NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QUR’AN
Isna Asyaroh Makiyah Kartika Sari, Eni’matul Masruroh
Mahasiswa jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial kelas E
Angkatan 2015
Fakultas ilmu tarbiyah dan keguruan
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang
E-mail: isnamecca@gmail.com
Abstrak
Al qur’an merupakan firman allah yag diturunkan kepada nabi
Muhammad SAW melalui malaikat jibril sebagai pedoman
hidup bagi manusia di dunia dan di akhirat. Di dalam al-qur’an terkandung tata
cara, atau hukum hukum yang mengatur kehidupan manusia, akan tetapi karena
kehidupan berjalan dinamis dan kondisi manusia selalu berubah, maka diperlukan
adanya perubahan dan pembaharuan hukum yang relevan dengan kondisi manusia.
Maka disinilah terlihat hikmah dari adanya nasikh dan mansukh, yang pada
hakekatnya ditetapkan oleh Allah SWT untuk memudahkan hidup manusia.
Abstract
Al Qur'an is the word of Allah that revealed to prophet Muhammad SAW through the angel Gabriel as guidelines For human life in the world and hereafter. In the quran contained system, or the laws that set the human Life, but because life goes dynamic and human condition always change, it is necessary to change and reform the laws that are relevant to the human condition. So this is where seen the wisdom of their nasikh and mansukh, which is essentially determined by Allah SWT to facilitate human life.
Keyword: alqur’an, nasikh, mansukh
Pendahuluan
Pembahasan nasikh dan mansukh merupakan salah satu pembahasan
penting dalam ilmu tafsir, karena sebagaimana kita ketahui bahwa ayat ayat
al-qur’an memiliki keterkaitan antara satu ayat dengan lainya, yang mana tidak
menutup kemungkinan akan menimbulkan adanya kontradiksi. Begitu pula kondisi
kehidupan yang berubah seiring berkembangnya zaman, menimbulkan adanya
perubahan-perubahan dalam hukum hukum syari’at yang mana tujuanya untuk
mempermudah hidup manusia. Ilmu nasikh dan mansukh dibutuhkan dalam memahami
ilmu alqur’an, karena nasikh dan mansukh juga berkaitan dengan pembahasan
lainya seperti takhsis, asbabun nuzul, Dsb.
Tulisan ini memuat tentang nasikh dan mansukh, termasuk di dalamnya
adalah pengertian nasikh dan mansukh baik dari segi Bahasa atau istilah,
bentuk-bentuk nasikh dan mansukh, hikmah adanya nasikh dan mansukh, dan
beberapa hal lain yang berkaitan dengan nasikh dan mansukh. Yang diharapkan
mampu membantu pembaca dalam memahami ilmu nasakh dan mansukh.
Pengertian Nasikh dan mansukh
Secara etimologi (bahasa): Nasakh dapat berarti izalah yang artinya
menghilangkan atau meniadakan.Dalam al-Qur’an dinyatakan:
فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ
آيَاتِهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيم
”Kemudian Allah meniadakan atau menghilangkan apa yang dimasukkan
oleh setan,lalu Allah memperkuat ayat-ayat-Nya.Allah Maha Mengetahui dan
Mahabijaksana.”(QS.Al-Hajj:52).
Dalam ungkapan orang Arab juga dikatakan: nasakhat asy-syamsu
azh-zhilla (matahari menghilangkan bayang-bayang itu).[1]
Kata nasakh juga berarti التحويل (pengalihan).Seperti pengalihan harta warisan
(تناسح الموارس).Maksudnya perpindahan harta warisan dari seseorang kepada
orang lain.
Kata nasakh juga berarti التبديل (mengganti atau menukar sesuatu
dengan yang lain) ini dapat kita lihat pada ayat yang berbunyi:
وَإِذَا
بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ
Dan jika Kami gantikan sebuah ayat dengan
ayat yang lain (QS.An-Nahl: 101).
Kata nasakh juga berarti النقلartinya menyalin,memindahkan atau mengutip apa yang
ada didalam buku,sebagai contoh:
نسحت الكتاب
Aku memindahkan atau mengutip isi buku
persis menurut kata dan penulisannya.Dalam al-Quran juga dijelaskan:
إِنَّا كُنَّا
نَسْتَنْسِخُ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُون
“sesungguhnya Kami menyuruh untuk menasakh
apa dahulu kalian kerjakan.’’(Al-Jatsiyah:29).Maksudnya,Kami(Allah) memindahkan
amal perbuatan ke dalam lembaran-lembaran catatan amal.[2]
Secara terminologi (istilah):Nasakh adalah pengahapusan
suatu hukum syara’ dan pengantiannya dengan hukum syara’ lain yang turun
sesudahnya.Ayat yang mengahapus ini kemudian diistilahkan dengan nama Nasikh,sedang
ayat yang terhapus diistilahkan sebagai Mansukh.[3]
Nasakh secara istilah juga dapat dikategorikan pada dua
kategori,yaitu kategori menurut ulama Mutaqaddimin (abad I hingga abad III) dan
ulama Mutaakhirin. Para ulama mutaqaddimin memperluas arti naskh sehingga
mencakup: (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang
ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang
bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang datang kemudian
terhadap hukum yang bersifat samar; (d) penetapan syarat terhadap hukum
terdahulu yangbelum bersyarat.
Bahkan ada diantara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan
hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah manjadi mansukh apabila
ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya
perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode mekkah disaat kamu
muslim, dianggap telah di naskh oleh perintah atau izin berperang pada periode
Madinah, sebagaimana ada yang beranggapan bahwa ketetapan hukum islam yang
membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-islam merupakan bagian dari
pengertian naskh.
Pengertian yang demikian luas tersebut lalu dipersempit oleh para
ulama’ mutaakhirin. Menurut mereka naskh terbatas pada ketentuan hukum yang
datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya
masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku
adalah yang ditetapkan terakhir.[4]
Sedangkan Mansukh
adalah hukum yang diangkat (الحكم
المرتفع ) atau yang
dihapuskan.Misalnya pada ayat yang menjelaskan tentang warisan (mawarits),yang
mengahapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau
kerabat,sebagaimana yang dijelaskan pada ayat ini.
“Allah mewasiatkan kepada kamu tentangpembagian pusaka untuk anak
kamu,bahwa bagi anak laki-laki mendapat harta pusaka dua kali lipat anak
perempuan….’’(QS.An-Nisa :11).
Ayat ini menasikhan hukum wasiat dari ibu dan bapak kepada anak mereka.
“Diwajibkan atasmu (umat Islam),’’Bila kematian telah dekat
kepada salah seorang kamu,bila dia meninggalkan harta,ialah agar berwasiat bagi
ibu bapa dan para karibnya dengan baik.Itu suatu kewajiban atas orang-orang
yang bertakwa’’.(QS.Al-Baqarah: 180).[5]
Bentuk-bentuk nasikh dan mansukh dalam
alqur’an
Naskh dalam alqur’an ada tiga macam:
Pertama, naskh
tilawah (bacaan) dan hukumnya. Misalnya apa yang di riwayatkan oleh muslim dan
yang lain, dari aisyah, ia berkata:
كان فيما أنزل عشر
رضعات معلومات يحرّمن فنسخن بخمس معلومات. فتوفّي رسول الله صلّى الله عليه وسلّم
(وهنّ ممّا يقرأ من القرآن)
“diantara
yang diturunkan kepada beliau adalah ‘sepuluh susuan yang maklum itu menyebabkan
muhrim’, kemudian (ketentuan) ini dinaskh oleh “lima susuan yang maklum’. Maka
ketika rasulullah wafat ‘lima susuan’ ini termasuk ayat qur’an yang dibaca.”
Kata-kata
aisyah, “lima susuan ini termasuk ayat al-qur’an yang dibaca,” pada lahirnya menunjukan
bahwa tilawahnya masih tetap. Tetapi tidak demikian halnya, karena ia terdapat
dalam mushaf utsmani. Kesimpulan demikian dijawab, bahwa yang dimaksud dengan
perkataan aisyah tersebut ialah ketika beliau menjelang wafat.
Yang jelas
ialah bahwa tilawahnya itu telah dinasakh (dihapuskan) tetapi penghapusan ini
tidak sampai kepada semua orang kecuali sesudah rasulullah wafat. Oleh karena
itu ketika beliau wafat, sebagian orang masih tetap membacanya.
Kedua, nasakh hukumnya saja, sedang tilawahnya tetap. Contoh dari naskh
ini adalah ayat iddah, sedangkan tilawahnya tetap. Mengenai naskh macam ini
banyak kitab-kitab karangan yang mana di dalamnya terdapat bermacam-macam ayat,
yang mana ayat-ayat tersebut setelah diteliti ternyata sedikit jumlahnya,
seperti yang dijelaskan oleh qadi abu bakr ibnul-arabi.
Dalam hal naskh ini mungkin timbul pertanyaan, apakah hikmah
penghapusan hukum sedang tilawahnya tetap?
Jawabanya ada dua segi:
1.
Qur’an,
disamping disamping dibaca untuk diketahui dan diamalkan hukumnya, juga dibaca
karena ia adalah kalamullah yang membacanya mendapatkan pahala. Maka
ditetapkanlah tilawah karena hikmah ini.
2.
Pada
umumnya naskh itu untuk meringankan. Maka ditetapkan tilawah untuk mengingatkan
akan nikmat dihapuskanya kesulitan (masyaqqoh).
Ketiga,
naskh tilawah, sedang hukumnya tetap. Seperti contoh ayat yang menerangkan
tentang rajam
الشيخ و الشيخة
اذا زنيا فارجموهما البتّة نكالا من الله والله عزيز حكيم
“orang
tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya
itu dengan pasti sebagai siksaan dari allah. Dan allah maha perkasa lagi maha
bijaksana”.
Sementara itu
sebagian ahli ilmu tidak mengakui naskh semacam ini, sebab khabarnya adalah
khabar ahad. Padahal tidak dibenarkan memastikan turunya al-qur’an dan naskhnya
dengan khabar ahad. Ibnul hassar menjelaskan, naskh itu sebenarnya kembali ke
nukilan (kutipan keterangan) yang jelas dari rasulullah , atau dari sahabat,
seperti perkataan “ayat ini menasakh ayat anu.” Naskh, jelasnya lebih lanjut ,
dapat ditetapkan pula ketika terdapat pertentangan pasti (tidak dapat
dipertemukan) serta diketahui sejarahnya, untuk mengetahui mana yang terdahulu
dan mana pula yang datang kemudian. Disamping itu, naskh tidak dapat didasarkan
pada pendapat para mufassir yang awam. Bahkan tidak pula pada ijtihad para
mujtahid, tanpa ada nukilan yang benar dan tanpa ada pertentangan pasti. Sebab
naskh mengandung arti penghapusan dan penetapan suatu hukum yang telah tetap
pada masa nabi. Jadi, yang menjadi pegangan dalam hal ini hanyalah nukilan dan
sejarah, bukan ra’y dan ijtihad. Lebih lanjut ia menjelaskan, manusia dalam hal
ini berada diantara dua sisi yang saling bertentangan. Ada yang berpendapat
bahwa khabar ahad yang di riwayatkan perawi adil tidak dapat diterima dalam hal
naskh. Dan ada pula yang menganggap enteng sehingga mencukupkan dengan pendapat
seorang mufassir atau mujtahid. Dan yang benar ialah kebalikan dari kedua
pendapat ini.
Mungkin akan
dikatakan, sesungguhnya ayat dan hukum yang ditunjukanya adalah dua hal yang
saling berkaitan, sebab ayat merupakan dalil bagi hukum. Dengan demikian, jika
ayat dinasakh maka secara otomatis hukumnya pun dinasakh pula. Jika tidak
demikian, hal tersebut akan menimbulkan kekaburan.
Pendapat
demikian dijawab, bahwa keterikatan antara ayat dengan hukum tersebut dapat
diterima jika syari’ (allah, rasul) tidak menegakkan dalil atas naskh tilawat
dan ketetapan hukumnya, tetapi jika syari’ telah menegakkan dalil bahwa suatu
tilawah telah dihapuskan sedang hukumnya tetap berlaku, maka keterkaitan itu
pun batil. Dan kekaburan pun akan sirna dengan dalil syar’i yang menunjukan
naskh tilawah sedang hukumnya tetap.[6]
Pembagian naskh
Naskh ada empat bagian:
Pertama, naskh qur’an dengan qur’an. Naskh ini disepakati kebolehanya serta
diyakini oleh mereka yang mempercayai adanya naskh. Misalnya, ayat yang
menjelaskan tentang idah empat bulan sepuluh hari.
Kedua, naskh qur’an dengan Sunnah. Naskh ini ada dua macam:
A.
Naskh
qur’an dengan hadits ahad. Jumhur berpendapat, qur’an tidak boleh dinasakh oleh
hadits ahad, sebab qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadits
ahad adalah dzanni (bersifat dugaan), disamping itu, tidak sah pula menghapus
sesuatu yang ma’lum (sudah diketahui) dengan sesuatu yang madznun (di duga).
B.
Naskh
qur’an dengan hadits mutawatir. Naskh demikian dibolehkan oleh malik, abu
hanifah dan ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah
wahyu. Allah berfirman:
وما
ينطق عن الهوى. ان هو الّا وحي يوحى
“dan
tidaklah yang diucapkanya itu (qur’an) menurut keinginanya. Tidak lain (qur’an
itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). “ (an-najm/53:4-5), dan firmanya
pula:
وانزلنا اليك
الذكرى لتبيّن للنّاس ما نزّل اليهم و لعلّهم
“……dan
kami turunkan az-zikr (qur’an ) kepadamu, agar engkau menerangkan kepaada
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka……” (an-nahl/16:44). Dan naskh
itu sendiri merupakan suatu penjelasan.
Dalam hal ini asy-syafi’I, ahli zahir dan ahmad dalam riwayatnya
yang lain menolak bentuk naskh ini, berdasarkan firman allah:
ما ننسخ من آية
أو ننسها نأت بخير منها أو مثلها......
“ayat
yang kami batalkan atau kami hilangkan dari ingatan, pasti kami ganti dengan
yang lebih baik atau yang sebanding denganya…..” (al-baqoroh/2:106). Sedangkan
dalam hal ini, hadits tidak lebih baik dari qur’an atau sebanding dengan qur’an
menurut mereka.
Ketiga, naskh Sunnah
dengan qur’an. Hal ini diperbolehkan oleh jumhur ulama. Sebagai contoh adalah
masalah menghadap baitul maqdis yang ditetapkan dalam Sunnah dan di dalam
al-qur’an tidak ada dalil yang menunjukkanya. Kemudian ketetapan itu dinasakh
oleh qur’an dalam firman allah ta’ala
فولّ وجهك شطر
المسجد الحرام
“….maka
hadapkanlah wajahmu ke arah masjidil haram….” (al-baqarah/2:144)
Tetapi naskh ini juga ditentang oleh syafi’I dalam salah satu
riwayat. Menurutnya, apa saja yang ditetapkan Sunnah tentu didukung oleh
qur’an, dan apa saja yang ditetapkan oleh qur’an tentu didukung oleh Sunnah.
Hal ini karena antara kitab (qur’an ) dengan Sunnah harus senantiasa sejalan
dan tidak boleh bertentangan.
Keempat, naskh Sunnah dengan Sunnah. Dalam kategori naskh ini terdapat
empat bentuk: 1) naskh mutawatir dengan mutawatir, 2) naskh ahad dengan ahad,
3) naskh ahad dengan mutawatir, dan 4) naskh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk
pertama diperbolehkan, sedang pada bentuk keempat terjadi silang pendapat
seperti halnya naskh al-qur’an dengan hadis ahad, yang tidak diperbolehkan oleh
para jumhur.
Adapun menasakh
ijma’ dengan ijma’ ataupun qiyas dengan qiyas, atau menasakh dengan keduanya,
maka menurut pendapat yang shahih maka hukumnya tidak diperbolehkan.[7]
Abd wahhab khallaf
menjelaskan bahwa tidak semua nash dalam al-qur’an atau hadits pada masa
rasulullah dapat di nasakh-kan. Berikut ini adalah ciri-ciri yang tidak dapat
dinasakh:
1.
Nash-nash
yang berisi hukum hukum pokok yang tidak berubah oleh perubahan keadaan manusia,
baik atau buruk, atau dalam situasi apapun. Misalnya kewajiban percaya kepada
allah, rasul, kitab sucinya, hari akhirat dan yang menyangkut dengan pokok
pokok akidah dan ibadah lainya. Demikian juga nash-nash yang menentukan
pokok-pokok keutamaan, seperti: menghormati orang tua, jujur, adil, menunaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya dan sebagainya. Demikian pula nash-nash
yang menunjukkan kepada pokok-pokok keburukan, seperti: syirik, membunuh orang
tanpa hak, durhaka kepada orang tua, dusta, aniaya, dan seterusnya.
2.
Nash-nash
yang mencakup hukum-hukum dalam bentuk yang dikuatkan atau ditentukan berlaku
selamanya. Misalnya tidak diterimanya persaksian penuduh zina (kasus li’an)
untuk selamanya. ولا تقبل لهم
شهادة ابدا
3.
Nash-nash
yang menunjukan kejadian atau berita yang telah terjadi pada masa lampau.
Misalnya berita bangsa tsamud, ‘Ad. Menasakh-kan yang demikian berarti
mendustakan berita tersebut.
Muhammad abu zahrat memberikan syarat-syarat nash-nash yang dapat
dinasikh yaitu:
1.
Hukum
yang di nasikh-kan tidak menunjukan berlaku abadi, sebagaimana telah disebukan
diatas.
2.
Hukum
yang dinasikh-kan bukan suatu hukum yang disepakati oleh akal sehat tentang
baiknya atau buruknya. Misalnya kejujuran (baik), aniaya (buruk) dan lain lain.
3.
Haruslah
ayat nasikhat datang setelah ayat mansukhat.
4.
Keadaan
kedua nash tersebut saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan satu sama
lain.[8]
Syaikh manna’
Khalil al qattan dalam bukunya juga menyebutkan beberapa syarat dalam nasikh
mansukh, diantaranya adalah:
1.
Hukum
yang dihapus adalah hukum syara;
2.
Dalil
penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian.
3.
Khitab
yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) denagn waktu
tertentu. Sebab jika tidak demikian makahukum akan berakhir dengan berakhirnya
waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan nasakh.[9]
Dari sini dapat kita ketahui betapa pentingnya pengetahuan mengenai
nasakh mansukh, terutama bagi para fuqaha’, mufassir, ahli usul, dan lainya.
Maka, bagaimana kita dapat mengetahui nasikh dan mansukh, disini ada beberapa
cara untuk mengetahui naskh dan mansukh, melalui beberapa cara berikut;
1)
Nasakh
yang shorih dari rasulullah SAW
2)
Keterangan
para sahabat
3)
Perlawanan
yang tidak dapat dikompromikan, serta mengetahui tarikh turunya ayat ayat itu.[10]
Hikmah adanya Nasakh Mansukh
Al-Maraghi
menyatakan bahwa nasakh dan mansukh itu ada hikmah-hikmahnya, beliau menegaskan
bahwa;
Hukum-hukum tidak akan diundangkan
kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat
perbedaan waktu dan tempat sehingga apabila ada hukum yang diundangkan pada
suatu waktu karena adanya kebutuhan yang mendesak kemudian kebutuhan
berakhir,maka hal itu merupakan suatu tindakan bijaksana apabila hukum yang
diundangkan tersebut di nasakh (dibatalkan) dan diganti dengan hukum yang
sesuai dengan waktu tersebut,sehingga dengan demikian hukum itu akan jadi lebih
baik dari hukum semula atau sama dari aspek manfaatnya untuk hamba-hamba Allah.
Adapun hikmah adanya Nasakh Mansukh yaitu:
1.
Memelihara
kemaslahatan hamba.
2.
Perkembangan
tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan
perkembangan kondisi umat manusia.
3.
Cobaan
dan ujian bagi seorang mukallaf apakah mengikutinya atau tidak.
4.
Menghendaki
kebaikan dan kemudaahan bagi umat.Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang
lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala,dan jika beralih ke hal
yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.[11]
5.
Agar
pengetahuan hukum tidak menjadi kacau dan kabur,sebagaimana perkataan Ali r.a
kepada seorang hakim:
التعرف الناسخ والمنسوح قال:لا,قال:هلكت و اهلكت
Diriwayatkan, Ali pada suatu hari melewati seseorang hakim lalu
bertanya: Apakah kamu mengetahui Nasakh dan Mansukh?,’’tidak’’ jawab hakim
itu,maka kata Ali ‘’celakalah kamu, dan kamu akan mencelakakan orang lain’’.[12]
Dari uraian diatas, telah dapat disimpulkan
apa sebenarnya yang dimaksud nasikh dan mansukh termasuk di dalamnya
syarat-syarat, pembagian nasikh mansukh, begitu juga hikmah yang terkandung
dengan adanya nasikh mansukh. Kemudian di bagian akhir ini terdapat beberapa
hal yang berkaitan dengan nasikh mansukh yang juga seyogyanya kita ketahui,
untuk memperkaya khazanah keilmuan. Berikut ini adalah beberapa hal yang masuk
dalam pembahasan nasakh mansukh:
1. Contoh-contoh Nasakh Mansukh
As suyuti menyebutkan dalam Al-Itqan sebanyak dua puluh satu ayat yang
dipandang sebagai ayat-ayat mansukh. Inilah beberapa contohnya:
1.Firman Allah:’’Dan kepunyaan Allah lah
yang dari timur dan barat,maka kemana kamu pun menghadap disitulah wajah Allah.’’(Al-Baqarah
2:115) dinasakh oleh ayat:’’Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.’’(Al-Baqarah:44).Ada
yang berpendapat inilah yang benar,bahwa ayat pertama tidak dinasakh
sebab ia berkenaan dengan sholat sunnah dalam perjalanan yang dilakukan di atas
kendaraan,juga dalam keadaan takut dan darurat.Dengan demikian,hukum ayat ini
tetap berlaku,sebagaimana yang dijelaskan dalam Ash-shahihain.Sedang
ayat kedua berkenaan dengan sholat fardhu lima waktu.Dan yang benar,ayat kedua
ini menasakh perintah menghadap baitul maqdis.
2.Firman Allah:’’Diwajibkan atas
kamu,apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda kem-atian),jika ia
meninggalkan harta,berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya…’’(Al-Baqarah
180).Dikatakan ayat ini mansukh oleh
ayat tentang kewarisan dan oleh hadist:
‘’Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang
mempunyai hak akan haknya,maka tidak ada wasiat bagi orang waris’’.(HR.Abu
Dawud dan At-Tirmidzi).
3.Firman Allah:’’Dan wajib bagi mereka
yang kuat menjalankan puasa (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah…’’(Al-Baqarah:184).Ayat
ini dinasakh oleh:
‘’Maka barangsiapa yang menyaksikan bulan Ramadhan,hendaklah ia
berpuasa….’’(Al-Baqarah:185).Hal ini berdasarkan keterangan dalam Ash-Shahihain,berasal
dari Salamah bin Al-Akwa’,’’ketika turun ayat ini,maka orang yang ingin tidak
berpuasa ia membayar fidyah,sehingga turun ayat sesudahnya yang menasakhnya.’’
4.Firman Allah:’’Dan orang-orang yang
akan meninggal dunia diantara kamu dan meninggalkan istri,hendaklah berwasiat
untuk istri-istrinya,(yaitu)di beri nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak
disuruh keluar (dari rumahnya)…(Al-Baqarah:240).Ayat ini dinasakh oleh:
‘’Dan orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan
meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya
(beriddah) empat bulan sepuluh hari.’’(Al-Baqarah:234).
5.Firman Allah:’’Jika kamu melahirkan
apa yang ada didalam hatimu atau kamu menyembunyikannya,niscaya Allah akan
membuat perhitungan,dengan kamu tentang perbuatan itu…(Al-Baqarah:284).Ayat
ini dinasakh oleh firman-Nya,’’Allah tidak membebani seorang yang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya.(Al-Baqarah:286).[13]
2. Ruang lingkup nasakh
Ruang lingkup nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang
diungkapkan dengan tegas dan jelas, maupun yang diungkapkan dengan kalimat
berita (khabar) yang bermakna amar (perintah) atau nahy (larangan), jika hal
tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, yang berfokus kepada zat
allah, sifat-sifatnya, kitab-kitabnya, para rasulnya dan hari kemudian, serta
tidak berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan
muamalah. Hal ini karena semua syari’at ilahi tiak lepas dari pokok-pokok
tersebut. dan naskh juga tidak terdapat dalam kalimat khabar yang tidak
bermakna thalab (tuntutan:perintah/larangan), seperti janji (al-wa’d) dan
ancaman (al-wa’id). Lantas mengapa yang berkaitan dengan akidah, dasar-dasar
akhlak dan etika, pokok-pokok ibadah dan muamalat dan berita makhdoh tidak
mengalami nasakh? Karena syari’at ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut
dalam prinsip ini semua syari’at sama yaitu tidak mengalami nasakh. Jelaslah
dari keterangan diatas bahwa yang mengalami nasakh itu hanya pada hal-hal yang
bersifat furu’ ibadah dan furu’ mu’amalah saja.[14]
3. Surat dalam al-qur’an ditinjau dari nasikh
dan mansukh
a. Surat yang di dalamnya tidak terdapat
nasikh dan mansukh, termasuk dalam golongan ini ada 43 surat, yaitu: alfatihah,
yusuf, yaasin, hujuraat, ar-rohman, al hadid, as shof, al jum’ah, at tahrim, al
mulk, al haqqoh, nuh, al jinn, al mursalat, an naba’, an nazi’at, al infithor
dan 3 surat sesudahnya, al fajr dan surat sesudahnya sampai terakhir kecuali at
tin, al asr, dan al kafirun.
b. Surat yang di dalamnya terdapat nasikh dan
mansukh, termasuk dalam golongan ini ada 25 surat, yaitu: al baqarah, dan 3
surat sesudahnya, al hajj, an nur, al ahzab, saba’, al mu’minun, as syuaro, ad
dzariyat, at thuur, al waqiah, al mujadalah, al muzammil, al mudatsir, alkautsar,
dan al asr.
c. Surat yang di dalamnya hanya terdapat
nasikh, termasuk dalam golongan ini ada 6 surat, yaitu: al fath, al hasyr,
al munafiqun, at taghobun, at tholaq, dan al a’la
d. Surat yang di dalamnya hanya terdapat
mansukh, termasuk dalam golongan ini adalah 40 surat yang tidak tercantum dalam
ketiga kategori diatas.[15]
4. Pendapat-pendapat mengenai nasakh mansukh
Dalam masalah nasakh, para ulama membagike
dalam empat golongan, yaitu:
1. Golongan orang yahudi. Mereka tidak
mengakui adanya naskh, karena menurutnya, dalam nasakh mengandung konsep bada’
(arab), yakni tampak jelas setelah kabur. Yang dimaksud adalah, nasakh itu
adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi allah. Dan adakalanya karena
sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak Nampak. Ini berarti terdapat suatu
kejelasan yang di dahului oleh ketidak jelasan. Dan hal ini juga mustahil bagi
allah.
Cara berdalil mereka ini tidak dapat
dibenarkan, sebab masing-masing hikmah nasikh dan mansukh telah diketahui allah
lebih dahulu. Jadi pengetahuanya tentang hikmah tersebut bukan hal yang baru
muncul. Ia membawa hamba hambanya dari satu hukum ke hukum yang lain adalah
karena suatu maslahat yang telah diketahuinya jauh sebelum itu, sesuai dengan
hikmah dan kekuasaan-Nya yang absolut terhadap segala miliknya.
2. Orang syi’ah rafidah. Mereka sangat
berlebihan dalam menetpkan nasakh dan meluaskanya. Mereka memandang konsep
al-bada’ merupakan sesuatu yang mungkin terjadi bagi allah. Dengan demikian, maka
posisi mereka sangat kontradiksi dengan orang yahudi. Untuk mendukung
pendapatnya itu, mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka
nisbahkan kepada Ali R. A secara dusta dan palsu. Juga dengan firman allah;
يمحو الله ما
يشاَء و يثبت......................
“allah
menghapus dan menetapkan apa yang dia kehendaki…..” (ar-ra’d/13:39), dengan
pengertian bahwa allah siap untuk menghapuskan dan menetapkan.
Paham demikian merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan
terhadap al-qur’an. Sebab makna ayat tersebut adalah: allah menghapuskan
sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika
penetapanya mengandung maslahat. Disamping itu, penghapusan dan penetapan
terjadi dalam banyak hal, misalnya menghapuskan keburukan dengan kebaikan.
3.
Abu
muslim al-asfahani. Menurutnya, secara logika nasakh dapat saja terjadi, tetapi
tidak mungkin terjadi menurut syara’. Dikatakan pula bahwa ia menolak
sepenuhnya terjadi nasakh dalam alqur’an berdasarkan fieman allah surat
fussilat/41:42, dengan pengertian bahwa hukum-hukum qur’an tidak akan
dibatalkan untuk selamanya, dan mengenai ayat ayat tentang nasakh semuanya ia
takhsiskan.
Adapun pendapat abu muslim ini tidak dapat diterima, karena makna
ayat tersebut ialah, bahwa qur’an tidak didahului oleh kitab-kitab yang
membatalkanya dan tidak datang pula sesudahny sesuatu yang membatalkanya.
4.
Jumhur
ulama’. Mereka berpendapat bahwa naskh adalah suatu hal yang dapat diterima
akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:
a.
Perbuatan-perbuatan
alah tidak bergantung pada alasan dan tujuan, ia boleh saja memerintahkan
sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya
dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hambanya.
b.
Nash-nash
kitab dan Sunnah menunjukkan kebolehan naskh dan terjadinya nasakh, seperti
firman allah
وإذا بدّلنا آية
مكان آية.........................
“dan
apabila kami mengganti suatu ayat dengan ayat yang lain……”
ما ننسخ من آية
أو ننسها نأت بخير منها أو مثلها......
“ayat
yang kami batalkan atau kami hilangkan dari ingatan, pasti kami ganti dengan
yang lebih bik atau yang sebanding denganya…..”(al-baqarah/2: 106).[16]
KESIMPULAN
Pertama,demi
mempermudah kemaslahatan hambanya allah telah menghapus sebagian hukum dalam
alqur’an yang mana hukum yang dihapus disebut dengan mansukh, dan hukum yang
menghapus disebut nasikh.
Kedua, pada umumnya
para ulama’ membagi nasakh mansukh menjadi empat bagian, yaitu; 1) nasakh
qur’an dengan qur’an, 2) nasakh Sunnah dengan Sunnah, 3) nasakh qur’an dengan
Sunnah, dan yang ke 4) nasakh Sunnah dengan qur’an. Adapun nasakh ijma’ dengan
ijma’ atau qiyas dengan qiya maka tidak diperbolehkan.
Ketiga, hikmah naskah
secara umum diantaranya adalah;1. Memelihara kemaslahatan hamba, 2. Perkembangan
tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan
perkembangan kondisi umat manusia, 3. Cobaan dan ujian bagi seorang mukallaf
apakah mengikutinya atau tidak, 4. Menghendaki kebaikan dan kemudaahan bagi
umat.Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya
terdapat tambahan pahala,dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia
mengandung kemudahan dan keringanan, 5. Agar pengetahuan hukum tidak menjadi
kacau dan kabur.
Keempat, dalam nasikh
mansukh, terdapat beberapa syarat diantaranya;
1.
Hukum
yang dihapus adalah hukum syara;
2.
Dalil
penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian.
3.
Khitab
yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu
tertentu.
Selain itu, ruang lingkup nasikh mansukh hanya terdapat pada ayat
ayat yang menjelaskan tentang hukum syari’at yang berkenaan dengan amar
(perintah), nahy (larangan) serta kalimat yang mengandung makna tholab
(perintah), dan hanya terjadi pada hukum furu’, bukan hukum asal.
Kelima, dalam alqur’an
ditinjau dari adanya nasikh mansukh, maka surat di dalam alqur’an terbagi
menjadi empat bagian; 1) surat yang didalamnya terdapat nasikh dan mansukh, 2)
surat yang di dalamnya tidak terdapat nasikh dan mansukh, 3) surat yang di
dalamnya hanya terdapat nasikh, dan 4) surat yang di dalamnya hanya terdapat
mansukh.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Fauzan, “paradigma nasikh
dan mansukh dalam penafsiran al-qur’an”, Jurnal ilmu Bahasa arab dan studi
islam, Vol:2, No:1 (Jawa Tengah, Juni 2014) 57
Ahmad
Haris, “nasakh dan mansukh dalam alqur’an”,TAJDID Vol. XIII (jambi,
Januari-Juni 2014) 208
Anwar,
Abu. 2005. Ulumul qur’an sebuah pengantar. Jakarta:amza
Baidan,
Nashruddin. 2005. Wawasan baru ilmu tafsir. Jakarta:pustaka pelajar
Madyan,
Ahmad Syams, 2008, Peta pembelajaran alqur’an, Jakarta:pustaka pelajar
Muhammad,
1986, zubdatul itqon fi ulumil qur’an, Jeddah:daar syuruq
Qattan,
Manna’ Khalil, 2008, studi ilmu ilmu qur’an, Jakarta:pustaka pelajar
Qattan,
Manna’, 2008, pengantar studi ilmu qur’an, edisi ke 2, diterjemahkan
oleh aunur rofiq el mazni, Jakarta:pustaka al kautsar
Shihab,
Quraisy, 1992, membumikan alqur’an, Bandung:mizan
Syadali,
Ahmad dan Rofi’I, 2000, ulumul qur’an I, Bandung:CV. Pustaka setia
Catatan:
1.
Abstrak masih belum sesuai dengan kriteria penulisan abstrak.
2.
Tolong pendahuluan lebih diperbaiki, sebab masih belum bisa mengantarkan pada
materi pembahasan Anda.
3.
Perujukan masih belum maksimal.
4.
Penulisan footnote masih salah.
5.
Makalah ini belum sesuai dengan artikel yang menjadi rujukan, dan terlihat tidak
rapi.
6.
Tolong dipahami masalah kapan suatu kata ditulisa kapital atau tidak, misalnya
judul buku ditulis kapital di awal huruf, kecuali beberapa kata tertentu.
7.
Tolong makalah Anda dibuat sistematis, sebab belum sistematis. Ingat, menulis
itu bukan hanya pindah data, tetapi bagaimana membuat pembaca enak membaca dan paham
apa yang kita tuliskan.
[1] Abu Anwar,Ulumul Quran Sebuah Pengantar (Jakarta:Amzah,2005) Hlm.49
[2] Manna’ Al Qhathan. Pengantar studi ilmu al-qur’an, terj
Aunur Rofiq El Mazni (Jakarta:pustaka al-kautar, 2008) Hlm. 285
[3] Ahmad Shams Madyan,Peta Pembelajaran al-Qur’an
(Jakarta:Pustaka Pelajar,2008),hlm.193.
[4] Quraish Syihab. Membumikan al-qur’an (Bandung:Mizan, 1992)
Hal:144
[5] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’I,Ulumul Qur’an I, (
Bandung:CV.Pustaka Setia,2000) Hlm. 158-159
[6] Manna’ Khalil Qattan. Studi ilmu-ilmu qur’an. Hal:337
[7] Manna’ Khalil Qattan. studi ilmu-ilmu qur’an. hal:335
[8] Nashruddin Baidan. wawasan baru ilmu tafsir (Yogyakarta: Pustaka
pelajar,2005) Hal: 174-175
[9] Manna’ Khalil Qattan. studi ilmu-ilmu qur’an. hal:328
[10] Ahmad Fauzan, “paradigma nasikh dan mansukh dalam penafsiran
al-qur’an”, Jurnal ilmu Bahasa arab dan studi islam, Vol:2, No:1 (Jawa Tengah,
Juni 2014) 57
[11] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,terj.Aunur
Rafiq El-Mazni.(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2008),hlm. 296.
[12] Abu Anwar,Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar,hlm.52
[13] Syaikh Manna’ Al-Qathathan,Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,hlm.300-302
[14] Ahmad Haris, “nasakh dan mansukh dalam alqur’an”,TAJDID Vol. XIII
(jambi, Januari-Juni 2014) 208
[15]جدة:دار الشروق,1986) ص:100-101محمّد بن علوي المالكي الحسني. زبدة
الإتقان في علوم القرآن (
[16] Manna’ Khalil Qattan. Studi ilmu-ilmu qur’an. Hal: 331-334
Tidak ada komentar:
Posting Komentar