Nasikh Mansukh dalam Al-Quran
Baitur Rohim dan Daura Dirasia Hacika Triandofa
Mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas C Angakatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract
This
article is going to discuss a key theme in the study of Nasikh and Mansukh.
Studies on Nasikh and Mansukh in the Qur'an is very important to be studied and
understood correctly because it would be fatal if the wrong in understanding
it. Until there is a saying that the verses mansukh it need not exist in the
Qur'an as the legal aspect is not used anymore. It is erroneous pehaman against
this understanding.In this paper, the authors should be born law is the law
which according to all the times. But in reality the theory nasikh mansukh no
longer give birth to Islamic law in accordance with today's contemporary
cultural context. Therefore, some contemporary Muslim jurists there are seeking
the reconstruction of the theory in order to give birth to a more appropriate legal
again with the demands of the times.
Keywords: Nasikh, Mansukh, Al-Quran
Abstrak
Artikel
ini hendak membahas sebuah tema
pokok dalam kajian Nasikh
dan Mansukh. Kajian
tentang Nasikh dan Mansukh
dalam Al-Qur’an sangat
penting untuk dikaji dan
dipahami secara benar
karena akan berakibat
fatal apabila salah dalam
memahaminya. Sampai ada yang
mengatakan bahwa ayat-ayat
mansukh itu tidak perlu keberadaannya
dalam Al-Qur’an karena pada aspek hukum
tidak dipakai lagi.
Itu adalah pehaman
yang keliru terhadap pemahaman
ini. Dalam tulisan ini, penulis hukum yang
dilahirkan semestinya merupakan hukum yang sesuai dengan segala perkembangan
zaman. Namun kenyataannya teori nasikh mansukh tersebut tidak lagi melahirkan
hukum Islam yang sesuai dengan konteks budaya kontemporer saat ini. Karenanya,
sebagian ahli hukum Islam kontemporer ada yang mengupayakan rekonstruksi
terhadap teori tersebut dengan tujuan agar dapat melahirkan hukum yang lebih
sesuai lagi dengan tuntutan zaman.
Kata Kunci : Nasikh,
Mansukh, Al-Quran
Pendahuluan
Pengertian nasikh manshukh ialah menghapus bisa juga menghilangkan
maupun memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain atau pengertian yang lain
adalah membatalkan pengamalan satu hukum syar‘i dengan menggunakan dalil yang
datang kemudian.
Konsep naskh dalam urusan manusia bisa diterima.
Namun, jika dikaitkan dengan hukum Tuhan (al-tasyri’ ilahi) yang diturunkan, ini secara mutlak tidak dapat diterima. Konsep mansukh berkaitan erat dengan pemeliharaan
maslahat ummat dan fleksibelitas hukum Islam yang disyari’atkan bagi umat
Islam. Apabila tahapan berlakunya suatu hukum menurut kehendak syar’i sudah terpenuhi, maka
datang tahapan berikutnya, sehingga kemaslahatan dan ketentraman umat manusia
senantiasa terpelihara.
Prinsip tentang nasikhmansukh adalah hukum yang
telah ditetapkan Allah adalah karena adanya kebaikan atau kerusakan. Sesuatu yang mengandung kebaikan tidak mungkin beralih menjadi kerusakan, begitu pula sebaliknya.
Tujuan kebaikan dan kemerdekaan bagi ummat,
karena nasakh jika memberatkan mengandung makna
tambahnya pahlma dan jika meringankan mengandung makna memudahkan.
Manfaatnya menjaga kemaslahatan
hamba, berkembangnya penetapan suatu syariatpada tingkat kesempurnaan seiring dengan berkembangnyakeadaan
manusia.
B. Pengertian Nasikh Mansukh
Definisi
nasikh secara epistimologi ialah“Izalah”yang memiliki arti menghilangkan[1].
Seperti contoh berikut: نَسَخْتُ المِمْسَحَةِ رَسْماً artinya
penghapus menghilangkan tulisan.Ada pula yang berpendapat bahwa Nasikh yaitu
memindahkan sesuatu dari suatu tempat ketempat yang lain[2].
