada masa Nabi;
(2) hadits pada masa sahabat besar ( al-Khulafa’ al-Rasyidin); (3) hadits pada
masa sahabat kecil dan tabi’in; (4) hadits pada masa kodifikasi; (5) hadits
pada masa awal sampai akhir abad III H; (6) hadits pada abad IV sampai
pertengahan abad VII (jatuhnya Baghdad tahun 656 H); dan (7) hadits pada masa
pertengahan abad VII sampai sekarang.[33]
a.
Hadits pada Masa Nabi
Menurut ‘Ajjaj al-Khatib, bahwa munculnya hadits itu
mengalami proses yang memiliki keterkaitan dengan beberapa hal, yang meliputi: Pertama, peristiwa tersebut terjadi di
hadapan Nabi, yang kemudian Nabi menjelaskan hukumnya dan menyebarluaskan kepada
kaum muslimin. Di antara contoh peristiwa dalam konteks ini adalah ketika Nabi
melihat seorang laki-laki yang sedang berwudlu dan tidak membasuh punggung
kakinya, lalu beliau menegur orang tersebut seraya berkata :”kembalilah dan perbaikilah wudlumu”.Kedua, peristiwa yang terjadi di
kalangan umat Islam, yang kemudian ditanyakan kepada Rasulullah, baik kejadian
yang menimpa pada diri orang itu secara langsung maupun peristiwa yang terjadi
pada orang lain. Contohnya adalah pada kasus yang dialami ‘Ali ibn Abi Thalib,
yang sering mengeluarkan cairan madzi,
tetapi ia malu untuk menanyakan perihal tersebut kepada Rasulullah, sehingga
‘Ali kemudian memerintahkan Miqdad ibn Aswad untuk menanyakannya kepada
Rasulullah, lalu beliau bersabda: “basuhlah dzakarmu dan berwudhu’lah”. Ketiga, kejadian-kejadian yang
disaksikan sahabat, mengenai apa yang diperbuat oleh Rasulullah, kemudian sahabat
tersebut menanyakannya dan selanjutnya Nabi menjelaskannya. Dalam konteks ini
dapat dijadikan contoh mengenai seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah
dan menanyakan kepada beliau tentang iman, islam dan ihsan, lalu Rasulullah
menjawabnya, bahwa yang bertanya lebih tahu dari pada yang ditanya. Setelah
laki-laki tersebut pergi, kemudian Nabi bertanya kepada Umar: “Hai ‘Umar,
apakah engkau mengerti siapa yang bertanya kepadaku tadi, kemudian Umar
berkata: “hanya Allah dan Rasulullah yang tahu”. Lalu Nabi memberitahukan bahwa
seseorang yang tadi datang kepada beliau tersebut adalah Malaikat Jibril yang
telah mengajari agama.[34]
Dalam menyampaikan hadits-haditsnya, Nabi menempuh
beberapa cara, yaitu :
Pertama, melalui majlis ta’lim,
yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membina para
jama’ah.Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk
menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri
untuk mengikuti kegiatannya.Periwayatan hadits melalui majlis ini dilakukan
secara reguler di mana para sahabat begitu antusias mengikuti kegiatan di
majlis ini.Kedua, dlam banyak
kesempatan Rasulullah juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat
tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada orang
lain. Ketiga, untuk hal-hal sensitif,
seperti yang berkaitan dengan soal keluarga atau kebutuhan biologis, terutama
yang menyangkut hubungan suami istri, Nabi menyampaikan melalui istri-istrinya.Keempat, melalui ceramah atau pidato di
tempat terbuka, seperti ketika futuhMekkah
dan haji wada’.Kelima, melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya,
yaitu dengan jalan musyahadah,
seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan
muamalah.Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Nabi lalu Nabi menjelaskan
hukumnya dan berita itu tersebar di kalangan umat Islam.[35]
b.
Hadits pada Masa Sahabat Besar (al-Khulafa’
al-Rasyidin)
Setelah Nabi wafat, para sahabat tidak dapat mendengar
sabda-sabda, menyaksikan perbuatan-perbuatan, dan hal ihwal Nabi secara
langsung. Tindak tanduk Nabi, yang pada dasarnya bermuatan ajaran Ilahi, hanya
dapat diketahui melalui informasi para sahabat Nabi, sebagai periwayat pertama
yang menyampaikan hadis kepada umat muslim. Periwayatan hadis semenjak itu
mengalami perkembangan dan melibatkan banyak pihak.Para sahabat tidak ada yang
mendustakan Nabi.Mereka orang-orang yang rela mengorbankan jiwa dan raga demi
menegakkan agama dan membantu dakwah Islam.Periwayatan
hadis pada masa ke masa sahabat terutama masa al-Khulafa’ al-Rasyidin sejak tahun 11 H sampai 40 H, yang disebut
juga masa sahabat besar, belum begitu berkembang.Pada satu sisi, perhatian para
sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an dan mereka
berusaha membatasi periwayatan hadis tersebut. Masa ini disebut dengan masa
pembatasan dan memperketat periwayatan (al
tatsabbut wa al-iqlal min al-riwayah). Pada sisi yang lain, meskipun
perhatian sahabat terpusat pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an, tidak
berarti mereka tidak memegang hadis sebagaimana halnya yang mereka diterima
secara utuh ketika Nabi masih hidup. Mereka sangat berhati-hati dan membatasi
diri dalam meriwayatkan hadis itu.[36]
Para sahabat Nabi sangat kritis dan
hati-hati dalam periwayatan hadis. Tradisi kritis di kalangan sahabat
menunjukkan bahwa mereka sangat peduli tentang kebenaran dalam periwayatan hadis : Pertama, para sahabat, sebagaimana dirintis oleh al-Khulafa’ al-Rasyidin, bersikap cermat
dan hati-hati dalam menerima suatu riwayat. Ini dikarenakan meriwayatkan hadis
Nabi merupakan hal penting, sebagai wujud kewajiban dan taat
kepadanya.Berhubung tidak setiap periwayat menerima riwayat langsung dari Nabi,
maka dibutuhkan perantara antara periwayat setelah sahabat, bahkan antara
sahabat sendiri dengan Rasulullah SAW, karena tidak dimungkinkan pertemuan
langsung dengannya.Kedua, para
sahabat melakukan penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun isi
riwayat itu sendiri.Ketiga, para
sahabat, sebagaimana dipelopori Abu Bakar, mengharuskan adanya saksi dalam
periwayatan hadis.Keempat, para
sahabat, sebagaimana dipelopori oleh ‘Ali ibn Abi Thalib, meminta sumpah dari
periwayat hadis.Kelima, para sahabat
menerima riwayat dari satu orang yang terpercaya.Keenam, di antara para sahabat terjadi penerimaan dan periwayatan
hadis tanpa pengecekan terlebih dahulu apakah benar dari Nabi atau perkataan
orang lain dikarenakan mereka memiliki agama yang kuat sehingga tidak mungkin
berdusta.[37]
Bukti hadis yang mereka buat antara lain
hadis yang mendeskreditkan Muawiyah dan menyanjung ‘Ali beserta pengikutnya.
Mereka juga membuat hadis-hadis palsu yang mencela para sahabat khususnya Abu
Bakar, ‘Umar ibn al-Khathab, dan sahabat-sahabat lain. Kaum Syi’ah yang banyak
membuat hadis palsu adalah kelompok al-Rafidhah yang menurut Ibn Taymiyah
seperti dikutip ‘Ajjaj al-Khathib, pada masa ‘Ali berkuasa di Kufah sudah
ada.Mereka beranggapan bahwa berdusta untuk kebaikan diperbolehkan. John
Burton, seorang orientalis, menyatakan: “One
of the leaders of the Shi’a was suspected of fabrication” (salah seorang
pemimpin Syi’ah dicurigai membuat hadis palsu).[38]
c.
Hadis pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar
Pada masa ini, Al-qur’an sudah
dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga tidak lagi mengkhawatirkan para
sahabat. Pada masa ini daerah kekuasaan islam semakin luas. Banyak sahabat atau
tabi’in yang pindah dari Madinah ke daerah-daerah yang baru dikuasai, di samping
banyak pula yang masih tinggal di Madinah dan Mekkah.[39]
Faktor-faktor penyebab terjadinya
kekeliruan pada masa setelah sahabat itu antara lain :
a.
Periwayat
hadits sebagaimana manusia lain tidak terlepas dari unsur kekeliruan.
b.
Terbatasnya
penulisan dan kodifikasi hadits.
c.
Terjadinya
periwayatan secara makna yang dilakukan oleh sebagian besar sahabat dan tabi’in
terbukti dengan adanya hadis atau kisah yang sama tetapi memiliki redaksi yang
beragam.
Disamping kekeliruan hadits, pada masa ini
sudah mulai banyak bermunculan hadits palsu. Menghadapi terjadinya kekeliruan
dan pemalsuan hadits, para ulama melakukan beberapa langkah, yaitu :
a)
Melakukan
seleksi dan koreksi oleh tentang nilai hadits atau para periwayatnya.
b)
Hanya
menerima riwayat hadits dari periwayat yang tsiqah saja.
c)
Melakukan
penyaringan terhadap hadis-hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah.
d)
Mensyaratkan
tidak adanya syadz yang berupa penyimpangan periwayat tsiqah terhadap periwayat
lain yang lebih tsiqah.
e)
Untuk
mengidentifikasi hadis palsu, mereka meneliti sanad dan rijal al-hadits dan
bertanya kepada para sahabat yang pada saat itu masih hidup.[40]
d.
Hadits Pada Masa Kodifikasi
Pada ini terjadi kegiatan kodifikasi hadits.
Kegiatan ini dimulai pada masa pemerintahan Islam dipimpin oleh khalifah ‘Umar
ibn ‘Abd al-Aziz (99-101 H), melalui instruksinya kepada Abu Bakar bin Muhammad
bin Amr bin Hazm dan para ulama Madinah agar memerhatikan dan mengumpulkan
hadis dari para penghafalnya. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi
kodifikasi hadis pada masa ‘Umar ibn Abd al-Aziz tersebut. Menurut al-Zafzaf,
kodifikasi hadits tersebut dilakukan karena :
a.
Para ulama
hadis telah tersebar ke berbagai negeri, dikhawatirkan hadis akan hilang
bersama wafatnya mereka.
b.
Banyak
cerita yang diada-adakan oleh pelaku bid’ah seperti Khawarij, Syi’ah dan
lain-lain yang berupa hadits palsu.[41]
e.
Hadis pada Masa Awal Sampai Akhir Abad III H
Masa dikodifikasi dilanjutkan dengan masa
seleksi hadis.Yang dimaksud dengan masa seleksi atau penyaringan di sini, ialah
masa upaya para mudawwin hadis yang melakukan seleksi secara ketat, sebagai
kelanjutan dari upaya para ulama sebelumnya yang telah berhasil melahirkan
suatu kitab tadwin.Munculnya periode ini, sebagaimana telah dijelaskan, karena
pada periode tadwin belum berhasil dipisahkan beberapa hadis yang berasal dari
sahabat dan dari tabi’in dari hadis yang berasal dari Nabi.[42]
f.
Hadis pada Masa Abad IV Sampai Pertengahan Abad VII
(Jatuhnya Baghdad Tahun 656 H)
Masa seleksi dilanjutkan dengan masa
pengembangan dan penyempurnaan sistem penyusunan kitab-kitab hadis.Masa ini
disebut dengan ‘ashr al tahdzib wa
al-taqrib wa al-istidrak wa al-jam’i(masa pemeliharaan, penertiban,
penambahan, dan pengampunan).Penyusunan pada masa ini lebih mengarah kepada
usaha mengembangkan beberapa variasi pembukuan kitab-kitab yang sudah ada.[43]
g.
Hadis pada Masa Pertengahan Abad VII Sampai Sekarang
Masa ini disebut dengan : ‘ashr al-syarh wa al-jam’i wa al-takhrij wa al-bahts (masa
pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan, dan pembahasan). Kegiatan ulama hadis
pada masa ini berkenaan dengan upaya mensyarah kitab-kitab yang sudah ada,
menghimpun dan mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab-kitab yang sudah ada,
mentakhrij hadis-hadis dalam kitab tertentu, dan membahas kandungan kitab-kitab
hadis.Diantara usaha itu, misalnya, pengumpulan isi kitab yang enam, seperti
yang dilakukan oleh ‘Abd al-Haq ibn Abd al-Rahman al-Asybili, al-Fayir,
al-Zabadi, dan Ibn al-Atsir al-Jaziri.Juga penyusunan kitab-kitab hadis
mengenai hukum, di antaranya oleh al-Daruquthni, al-Bayhaqi, Ibn Daqiq al-‘Id,
Ibn Hajar al-Asqalani, dan Ibn Qudamah al-Maqdisi.[44]
Masa ini terbentang cukup panjang, dari mulai
abad keempat Hijriah terus berlangsung beberapa abad berikutnya.Dengan demikian
masa perkembangan ini melewati dua fase sejarah perkembangan Islam, yakni fase
pertengahan dan fase modern.
- Penutup
Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa hadits
merupakan perkataan, perbuatan, dan keadaan Nabi. Sunnah merupakan suatu
perbuatan yang dilakukan Nabi yang berhukum selain wajib dan makruh. Terdapat
pula macam-macam dari hadits ada 4 yaitu qauli, fi’li ahwali, dan taqriri.Sunnah, Hadits, Khabar, Atsar adalah kesatuan yang ada
perbedaan. Hadits adalah sesuatu perkataan, perbuatan, dan persetujuan yang
disandarkan kepada Nabi yang bersifat lebih khusus dan sekalipun dilakukan
sekali. Sunnah adalah suatu perbuatan yang dilakukan Nabi yang disandarkan
kepada Nabi dan para sahabat yang bisa menjadi suatu tradisi masyarakat.Khabar
merupakan perkataan dan perbuatan dengan sandaran kepada Nabi dan selainnya
yang bersifat lebih umum daripada Atsar.Atsar adalah suatu perkataan, perbuatan
yang dilakukan oleh Nabi Muhammad yang disandarkan kepada sahabat dan Tabi’in
dan atsar merupakan sesuatu yang bersifat umum dibanding khabar.
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan
hadits Nabi dapat diklasifikasi dalam beberapa periode, yaitu : (1) hadits pada
masa Nabi; (2) hadits pada masa sahabat besar ( al-Khulafa’ al-Rasyidin); (3)
hadits pada masa sahabat kecil dan tabi’in; (4) hadits pada masa kodifikasi; (5)
hadits pada masa awal sampai akhir abad III H; (6) hadits pada abad IV sampai
pertengahan abad VII (jatuhnya Baghdad tahun 656 H); dan (7) hadits pada masa
pertengahan abad VII sampai sekarang
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rusydie. 2015.Pengantar Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits..Yogyakarta: IRCiSoD.
Idri.2010. Studi
Hadits. Jakarta: Kencana.
Kolis, Nur. 2008.Pengantar Studi Alqur’an dan Al-Hadits. Yogyakarta:
Teras.
Majid, Khon, Abdul. 2013.Ulumul Hadits.
Jakarta: Amzah.
Muhaimin, dkk. 2005. Study Islam dalam
Ragam Dimensi dan Pendekatan. Jakarta:
Prenandamedia Group.
Muhammad,Hasbi,Tengku
,Ash Shiddieqy. 1999.Ilmu Hadits,Semarang: PT Pustaka Rizki Putra .
Nirwana, D.2012.“Rekonsepsi Hadits dalam Wacana Studi Islam
[Telaah Terminologis Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar]”, Edu-Islamika. T4. (02), 289-313.
Sholahudin, Agus dan Agus Suyadi. 2008.Ulumul Hadis..
Bandung: CV Pustaka Setia.
Sulaiman, M.Noor, Antologi
Ilmu Hadits.2008. Jakarta:
Gaung Persada Press.
Sumbulah, Umi, dkk. 2014. Studi Al-Qur’an dan Hadis. Malang:
UIN-Maliki Press.
Wibawanto,Agung.(2009)Kebenaran
Qur’an dan Hadits. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka,
Zuhri, Muh., Hadits
Nabi. 2003.Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
[2]Ibid, hlm. 13; Dzikri Nirwana,
“Rekonsepsi Hadits dalam Wacana Studi Islam [Telaah Terminologis Hadits,
Sunnah, Khabar, dan Atsar]”,
Edu-Islamika,Volume T4. No. 02. September 2012, hlm 291
[3]Agus Sholahudin dan Agus
Suyadi,op.cit. hlm. 13
[4]Rusydie Anwar, Pengantar
Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), hlm. 236
[5]Agus Sholahudin dan Agus
Suyadi , op. cit. hlm. 15
[6]Ibid, hlm. 16; Umi Sumbulah,
dkk, Studi Al-Qur’an dan Hadis (Malang: UIN-Maliki Press, 2014), hlm. 16
[7]Umi Sumbulah, dkk, op.cit.
hlm.16
[8]Agus Sholahudin dan Agus
Suyadi, op.cit,hlm. 16
[9]Ibid.
[10]Ibid.
[12]Dzikri
Nirwana. op. cit. hlm. 296
[16]Ibid.
[22] M.Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits
(Jakarta: Gaung Persada Press,2008) hlm.1 ;Nur
Kolis, Pengantar Studi Alqur’an dan Al-Hadits(Yogyakarta, Teras,
2008),hlm: 161; Muh. Zuhri, Hadits Nabi (Yogyakarta: PT Tiara Wacana,
2003), hlm.1; Rusydi
Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits, (Yogyakarta, IRCiSoD, 2015),
hlm. 236.
[24] Muhaimin, dkk, Study Islam dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan(Jakarta: Prenandamedia
Group, 2005), hlm. 124.
[26]Muhaimin, Abdul Mujib,Jusuf Mudzakkir, hlm: 125, op.cit. ;Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu Hadits, (Semarang: PT Pustaka Rizki
Putra, 1999), hlm. 14.
[31] Agung Wibawanto, Kebenaran Qur’an dan Hadits, (Solo: PT Tiga
Serangkai Pustaka, 2009), hlm. 84.
[33]Idri, Studi Hadits,
(Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 31.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar