AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH
Hanif Faisal
Abda’i, Nur Elvi Zuhriyatil Wahidah, Wahyu Nur Rohmah
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Kelas C Angkatan
2014
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang
e-mail: haniffaisal0805@gmail.com
Abstract
The
Qur'an is the only holy book of Islam, which for thousands of years from the
time of the Prophet until now had never experienced revised or renewal. Thus
guaranteed the authenticity of the original truth of its contents will continue
until the end of time. In addition, because the Koran comes directly from God
as a holy book last and falsifies the books before. The Qur'an was revealed to
Prophet Muhammad. mutawaatir reduced or gradually through the intermediary of the
angel Gabriel. Qur'an indirectly should be a referral or information centers
and as a way of life for humans, especially regarding Islamic laws. In
understanding the contents of the content of the Qur'an can not all be
interpreted easily, sometimes also need an explanation through the Hadith of
the Prophet Muhammad. Hadith or Sunnah is all the deeds and sayings of the
Prophet Muhammad statutes. So that the position of Hadith is the second source
of law after the Koran. If there is a case that is not found in the Koran, then
must for look for it in the hadith. This paper will discuss the Qur'an and the
Hadith is as a guide to sources of Islamic law.
Abstrak
Al-Qur’an
merupakan satu-satunya kitab suci agama Islam yang selama ribuan tahun dari
masa Rasulullah hingga sekarang tidak pernah mengalami refisi ataupun
pembaharuan. Sehingga dijamin mengenai keotentikan kebenaran isinya akan terus
asli bahkan hingga akhir zaman. Selain itu juga karena al-Qur’an bersumber
langsung dari Allah SWT sebagai kitab suci terakhir dan penyempurna kitab-kitab
sebelumnya. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. secara mutawatir
atau berangsur-angsur melalui perantara malaikat Jibril. Al-Qur’an secara tidak
langsung harus menjadi sebuah rujukan atau pusat-pusat informasi dan sebagai pedoman
hidup bagi manusia terutama mengenai hukum-hukum Islam. Dalam memahami isi
kandungan al-Qur’an tidak semua dapat tertafsirkan dengan mudah, terkadang juga
perlu penjelasan melaui Hadits Nabi Muhammad SAW. Hadits ataupun as-Sunnah
merupakan semua perkataan perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad SAW. Sehingga
kedudukan Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Apabila ada
suatu perkara yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an maka hendaklah mencarinya
dalam Hadits. Dalam makalah ini akan membahas mengenai al-Qur’an dan Hadits
adalah sebagai pedoman sumber hukum Islam.
Keyword: Sources of law, al-Qur'an,
al-Sunnah.
A. Pendahuluan
Agama
Islam mempunyai rukun-rukun yang harus diimani dan diamalkan oleh setiap
muslim. Bahkan bisa dikatakan kurang sempurna Islamnya jika salah satu darinya
tidak mempercayai atau mengamalkannya. Rukun-rukun tersebut salah satunya
adalah mempercayai bahwa Allah SWT telah menurunkan kitab-kitab kepada para
Nabi-Nya. Kitab al-Qur’an adalah kitab yang paling sempurna, dan hingga kini
masih terjaga keasliannya. Kitab tersebut diturunkan melalui Nabi akhirul zaman
(tidak ada lagi Nabi setelahnya) yaitu Nabi Muhammad SAW.
Al-Qur’an
dan al-Hadits adalah rujukan yang paling utama bagi seluruh umat muslim di
dunia. Kitab yang tidak memiliki kecacatan sedikitpun dan ajarannya adalah
untuk umat sepanjang masa hingga hari kiamat. Bahkan seorang muslim jika
membaca al-Qur’an maka dinilai ibadah dan diberikan pahala oleh Allah.
Al-Qur’an
dan as-Sunnah sudah melewati berbagai masa ataupun zaman. Mulai dari masa
syi’ir atau ketika masa Nabi, masa keilmuan, hingga pada zaman sekarang ini
pada masa berkembangnya teknologi. Di mana semua kegiatan dipermudah dengan
adanya teknologi. Al-Qur’an dan as-Sunnahpun tidak luput memberikan kontribusi
informasi mengenai masa-masa tersebut. Bahkan Dr Zakir Naik mengatakan dalam
pidatonya tidak ada satu ayatpun dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi yang tidak
terbukti atau tidak sesuai secara ilmiah. Hal ini membuktikkan bahwa al-Qur’an
memang benar adanya dan bukan karangan manusia.
Al-Qur’an
menjadi sumber informasi pedoman hidup yang diyakini oleh penganutnya dapat
memecahkan berbagai permasalahan dan persoalan baik individu maupun sosial
seperti, permasalahan hukum, politik, berbudaya, dan lain sebagainya. Selain sebagai pedoman hidup, al-Qur’an juga
mengandung ajaran-ajaran pengetahuan seperti mengenai tata cara berpenampilan,
berbicara, berperilaku maupun lainnya. Semua aturan-aturan tersebut tidak lain
adalah dengan tujuan agar manusia hidup di dunia tidak mengalami kekacauan,
sehinga semua teratur dengan baik.
B. Pengertian Al-Qur’an
1.
Definisi
Secara Etimologi (Bahasa-Harfiah)
Secara etimologis,
al-Qur’an adalah mashdar dari kata qa-ra-a (ق- ر-
أ), setimbangan dengan kata fu’lan (فعلان). Ada dua pengertian al-Qur’an dalam
bahasa Arab, yaitu qur’an (قران)
berarti “bacaan” dan “apa yang tertulis padanya,” Maqru’ (مقروء), ismu al-fail
(subjek) dari qara’a(قرأ).[1]
Dalam rujukan lain, juga terdapat definisi al-Qur’an secara
etimologi/bahasa yang sama-sama dari mashdar qara’a akan tetapi persamaanya
seperti lafal Al-Ghufran yang diambil
dari kata gafara (غفر). Dikatakan: qara’a, yaqra’u, qira’atan, dan qur’anan
(قرأ- يقرأ- قرأة- قرانا). Definisi-definisi diatas adalah ditemukan dari al-Qur’an
surat al-Qiyamah/75: 16-18:
لا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ
وَقُرْآنَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ
قُرْآنَهُ (18)
"Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Qur'an
karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya.Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah
mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami
telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu." (QS.
Al-Qiyamah/75:16-18)[2]
Al-Qur’an merupakan nama kitab suci yang
diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw. Dalam kajian ushul fiqh, al-Qur’an
juga disebut dengan al-Kitab (الكتاب), sebagaimana terdapat dalam surat al-Baqarah/
2:2:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
"Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk
bagi mereka yang bertakwa."[3]
2.
Definisi
Secara Terminologi (Istilah-Syara')
Secara terminologi yakni yang
dikemukakan oleh para ulama ushul fiqh adalah berasal dari satu pengertian
yaitu:
كَلَام
اللهِ تَعَالَى المُنَزَّلُ عَلَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلام بِالَّلفْظِ العَرَبِيّ
المَنْقُوْلِ اِلَيْنَا بِالتَّوَاتُرِ, المَكْتُوْبُ بِالمَصَاحِفِ, المُتَعَبَّدُ
بِتِلَاوَتِهِ, المَبْدُوْءُ بِالفَاتِحَةِ وَالمَخْتُوْمُ بِسُوْرَةِ النَّاسِ.
“Kalam Allah, mengandung mu’jizat dan diturunkan kepada
Rasulullah, Muhammad saw, dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi
sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, terdapat dalam
mushaf, dimulai dari surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat an-Nas”.
Dari pengertian diatas, maka
dilahirkanlah beberapa pengertian al-Quran atau bisa disebut juga ciri-ciri
khas al-Quran yang cetuskan para ulama’ ushul fiqh yaitu:
a.
Al-qur’an merupakan kalam Allah
yang diturunkan kepada Muhammad saw. Apabila tidak demikian, maka bukanlah
dinamakan al-Qur’an. Seperti contoh adalah Zabur, Taurat, Injil merupakan kitab
dan juga kalam Allah tetapi tidak ditunkan kepada Nabi Muhammad.
b.
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa
Arab Quraisy. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa ayat al-Qur'an, seperti dalam
surat: al-Syu'ara'/26:192-195; Yusuf/12:2; al-Zumar/39:28; al-Nahl/16:103; dan
Ibrahim/14:4. Oleh sebab itu, penafsiran dan terjemahan al-Qur'an tidak
dinamakan al-Qur'an dan tidak bernilai ibadah membacanya seperti nilai membaca
al-Qur'an.
c.
Jika
diibaratkan dengan hadist, al-Qur’an adalah mutawatir
(dituturkan oleh orang banyak, disampaikan pula kepada orang banyak dan
mereka tidak mungkin berdusta). Berbeda dengan kitab-kitab samawi (yang datang dari Allah) yang ditujukan kepada para rasul
sebelum Muhammad yang sifatnya tidak mutawatir dan tidak dijamin keasliannya.
Maka al-Qur’an adalah terpelihara kemurniannya dengan landasan dari al-Qur’an
surat al-Hijr/ 15:9:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ
لَحَافِظُونَ
"Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya."
d.
Membaca setiap kata dalam
al-Qur’an itu mendapat pahala dari Allah, baik secara hafalan atau langsung
dari mushaf al-Qur’an.[4]
Hal ini dilandasi oleh sabda Nabi saw:
مَنْ قَرَأَحَرْفًا مِن كِتَابِ
اللهِ فله به حسنةٌ والحسنةُ بِعَشْرِ اَمْثَاِلهَا لا اَقُوْلُ "الم" حَرفٌ
ولكن الفٌ حرفٌ ولامٌ حرفٌوميمٌ حرفٌ
“siapa yang membaca satu huruf
dari al-Qur’an, maka ia mendapat satu kebaikan, satu kebaikan bernilai sepuluh
kali. Saya tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf, tetapi alif satu
huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf”.(HR. al-Tirmidzi dan al-Hakim dari ‘Abdullah ibn Mas’ud).[5]
e.
Al-Qur’an dimulai dari dari surat
al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas, tidak boleh diubah/diganti
letaknya karena sudah disusun sesuai dengan petunjuk Allah melalui malaikat
Jibril kepada Nabi Muhammad.[6]
Dalam versi lain yakni terminologi
ushul, al-Qur’an diartikan sebagai lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
sebagai mu’jizat dan ada nilai ibadah didalam membacanya. Hal ini terdapat mustasnayat
(pengecualian) yakni (1) hadist nabawi: wahyu ilahi tetapi yang diturunkan
hanya maknanya sedangkan redaksinya dari Nabi (2) ayat ter-naskh bacaannya,
karena membacanya sudah tidak bernilai ibadah (3) kitab samawi yang sudah
dijelaskan diatas.
Jika dianalogikan, semua makhluk hidup
mempunyai masalah akan tetapi Allah swt menurunkan al-Qur’an sebagai landasan
atau rujukan utama untuk menyelesaikan masalah tanpa masalah karena al-Quran
merupakan sumber dari segala sumber hukum. Oleh karena itu al-Qur’an disebut
juga sebagai mu’jizat yakni dari segi lafalnya yang ilmiah maupun dari segi
peristiwa-peristiwa yang sudah maupun belum terjadi, semuanya telah tercantum dalam
al-Qur’an.[7]
C.
Kehujjahan
Al-Qur'an
Dalam pembahasan
ini ulama' ushul fiqh telah sepakat bahwasanya al-Qur'an
merupakan sumber pertama dan utama yang dipakai dalam permasalahanhukum islam,
para mujtahid juga dilarang menggunakan dalil atau rujukan lain selama belum
meneliti ayat al-qur'an. Akan tetapi apabila tidak ditemukan dalam al-Qur'an
maka diperbolehkan menggunakan dalil lain seperti as-Sunnah dan lain
sebagainya.[8]
Karena
al-Qur'an merupakan sumber utama dan hukum-hukumnya juga wajib dipatuhi maka
argumentasi/alasan yang menunjukkan bahwa al-Qur'an adalah hujjah (bukti) bagi
umat manusia adalah bahwa al-Qur'an diturunkan dari Allah dengan jalan qath'i
yang kebenarannya tidak dapat diragukan. Kemudian alasan yang menunjukkan
bahwasanya al-Qur'an datang atau diturunkan dari Allah adalah mukjizat
al-Qur'an (tidak mungkin manusia mampu membuat atau meniru dengan redaksi/gaya
penyusunan seperti al-Qur'an atau pemberitaan gaib yang dipaparkan dalam
al-qur'an dan juga isyarat-isyarat ilmiah yang dikandung dalam al-Qur'an) dan
lain sebagainya.[9]
Telah dijelaskan
sebelumnya bahwa al-qur'an merupakan sumber utama dalam masalah penetapan hukum
islam, akan tetapi disini terdapat perbedaan pandangan menurut imam madzhab
tentang kehujjahan al-Qur'an yaitu:
·
Pandangan Imam
Abu Hanifah
Beliau
juga sependapat dengan jumhur ulama' bahwasanya al-Qur'an adalah sumber hukum
islam. Tetapi sebagian ulama' juga ada yang mengatakan bahwa Abu Hanifah
berbeda dengan jumhur ulama' yakni mengenai al-Qur'an itu mencakup lafadaz dan
maknanya saja.
Bukti
yang menunjukkan pendapat beliau tersebut adalah diperbolehkannya membaca
al-Qur'an didalam sholat dalam bahasa selain Arab. Contohnya sholat dengan
memakai bahasa Persia, padahal kalau menurut Imam Syafi'i sekalipun orang
tersebut bodoh tetap tidak boleh sholat dengan bahasa selain Arab. Dalam hal
ini bukan berarti Imam Abu Hanifah mengatakan bahwasanya "terjemahan
adalah al-Qur'an dan hukum-hukum al-Qur'an tidak berlaku terhadap beliau".
Akan tetapi, sesungguhnya Abu Hanifah memperbolehkan sholat dalam bahasa Persia
hanyalah bagi orang yang tidak mengetahui bahasa Arab dan tidak dapat
membacanya maka dari itu kewajiban membaca al-Qur'an adalah gugur baginya.
·
Pandangan Imam
Malik
Menurut
Imam Malik, al-Qur'an merupakan kalam Allah yang lafadz dan maknanya dari
Allah. Al-Qur'an bukanlah makhluk, karena kalam Allah termasuk sifat Allah.
Dengan pandangan yang seperti itu jika ada seseorang berkata bahwasanya
"al-Qur'an itu makhluk" maka menurut beliau, orang tersebut adalah kafir
zindik.
·
Pandangan Imam
Syafii
Seperti
para ulama' lainnya, Imam Syafi'i menetapkan bahwasanya al-Qur'an adalah sumber
hukum islam yang paling pokok. Bahkan beliau berpendapat, "Tidak ada yang
diturunkan kepada penganut agama manapun, kecuali petunjuknya terdapat dalam
al-Qur'an. Namun beliau mengatakan bahwasanya al-Qur'an tidak bisa dilepaskan
dari sunnah karena keduanya sangat berkaitan, dalam hal ini seakan-akan
al-Qur'an dan as-Sunnah berada dalam satu martabat. Akan tetapi pengertiannya
tidaklah seperti itu, yang sesungguhnya adalah bahwa kedudukan as-Sunnah berada
setelah al-Qur'an.
Imam
Syafii juga berpendapat bahwasanya al-Qur'an adalah seluruhnya berbahasa Arab,
dan beliau menentang dengan adanya anggapan bahwa dalam al-Qur'an terdapat
bahasa 'Ajam (luar Arab), pendapat beliau didasarkan dengan firman Allah SWT:
وَكَذَلِكَ أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا
"Dan begitulah kami turunkan al-Qur'an
berbahasa Arab". (QS.Thoha/20:113)
Dengan pendapat
beliau yang seperti itu, tak heran jika Imam Syafii tidak memperbolehkan sholat
dengan bahasa selain Arab. Dan beliaupun mengharuskan penguasaan bahasa Arab
bagi mereka yang ingin memahami dan meng-istinbath/menciptakan hukum dari
al-Qur'an.
·
Pandangan Imam
Ahmad Ibnu Hambal
Tidak berbeda
dengan yang lainnya, Imam Ahmad pun berpendapat bahwasanya al-Qur'an merupakan
sumber pokok islam, yang kemudian disusul oleh as-Sunnah yakni sama seperti
halnya pendapat Imam Syafii. Dalam penafsiran terhadap al-Qur'an, Imam Ahmad
betul-betul mementingkan penafsiran yang datangnya dari as-Sunnah, dan sikapnya
dapat diklasifikasikan menjadi tiga:
a.
Sesungguhnya
dzohir al-Qur'an tidak mendahulukan as-Sunnah
b.
Tidak ada
seseorangpun yang berhak menafsirkan al-Qur'an, karena yang boleh menafsirkan
al-Qur'an hanyalah Nabi Muhammad saw yakni sunnah sudahlah cukup menafsirkannya
c.
Apabila tidak
menemukan penafsiran yang asalnya dari Nabi Muhammad maka yang dipakai adalah
penafsiran dari para sahabat, karena yang mengetahui turunnya al-Qur'an dan
mendengarkan takwil adalah para sahabat.[10]
D. Macam-Macam Hukum Al-Qur'an
Hukum-hukum
yang dikandung dalam al-Qur'an, secara garis besarnya terdapat tiga bagian
yaitu:
1.
Hukum
I'tiqadiyah: hukum yang berkenaan dengan keyakinan, yakni segala sesuatu yang
wajib diyakini oleh mukallaf terhadap Allah, Malaikat-Nya, kitab- kitab-Nya, rasul-rasul-Nya
dan hari akhir.
2.
Hukum
Khuluqiyah: hukum yang berhubungan dengan akhlak, yaitu kewajiban mukallaf
untuk selalu berbudi luhur, meningkatkan moral, dan menjauhkan diri dari sifat
yang tercela.
3.
Hukum
'Amaliyah: hukum ini berkaitan dengan tindakan/perbuatan/praktik, yaitu
tindakan yang dilakukan dengan sesama manusia atau manusia dengan penciptanya.[11]
Untuk hukum
yang ketiga tersebut, yakni hukum 'amaliyah didalam al-Qur'an terdiri dari 2
macam:
a.
Hukum Ibadah,
seperti: sholat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah, dan hukum-hukum yang
lainnya. Yang pada intinya hukum ini adalah hukum yang menyangkut hubungan
manusia dengan Tuhannya.
b.
Hukum Muamalat,
seperti: akad, perbelanjaan, hukuman, pidana dan lain-lain, yaitu secara
ringkasnya adalah hukum yang bersangkutan dengan hubungan manusia dengan
manusia yang lain.[12]
Seiring
berkembangnya zaman, hukum muamalat ini pun bercabang-cabang, yaitu
diantaranya:
·
Hukum Ahwalul Syahsyiah
(hukum keluarga), maksudnya adalah mengatur hubungan antara suami-istri dan
kerabat antara satu dengan yang lainnya. Dalam al-Qur'an, jumlah ayat yang
menjelaskan permasalahan ini sekitar 70 ayat.
·
Hukum Madniyah
(hukum perdata), yaitu berhubungan dengan muamalah antar individu atau kelompok,
misalnya masalah jual-beli, pinjam-meminjam, pegadaian. Dalam pembahasan ini
dimaksudkan untuk mengatur hubungan sesama manusia dan juga berkaitan dengan
memelihara kekayaan dan hak masing-masing. Di dalam al-Qur'an terdapat sekitar
70 ayat yang membahas tentang hukum ini.
·
Hukum Jinayat
(hukum pidana), yaitu hukum yang berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan oleh
seseorang sebagai sangsi pidananya. Hal ini dimaksudkan demi memelihara
kehidupan manusia didalam agamanya, dirinya, akalnya, harta, dan kehormatannya.
Hal yang membahas permasalahan ini di al-Qur'an kira-kira 30 ayat.
·
Hukum Murafa'at
(hukum acara), adalah hukum yang berkenaan dengan lembaga pengadilan seperti
gugat, saksi, hakim dan lain-lain. Hukum ini dimaksudkan dengan kesanggupan
menerapkan prinsip keadilan antar sesama manusia.[13]
·
Hukum
Dusturiyah (hukum perundang-undangan), merupakan hukum yang berkenaan dengan
aturan undang-undang dan dasar-dasarnya. Hukum ini bertujuan sebagai pembatas
antara hubungan pemerintah dengan pemerintah dan warga negara atau hubungan
antara hakim dan terdakwa, serta penetapan hak pribadi dengan hak masyarakat.
Di al-Qur'an terdapat sekitar 10 ayat yang membahas hukum ini.
·
Hukum dauliyah
(hukum kenegaraan), yaitu berkenaan dengan hubungan antar negara-negara islam
dan negara-negara non islam sekaligus peraturan tentang pergaulan antara
non-muslim didalam negara islam. Terdapat sekitar 25 ayat didalam al-Qur'an
yang membahas tentang hukum ini.
·
Hukum
Iqtishadiyah wa maliayah (hukum ekonomi dan harta benda), adalah membahas
tentang hak-hak fakir miskin yang meminta-minta dan fakir miskin yang tidak
mendapat hak bagiannya dari orang kaya. Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur
keuangan antara pihak kaya dan yang miskin. Di dalam al-Qur'an terdapat sekitar
10 ayat yang membahs tentang hukum ini.[14]
E. Dalalah Ayat-Ayat Qath'i dan Dzanni dalam Al-Qur'an
Dalalah dalam
konteks makna adalah petunjuk yang dapat dijadikan pegangan dan dapat
mengantarkan kepada pengertian yang dikehendaki. Untuk memahami nash al-Qur'an
yakni apakah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz tersebut "jelas"
(pasti/langsung dapat difahami) atau "belum jelas" (tidak pasti/masih
penjelasan secara global). Dalam permasalahan yang seperti ini, para ulama'
ushul fiqh menggunakan pendekatan dengan istilah qath'i dan dzanni.[15]
v
Dalalah qath'i
merupakan dalil yang menunjukkan arti yang dapat difahami secara jelas. Tidak
mengandung takwil (tidak perlu ditafsirkan/tidak mengandung makna tersirat). Misalnya
seperti ayat-ayat hudud, waris, dan kafarat. Contoh firman Allah swt:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ
حَظِّ الأنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا
مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ
"Allah mensyariatkan bagimu
tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak
lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo
harta".(QS.Annisa'/4:11)
Contoh
lain adalah surat an-Nur/24:2:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ
مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera".
v
Dalalah dzanni
merupakandalil yang menunjukkan makna yang masih tersirat/penjelasnnya masih
secara global, jadi dalam dalalah dzanni masih perlu takwil (masih perlu
penafsiran karena bisa jadi lafadz nya mengandung makna ganda atau mengandung
pengertian lebih dari satu). Sebagai contoh firman Allah swt:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
جَزَاءً بِمَا كَسَبَا
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan".
(QS. al-Maidah/5:38)
Kata tangan
dalam ayat tersebut adalah ada dua kemungkinan yaitu bisa jadi tangan kanan
atau tangan kiri, disamping itu juga mengandung kemungkinan tangan yang
dipotong tersebut hanya sampai pergelangan tangan atau sampai siku-siku masih
belum jelas maksudnya. Inilah yang disebut dengan dalalah dzanni.[16]
Contoh diatas
menjelaskan dalil yang mengandung penjelasan yang masih global/umum. Terdapat
contoh lain, yaitu dalil yang mengandung makna musytarak (mempunyai makna
ganda) seperti firman Allah swt:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru". (QS. al-Baqarah/2:228)
Dari ayat
tersebut, lafal "Qur'i" dalam bahasa Arab merupakan lafadz yang
mempunyai dua makna yaitu ada yang mengartikan "Suci" dan ada juga
yang mengartikan "haid". Jadi dalam pengertian tersebut para mujtahid
berbeda pendapat mengenai masa iddah wanita yang ditalak yaitu ada yang
mengatakan 3 kali haid dan ada pula yang berpendapat 3 kali suci.[17]
F.
Pengertian
As-Sunnah
1.
Definisi
Secara Etimologi (Bahasa-Harfiah)
Lafal as-Sunnah,
menurut bahasa adalah jalan atau kosa kata kuno yang telah dikenal dalam bahasa
Arab yang bermakna jalan yang menjadi kebiasaan, baik atau buruk. Di antaranya
firman Allah swt:
وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّه تَبْدِيلا
"...
dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah."
(QS. Al-Ahzab/33:62)[18]
As-Sunnah bukan
hanya digunakan untuk makna yang terpuji saja, akan tetapi juga digunakan untuk
sesuatu yang tercela. Sebagaimana disebutkan dalam hadist:
مَن سَنَّ سنةً حسنةً كان له اجرُه ومِثلُ اَجْرِ
مَن عَمِلَ بها مِن غيرِ اَن يَنْقُصَ مَن اُجُورِهم شيءٌ ومَن سَنَّ سنةٌ سَيِئَةٌ
كان عليه وِزْرُهُ ومثلُ وِزْرِمَن عَمِلَ بها مِن غيرِ اَن يَنْقُصَ مِن اَوْزَارِهم
شيءٌ (رواه الدارمي)
"Barang
siapa yang berbuat baik, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala
orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun, dan
barang siapa yang melakukan perbuatan buruk, maka ia mendapatkan dosanya dan
dosa orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka
sedikitpun." (HR. Al-Darami.[19]
2.
Definisi Secara Terminologi (Istilah-Syara')
Dalam
pengertian secara terminologi ada berbagai kategori dalam mengartikannya yaitu:
pertama, oleh para ulama-ulama
islam yaitu kosakata yang direduksi dari pengertiannya sebagaimana dalam al-Qur'an dan
bahasa Arab, dan dipergunakan dalam pengertian yang lebih khusus. Yaitu suatu
gambaran amal perbuatan yang sesuai dengan teladan Nabi dan para sahabatnya.
Sebagaimana hadist Nabi:
عليكم بِسُنَّتِيْ وسنةِ الخُلَفَاءِ الراشدين مِن
بَعْدِيْ (رواه احمد وابو داود والترمذي وابن ما جه وابن حبان والحاكم)
"Ikutilah
sunnahku dan sunnah Khulafa' al-Rasyidin (para pengganti Rasul yang mendapatkan
petunjuk) sepeninggalku." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Turmudzi, Ibn Majah, Ibn
Hibban dan Al-hakim).[20]
Kedua,dipandang sesuai dengan perkembangan
disiplin ilmu keislaman yaitu dari sudut ilmu fiqh, hadist dan ushul fiqh. (a)
menurut ulama’ fiqh yaitu perbuatan yang apabila di kerjakan mendapat pahala
dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa (b) menurut ulama’ ushul fiqh
yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan atau timbul dari Nabi yang mencakup
perbuatan, perkataan dan ketetapan (taqrir) yang dapat dijadikan landasan hukum
syariat (c) menurut ulama’ hadist ialah segala sesuatu yang disandarkan atau
yang berhubungan dengan Nabi Muhammad saw, baik itu berupa perbuatan, perkataan,
dan ketetapan, sifatnya sebagai manusia biasa dan juga akhlaknya baik itu
setelah atau sebelum diutus menjadi rosul atau yang telah ditetapkan dalam
hukum syara’ atau belum.
Dalam
pembahasan diatas, terdapat perbedaan pengertian sunnah antara ulama fiqih dan
ulama ushul fiqih, yakni jika menurut ulama fiqih sunnah dipandang sebagai
salah satu sumber atau dalil hukum akan tetapi jika menurut ulama ushul fiqh
sunnah diartikan sebagai salah satu hukum taqlifi.[21]
G.
Kehujjahan
Sunnah
Umat
islam sepakat bahwasanya segala sesuatu yang datang dari rasulullah baik itu
ucapan, perbuatan atau taqrir merupakan suatu hukum atau tuntutan yang
disampaikan kepada kita dengan sanad sahih (dapat dipercaya). Maka dari itu,
kebenaran tersebut merupakan hujjah bagi umat islam dan sebagai sumber
pembentukan hukum yang diambil setelah al-Qur'an.[22]
Dibawah ini akan diterangkan lebih jelas mengenai bukti dari kehujjahan
as-Sunnah:
§
Nash al-Quran
Dalam surat
an-Nisa' ayat 59 dijelaskan bahwasanya Allah memerintahkan orang-orang beriman
untuk mentaati Allah, Rasul, dan ulil amri. Maksud mentaati Rasul di sini ialah
(ia) juga berarti mentaati Allah. Karena barangsiapa yang mengikuti Rasul, maka
sesungguhnya dia telah mengikuti Allah. Dalam surat yang sama (an-Nisa' ayat
59), Allah juga memerintahkankepada kaum muslimin apabila terjadi pertengkaran
atau pertentangan dalam suatu masalah untuk mengembalikan masalah itu kepada
Allah dan Rasul, maksudnya al-Quran dan as-Sunnah. Dalam surat yang lain yaitu
al-Hashr ayat 7, Allah berfirman “ Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka
terimalah dia. Dan apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah.” Jadi bukti
mengikuti perintah Rasul dalam al-Quran dapat dilihat dalam surat an-Nisa' ayat
59 dan al-Hashr ayat 7.
§
Ijma’ Sahabat
Bagi umat Islam
wajib untuk mengikuti sunnah Rasul, baik ketika beliau masih hidup maupun telah
wafat. Ketika Rasulullah masih hidup, umat Islam tidak perlu bingung atau
khawatir dalam menjalankan hukum-hukum Islam sehingga tidak terjadi perpecahan
di kalangan kaum muslimin dalam menjalankan hukum-hukum yang bersumber dari
al-Quran maupun dari Rasul sendiri. Mereka menjalankan hukum-hukum yang
diperintahkan Rasulullah dan meninggalkan yang dilarang beliau.Sedangkan
setelah Rasulullah wafat, berdasarkan hadits Mu'az bin Jabal “Jika hukum yang
akan aku jalankan itu tidak terdapat dalam al-Quran, maka akan aku cari dalam
sunnah Rasulullah.”
Abu Bakar pula,
jika ia tidak ingat dengan sunnah Rasul mengenai suatu masalah, maka ia pergi
bertanya kepada orang banyak. Siapakah diantara mereka yang masih ingat dengan
sunnah Rasul mengenai masalah ini? Demikian pula dengan para sahabat lainnya.
Jadi, barangsiapa yang datang minta fatwa atau hukum kepada sahabat, maka
hendaklah ia mengikuti apa yang difatwakannya itu. Sebab orang yang berfatwa
itu tidak berbeda dengan apa yang didengarnya dari Rasul.
§
Dalam al-Qur'an
Di dalam al-Qur'an terdapat banyak hal
yang wajib dijalankan oleh manusia. Tetapi al-Quran tidak menjelaskannya secara
terperinci tentang hukum-hukum dan bagaimana caranya.Seperti perintah untuk
mendirikan solat, membayar zakat, berpuasa, haji. Al-Quran tidak menjelaskan
bagaimana cara melakukan keempat perintah tersebut. Oleh karena itu, Rasul lah
yang menjelaskan bagaimana cara mengerjakannya dengan sunnah qauliyyah dan
sunnah fi'liyyah. Karena Allah telah memberikan kuasa kepada Rasul untuk
menerangkan sejelas-jelasnya kepada orang lain. Sebagaimana firman Allah dalam
surat An-Nahl ayat 44 : “Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran agar engkau
menerangkannya kepada umat manusia apa-apa yang telah diturunkan kepada
mereka.” Jadi, sunnah merupakan penjelas atau penegas terhadap al-Quran.[23]
H.
Macam-Macam
as-Sunnah
1.
Macam-Macam
as-Sunnah Dilihat dari Segi Bentuknya
Pertama, sunnah
fi’liyyah merupakan segala perbuatan atau perilaku Nabi yang diketahui oleh
sahabat dan disampaikan kepada sahabat yang lain. Contohnya yaitu tata cara
solat 5 waktu yang dicontohkan oleh Nabi.
Kedua, sunnah
qauliyyah merupakan segala perkataan atau ucapan Nabi yang didengan oleh
sahabat dan disampaikan kepada sahabat yang lain. Contohnya sabda Rasulullah
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah “Tidak sah solat seseorang yang tidak
membaca surat al-fatihah” (HR. al-Bukhari dan Muslim) atau contoh lain yakni
“Segala amal perbuatan harus disertai dengan niat” (HR. Bukhari)
Ketiga,
sunnah taqririyyah merupakan segala perbuatan atau ucapan sahabat yang
dilakukan di hadapan Nabi atau tidak dilakukan di hadapan Nabi akan tetapi
beliau mengetahuinya dan beliau diam (tidak mencegahnya atau hal itu boleh dilakukan
karena tidak bertentangan dengan syariat). Contoh kasus ‘Amr ibn al-‘Ash yang
berada dalam keadaan junub, suatu hari cuaca sangat dingin sehingga beliau
tidak sanggup mandi karena dikhawatirkan akan sakit dan ketika itu ‘Amr ibn
al’-Ash hanya bertayamum. Setelah itu ‘Amr menyampaikannya kepada Rasulullah,
kemudian Nabi bertanya “Apakah kamu melaksanakan solat bersama teman-temanmu?
Sedangkan kamu dalam keadaan junub.” Kemudian ‘Amr menjawab “Saya ingat firman
Allah ta’ala yang mengatakan “Janganlah kamu membunuh diri kamu, sesungguhnya
Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” kemudian saya bertayamum dan langsung
solat. Mendengar jawaban tersebut Rasulullah tertawa dan tidak berkomentar
apapun. (HR. ibn Hanbal dan al-Baihaqi). Perilaku Rasulullah tersebut (tertawa
dan tidak berkomentar) adalah tanda bahwasanya perbuatan tersebut tidak
dilarang atau diperbolehkan karena Rasulullah tidak mungkin membiarkan
seseorang melakukan hal-hal yang dilarang oleh syariat.[24]
2.
Macam-Macam
as-Sunnah Dilihat dari Segi Kuantitas Rawinya
·
Sunnah mutawatir
Secara bahasa,
mutawatir berarti berurutan. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mukminun
ayat 44 :
ثُمَّ
أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا تَتْرَا
“Kemudian
Kami mengutus (kepada umat-umat itu) rasul-rasul Kami berurut-urut.”(QS.
al-Mu'minun/23:44)
Sedangkan
menurut istilah, mutawatir yaitu setiap kabar yang diriwayatkan banyak orang
yang secara akal tidak mungkin mereka sepakat untuk berbohong. Jadi, sunnah
mutawatiroh yaitu sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh sekelompok
orang yang secara akal tidak mungkin sekelompok orang itu berbohong terhadap
sunnah tersebut. Oleh karena itu, ulama' sepakat bahwa sunnah mutawatiroh
dipastikan keberadaannya (qath'i) datang dari Rasulullah.[25]
Contoh sunnah mutawatiroh yaitu perintah tentang mengerjakan sholat, puasa,
haji, adzan, dan lain-lain.
·
Sunnah Masyhur
Yaitu sunnah
yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh beberapa orang saja yang belum mencapai
derajat tawatur (perawi sunnah mutawatir), kemudian para perawi yang telah
mencapai jumlah tawatur meriwayatkannya.[26]
Dari definisi sunnah mutawatiroh dan sunnah masyhur dapat disimpulkan
perbedaannya bahwa sunnah mutawatiroh adalah sunnah yang sejak awal
kemunculannya diriwayatkan oleh banyak orang atau orang-orang yang mencapai
derajat tawatur, sedangkan sunnah masyhur adalah sunnah yang awalnya
diriwayatkan oleh beberapa orang yang belum mencapai derajat tawatur kemudian
pada masa-masa berikutnya diriwayatkan secara massal atau oleh orang-orang yang
sudah mencapai derajat tawatur.[27]
·
Sunnah Ahad
Yaitu sunnah yang diriwayatkan dari
Rasulullah oleh beberapa orang tetapi tidak mencapai derajat tawatur atau tidak
mencapai jumlah kemutawatiran.[28]
I.
Dalalah
Ayat-Ayat Qath'i dan Dzanni dalam as-Sunnah
Bukan
hanya dalam al-Qur'an saja, dalam sunnah pun ada pembahasan tentang dalil yang
qath'i dan dzanni. Dalam segi pengertiannya pun tidak berbeda yaitu lafadz
tersebut "jelas" (pasti/langsung dapat difahami "qath'i")
atau "belum jelas" (tidak pasti/masih penjelasan secara global "dzanni").
v
Dalalah qath'i
yakni sunnah-sunnah yang pengertiannya mengandung makna yang sudah pasti atau
jelas. Sebagai contoh yaitu cara Rasulullah berwudhu.[29]
وَعَنْ حُمْرَانَ أَنَّ عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ
فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ
وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ
الْيُمْنَى إلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ الْيُسْرَى مِثْلَ
ذَلِكَثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إلَى
الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ :
رَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ
وُضُوئِي هَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
"Dari Humran
bahwa Utsman meminta air wudlu. Ia membasuh kedua telapak tangannya tiga kali lalu
berkumur dan menghisap air dengan hidung dan menghembuskannya keluar kemudian
membasuh wajahnya tiga kali. Lalu membasuh tangan kanannya hingga siku-siku
tiga kali dan tangan kirinya pun begitu pula. Kemudian mengusap kepalanya lalu
membasuh kaki kanannya hingga kedua mata kaki tiga kali dan kaki kirinya pun
begitu pula. Kemudian ia berkata: Saya melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam berwudlu seperti wudlu-ku ini. Muttafaq Alaih".[30]
Dari
contoh sunnah di atas, yakni dengan membasuh anggota wudhu masing-masing tiga
kali kecuali mengusap kepala. Dalam lafadz tersebut ada kata-kata (ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ) ialah menunjukkan pengertian qath'i yaitu maknanya sudah
jelas tidak butuh penafsiran lagi.
v
Dalalah dzanni
yaitu sunnah-sunnah yang maknanya belum menunjukkan pengertian yang jelas atau
masih butuh penafsiran lagi. Sebagai contoh sunnah tentang bacaan surat al-Fatihah dalam solat :
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
"Tidak sah solat bagi orang yang tidak membaca surat
al-Fatihah"
Dari contoh di
atas ada perbedaan pendapat mengenai "membaca surat al-Fatihah" yakni
yang pertama menurut jumhur fuqoha berpendapat bahwasanya tidak sah solatnya
bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah. Berbeda dengan kalangan
Hanafiyah, mereka berpendapat bahwasanya ayat tersebut adalah musytarok
(bermakna ganda) yaitu bukannya tidak sah akan tetapi tidak sempurna. Dengan
kata lain, jika seseorang solat dengan tanpa membaca surat al-Fatihah maka
solatnya tidak sempurna bukan berarti tidak sah.[31]
J.
Sebab-Sebab
Perbedaan Pendapat Para Fuqoha dalam Memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah
Para
Fuqoha ada beberapa hal yang menjadi sebab terjadinya perbedaan dalam memahami
atau memaknai al-Qur’an dan as-Sunnah. Diantara yaitu sebagai berikut:
1.
Hal-Hal yang
Berkaitan dengan Lafaz
Dari
kedua sumber hukum al-Qur’an dan as-Sunnah semuanya menggunakan bahasa Arab,
sedangkan di daerah penurun wahyu dan Sunnah memiliki beberapa suku yang setiap
sukunya memiliki pemaknaan terhadap suatu kata yang berbeda-beda. Sehingga hal
ini memunculkan beberapa pendapat yang berbeda satu sama lain dalam
mentafsirkan kalimat. sebagai contohnya yaitu pada surat an-Nisa’ ayat 22 :
وَلاَتَنكِحُواْمَانَكَحَآبَاؤُكُممِّنَالنِّسَاء ﴿٢٢﴾
”Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang
telah dikawini oleh ayahmu,.”(QS.an-Nisa'/4:22)
Dalam hal ini pemaknaan nikah
memiliki persepsi makna yang berbeda-beda. Ulama’ Hanafiyah mengartikan makna
nikah adalah persetubuhan antara lawan jenis baik melalui akad ataupun tidak,
sehingga tafsir ayat tersebut memiliki maksud melarang seseorang kawin dengan
wanita yang sudah disetubuhi oleh ayahnya baik secara sah ataupun tidak.
Kedua,
ulama’ Syafi’iyah mengartikan lafaz nikah dengan akad. Sehingga memperbolehkan
seseorang kawin dengan wanita yang telah disetubuhi oleh ayahnya secara tidak
sah. Dan menganggap haram apabila menikah seorang wanita yang sudah disetubuhi
oleh ayahnya secara sah.[32]
2.
Hal-Hal yang
Berkaitan dengan Ta’arudh
Menurut bahasa, tarudh
berarti taqabul dan tamanu’ atau bertentanan dan sulitnya pertemuan. Ulama’
Ushul fiqh mengartikan ta’arudh ini sebagai dua dalil yang masing-masing
menafikan apa yang ditunjuk oleh dalil lain.[33]Salah
satu contohnya adalah dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 240 dengan surat
al-Baqarah ayat 234.
وَالَّذِينَيُتَوَفَّوْنَمِنكُمْوَيَذَرُونَأَزْوَاجاًوَصِيَّةًلِّأَزْوَاجِهِممَّتَاعاًإِلَىالْحَوْلِغَيْرَإِخْرَاجٍفَإِنْخَرَجْنَفَلاَجُنَاحَعَلَيْكُمْفِيمَافَعَلْنَفِيَأَنفُسِهِنَّمِنمَّعْرُوفٍوَاللّهُعَزِيزٌحَكِيمٌ
﴿٢٤٠﴾
“Dan
orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan isteri,
hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga
setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika
mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang
meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma`ruf terhadap diri mereka. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
Ayat
ini menjelaskan mengenai iddah wanita yang ditinggal mati suaminya yaitu selama
satu tahun. Sedangkan ayat lain yang berselisih adalah sebagai berikut:
وَالَّذِينَيُتَوَفَّوْنَمِنكُمْوَيَذَرُونَأَزْوَاجاًيَتَرَبَّصْنَبِأَنفُسِهِنَّأَرْبَعَةَأَشْهُرٍوَعَشْراًفَإِذَابَلَغْنَأَجَلَهُنَّفَلاَجُنَاحَعَلَيْكُمْفِيمَافَعَلْنَفِيأَنفُسِهِنَّبِالْمَعْرُوفِوَاللّهُبِمَاتَعْمَلُونَخَبِيرٌ
﴿٢٣٤﴾
“Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis `iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat.”
Sedangkan pada ayat tersebut
memiliki makna bahwa seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya masa
iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari.
Pada hakikatya dalil yang sama
derajatnya tidaklah mungkin mengalami pertentangan, sehingga pada dasarnya yang
mengalami pertentangan adalah pemberian makna pada suatu dalil. Ta’arudh disini
hanyalah terjadi pada para mujtahid. Sehingga atas dasar ini ta’arudh terjadi
hanay secara zahir.
Dalam menghadapi dalil yang
bertentangan secara zahir tersebut perlu adanya penyelesaian sehingga dapat
menghilangkan pertentangan tersebut. Dalam hal ini para ulama’ menggunakan dua
metode yaitu metode Hanafiyah dan metode Syafi’iyah.
a.
Ulama’
Hanafiyah mengemukakan beberapa langkah untuk ditempuh salah satunya adalah Nasikh. Dalam
metode Nasikh perlu
mengetahui mana nash yang lebih dahulu turun. Dalam contoh pada ayat di atas
maka dapat disumpulkan bahwa QS. Al-Baqarah 2:234 yang menyatakan iddah wanita
yang cerai karena meninggal dunia empat bulan sepuluh hari dan didahului turun
ayat QS al-Baqarah 2:240 yang menyatakan iddah wanita yang dicerai suami karena
meninggal dunia yaitu satu tahun. Jadi yang diambil pertentangan kedua ayat
tersebut adalah iddah wanita yang cerai ditinggal mati suami empat bulan
sepuluh hari.
b.
Ulama’
Syafi’iyah dalam menyelesaikan dalil menggunakan beberapa metode salah satunya
yaitu al-Jam’u wa al-Taufiq, hal ini sependapat dengan ulama’ Milikiyyah dan
Zahiriyyah bahwa metode yang harus digunakan dalam menyelesaikan dalil-dalil
yang bertentangan adalah dengan menghimpun dan mengkompromikannya. Mereka
beralasan pada prinsipnya dalil itu harus diamalkan bukan diabaikan. Untuk
melakukannya dapat juga hukum kedua dalil tersebut dapat dibagi, maka boleh
dilakukan pembagian. Seperti pada contohnya yaitu dua orang yang memiliki
pengakuan terhadap barang yang sama, kedua sama-sama mengininkan barang
tersebut menjadi miliknya. Tidaklah mungkin jika meniadakan salah satu diantara
mereka. Sehingga diambil jalan pintas dengan membaginya menjadi dua bagian.
K. Kesimpulan
Menurut
bahasa al-Qur’an berarti bacaan. Sedangkan menurut terminologi
al-Qur’an diartikan sebagai lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai
mu’jizat dan ada nilai ibadah didalam membacanya. Para ulama'
ushul fiqh telah sepakat bahwasanyaal-Qur'an
merupakan sumber pertama dan utama yang dipakai dalam permasalahanhukum islam,
para mujtahid juga dilarang menggunakan dalil atau rujukan lain selama belum
meneliti ayat al-qur'an. Akan tetapi apabila tidak ditemukan dalam al-Qur'an
maka diperbolehkan menggunakan dalil lain seperti as-Sunnah dan lain sebagainya. Dalm al-Qur’an terdapat beberapa jenis
hukum yaitu: hukum I'tiqadiyah, hukum Khuluqiyah (hukum yang berhubungan dengan akhlak, yaitu kewajiban mukallaf
untuk selalu berbudi luhur, meningkatkan moral, dan menjauhkan diri dari sifat
yang tercela), hukum 'Amaliyah (hukum ini
berkaitan dengan tindakan/perbuatan/praktik)
Lafal as-Sunnah, menurut
bahasa adalah jalan atau kosa kata kuno yang telah dikenal dalam bahasa Arab
yang bermakna jalan yang menjadi kebiasaan, baik atau buruk. Menurut
ulama’ fiqh yaitu perbuatan yang apabila di kerjakan mendapat pahala dan
apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa. Sedangkan menurut ulama’ ushul fiqh
yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan atau timbul dari Nabi yang mencakup
perbuatan, perkataan dan ketetapan (taqrir) yang dapat dijadikan landasan hukum
syariat. Dari kedua sumber hukum Islam tersebut sangatlah wajib hukumnya
bagi para mujtahid untuk menggunakan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber
dasar berijtihad. Al-Qur’an
dan as-Sunnah diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab sedangkan bahasa
manusia di dunia ini adalah sangat banyak. Sehingga perlu diadakannya
penafsiran-penafsiran al-Qur’an dan as-Sunnah tersebut agar semua umat dapat
mengetahui arti ataupun maksud yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Tetapi dalam penakmanaan kedua sumber hukum tersebut tidaklah mudah. Terdapat banyak sekali tafsir-tafsir yang
berbeda-beda dikarenakan kadar ij’tihad yang juga berbeda. Sehingga jika
ditemukan makna yang berbeda dalam al-Qur’an itu berarti bukan al-Qur’annya
yang terdapat kesalahan namun pada para mu’tahidlah yang memiliki pendapat yang
berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Anshari, al-Islam Zakaria. Pengantar
Memahami Lubbul Ushul. Diterjemahkan oleh: Saiful Muhid. Kediri: Lirboyo
Press, 2015.
Djazuli, dan Aen, Nurol. Ushul
Fiqh: Metodologi Hukum Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000.
Forum Karya Ilmiah. Kilas Balik
Teoritis Fiqh Islam. Kediri: Purna Siwa Aliyyah, 2004.
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu,
1997.
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani,
Al-Hafidz. Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam. Diterjemahkan oleh: Dani
Hidayat (offline). Tasikmalaya: Pustaka al-Hidayah, 2008
Khallaf, Abdul Wahhab. Kaidah-Kaidah
Hukum Islam. Diterjemahkan oleh: Moch. Tolchah Mansoer, dkk. Bandung:
Risalah, 1985.
Khallaf. Abdul Wahhab. Ilmu Ushul
Fikih. Diterjemahkan oleh: Halimuddin. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul
Fiqh. Diterjemahkan oleh: Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib. Semarang: Dina Utama,
2014.
Koto, Alaidin. Ilmu Fiqh dan
Ushul Fiqh: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Romli. Studi Perbandingan Ushul
Fiqh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.
Syafe'i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka
Setia, 2015.
Catatan:
1.
Setiap
yang merujuk pada data harus diberikan referensinya, termasuk pidato Zakir
Naik, harus diberikan keterangan lengkap.
2.
Dalam
pendahuluan, berikan sedikit kata-kata mengenai apa yang hendak Anda bahas
dalam makalah.
3.
Buku
terjemahan Abdul Wahab Khalaf saya anggap satu buku, jadi tambahi tulisan Anda
ini minimal satu referensi lagi.
Secara umum, saya lihat makalah ini sudah cukup bagus. Selamat!!!!!!
[1]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: PT Logos
Wacana Ilmu, 1997), hal. 19-20
[2]Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh.
Zuhri. (Semarang: Dina Utama Semarang, 2014), hal.23
[4]Rachmad Syafe'i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2015), hal. 49-50
[7]al-Islam Zakaria al-Anshari, Pengantar Memahami Lubbul
Ushul, terj. Saiful Muhit. (Kediri: Lirboyo Press, 2015), hal. 40
[9]Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam,
terj. Moch. Tolchah Mansoer, dkk. (Bandung: Risalah, 1985), hal. 23
[12]Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum
Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 82.
[15]Romli, Studi Perbandingan Ushul Fiqh, (Yogyakarta:
Pustaka pelajar, 2014), hal. 83
[19]Pokja Forum Karya Ilmiah, Kilas Balik Teoritis Fiqh
Islam, (Kediri: Purna Siwa Aliyyah, 2008),
[23]Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih, terj.
Halimuddin. (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), hal. 38-41
[30]Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram
Min Adillatil Ahkaam, terj (offline). Dani Hidayat. (Tasikmalaya: Pustaka
al-Hidayah, 2008)
[32]Alaidin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (sebuah
Pengantar), (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2004), hlm. 139
[33]Ibid, hlm. 141
Tidak ada komentar:
Posting Komentar