Seperti contoh berikut: عَلِي يَنْسَحُ القُرْآنُ عَلَى
مَكْتَبِ اِلَى الحِزَانَةِ
artinya Ali memindahkan Al-Quran dari atas meja kedalam almari. Nasikh juga
dapatdiartikan pula dengan Al-Ibthlm (الاِبْطاَلْ) yang artinya membatalkan[3].
Seperti contoh berikut: اِبْطَلْتُ الدَّيْنُ مَعَكَ artinya Saya membatalkan janji dengan mu(laki-laki).
Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa secara etimologi nasikh memiliki beberapa
arti diantaranya menghilangkan, memindahkan, membatalkan yang mana tetera
didalam Al-Quran. Kata naskh dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 4
kaili dalam surat:
Al-Baqarah ayat 106
مَانَنْسَحْ مِنْ ايَةٍ اَوْنُنْسِهاَ نَأْتِ
بِخَيْرٍ مِنْهَآ اَوْمِثْلِهاَ اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ اللّهَ عَلى كُلِّ شَئٍ
قَدِيْرٌ
Artinya: “Ayat mana
saja yang Kami nasakh kan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan
yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu
mengetahui bahwa seseungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?.”
Al-A’raf ayat 154
وَلَمَّاسَكَتَ عَنْ مُّوْسَى الغَضَبُ
اَخَذَالوَاحَوَفِيْ نُسْخَتِهاَهُدًى وَّرَحْمَةٌ لِلَّذيْنَ هُمْ لِرَبِّهِمْ
يَرْهَبُوْنَ
Artinya: “Sesudah
amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) al-wah (Taurat) itu dan
dalam tulisanya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut
kepada Tuhannya.”
Al-Hajj ayat 52
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ إِلَّا إِذَا تَمَنَّى
أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي
الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيم
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu
seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai
sesuatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu,
Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan
ayat-ayatNya. Dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana.”
Al-Jasiyah ayat 29
هَذَا
كِتَابُنَا يَنطِقُ عَلَيْكُم بِالْحَقِّ إِنَّا كُنَّا نَسْتَنسِخُ مَا كُنتُمْ
تَعْمَلُونَ
Artinya: “(Allah berfirman), “inilah kitab
(catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya kami telah
menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan.”[4]
Secara terminologi definisi nasikh
ialah رَفْعُ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيٍّ
مُتَأَخِّرٍ artinya “menghapus
hukum syara’ dengan dalil yang datang kemudian”[5]. Dapat
dimengerti dari termonolgi tersebut, bahwasannya apabila suatu ayat yang
dinasakh oleh ayat lain, maka hukum yang
ada didalam ayat tersebut telah dihapus dan digantikan oleh hukum yang terdapat
dalam ayat yang datang kemudian. Maka hukum pada ayat yang dinasakh tidak lagi
digunakan menurut syara’ namun hukum yang datang kemudianlah yang digunakan
sebagai ketentuan suatu hukum terbaru.
Terdapat dua perbedaan mengenai
nasakh secara terminologi bagi para ulama mutaqaddimin dan muta’akhirin. Para
ulama’ mutaqaddimin lebih luas dalam mengartikan makna nasakh dalam Al-qur’an
yang mencakup pembatalan, pengecualian dan penjelasan hukum. Sedangkan para
ulama’ muta’akhirin mengartikan makna nasakh lebih sempit yang mana hukum yang
datang telah berlaku dan membatalkan hukum terdahulu. Perbedaan ini disebabkan
karena bedanya masa hidup para ulama’ mutaqaddimin yang mana hidup pada abad
I-III telah memperluas arti karena masa hidupnya masih mengikuti zaman
Rosulullah dimana beliau masih menerima wahyu yang diantaranya terdapat nas-nas
Al-Quran yang dihapus oleh nas-nas yang datang berikutnya, sehingga terjadilah
pembatalan hukum, perluasan hukum secara umum, dan penetapan syarat sesuatu.
Sedangkan ulama’ mutaakhirin hanya merangkum dari ulama’ mutaqaddimin bahwasanya
hukum yang berlaku adalah hukum dari nas-nas yang datang terakhir.
Kata
mansukh berasal dari kata nasakh yang artinya menghapus, akan tetapi mengikuti
wazan isim maf’ul sehingga menunjukkan makna sesuatu yang dikenai pekerjaan.
Oleh sebab itu kata mansukh secara bahasa adalah dihapuskan atau yang diangkat.
Setiap nasakh pasti ada mansukh, hlm ini dikarenakan keduanya saling berkaitan.
Jika ada hukum syara’ yang menghapus, maka pastilah ada hukum syara yang telah
dihapuskan. Dari sinilah dapat difahami bahwa masukh adalah ayat yang hukumnya
telah dihapus atau digantikan oleh hukum yang datang setelahnya. Maka ayat
mawarits (warisan) atau hukum yang terkandung didalamnya, misalnya adalah menghapuskan
(nasikh) hukum wasiat kepada kedua orangtua atau kerabat (mansukh)[6].
Nasikh mansukh dalam Al-Quran ini
mendapat perhatian dari para ulama’. Terdapat dua golongan ulama’ ushul, dimana
golongan pertama adalah golongan yang dipelopori oleh Asy-Syafi’i, An-Nas,
As-Suyuti, dan Asy-Syaukani. Mereka menyatakan bahwa dalam Al-Quran terdapat nasikh
mansukh. Alasan-alasan dari golongan ini berdasarkan dari firman Allah yang
tertera dalam QS. Al-Baqarah ayat 106 dan QS. An-Nahl ayat 10. Sedangkan dari
golongan kedua yang dipelopori oleh Abu Muslim Isfahan, Al-Fakhrur Razi, Rasyid
Ridha, dan Muhammad Abduh. Mereka menyatakan bahwa dalam Al-Quran tidak ada
nasikh mansukh alasnya terdapat dalam QS. Al-Kahfi ayat 27 yang mana menurut
ayat ini , nyata tidak seorang pun dapat atau berhak mengubah firman-firman
Allah. Imam Abu Muslim al-Isfahani seorang ahli tafsir yang bijaksan berkata:
“Tidak ada dalam Al-Quran satu ayat pun yang dimansukh kan”. [7]
Abdullah Ahmad an-An-Naim salah satu
tokoh pembaharuan dan guru besar dibidang hukum islam. Teori landasan ini
mengangkat nasikh menurut bahasa dipergunakan maupun pembatalan. Kemudai jika
diliat secara istilah yang masuk kedalam kaidah yang artinya pembatalan amal
dengan hukum syar`i dengan dalil-dalil (syar`i) yang kemudian dari padanya.
Dalam mengemukaan pendapat ini beliau bertujuan untuk mencari solusi dalam
memecahkan ketegangan antara syariah dengn norma kehidupan modern.[8]
Syart-syarat
nasikh menurut al-qaththan (1973-232) sebagai berikut:
1.
Hukum yang di nasakh adalah hukum syar’i.
2.
Dalil mengenai terhapusnya hukum itu berupa kitab syara’ yang datang sesudah
kitab yang di nasakh hukumnya.
3.
Kitab yang dihapuskan hukumnya tidak diterikat dengan waktu tertentu. Jika
tidak hukum itu terhenti disebabkan berakhirnya waktu dan ini tidak dianggap
sebagai nasakh.
Adapun
menurut Al-Zarqoni (t.th:76) syarat-syarat nasahk adalah :
1.
Hukum yang di nasakh itu adalah hukum syara’.
2.
Dalil penghapusan hukum adalah dalil syara’.
3.
Dalil yang mennghapus datangnya lebih akhir dari pada dalil hukum yangpertama
yang tidak mustahil dengan dalil yang menghapus itu, seperti ittishlm-nya
qoiyyid dengan muqoyyad dan ta’qit dengan mu’aqqad.
4.
Diantara kedua dalil itu pertentangan hakiki.
Muhammad abu zara (t.th 190-191) juga turut
merumuskan syarat-syarat nasah sebagai berikut:
1.
Hukum yang di nasakh tidak dibarengi ibarat yang menjelaskan bahwasanya
hukum yang di nasakh itu hukum yang berlaku abadi seperti jihad.
2.
Hukum yang di nasakh tidak boleh terdiri dari perkara-perkara yang
dibenarkan oleh akal dalam hlm kebaikan dan keburukannya, seperti iman kepada
Allah, berbua baik kepada orang tua dan berbuat adil.
