Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur’an
Kamalia dan Muhamad Rizal Hidayatulloh
Mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial kelas D
angkatan 2015
Universitas Islam Negara Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: kamaliaalvia17@gmail.com
Abstract.
This article will review a central theme in
the study of the Ulumul Qur’an is Nasikh and Mansukh. Nasikh and Mansukh study
of the Qur'an is very important to be studied and understood correctly as it
will be bad when one of the understood in the present context. As some say that
the verses of Nasikh is not necessary to its existence in the Qur'an as the
legal aspect is not used anymore. It is a wrong understanding of this
understanding. Abrogation only happen on command (amr) and prohibition (nahi),
both expressed firmly and clearly and disclosed by the sentence news which
means the order or prohibition for not dealing with faith, oh God and the
nature of God, the Books of Allah , the apostles and are not related to ethics
or morals or the tree-worship and the recitation.
Abstrak.
Artikel ini hendak mengulas sebuah tema pokok dalama
kajian Ulumul Qur’an yaitu nasikh dan Mansukh. Kajian tentang Nasikh dan Mansukh
dalam Al-Qur’an sangat penting untuk dikaji dan dipahami secara benar karena
akan berakibat fatal apabila salah dalam memahaminya dalam konteks kekinian. Sampai
ada yang mengatakan bahwa ayat-ayat mansukh itu tidak perlu keberadaannya dalam
Al-Qur’an karena pada aspek hukum tidak dipakai lagi. Itu adalah pemahaman yang
kliru terhadap pemahaman ini. Nasakh hanya terjadi pada perintah (amr) dan
larangan (nahi), baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang
diungkapan dengan kalimat berita yang bermaksud perintah atau larangan selama
tidak berhubungan dengan akidah, dzat Allah dan sifat-sifat Allah, kitab-kitab
Allah, para rasul dan juga tidak terkait dengan etika atau akhlak atau dengan
pokok-pokok ibadah dan muamalat.
Keyword: Nasikh, Mansukh, Al-Qur’an
A.
Pendahuluan.
Tujuan
diturunkannya syari’at samawiyah oleh Allah kepada para rasulNya adalah untuk
memperbaiki umat dibidang akidah, ibadah dan Mu’amalah. Akidah semua ajaran
samawa itu satu dan tidak mengalami perubahan, karena ditegakkan atas dasar
tauhid uluhiyah dan rububiyah, maka dakwah atau seruan para rosul kepada akidah
yang satu itu pun semuanya sama. Walaupun demikian, tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu
dengan yang lain. Apa yang cocok pada untuk satu kaum pada suatu masa mungkin
tidak cocok lagi pada masa yang selanjutnya.
Disamping
itu, perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan
perjalanannya sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Demikian juga
hikmah tasyi’(pemberlakuan hukum) pada
suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyi’ pada periode yang
lain. Tetapi tidak diragukan lagi bahwa pembuat syari’at yaitu Allah SWT rahmat
san ilmu-Nya meliputi segala sesuatu dan otoritas memerintah dan melarang pun
hanya milik-Nya.
Al-Qur’an
yang diturunkan kepada nabi Muhammad sebagai risalah Allah untuk seluruh umat
manusia. Al-Qur’an juga memenuhi segala tuntutan kemanusiaan yang berdasar
prinsip utama agama-agama samawi. Dalam setiap ayat Al-Qur’an terdapat perintah
dan karangan tertentu yang kaidah hukumnya telah berganti atau dipindahkan ke
ayat lainnya yang notabene merupakan kesimpulan hukum dari perintah atau
larangan tersebut. Maka, diakhiri berlakunya hukum tersebut dan hukum-hukum itu
tidak dipergunakan lagi. Ayat yang terdahulu itu disebut mansukh (yang
dihapus), sedangkan ayat yang turun kemudian disebut nasikh (yang
menghapus).
Nasikh-Mansukh
merupakan Ulumul Qur’an yang menerangkan tentang adanya proses pengahapusan
hukum pada suatu ayat oleh ayat lain yang turun sesudahnya. Namun, banyak
kalangan umat islam yang belum memiliki pemahaman yang jelas tentang adanya
Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu penulis berupaya menjabarkan
dan menjelaskan tentang seputar Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an.
B. Pengertian Nasikh dan Mansukh.
Al-Qur’an dan Nasikh-Mansukh
Orang pertama
yang memulai membahas nasakh adalah Imam Syafi'i. Dia melihatnya sebagai
penjelas hukum-hukum, dan bukannya sebagai penghapusan nash-nash (Abu Zahrah,
t.th: 185). Hal ini juga menjadi penanda bahwa pembahasan nasikh -mansukh dalam
Al-Qur'an telah mendapat perhatian serius di antara ulama muhaqqiqin sekitar
permulaan abad ketiga Hijriyyah. Sesudah itu, pembahasan nasikh akhirnya
mendapatkan porsi tersendiri di antara ulama 'Ulumul Qur'an. Dengan demikian,
pengetahuan nasikh dan mansukh mendapatkan kedudukan yang begitu penting,
bahkan sebagai syarat, dalam kajian hukum Islam.[1]
Nasakh
(penghapusan ayat) yang biasa kita perbincangkan hakikatnya adalah penetapan
suatu hukum untuk suatu kemaslahatan dan untuk di amalkan dan kemudian tampak
kekeliruan dalam hal itu, lantas dibuatlah baru untuk menggantikan
kedudukannya. Namun tidak boleh menisbatkan nasakh seperti ini, yang
menunjukkan kebodohan atau kesalahan kepada Allah Ta’ala, dzat yang maha succi
dari segala kebodohan dan kesalahan itu. Dan nasakh seperti ini tidak terdapat
didalam ayat-ayat suci Al-Qur’an yang tidak ada satu kontradiksi pun di
dalamnya.[2]
Tetapi arti nasakh dalam Al-Qur’an itu ialah berakhirnya
waktu berlakunya hukum yang di nasakh (mansukh) itu. Maksudnya, hukum
yang pertama itu memiliki suatu kemaslahatan dan pengaruh sementara yang
terbatas, yang diberitahukan oleh ayat menasakh-kannya bahwa waktu dan pengaruh
yang terbatas itu telah berakhir. Mengingat Al-Qur’an itu diturunkan sacara
bertahap dalam berbagai situasi selama 23tahun, maka dengan mudah dapat di
gambarkan, mengapa Al-Qur’an sampai mengandung hukum-hukum seperti itu.
Sesungguhnya menetapkan hukum sementara sebelum ada tuntutan-tuntutan untuk menetapkan
hukum yang abadi dan mengganti hukum yang sementara itu merupakan sesuatu yang
bisa di terima dan tidak mengandung kemusyrikan. [3]
Nasikh-Mansukh adalah cabang studi
kesejarahan a1Qur’an atau ulumul Qur’an yang menerangkan tentang adanya proses
penghapusan hukum pada suatu ayat oleh ayat lain yang turun sesudahnya.
Pengertian Nasikh-Mansukh ini akan lebih kita pahamii dengan memahami terlebih
dahulu terma ini secara detail. [4]
1. Pengertian Secara Etimologi (bahasa)
Para
ulama telah panjang dan lebar bertukar pikiran tentang takrif nasakh menurut
istilah; karena lafadz nasakh mengandung beberapa makna dari segi bahasa.
a)
Nasakh, dapat bermakna 'izalah (menghilangkan), seperti firman Allah: Fayansakhullahu ma yulqisy syaithanu tsumma yuhkimullahu (maka
Allah menghilangkan apa yang setan nampakkan kemudian Allah menjelaskan
ayat-ayatNya.)"(QS. 22, Al
Hajj: 52).
b) Nasakh
dapat bermakna tabdil
(mengganti/menukar) seperti pada firman Allah: "Wa idza baddalna ayatan makana ayatin (dan apabila Kami mengganti atau menukar sesuatu ayat di tempat suatu
ayat yang lain)". (Q8. 16, An
Nahl: 101).
Kalangan ulama yang
menganggap bahwa nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an berpegang pada keterangan
ayat Makiyyah dan Madaniyyah. Konteks teks tersebut adalah membaca Al-Qur’an
dan mengawalinya dengan meminta perlindungan dari setan kemudian terhadap
tuduhan mengada-ngada dan penjelasan bahwa al-Quran berasal dari sisi Allah
yang dibawa turun oleh ar-Ruh al-amin, dan juga sanggahan terhadap orang-orang
kafir mekkah bahwa sebenarnya ada orang yang mendektikan al-Quran kepada
Muhammad. Dalam konteks ini, “penggantian” ayat dengan ayat yang lain berarti
perubahan hukum yang ada pada satu teks dengan teks lain dengan tetap
mempertahankan kedua teks tersebut. Oleh karena itu, struktur ayat mengikuti
pola kondisional (syarat), sementara isi kalimat (jawab syarat), berupa tuduhan
orang-orang mekkah terhadap muhammad sebagai kebohongan. Arti dari tuduhan ini
adalah bahwa mereka menganggap di di dalam teks ada kontradiksi.[5]
c)
Nasakh dapat bermakna tahwil (memalingkan), seperti memalingkan pusaka dari seseorang
kepada orang lain.
d)
Nasakh dapat bermakna menukilkan dari suatu
tempat ke tempat yang lain seperti pada perkataan: Nasakhtul kitaba (saya menukilkan isi kitab), yaitu apabila kita
nukilkan apa yang di dalam kitab itu meniru lafal dan tulisannya.[6]
Secara
etimologi, Nasikh berasal dari lafadz نَسَخَ- يَنْسَخُ- نَسْخًا: إِزَلّةً [7]yang
berarti penghapusan, pernbatalan, pemindahan atau penggantian. Makna-makna
Nasakh ini terinspirasikan dalam banyak ayat al-Qur’an. Misalnya QS. al-Baqarah
106, QS. al-Hajj: 52, al-Jatsiah: 29 an-Nakhl: 101 dan seterusnya. Kata nasikh
(yang menghapus) maksudnya adalah Allah (Yang menghapus hukum itu) seperti
firman-Nya: [8]
Ø
اِنَّا كُنَّا نَسْتَنْسِخُ مَا كُنْتُمْ
تَعْمَلُوْنَ
“Sesungguhnya
Kami menghapuskan pahala apa yang dulu kalian kerjakan.” (al-Jatsiah:
29).”
Maksudnya, Kami (Allah) memindahkan amal
perbuatan ke dalam lembaran-lembaran catatan amal.[9]
Ø
مَا نَنْسَخْ مِن ءَايَةٍ أَوْنُنْسِهَا نَأْتِ
بِخَيْرٍ مِّنْهَآ أَوْمِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيْرٌ
“Ayat
yang Kami naskh (hapus) atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti
dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa
Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?” (QS. al-Baqarah 106).[10]
Para pendukung Teori Naskh menyatakan
bahwa makna “ayat” dalam ayat tersebut diatas adalah “ayat Al-Qur’an” itu
sendiri. Artinya tidak ada satu ayatpun yang pun turun untuk menakut-nakuti
seseorang untuk mengakui adanya nask. Karena nash di ayat ini tegasnya bukan
“pergantian” hukum-hukum satu syari’at secara parsial, melainkan pengubahan
dalil-dalil yang ada dalam satu agama, untuk difokusan di dalam jiwa. [11]
2. Pengertian Secara Terminologi (Istilah)
Secara
terminologi; Nasikh adalah penghapusan suatu hukum syara' dan penggantiannya
dengan hukum syara’ lain yang turun sesudahnya. Ayat yang menghapus ini
kemudian diistilahkan dengan nama Nasikh, sedang ayat yang terhapus
diistilahkan sebagai Mansukh. [12]
Mansukh
adalah hukum yang diangkat atau yang dihapuskan. Maka ayat mawarits (warisan)
atau hukum yang terkandung di (dalamnya misalnya, adalah menghapuskan (nasikh)
hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat, sebagaimana akan dijelaskan.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam nasakh diperlukan syarat-syarat berikut.
a)
Hukum yang mansukh adalah hukum syara.
b)
Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khithab
syar’i yang datang lebih kemudian dari khithab yang hukumnya dimansukh.
c)
Khithab yang dihapuskan atau diangkat hukumnya
tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian
makahukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan yang demikian
tidak dinamakan nasakh.
Definisi
diatas apabila dijelaskan lagi, dapat kita tarik beberapa butiran-butiran makna
yang tersirat, yakni:
1.
Dipastikan terjadi naskh apabila ada dua hal,
yaitu nasikh dan mansukh.
2.
Nasikh harus turun belakangan dari mansukh
3.
Menilai suatu ayat sebagai pe-naskh dan yang
lain dinaskh-kan, apabila ayat-ayat yang kontradiktif itu tidak dapat
dikompromikan dan diamalkan secara bersama. Sedangkan syarat kontradiksi;
adanya persamaan subjek, objek, waktu, syarat, dan lain-lain.
4.
Al
Nasikh pada hakikatnya adalah Allah, kadang-kadang dimaksud juga dengan ayat
yang me-naskh-kan ayat mansukh, sedang mansukh adalah hukum yang diangkat atau
yang dihapus.
Nasakh
hanya terjadi pada perintah (amr) dan larangan (nahy), baik yang diungkapkan
dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita yang
bermaksud perintah atau larangan (khabar bi ma’na al amr aw al nahy),selama
tidak berhubungan dengan akidah, zat Allah dan sifat-sifat Allah, kitab-kitab
Allah, para Rasul, hari kiamat, dan juga tidak terkait dengan etika atau akhlak
atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalat. Lantas mengapa yang berkaitan
dengan akidah, dasar-dasar akhlak dan etika, pokok-pokok ibadah dan muamalat
dan berita mahdhah tidak mengalami naskh?. Karna syari’at ilahi tidak lepas
dari pokok-pokok tersebut. Dalam prinsip ini semua syari’at sama, yaitu tidak
mengalami naskh. 11 Jelaslah dari keterangan diatas bahwa yang mengalami naskh
itu hanya pada hal-hal yang bersifat furu’ ibadah dan furu’ muamalat saja.
Adapun masalah akidah, dasar-dasar akhlak, pokok ibadah dan berita-berita al
Qur’an tidak mengalami naskh . Al Qur’an menjelaskan bahwa syari’at ilahi dalam
prinsip akidah, dasar-dasar akhlak, pokok-pokok ibadah dan berita-berita
mahdhah adalah sama.[13]
C.
Bentuk-bentuk Nasakh-Mansukh
Nasakh
Al-Qur’an ini mempunyai tiga bentuk, yaitu sebagai berikut :
1.
Ayat yang di nasakh-kan bacaan dan hukumnya,
sehingga ayat tersebut tidak tertulis lagi didalam Al-Qur’an.
Demikian pula hukumnya ia tidak diamalkan
lagi. Contohnya ayat mengenai frekuensi menyusui bagi anak yang membuat dia
haram menikah dengan ibu yang menyusuinya, yaitu sepuluh kali kemudian di
nasakh-kan oleh lima kali menyusu sehingga yang diharamkan adalah lima kali
menyusui.[14]
Aisyah ra. Berkata :
كَانَ
فِيْمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُوْمَاتِ يُحَرِمْنَ
ثُمَّ نُسٍخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُوْمَاتِ فَنُوْ فِى رَسُوْلُ اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيْمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرءآنِ
“
pernah diturunkan (kepada Nabi) sepuluh kali menyusu yang dimaklumi yang (
menyebabkan ) haram ( menikahi ), kemudian di nasakhkan dengan lima kali yang
dimaklumi. Selanjutnya Rosul wafat, ayat-ayat itu dibaca sebagai bagian dari
Al-Qur’an.[15]
2.
Ayat yang telah di nasakh-kan bacaannya,tetapi
hukumnya masih diamalkan.
Hal ini banyak terdapat didalam Al-Qur’an,
diantaranya : [16]
a) Aisyah
berkata: “dahulunya dijaman Nabi, Surah Al-Ahzab dibaca sebanyak 200 ayat.
Tatkala Usman menulis mushaf, ia hanya tinggal 73 ayat saja seperti yang
terlihat sekarang. Diantara ayat yang tidak tertulis karena telah di nasakh-kan adalah ayat mengenai hukum rajam, yaitu :
اِنَّ زَناَ الشَّيْخُ وَ الشَّيْخَةُ فَارْ جُمُوْ هُمَا
الْبَتَّة نكَالا مِنَ اللَّهِ وَا للَّهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمُ
“apabila
orangtua laki-laki dan orangtua perempuan berzina, maka rajamlah keduanya, (hal
ini) sebagai pelajaran dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa Lagi Maha Mengetahui.
“
b)
Abu Musa Asy-Asy’ari juga mengatakan: “pernah
turun suatu ayat yang termuat dalam Surah At-Taubah(9), kemudian ayat itu
diangkat”. Abu Musa telah menghafal ayat itu, ayat tersebut adalah sebagai
berikut :
انَّ
اللَّه سَيُؤَيِّدُ هَذَا الَّذِيْنَ بِأَقْوَامِ لأَخْلاَقِهِمْ ولَوْ اَنَّ
لإِبْنِ آدَمُ وَا دِيْنَ مِنْ مَالِ لَتَمَنِّ وَاديًا ثَالِثًا وَلاَ يَمْلأُ
جَوْفَ ابْنِ آدَم إِلاَّ التَّرَابُ وَيَتُوْبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
“sesungguhnya
Allah menguatkan agama ini dengan bangsa-bangsa disebabkan karena akhlak
mereka. Dan seandainya manusia itu memiliki dua buah lembah harta, maka dia
berkiinginan mendapat lembah ketiga. Rongga manusia tidak ada yang dapat memenuhinya
kecuali tanah. Allah menerima tobat orang-orang yang bertobat kepada-Nya.”[17]
3.
Ayat-ayat yang di nasakh-kan hukum, tetapi
bacaannya masih ada.
Hal itu seperti firman Allah :
وَالَّتِى
يَأْتِيْنَ الْفَحِشَةَ مِنْ نِّسَآئِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوْا عَلَيْهِنَّ
أَرْبَعَةً مَّنْكُمْ فَأِنْ شَهِدُوْا فَأَمْسِكُوْ هُنَّ فِى الْبُيُوْتِ حَتَّى
يَتَوَفَّهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيْلاً
“Dan (terhadap) wanita-wanita yang
mengerjakan perbuatan keji hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang
menyaksikannya). Kemudian apabila mereka (wanita-wanita) itu dalam rumah sampai
mereka menemui ajalnya. (QS. An-Nisa’(4); (15).”
Ketentuan
hukuman bagi pezina, yaitu ditahan dirumah sampai meninggal, yang terdapat
dalam ayat ini telah dinasakh-kan. Akan tetapi, teksnya masih ada. Ayat yang
me-nasakh-kannya adalah sebagai berikut :
الْزَانِيَةُ
وَالزَّانِى فَجْلِدُوْا كُلَّ وَحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَجَلْدَةٍ
وَلاَتَأْخُذْكُمْ بِهِمَا بِاللَّهِوَالْيَوْمِالأَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَا
بَهُمَا طَائِفَةُمِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Perempuan
dan laki-laki yang berzina maka deralah setiap orang dari keduanya seratus kali
dera. Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (
menjalankan ) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. (QS.
An-Nur(24): 2).”
Jadi hukumnya bagi pezina berubah dari
kurungan menjadi cambuk seratus kali.[18]
Selain
bentuk macam-macamnya, nasikh mansukh memiliki empat jenis bagian:
1.
Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.
Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah
terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya nasakh. Misalnya, ayat
iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah ayat 228. [19]
2.
Nasakh Al-Qur’an dengan As-Sunnah yang terdiri
dari dua macam:
a)
Nasakh Al-Qur’an dengan hadits ahad.
Jumhur berpendapat, Al-Qur’an tidak boleh
dinasakh oleh hadits ahad, sebab Al-Qur’an adalah mutawattir dan menunjukkan
keyakinan, sedang hadits ahad itu zhanni yang bersifat dugaan. Di samping tidak
sah pula menhapuskan sesuatu yang ma’lum ( jelas diketahui) dengan yang ma’zun
(di duga).
b)
Nasakh Al-Qur’an dengan hadits mutawattir.
Nasakh semacam ini dibolehkan oleh Malik, Abu
Hanifah, dan Ahmad dalam satu riwayat. Sebab masing-masing keduanya adalah
wahyu. Dan nasakh itu sendiri merupakan salah satu penjelasan. Adapun pada itu
Asy-Syafi’I, Zhahiriyah, dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak nasakh
karena hadits tidak lebih baik dari atau sebanding dengan Al-Qur’an.
3.
Nasakh As-sunnah dengan Al-Qur’an.
Hal ini diperbolehkan oleh Jamhur (ulama yang
ahli dalam pengetahuan agama). Sebagai contoh ialah masalah menghadap Baitul
Maqdis yang ditetapkan dengan As-Sunnah
dan didalam Al-Qur’an tidak terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapan ini
dinasakhkan oleh Al-Qur’an dengan firmanNya:
“ maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil
Haram.” (Al-Baqarah:144)
Tetapi nasakh versi ini pun ditolak oleh imam
Syafii dalam satu riwayat. Menurutnya, apa saja yang yang ditetapkan Sunnah
tentu didukung oleh Al-Qur’an, dan apa saja yang ditentukan Al-Qur’an tentu
didukung pula oleh sunnah. Hal ini karena antara Al-Qur’an dan Sunnah harus
senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.[20]
4.
Nasakh Sunnah dengan Sunnah.
Dalam kategori ini tedapat empat bentuk:
a)
Nasakh Mutawattir dengan Mutawattir
b)
Nasakh Ahaddengan Ahad
c)
Nasakh Ahad dengan Mutawattir
d)
Nasakh Mutawattir dengan Ahad
Tiga bentuk pertama diperbolehkan, sedang pada
bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti halnya nasakh Al-Qur’an sengan
hadits Ahad yang tidak diperbolehkan Jumhur.[21]
Allah
menghapus hukum suatu ayat tanpa penggantinya, itu sesuai dengan tuntutan
hikmah-Nya dalam memelihara kepentingan hamba-hamba-Nya, ketiadaan suatu hukum
lebih baik daripada eksistensi hukum yang dihapus tersebut dari segi manfaatnya
bagi manusia, karna Ia lebih mengetahuinya.[22]
Menurut ulama’ Abu al-Qasim dalam
hubungannya dengan nasikh-mansukh, surah-surah Al-Qur’an dibagi menjadi empat
kelompok, antara lain sebagai berikut :[23]
a)
Surah yang didalamnya tidak terdapat ayat-ayat
nasikh dan tidak terdapat ayat mansukh. Jumlahnya sebanyak 43 surah.
Masing-masing adalah surah :[24]
1.
Al-Fatihah
|
2.
Al-Syamsu wa Dhuhaha
|
3.
Yusuf
|
4.
Al-Lail
|
5.
Yaasin
|
6.
Al-Dluha
|
7.
Al-Hujarat
|
8.
Alam Nasyrah
|
9.
Al-Hadid
|
10. Al-‘Alaq
|
11. Al-Shaf
|
12. Al-Qadr
|
13. Al-Jumu’ah
|
14. Al-Infiqaq
|
15. Al-Tahrim
|
16. Al-Zalzalah
|
17. Al-Mulk
|
18. Al-‘Adiyat
|
19. Al-Haqqah
|
20. Al-Qori’ah
|
21. Nuh
|
22. At-Takatsur
|
23. Al-Jin
|
24. Al-Humazah
|
25. Al-Nursalat
|
26. Al-Fiil
|
27. Al-Naba’
|
28. Al-Quraisy
|
29. Al-Nazi’at
|
30. Araayta
|
31. Al-Infithar
|
32. Al-Kautsar
|
33. Al-Muthafifin
|
34. Al-Nashr
|
35. Al-Insyiqaq
|
36. At-Tabbat
|
37. Al-Buruj
|
38. Al-Ikhlash
|
39. Al-Fajr
|
40. Al-Falaq
|
41. Al-Balad
|
42. An-Nas
|
43. Ar-Rahman[25]
|
|
Beberapa surah diatas merupakan surah yang bebas
nasikh-mansukh, dan surah-surah diatas berspesifikasi antara lain :
1)
Tidak terdapat di dalamnya amar dan nahi
2)
Hanya terdapat nahi tanpa amar
3)
Hanya terdapat amr tanpa nahi[26]
b)
Surah yang didalamnya terdapat nasikh tetapi tidak terdapat mansukh.
Jumlahnya hanya ada enam surah, antara lain :
1)
Al-Fath
2)
Al-Hasyr
3)
Al-Munafiqun
4)
Al-Thalaq
5)
Al-A’la
c)
Surah yang didalamnya terdapat ayat-ayat mansukh, tetapi tidak terdapat
padanya nasikh. Jumlahnya ada empat puluh surah, antara lain sebagai berikut :[27]
1.
Al-An’am
|
2.
Az-Zumar
|
3.
Al-A’raf
|
4.
Al-Zukhruf
|
5.
Yunus
|
6.
Al-Dukhan
|
7.
Hud
|
8.
Al-Jatsiyah
|
9.
Al-Ra’d
|
10. Al-Ahqaf
|
11. Al-Hijr
|
12. Muhammad
|
13. An-Nahl
|
14. Al-Basiqat
|
15. Bani Israil
|
16. Al-Najm
|
17. Al-Kahfi
|
18. Al-Qomar
|
19. Thaha
|
20. Al-Imtihan
|
21. Al-Mu’min
|
22. Nun
|
23. Al-Naml
|
24. Al-Ma’arij
|
25. Al-Qashash
|
26. Al-Muddatstsir
|
27. Al-‘Ankabut
|
28. Al-Qiyamah
|
29. Ar-Rum
|
30. Al-Insan
|
31. Luqman
|
32. ‘Abasa
|
33. Al-Mashabih
|
34. Al-Thariq
|
35. Al-Malaikah
|
36. Al-Ghasiyah
|
37. Al-Shaffat
|
38. Al-Tin
|
39. Shad
|
40. Al-Kafirun[28]
|
d)
Surah yang kemasukan nasikh dan mansukh. Jumlahnya ada 20 surah, antara
lain sebagai berikut :
1.
Al-Baqarah
|
2.
Al-Nur
|
3.
Ali ‘Imran
|
4.
Al-Waqiah
|
5.
An-Nisa’
|
6.
Al-Furon
|
7.
Al-Maidah
|
8.
Al-Syu’ara’
|
9.
Al-Anfal
|
10. Al-Ahzab
|
11. At-Taubah
|
12. Saba’
|
13. Al-Kahfi
|
14. Mu’minin
|
15. Maryam
|
16. Al-Syura
|
17. Al-Anbiya’
|
18. Al-Dzariyat
|
19. Al-Haj
|
20. Al-Thur
|
21. Al-Waqi’ah
|
22. Al-Kautsar
|
23. Mujaadilah
|
24. Al-Ashr
|
25. Al-Muzammil[29]
|
|
Imam
as-Syuyuthi telah menyebutkan bahwa dari keseluruhan 114 ayat surat dalam
Al-Qur’an, terdapat 43 surat yang bebas dari nasakh mansukh, 25 surat yang
mengandung nasikh mansukh, 6 surat hanya terdapat ayat-ayat nasikhah saja,
serta 40 surat yang hanya mengandung ayat-ayat mansukhah.
Pembagian
imam as-Suyuthi ini berdasarkan pemaknaan nasakh secara luas termasuk makna
dari yang makna luas (Taqyiidul Mutlaq), pengkhususan dari yang umum
(Takhsisus’Am) dan seterusnya. Namun, Nasakh dalam arti sempit yakni pergantian
suatu hukum dengan hukum lain yang datang kemudian. Imam as-Suyuthi menerangkan
bahwa hana ada sekitar 22 ayat saja dalam Al-Qur’ann yang mengalami proses
Nasakh Mansukh. [30]
D.
Hikmah Nasakh
1.
Memelihara kemashlatan hamba.
2.
Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan
perkembangan kondisi umat manusia.
3.
Cobaan dan ujian bagi seorang mukallaf apakah mengikutinya atau
tidak.
4.
Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu
beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan
jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan
keringanan.[31]
E.
Penutup
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan dalam beberapa
hal berikut. Nasakh (penghapusan ayat) yang hakikatnya adalah penetapan suatu
hukum untuk suatu kemaslahatan dan untuk di amalkan dan kemudian tampak
kekeliruan dalam hal itu, lantas dibuatlah baru untuk menggantikan kedudukannya
dari ayat sebelumnya (mansukh). Nasikh dan mansukh juga terdiri dari berbagai
macam bentuk-bentuk diantaranya: Ayat yang di nasakh-kan bacaan dan hukumnya,
sehingga ayat tersebut tidak tertulis lagi didalam Al-Qur’an, Ayat yang telah
di nasakh-kan bacaannya tetapi hukumnya masih diamalkan, dan Ayat-ayat yang di
nasakh-kan hukum tetapi bacaannya masih ada. Dan juga berbagai jenis nasakh
dalam Al-Qur’an yaitu: Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Nasakh Al-Qur’an
dengan As-Sunnah, Nasakh As-sunnah dengan Al-Qur’an, Nasakh Sunnah dengan
Sunnah.
Dan didalam Al-Qur’an telah disebutkan dari keseluruhan
114 surat dalam Al-Qur’an, terdapat Surah yang didalamnya tidak terdapat
ayat-ayat nasikh dan tidak terdapat ayat mansukh yang jumlahnya sebanyak 43
surah, Surah yang didalamnya terdapat nasikh tetapi tidak terdapat mansukh.
Jumlahnya hanya ada enam surah, Surah yang didalamnya terdapat ayat-ayat
mansukh, tetapi tidak terdapat padanya nasikh yang jumlahnya ada empat puluh
surah, dan Surah yang kemasukan nasikh dan mansukh yang jumlahnya ada dua puluh
surah.
Hikmah nasikh mansukh Menjaga ke maslahatan hamba,
perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah
dan perkembangan kondisi manusia, cobaan dan ujian bagi mukallaf, apakah ia
mengikutinya atau tidak, dan menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat.
Sebab jika nasikh itu beralih kepada yang lebih berat maka terdapat tambahan
pahala, jika beralih ke yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan
keringanan bagi hambanya.
Daftar Pustaka
Thabathaba’I, Sayyid Muhamad Husain, Memahami Esensi
Al-Qur’an,2000,Jakarta: Lentera
Ahmad Shams Madyan, Peta
Pembelajaran al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Yokyakarta, 2008
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Semarang, 2002
Ahmad Syadili dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an 1, CV Pustaka Setia, Bandung, 2000
Kadar Muhammad Yusuf, Studi
Al-Qur’an, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2009
Jalaluddin Rahmat,
‘Ulum Al-Qur’an, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994
Abdul Haris, “ Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur’an”,
Jurnal Ilmiah TAJDID (Januari-Juni 2014)
Noor Rohma Fauzan,”Urgensi Nasikh Mansukh dalam Legislasi
Hukum Islam” Jurnal Studi Hukum Islam.2014
Qosim Nurseha Dzulhadi, Kontroversi Nasikh-Mansukh dalam
Al-Qur’an, Jurnal
Abd. Sukkur Rahman ,Relevansi Ayat-Ayat Mansukh Pada Masa
Kini, Jurnal Proporsal Disertasi.
Catatan:
1. Cara penulisan footnote masih salah.
2.
Hikmah adanya nasikh-mansukh perlu dieksplorasi.
[1] Noor Rohma
Fauzan,”Urgensi Nasikh Mansukh dalam Legislasi Hukum Islam” Jurnal Studi Hukum
Islam.2014
[2]
Thabathaba’I, Sayyid Muhamad Husain, Memahami Esensi Al-Qur’an,2000,Jakarta:
Lentera.hlm 60
[4]Ahmad Shams Madyan, Peta
Pembelajaran al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Yokyakarta, 2008, hlm. 193.
[5] Abd. Sukkur Rahman ,Relevansi Ayat-Ayat Mansukh Pada Masa Kini,
Jurnal Proporsal Disertasi.
[6]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Semarang, 2002, hlm. 150.
[7] Ahmad Syadili dan Ahmad Rofi’i, Ulumul
Qur’an 1, CV Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm.157
[8]Ahmad Shams Madyan,Op.cit,hlm. 193.
[9]Ahmad Syadili dan Ahmad Rofi’i, Op.cit,
hlm. 158.
[10]Ibid, hlm. 165.
[11]Qosim Nurseha Dzulhadi, Kontroversi Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an,
Jurnal.
[12]Ahmad Shams Madyan,op.cit,hlm. 193.
[14]Kadar Muhammad Yusuf, Studi
Al-Qur’an, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2009, hlm. 118
[15]Ibid,hlm. 119
[16]Ibid.hlm.120
[17]Ibid, hlm. 120.
[18]Ibid, hlm. 119.
[20] Ibid,hlm.292
[21] Ibid,hlm.293
[23]Jalaluddin Rahmat, ‘Ulum
Al-Qur’an, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994, hlm. 142.
[24]Ibid, hlm. 143.
[25]Kadar Muhammad Yusuf, Studi
Al-Qur’an, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2009, hlm. 143.
[26]Ibid,hlm. 144.
[27]Ibid,hlm. 144.
[28]Jalaluddin Rahmat, ‘Ulum
Al-Qur’an, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994,hlm. 145.
[29]Ibid,hlm. 146.
[30] Ahmad Shams Madyan,op.cit,hlm.200
[31] Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Pustaka
Al-Kautsar, Jakarta, 2008,hlm.296
Tidak ada komentar:
Posting Komentar