3.
Nasikh (nash yang menaskh) datangnya sesudah mansukh (nash yang di naskh).
Disamping itu perlu diketahui bahwa
ada nash-nash yang sudah pasti tidak mungkin dibatalkan, yaitu:
1.
Nash yang berisi pokok ajaran baik berupa akidah
atau pokok-pokok ibadah dan pokok-pokok akhlak. Seperti contoh: sholat,
keadilan, kejujuran, larangan syirik, membunuh, mencuri, dan sebagainya.
2.
Nash yang berisi hukum abadi atau selamanya
berdasarkan pernyataan nash itu sendiri.
3.
Nash yang berisi pemberitaan tentang suatu kejadian
baik yang sudah lampau atau yang akan datang.
Untuk mengetahui adanya nasakh baik
dalam Al-Qur’an maupun Hadits dapat diketahui melalui informasi:
1.
Penjelasan Al-Qur’an sendiri yang menunjukkan
adanya pembatalan nasakh seperti dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal ayat 65-66
tentang perilaku ahli kitab.
2.
Sabda Nabi yang menjelaskan adanya pembatalan
sebagaimana riwayat Aisyah tentang adanya ayat Al-Qur’an tentang sepuluh kali
susuan sebagai kadar yang menjadikan hubungan kemahraman kemudian dihapus
dengan ketentuan baru sebanyak lima kali susuan.
3.
Perbuatan Nabi yang menghapus sabdanya yaitu hanya
merajam dan tidak mendera 100 kali kepada maiz yang melakukan zina.
4.
Ijma’ sahabat tentang suatu hukumm sebagai nasikh
dan lainnya sebagai mansukh.
5.
Perlawanan dua dalil yang tidak bisa dikompromikan.[10]
C. Bentuk Bentuk
Nasikh Mansukh dalam Al-Quran
Pembagian nasakh terdapat empat bagian,
yaitu:
1. Nasikh Al-Quran dengan
Al-Quran dan ini sudah disepakati tentang adanya nasikh. Seperti contoh ayat
tentang hukum iddah selama empat bulan empat puluh hari.
2. Nasikh Al-Quran dengan
As-Sunnah. Disini terdapat dua macam yaitu yang pertama adalah nasikh AL-Quran
dengan Hadits Ahad yang mana nasikh ini tidak dibolehkan menurut Jumhur, dan
yang kedua adalah Nasikh Al-Quran dengan Hadits mutawatir yang mana nasikh ini
dibolehkan menurut Malik, Abu Hanifah dan Ahmad.
3. Nasakh As-Sunnah
dengan Al-Quran.Hlm ini dibolehkan menurut Jumhur seperti contoh sholat
menghadap baitul maqdis namun dalil ini tidak ada dalam Al-Quran. Namun nasakh
iniditolak oleh Imam Syafi`i. Menurutnya apa saja yang telah ditetapkan sunnah
tentu saja didikukung oleh Al-Quran dan apa yang telah ditetapkan Al-Quran
tentu saja didukung pula oleh sunnah sehingga keduanya harus senaniasa sejalan
dan tidak bertentangan.
4. Nasakh Sunnah dengan
Sunnah. Disini terdapat empat bentuk yang pertama adalah nasakh mutawatir
dengan mutawatir. Kedua, nasakh ahad dengan ahad. Ketiga nasakh ahad dengan
mutwatir. Dan keempat nasakh mutawtir dengan ahad. Bentuk pertama, kedua, dan
ketiga diperbolehkan, sedangkan ke empat terjadi perbedaan pendapat oleh
ulama`.[11]
Sedangkan bentuk-bentuk nasikh
mansukh di dalam Al-Quran terdapat tiga macam yaitu:
1.
Nasikh tilawah dan hukum.[12]
Yang dimaksud disini
adalah, tilawah atau bacaan dalam Al-Quran tersbut telah dinasakh beserta hukumnya.
Sehingga didalam Al-quran tidak ada kemungkinan menemukan ayat yang telah
dinasakh ini. Hlm ini sesuai dengan contoh hadits yang diriwayatkan oleh Anas :
“kami pernah membicarakan dimasa Rosulullah SAW. Surat, termasuk surat Taubah.
Yang aku hafal itu bukan hanya satu ayat diantaranya ayat yang berbuyi:
وَلَوْلاَإِنَّ لابْنِ ادَمَ وَادِيْنَ مِنْ ذَهَبٍ
لاَ يَنْبَغِى إِلَيْهَارَابِعًاوَلاَ يَمْلَأُ جَوْفِ اْبنِ ادَمَ
اِلاَّالتُرَابُ اللّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
Artinya: “Kalau tidaklah, bahwa untuk anak Adam ini dua buah lembah
emas, maka dia masih meminta yang ke empatnya, Rongga perut anak Adam ini tidak
akan penuh kecuali tanah. Bertaubatlah kepada Allah orang-orang yang bertaubat.[13]
Ibnu mas`ud pernah berkata bahwasnya rosullah pernah membacakan
suatu ayat yang kemudian olehnya ia hafal dan ia tulis didalam mushafnya. Namun
ketika malam hari didalam mushaf itu tudak ditemuan lagi ayat tersebut. Oleh
karena itu keesokan paginya Ibnu Mas`ud medatangi rosullah dan memberitahukanya
mengenai hlm ini. Maka rosulullah pun menjawab: “Hai Ibnu Masud, kemarin sudah
diangkat(dibuang)”. Maka disini dapat disimpulkan bahwasanya ketika wahyu telah
dihapus beserta tilawah dan hukumnya, maka tidak akan lagi ditemukan dalam
mushaf kita yakni mushaf usmani. Hanya Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.
2.
Nasikh hukum sedang tilawahnya tetap.[14]
Yang dimaksud adalah
hukum dalam ayat sebut telah digantikan oleh ayat lainya akan tetapi tilawahnya
masih ada seperti contohh ayat yang berbunyi:
فا ىنماتولوافئم وحداللّه
Artinya : “ Kemana saja kamu memalingkan muka, maka disana ada wajah
Allah.[15]
Menurut ayat tersebut kita dapat mengetahi bahwasnya ketika solat boleh
menghadap kemana saja lalu kemudian ada hukum yang menghapus. Hukum yang ada
dalam ayat tersebut digantikan dengan ayat yang berikut ini :
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَالمَسْجِدِالحَرَام
Artinya: “ Maka palingkanlah wajah engkau ke pihak masjidil haram”.[16]
Dengan ditunjukkanya
ayat ini maka munculah hukum bahwasnya kiblat ketika sholat adalah masjidil
haram. Akan tetapi sebagian ulama’ menetakan bahwasanya ayat yang pertama tetap
mengandung hukum hanya kepada seorang musafir yang sedang melakukan sholat
didalam kendaran yang ketika itu ia tidak mengetahui arah kiblat.
3.
Nasikh yang tilawahnya sedang hukumnya tetap.[17]
Yang dimaksud dengan
ini adalah bacaannya telah dinasikhkan akan tetapi hukumnya masih tetap ada. Hlm
ini sesuai dengan contoh mengenai ayat Al-Quran tentang rajam, yaitu:
الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ اِذَا زَنَيَافَارْجُمُوْ
هُمَاالبتة نَكَاالاً مِنَ اللّهِ وَاللّهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Artinya : “Orang tua laki-laki dan dan orang tua perempuan apabila
keduanya berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari
Allah. Dan Allah Maha Perkassa lagi Maha Bijaksana.”[18]
Dalam hlm ini para
ilmuan maupun ulama` tafsir tidak mengakui adanya nasakh semacam ini.
Dikarenakan hanyalah sebatas khabar ahad. Sebagaian berpendapat bawasanya tidak
dibenarkan apabila Al-Quran yang dinaskhkan dengan khabar ahad, dalam pejelasan
Ibnu Hassar naskh yakni kembali kepada keterangan yang jelas dari rasulullah
maupun dari para sahabat. Akan tetapi, ada pula yang berpendapat bahwa khabar ahad
yang dirawayatkan oleh perawi yang adil tidak dapat diterima dalam hlm naskh.
Suatu ayat yang didalamnya
mengandung hukum dan kemudian ayat tersebut dinaskh, maka hukum didalamnya
terhapus secara otomatis, hlm ini dikarenakan ayat dan hukum merupakan sesuatu
yang saling berkaitan.
Jika dilihat dari
nasikh mansukh nya yang ada di dalam Al-Quran, hlm ini dibagi menjadi empat
kelompok:
Pertama, terdapat 43
surat yang didalamnya tidak ada ayat nasikh dan tidak ada mansukh, yaitu:
1.
Al-fatihah
2.
Yusuf
3.
Yaasiin
4.
Al-Hujarat
5.
Ar-Rahman
6.
Al-Hadid
7.
As-Shaf
8.
Al-Jumuah
9.
At-Tahrim
10.
Al-Mulk
11.
Al-Haqqah
12.
Nuh
13.
Al-Jin
14.
Al-Mursalat
15.
An-Naba`
16.
An-Naziat
17.
Al-Infithar
18.
Al-muthaffifin
19.
Al-Insyiqaq
20.
Al-Buruj
21.
Al-Fajr
22.
AL-Balad
23.
As-Syamsu
24.
Al-Lail
25.
Ad-Duha
26.
Alam Nasyrah
27.
Al-Alaq
28.
Al-Qadar
29.
Al-Infithar
30.
Az-Zalzalah
31.
Al-`Adiyat
32.
Al-Qariah
33.
At-Tkatsur
34.
Al-Humazah
35.
Al-fil
36.
Al-Quraisy
37.
Al-Maun
38.
Al-Kautsar
39.
An-Nashr
40.
Al-Lahab
41.
Al-Ikhlas
42.
Al-Falaq
43.
An-Nas
Kedua, terdapat 6 surat
yang didalamnya ada ayat nasikh namun tidak ada mansukh, yaitu:
1.
Al-Fath
2.
Al-Hasyr
3.
Al-Munafiqun
4.
Al-Taghabun
5.
At-Talaq
6.
Al-A`la
Ketiga, terdapat 40
surat yang didalamnya ada ayat mansukh namun tidak ada nasikh, yaitu:
1.
Al-An`an
2.
Al-A`raf
3.
Yunus
4.
Hud
5.
Ar-Ra`d
6.
Al-Hijr
7.
An-Nahl
8.
Bani Isra`
9.
Al-Kahfi
10.
Thaha
11.
Al-Mu`min
12.
An-Naml
13.
Al-Qashash
14.
Al-`Ankabut
15.
Ar-Rum
16.
Luqman
17.
Al-Mashahib
18.
Al-Malaikah
19.
As-Shaffat
20.
Shad
21.
Az-Zumar
22.
Az-Zukhruf
23.
Ad-Dukhan
24.
Al-Jatsiyah
25.
Al-Ahqaf
26.
Muhammad
27.
Al-Basiqat
28.
An-Najm
29.
Al-Qamar
30.
Al-Imtihan
31.
Al-Qalam
32.
AL-Ma`arij
33.
Al-Muddatsir
34.
Al-Qiyamah
35.
Al-Insan
36.
‘Abasa
37.
At-Tariq
38.
Al-Ghasyah
39.
At-Tin
40.
Al-Kafirun
Ke empat, terdapat 25
surat yang didalamnya ada ayat nasikh dan mansukh, yaitu:
1.
Al-Baqarah
2.
Ali Imran
3.
An-Nisa`
4.
Al-Maidah
5.
Al-Anfal
6.
At-Taubah
7.
Ibrahim
8.
Al-Kahfi
9.
Maryam
10.
Al-Anbiya`
11.
Al-Haj
12.
An-Nur
13.
Al-Furqan
14.
As-Sy`ara`
15.
Al-Ahzab
16.
Saba`
17.
Mu`minin
18.
As-Syura
19.
Ad-Dzariyat
20.
At-Thur
21.
Al-Waqiah
22.
Mujaadilah
23.
Al-Muzammil
24.
Al-Kautsar
25.
Al-Ashr[19]
C. Hikmah Adanya Nasikh Mansukh
Jika dilihat dari fungsinya terlebih dahulu, maka nasikh adalah
penahapan dalam tasyri` yang memeberi kemudahan. sedangkan penulisan terhdap
nasikh mansukh tidak disansikan karena itu semua sudah berdasakan relita yang
ada, jika ada nasikh maka harus ada yang namnya mansukh. Hlm ini telah disadari
oleh para ulama` saat menyuruh kaum muslim untuk bersabar saat mendapat maslah
dari kaum musyrikin, namun diperintah untuk memerangi kaum musrykiin. Dalam hlm
ini perintah untuk bersabar akan dibatalkan ketika dalam perubahan situasi dan
apabila situasi sudah kembali dalam keadaan semula maka perintah bersabar
kembali berlaku.[20]
Fungsi lain adalah
sebagai perangkat untuk membedah kandungan hukum dalam ayat-ayat Al-Quran yang
dianggap bertentangan satu dengan yang lain dan nasikh merupan salah satu
bentuk cara yang bersifat menjelaskan.
Hikmah adanya nasikh
mansukh:
1.
Memelihara kepentingan hamba.
2.
Perkembangan tasyri` menuju tingkat kesempurnaan
sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
Perkembangan zaman yang mempengaruhi perkembangan tingkah laku umat
manusia juga akan menimbulkan suatu permasalahan baru yang belum ada hukumnya.
Namun dengan adanya nasakh mansukh dapat kita ketahui, hukum yang telah lama
dan tidak berlaku lagi telah dapat digantikan kedudukannya oleh ayat yang
mengandung hukum baru bagi ummat islam yang keadaannnya sesuai dengan zaman.
3.
Cobaan dan ujian bagi orng mukallafuntuk
mengikutinya atau tidak
Bagi orang mukallaf atau orang yang baru masuk islam pastilah masih awam dengan hukum-hukum yang
telah ada di Islam. Sebagian bagi orang mukalllaf yang belum terlalu mendalami
agama Islam pasti mempunyai pandangan mengapa hukum di Islam tidak konsisten
dengan adanya nasakh mansukh. Hlm ini menjadi suatu cobaan tersediri bagi
mereka, karena semakin mereka mendalami Islam semakin banyak pula hukum yang
telah dinasakah. Namun apabila mereka masih tetap mempertahankan agama Islam
dan mempercayainya serta masih mau mengikutinya, secara perlahan mereka akan
menemukan eksistensi dalam hukum Islam.
4.
Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat.
Sebab jika nasikh itu beralih ke hlm yang lebih berat maka didalamnya
terdapat tambahan pahlma, dan jika beralih ke hlm yang lebih ringan maka ia
mengandung kemudahan dan keringanan.[21]
D. Kesimpulan
Dari uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa nasakh dan mansukh saling berkaitan. Dapat disimpulkan
nasakh adalah ayat yang mengahapus beserta hukum yang terkandung didalamnya,
sedangkan mansukh adalah ayat yang telah dihapuskan beserta hukum yang ada
didalam ayat tersebut. Atau dengan kata lain mansukh adalah ayat yang lebih
dulu datang namun kemudian hukum yang didalamnya telah dihapuskan dan
digantikan oleh ayat yag baru datang
beserta hukum yang didalamnya. Dalam Al-Quran terdapat bentuk-bentuk dari
nasakh mansukh yaitu Nasikh tilawah dan hukum, Nasikh hukum sedang tilawahnya
tetap, Nasikh yang tilawahnya sedang hukumnya tetap. Sedangkan dalam Al-Quran
itu sendiri terdapat 43 surat yang tidak ada nasikh mansukh nya, 6 surat hanya
terdapat nasikh, 40 surat hanya terdapat mansukh, dan 25 surat terdapat nasikh
mansukh. Sedangkan hikmah dari nasikh mansukh itu adalah : untuk memelihara
kepentinagan uamat, Perkembangan tasyri` menuju tingkat kesempurnaan sesuai
dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia, Cobaan dan
ujian bagi orng mukallaf untuk mengikutinya atau tidak, Menghendaki kebaikan
dan kemudahan bagi umat.
Daftar pustaka
Al-Qathan, Syaikh Manna. 2013. Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur`an,Terj. Aunur Rafiq El-Mazni. Jakarta Timur: Pustaka
Al-Kautsar.
Al-Qatan, Manna Khlmil.2011. Studi
Ilmu-Ilmu Quran,Terj.Mudzakir. Bogor: PT. Pustaka Litera AntarNusa
Hermawan , Acep. 2013.‘Ulumul Quran. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Shihab , Quraish. 1999.Membumikan Al-Quran.
Bandung: Mizan.
Rifa’i, Moh. 1973.Ushul Fiqih. Bandung:
PT Alma Ari
Al-Abyadi, Ibrahim.1992. Sejarah Al-Quran, Terj.
Ibrahim Al-Abyadi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Abu Zaid, Nasr Hamid.2003. Tekstualitas
Al-Quran. Yogyakarta: Lkis.
Fauzan, Noor Rohman. Juli-Desember 2014. Urgensi
Nasikh Mansukh Dalam Legislasi Hukum Islam, Jurnal. Vol. 1, No.2.
Subaidi. Juni 2014. Historitas Nasikh
Mansukh dan Problrmatika dalam Penafsiran Al-Quran, Jurnal. Vol.8, No.1.
Wimra, Zelveni. Juli-Desember 2012. Pemikiran
Andullah Ahmad An-Na`im Tentang Teori Naskh, Jurnal. Vol. XI, No.2.
Catatan:
1.
Penulisan abstrak dan pendahuluan tidak sebagaimana mestinya. Tolong lebih
diperbaiki lagi.
2.
Tulisan dalam makalah ini tolong lebih dirapikan agar enak dibaca.
3.
Banyak pengetikan yang salah, tolong dibenahi.
4.
Dua terjemahan pada pada buku yang sama tidak dapat dikatakan sebagai dua
referensi. Itu tetap satu. Jadi masih kurang satu referensi lagi.
5.
Tolong nama jurnal disebut dalam referensi.
[1] Syaikh Manna Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu
Al-Qur`an,Terj. Aunur Rafiq El-Mazni, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar,
2013), hlm. 285; Manna Khlmil al-Qatan, Studi Ilmu-Ilmu Quran,Terj.Mudzakir,
(Bogor: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2011), hlm.326.
[2]Ibid.,
[3]Acep Hermawan, ‘Ulumul Quran, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 162.
[4]Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran,(Bandung:
Mizan, 1999), hlm. 143.
[5]Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, (Bandung: PT Alma
Arif, 1973), hlm. 98-99.
[6]Syaikh Manna Al-Qathan, op.cit.,hlm. 286;
Manna Khlmil al-Qatan,op.cit.,hlm.327.
[7]Moh Rifa’i, Ushul Fiqih, (Bandung: PT Al
Ma’arif, 1973), hlm. 106-107.
[8]Zelfeni Wimra, Pemikiran Abdullah Ahmad An-Naim
Tentang Teori Nasikh, Innovation, Vol XI no 2 , Juli-Desember 2012, hlm
225.
[9]Noor Rahman Fauzan, Urgensi Nasikh Mansuh dalam
Legislasi Hukum Islam, Isti’da, Vol 1 no. 2 Juli-Desember 2014,hlm:
207-208.
[10]Subaidi, Historitas Nasikh Mansukhdan
Problematikanya dalam penafsiran Al Quran, Hermeunetik, Vol. 8 no. 1 Juni
2014, hlm 61-62.
[11]Syaikh Manna
Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`an, Terj. Aunur Rafiq El-Mazni,
(Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2013), hlm. 291-293.
[12]Manna Khlmil al-Qatan, Studi Ilmu-Ilmu Quran,Terj.Mudzakir,
(Bogor: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2011), hlm.336.
[13]Ibrahim Al-Abyadi, Sejarah Al-Quran, Terj.
Ibrahim Al-Abyadi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), hlm. 109.
[14]Manna Khlmil al-Qatan, op cit., hlm. 337.
[15]Ibrahim Al-Abyadi, op cit., hlm. 111.
[17]Manna Khlmil al-Qatan, op cit., hlm. 337.
[19]Acep Hermawan, op cit., hlm. 170-173.
[20]Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Quran, (Yogyakarta:
Lkis, 2003), hlm. 149.
[21]Manna Khlmil al-Qattan, op cit., hlm. 339.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar