INTEGRASI
ILMU SOSIAL DAN AL-QUR’AN
(Ilmu
Sosial Profetik Kuntowijoyo)
Laili
Rahmah Ramadhani dan Zumrotun Nafisah
Mahasiswa
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas E Angkatan 2015
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: Lailirahmah55@gmail.com
Abstrak
Makalah ini mendiskusikan
tentang posisi ilmu sosial dan integrasinya dengan Al-Qur’an hadits.Mulai dari pengertian
ilmu sosial, Al-Qur’an hadis, serta integrasi keduanya.Pembahasannya mencakup
Ilmu sosial mengadopsi Al-qur’an Hadist dan ilmu sosial dipergunakan untuk
memahami Al-qur’an, Serta akan membahas biografi kuntowijoyo yang mana beliau adalah
pelopor ilmu sosial profetik yang mana akan membawa kehidupan manusia menjadi lebih
baik dengan tiga pilar yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi yang sesuai
dengan QS.Ali Imran ayat 110, dengan demikian ilmu social profetik kita juga akan
melakukan orientasi terhadap epistimologi, yaitu reorientasi terhadap cara berfikir,
bahwa sumber ilmu pengetahuan itu tidak hanya dari rasio dan empiris, tapi juga
dari wahyu.
This paper
discusses the position of social science and its integration with the Qur'an
hadith. Starting from an understanding of the social sciences, the Qur'an
traditions, as well as the integration of both. Discussion include social
sciences adopt the Qur'an and Hadith social science used to understand the
Qur'an, as well as to discuss the biography Kuntowijoyo which he was a pioneer
of prophetic social science which will bring people's lives for the better with
the three pillars, namely the humanization , liberation, and transcendence in
accordance with QS.Ali Imran verse 110, thus prophetic social science we will
also conduct an orientation towards epistimologi, the reorientation of the way
of thinking, that the source of that knowledge not only of reason and empirical,
but also of revelation.
Keywords:
integration, social sciences, Qur'an, Hadith, prophetic
Pendahuluan
Allah secara tegas menggambarkan bahwa tuhan tidak menciptakan
manusia dalam satu kesamaan. Dengan adanya perbedaaan antara satu dengan
lainnya, justru saling melengkapi. Sekiranya manusia diciptakan sama dalam hal
kecakapan, kecenderungan, kekayaan, atau lainnya, maka setiap orang akan
memiliki kualitas yang sama. Akibatnya, orang tidak akan saling memerlukan
sehingga kerja sama pun tidak mungkin terjadi.
Ayat-ayat Al-Quran juga menjelaskan
bahwa bangsa dan masyarakat (bukan hanya individu yang hidup dalam masyarakat)
mempunyai hukum-hukum dan prinsip-prinsip bersama yang menentukan keteguhan dan
kejatuhannya sesuai proses-proses sejarah tertentu pula.
Sementara itu, perdebatan di
kalangan Islam masih berkisar pada tingkat semantik (pemaknaan kata). Mereka
dengan latar belakang tradisi ilmu keislaman, konvensional mengartikan teologi
sebagai ilmu kalam, yaitu suatu disiplin yang mempelajari ilmu
ketuhanan, bersifat abstrak normatif, dan skolastik. Sementara itu bagi mereka
yang terlatih dalam tradisi barat, seperti cendikiawan Muslim yang tidak
mempelajari Islam dari studi-studi formal, lebih melihat teologi sebagai
penafsiran terhadap realitas dalam perspektif ketuhanan, jadi lebih merupakan
refleksi-releksi empiris.Dari kalangan pertama lebih menekankan pada kajian
ulang mengenai ajaran-ajaran normativedalam berbagai karya kalam klasik.
Sedangkan kalangan yang kedua, cenderung menekankan perlunya reorientasi
pemahaman keagamaan pada realitas kekinian yang empiris.
Pembahasan
Posisi Ilmu Sosial dan Al-Quran
Sesuai petunjuk umat Islam meyakini bahwa Muhammad adalah nabi
terakhir. Sebagai nabi terakhir, Muhammad diutus untuk seluruh ummat manusia.
Muhammad adalah manusia yang berakhlaq mulia dan agung. Oleh karena itu, ia
patut dijadikan panutan. Sebagai bukti kerasulan, Muhammad memperoleh wahyudari
Allah SWT. Kumpulankitab wahyu ini dikenal dengan nama Al-Quran. Al-Quran ini
diterima oleh Nabi Muhammad secara berangsur-angsur sejak Agustus 610 Masehi
dan berakhir Maret 632 Masehi. Setidaknya ada 9 ayat yang menjelaskan secara
tegas bahwa Al-Quran itu diturunkan dalam bahasa arab. Walau Nabi Muhammad di
lahirkan di negeri Arab dan bahasa kitab yang dibawanya juga berbahasa arab
tetapi misi kerasulannya adalah bagi ummat semesta.[1]
Al-Quran memang bukan buku sejarah yang secara sistematis membahas
keadaan masyarakat masa lampau namun sebagai bukti petunjuk yang didalamnya
didapati hukum-hukum perubahan masyarakat (sosial). Yang berlaku sepanjang
sejarah manusia. Oleh karena itu, didalamnya didapati ayat-ayat yang berisi
perintah agar manusia memperhatikan sejarah ummat terdahulu. Disamping itu,
fungsi utama Al-Quran, untuk melakukan perubahan-perubahan yang bersifat
positif (litukhrija alnas min al-zhulumat ila al-nur). Dari keterangan
ini diperoleh pemahaman bahwa Al-quran mengajarkan kepada para pembacanya untuk
bercermin dengan masyarakat masa lalu untuk dipergunakan panduan bagi hidup
masa kini dan masa datang.[2]
Kedudukan As-Sunnah
Jumhur Ulama menyatakan bahwa As-Sunnah menempati urutan yang kedua
setelah Al-Quran. Untuk hal ini al-Suyuti dan al-qasimi mengemukakan
argumentasi rasional dan argumentasi
tekstual. Diantara argumentasi itu adalah sebagai berikut:
a.
Al-quran
bersifat qath’i al-wurud, sedangkan Al-Sunnah bersifat zhanni al-wurud.
Karena itu yang qath’i harus didahulukan daripada yang dzanni.
b.
As-Sunnah
berfungsi sebagai penjabaran Al-quran. Ini harus diartikan bahwa yang
menjelaskan bukan setingkat dibawah yang dijelaskan.
c.
Ada
beberapa hadis dan atsar yang menjelaskan urutan dan kedudukan As-Sunnah
setelah Al-Quran. Diantaranya dialog rasulullah dengan Muas bin Jabbal. Yang
akan diutus kenegeri Yaman sebagai Qadli. Nabi bertanya : “ Dengan apa kau
putuskan suatu perkara?” Muas menjawab, :” Dengan kitab Allah”. Jika tidak ada
nash nya, maka dengan sunnah rasul dan jika tidak ada ketentuannya dengan
sunnah maka dengan berijtihad.
d.
Al-Quran
sebagai wahyu dari sang pencipta, Allah swt, sedang hadis berasal dari hamba
dan utusannya, maka selayaknya bahwa yang berasal dari sang pencipta lebih
tinggi kedudukannya daripda yang berasal dari hamba utusan-Nya. Selanjutnya ada
beberapa ayat Al-quran dan hadis yang menyatakan bahwa kedudukan As-Sunnah
sebagai sumber kedua setelah Al-quran dalam ajaran Islam.
Surat An-Nisa ayat 59 menyatakan:
يا
ايها الدين امنوااطيعواالله واطعوا الرسول واولي ا لامر منكم فان تنا زعتم في شيءفردوه
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu”.
Selanjutnya dalam hadist nabi ditegaskan:
تركت فيكم امرين
ما ان تمسكتم بهما لن تضلوا ابد ا كتا ب الله وسنة رسوله (رواه ا بوداود)
“ Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara atau pusaka, selama
kalian berpegang kepada keduanya, kalian tidak akan sesat, kitabullah (Qur’an)
dan sunnah rasul-Nya”. (HR Abu Daud).[3]
Integrasi Al-Quran dengan Ilmu Sosial
Al-Quran memberikan gambaran bahwa
manusia diciptakan tuhan tidak dalam arti sama dalam segala-galanya. Manusia
diciptakan dengan jenis kelamin yang berbeda, tempat tinggal, dan etnis yang
berbeda pula. Dari adanya perbedaan ini mereka diperintahkan saling mengenal.
Akan tetapi, tuhan pun memberikan peringatan bahwa yang terbaik adalah mereka
yang mampu memelihara diri (bertaqwa).
Allah secara tegas menggambarkan
bahwa tuhan tidak menciptakan manusia dalam satu kesamaan. Dengan adanya
perbedaaan antara satu dengan lainnya, justru saling melengkapi. Sekiranya
manusia diciptakan sama dalam hal kecakapan, kecenderungan, kekayaan, atau
lainnya, maka setiap orang akan memiliki kualitas yang sama. Akibatnya, orang
tidak akan saling memerlukan sehingga kerja sama pun tidak mungkin terjadi.[4]
Ayat-ayat Al-Quran
juga menjelaskan bahwa bangsa dan masyarakat (bukan hanya individu yang hidup
dalam masyarakat) mempunyai hukum-hukum dan prinsip-prinsip bersama yang
menentukan keteguhan dan kejatuhannya sesuai proses-proses sejarah tertentu
pula.
Al-Quran antara lain menjelaskan
sebab kehancuran Bani Israel. Dalam ayat ini Tuhan menjelaskan bahwa kaum Bani
Israel[5]
akan berbuat kerusakan sebanyak dua kali dan akan menjadi tiran-tiran besar.
Ketika hukuman dari kejahatan pertama datang, Tuhan mendatangkan musuh yang
lebih kuat. Akan tetapi setelah Bani Israel menyesali dosa-dosanya, kembali
menjadi orang baik, Tuhan memberi giliran kepada mereka untuk mengalahkan pihak
lainnya. Pada hukuman dari kejahatan kedua, Tuhan pun mendatangkan kelompok
lain yang akan menindasnya. Tuhan, dalam ayat ini mengingatkan kepada
sekumpulan orang (masyarakat), bukan individu tertentu. Selain itu, ayat ini
juga memberikan gambaran bahwa masyarakat dikuasai hukumnya sendiri.
Sejarah bangsa Arab kuno seperti
kaum Ad, Samud, Madyan, dan Saba’ banyak disebut dalam Al-Quran. Terhadap
kaum-kaum ini, agaknya Tuhan memberikan perintah khusus kepada masyarakat
(terutama kaum muslimin) agar memperhatikan sebab-sebab kepunahannya. Sebelum
punah, keempat kaum ini pernah mengalami kejawaan. Kaum Ad dan kaum Samud
dikenal sebagai ahli dibidang arsitektur dan pertanian. Selain itu, kaum Samud
juga dikenal sebagai ahli dibidang pertanian, seperti halnya dengan kaum Saba’.
Adapun kaum Madyan dikenal sebagai kaum pedagang.keempat kaum yang pernah jawa
tersebut akhirnya mengalami kehancuran. Secara lafzhi, kehancuran kaum Ad
digambarkan sebagai ditimpa oleh sesuatu yang luar biasa, yakni berupa angin
topan dan hujan terus-menerus selama tujuh malam delapan hari sehingga mereka
mati bergelimpangan di rumah masing-masing. Senada dengan kaum Ad, kaum samud
juga hancur ditimpa suara yang luar biasa dahsyat. Adapun kehancuran kaum saba’
ditimpa banjir bandang.
Yang menjadi tekanan Al-Quran
terhadapa perubahan keempat masayarakat/kaum di atas bukan pada bentuk alat
penghancuran (seperti disambar petir, gempa, banjir, atau kalah perang)
melainkan[6]
pada faktor penyebab masyarakat tersebut dihancurkan. Kalau diperhatikan secara
seksama, ayat-ayat yang menggambarkan faktor penyebab dihancurkannya keempat
kaum tersebut berada pada faktor keyakinan (aqidah) dan akhlaq.
Kaum Ad dijelaskan oleh al-Qur’an
sebagai kaum yang pamer kekuatan, bengis, kejam. Mereka menuruti perintah
penguasa yang zhalim, bertindak sewenang-wenang dan menentang kebenaran. Mereka
juga tidak percaya kepada AllahSWT dan mendustakan Rasul.
Kaum Samud menonjol di bidang rakus
harta sehingga tak mau memberi kesempatan unta Nabi Shalih untuk minum dan
bahkan membunuhnya. Mereka juga beragama sebagaimana agama nenek-moyangnya,
mendustakan kenbenaran yang dibawa Rasulullah dan mengikuti perintah penguasa
yang zhalim.
Kaum Madyan digambarkan oleh Tuhan
sebagai kaum yang suka berbuat kerusakan, mengurangi takaran dan timbangan,
mengurangi hak-hak orang lain, dan mendustakan dan mengesampingkan nasehat Nabi
Syu’aib. Kaum saba’, di samping melupakan Tuhan Pencipta, mereka justru
mempertuhan matahari. Selain itu, akibat kemakmuran tanah airnya mereka menjadi
malas dan lupa daratan.
Atas dasar untaian di atas dapat di
ambil pemahaman bahwa faktor penyebab dihancurkannya keempat kaum tersebut
secara umum memilki kesamaan prinsip, yakni mereka sama-sama tidak
mempertuhankan Allah Yang Maha Esa, mendustakan dan menolak dakwah Rasul,
berbuat dzalim, kemalasan, menggunakan harta secara tidak tepat, dan berbagai
jenis akhlaq buruk lainnya. Faktor-faktor inila agaknya yang menjadi hukum
perubahan sosial yang universal seperti yang dapat ditangkap dari isyarat
ayat-ayat Al-Qur’an.[7]
Integrasi Hadist dengan Ilmu Sosial
Dua ilmu yang
berbeda pada dasarnya tidak untuk dipisahkan satu dengan yang lain. Sikap yang
ideal terhadap keduanya adalah dengan mendialogkan, mempertemukan, dan
mensintesiskan agar ditemukan pemikiran-pemikiran baru yang solutif atas
beragam permasalahan. Integrasi ilmu-ilmu sosial dan hadis merupakan salah satu
upaya untuk sampai pada tujuan mulia tersebut. Dalam proses integrasi ini,
hadis didudukkan sebagai objek material yang didekati dengan objek formal
berupa berbagai macam ilmu sosial yang ada. Melalui bantuan ilmu-ilmu sosial
tersebut diharapkan mampu melahirkan makna-makna kontekstual.[8]
Sebagai contoh,
toleransi antar umat beragama yang merupakan hal yang sangat penting untuk
selalu yang kita bina dan kita lestarikan, karena dengan saling bertoleransi
antar sesama dalam kehidupan ini kan tercipta kedamaian karena dengan saling
bertoleransi antar sesama dalam kehidupan ini akan tercipta kedamaian dan
keharmonisan tanpa adanya rasa permusuhan dan saling mencurigai. Bahkan
Rasulullah sendiri pun telah memberi contoh kepada kita semua. Dimana pada masa
hidup rasulullah toleransi antar umat beragama itu beliau gambarkan dalam
hubungan jual beli dan saling memberi dengan non muslim. Sebagaimana
diterangkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab
Al-Maghozi hadist nomor 4467:
فعن
عا ئشة رضي ا لله عنها قا لت : تو في ا لنبى صلى ا لله عليه و سلم ودر عه
مر هو عند يهودي بثلا ثين يعني :صا عا من شعير (كتا ب المغا زي رقم
الحديث)
Artinya:“Dari Aisyah R.A. Dia berkata: nabi telah wafat dangkan
baju besinya telah diberikan kepada seorang Yahudi sebagai gadai dengan 30 sha’
gandum.(kitab Al-Maghozi, hadist nomor 4467).”[9]
Biografi
kuntowijoyo
Sosok
sejarawan terkemuka juga dikenal sebagai sastrawan dan budayawan yang lahir di
Yogyakarta, 18 september 1943, baik sebelum atau sesudah mengalami sakit yang
cukup lama, memang seperti menyimpan misteri. Doctor ilmu sejarah dari universitas
Columbia ini begitu konsisten dalam melahirkan karya-karya berbobot. Juga kepiawaiannya
dalam memanfaatkan dua medium ungkap sastra (puisi, cerpen, drama, novel) dan nonsastra
(esai-esai dalam bidang sejarah, budaya, politik) senantiasa membuat iri cendikiawan
lain.[10]Kunto membingkai pendekatannya dengan paradigm ilmu –ilmu sosial profetik, dengan
sentuhan yang, seperti
dikatakannya
sendiri,”berpijak
pada
kenyataan –kenyataan
sejarah, kekinian, dan
kedisinian”.Sekalipun
sedikit
banyak
analisisnya
memanfaatkan
postulat
dan
teori- teori
ilmu sosial barat, keberpihakannya
pada
paradigma al-quran yang
diyakininya sangatlah jelas.[11]
Karya-karya
Kuntowijoyo
Beberapa karya
Kuntowijoyo seperti:
1. Dinamika
Sejarah Umat Islam (1985)
2. Budaya
dan Masyarakat (1987)
3. Paradigma
Islam; Intepretasi untuk Aksi (1991)
4. Demokrasi
dan Budaya Birokrasi (1994)[12]
Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo
Perdebatan di kalangan Islam masih berkisar
pada tingkat semantik (pemaknaan kata). Mereka dengan latar belakang tradisi
ilmu keislaman, konvensional mengartikan teologi sebagai ilmu kalam, yaitu
suatu disiplin yang mempelajari ilmu ketuhanan, bersifat abstrak normatif, dan
skolastik. Sementara itu bagi mereka yang terlatih dalam tradisi barat, seperti
cendikiawan Muslim yang tidak mempelajari Islam dari studi-studi formal, lebih
melihat teologi sebagai penafsiran terhadap realitas dalam perspektif ketuhanan,
jadi lebih merupakan refleksi-releksi empiris.Dari kalangan pertama lebih
menekankan pada kajian ulang mengenai ajaran-ajaran normativedalam berbagai
karya kalam klasik. Sedangkan kalangan yang kedua, cenderung menekankan
perlunya reorientasi pemahaman keagamaan pada realitas kekinian yang empiris.[13]
Seperti disebutkan
diatas, dikalangan umat Islam konsep tentang teologi dipahami dengan persepsi
yang berbeda-beda. Sebagian besarmengartikan konsep tersebut sebagai
suatu cabang khazanah ilmu pengetahuan keislaman yang membahas doktrin tentang
ketuhanan, tentang tauhid. Itu sebabnya, mereka menganggap gagasan
mengenai pembaharuan teologi sebagai gagasan yang membingungkan dan aneh,
karena hal itu berarti mengubah doktrinsentral Islam mengenai keesaan Tuhan.
Mereka menganggap masalah teologis di dalam islam sudah selesai, dan oleh
karenanya tidak perlu diutik-utik apalagi dirombak.
Disinilah titik-tolak kesalahpahaman terjadi. Para pengajur
pembaharuan teologi jelas tidak bermaksud seperti itu. Apa yang mereka tawarkan
bukan rekomendasi untuk mengubah doktrin, tapi mengubah interpretasi
terhadapnya. Jadi, tidak seperti yang dituduhkan oleh kalangan pertama, mereka
hanya menginginkan agar ajaran agama diberi tafsir baru dalam rangka memahami
realistis.[14]
Tapi agaknya orang belum cukup terjelaskan dengan keterangan ini
sehigga perdebatan dan salah paham masih terus terjadi. Oleh karena itu, harus
ada cara lain untuk menjembatani perdebatan tersebut. Yaitu, dengan menghindari
istilah teologi, karena di samping akan membingungkan, istilah tersebut
tampaknya kurang begitu cocok dengan apa yang sesungguhnya kita kehendaki.
Dengan mengganti istilah “teologi” ke “ilmu sosial”, akan menegaskan sifat dan
maksud dari gagasan Teologi Transformatif yang dikemukakan Moeslim Abdurrahman.
Jika gagasan pembaharuan teologi adalah agar agama diberi tafsir baru dalam
rangka memahami realitas, maka metode yang efektif untuk maksud tersebut adalah
mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk suatu teori sosial.[15]
Itu sebabnya muncul gagasan tentang Ilmu Sosial Transformatif yang
tidak seperti ilmu-ilmu sosial akademis maupun ilmu-ilmu sosial kritis, tidak
berhenti hanya untuk menjelaskan fenomena sosial, namun juga berupaya untuk
mentransformasikannya. Namun timbul persoalan, untuk apa, oleh siapa
transformasi tersebut dilakukan. Dalam hal ini dibutuhkan ilmu-ilmu sosial
profetik untuk menjelaskannya. Ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu yang tidak
hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga memberi petunjuk ke
arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa.[16]
Oleh karena
itulah, ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tapi[17]mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu.Dalam pengertian
ini maka ilmu sosial profetik secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita
–cita perubahan yang diidamkan masyarakatnya bagi kita itu berarti perubahan
yang didasarkan pada cita –cita humanisasi/emnsipasi, liberasi, dan transendensi,
suatu cita –cita profetik yang diderivasikan dari misi historis islam sebagaimana
terkandung dalam ayat 110, surah ali Imran :
كن تم خير
امة اخر جت لنا ش تا مرون با لمعر و ف
وتنهو ن عن المنكر
و تو منو ن
با الله ولو امن اهل الكتب لكان خير ا لهم منه المو منو ن واكثر
هم الفسقون [18]
Arti : Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia
untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan), dan beriman kepada
allah. Tiga muatan nilai inilah yang mengkarakteristikkan ilmu social
profetik.Dengan kandungan nilai- nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi,
ilmu sosial profetik diarahkan untuk rekayasa masyarakat menuju cita – cita sosio-etiknya
pada masa depan.
Asal
usul
dari
pikiran
tentang
ilmu social profetik
itu
dapat
ditemukan
dalam
tulisan – tulisan Muhammad
iqbal dan roger garaudy.
Dalam
buku membangun kembali pikiran agama islam, iqbal mengungkapkan kembali kata-
kata seorang sufi bahwa nabi Muhammad SAW telah sampai ketempat paling tinggi
yang menjadi dambaan ahli mistik, tetapi ia kembali ke dunia untuk menunaikan tugas-
tugas kerasulannya. Pengamalan
keagamaan yang luar
biasa
itu
tidak
mampu
menggoda
nabi
untuk
berhenti. Akan tetapi, ia
menjadikannya
sebagai
kekuatan
psikologis
untuk
mengubah
kemanusiaan. Dengan kata
lain, pengalaman religious itu justru menjadi dasar keterlibatannya
dalam
sejarah, sebuah
aktivisme
sejarah. Sunnah
nabi
berbeda
dengan
jalan
seorang
mistikus yang puas
dengan
pencapaiannya
sendiri.
Sunnah
nabi yang demikian
itulah yang kita
sebut
sebagai
etika
profetik.[19]Beliau
memulai
suatu
transformasi social budaya
berdasarkan
cita-cita profetik.
Tujuan
humanisasi
adalah
memanusiakan
manusia. Kita tahu
bahwa
kita
sekarang
mengalami proses
dehumanisasi karena masyarakat industrial kita
menjadikan
sebagai
bagian
dari
masyarakat
abstrak
tanpa
wajah
kemanusiaan, kita
mengalami
objektivasi
ketika
berada di tengah- tengah
mesin- mesin
politik
dan
mesin – mesin
pasar. Ilmu
dan
teknologi
juga
telah
membantu[20]kecenderungan
reduksionistik yang melihat
manusia
dengan
cara
parsial.
Tujuan
liberasi
adalah
pembebasan
bangsa
dari
kekejaman
kemiskinan, keangkuhan
teknologi, dan
perasan
kelimpahan.
Kita menyatu rasa dengan
mereka yang miskin, mereka
yang tertangkap dalam kesadaran teknokratis dan mereka yang tergusur
oleh
kekuatan
ekonomi
raksasa. Kita ingin
bersama – sama
membebaskan
diri
dari
belenggu- belenggu yang
dibangun sendiri.
Tujuan
transendensi
adalah
menambahkan
dimensi transcendental dalam
kebudayaan
kita
sudah
banyak
menyerah
kepada
arus hedonism, meterialisme,
dan budaya
yang dekaden. Kita percaya bahwa sesuatu
harus dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan mengingatkan kembali dimensi
transcendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan. Kita ingin merasakan
kembali dunia ini sebagai rahmat tuhan. Kita ingin hidup kembali dalam suasana
yang lepas dari ruang dan waktu, ketika kita bersentuhan dengan kebesaran tuhan.
Dengan
ilmu social profetik, kita
juga
akan
melakukan
orientasi
terhadap
epistimologi, yaitu
reorientasi
terhadap mode of thought dan mode of inquiry, bahwa
sumber
ilmu
pengetahuan
itu
tidak
hanya
dari
rasio
dan
empiri, tapi
juga
dari
wahyu.[21]
Penutup
dan Kesimpulan
Al-Quran dan
as-Sunnah merupakan sumber ilmu pertama yang dapat dijadikan pedoman. Dalam
Al-Quran dan as-Sunnah pun banyak diceritakan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi
dalam masyarakat terdahulu, terutama pada masyarakat Arab, dimana tempat
diturunkannya Al-Quran dan tempat tinggal Rasulullah terdahulu.
Sedangkan
ilmu sosial profetik dari Kuntowijoyo merupakan kandungan
nilai dari cita –cita perubahan yang diidamkan masyarakat, yang berarti perubahan
yang didasarkan pada cita –cita humanisasi/emnsipasi, liberasi, dan transendensi,
suatu cita –cita profetik yang diderivasikan dari misi historis islam.
Dalam hal ini juga sama seperti cita-cita profetik Kuntowijoyo harus
mempunyai pola pikir yang analitis, sehingga tercipta keharmonisan dalam
hubungan lingkungan sosial. Seperti yang terdapat dalam surat Ali Imran ayat
[3]: ayat 110.
Daftar
pustaka
Kuntowijoyo, IdentitasPolitikUmat Muslim. Bandung: MIZAN, 1997.
Kuntowijoyo, Islam Sebagai ilmu:Epistemologi, Metodologi,dan
Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid. Bandung: MIZAN, 2001.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam InterpretasiUntukAksi. Bandung: PT MIZAN PUSTAKA, 2008.
Nata, Abuddin, Al-quran dan Hadist. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000.
Mubarok, Zulfi, Sosiologi Agama. Malang: UIN Malang Press,
2006.
Santri Pondok Pesantren Ngalah, Ensiklopedi Fiqih Jawabul Masail.
Pasuruan:Podok Pesantren Ngalah, 2003.
Afwadzi, Benny, Membangun Integrasi Ilmu-Ilmu Sosial dan Hadis Nabi, (Jurnal Living
Hadist).Malang: UIN Maliki Malang, 2016.
Zulheri,
Skripsi Ilmu Sosial Profetik (Tela’ah Pemikiran Kuntowijoyo). Riau: UIN
Sultan Kasim, 2012.
Al-Qur’an,
Mushaf Wardah. Bandung: JABAL, 2010.
Catatan:
1.
Format
makalah masih belum sesuai dengan format artikel yang menjadia acuan.
2.
Tolong
pendahuluan diperbaiki.
3.
Pembicaraan
dalam makalah ini seharusnya hanya mendiskusikan mengenai al-Qur’an, sedang
al-sunnah/hadits tidak perlu dicantumkan.
4.
Latar
belakang munculnya ilmu sosial profetik perlu dicantumkan.
5.
Eksplorasi
terhadap ilmu sosial profetik perlu diperbanyak.
[1] H.Zulfi
Mubaraq, Sosiologi Agama, (Malang:Uin
Malang Press, 2006) hal 3
[2] H.Zulfi
Mubaraq, Sosiologi Agama, (Malang:Uin
Malang Press, 2006)hal:4
[3] Nata,
Abuddin. Alquran dan Hadist, (Jakarta: PT Raja Grafindo persada) hal 203
[4] H.Zulfi
Mubaraq, Sosiologi Agama, (Malang:Uin
Malang Press, 2006) hal 6
[5] Ibid,
hal 7
[6] H.Zulfi
Mubaraq, Sosiologi Agama, (Malang:Uin
Malang Press, 2006) hal 8
[7] H.Zulfi
Mubaraq, Sosiologi Agama, (Malang:Uin
Malang Press, 2006) hal:9
[8] Benny
Afwadzi, Membangun Integrasi Ilmu-Ilmu Sosial dan Hadis Nabi, (Jurnal
Living Hadist) vol:1
[9] Santri
Pondok pesantren nagalah, Ensiklopedi fiqih Jawabul Masail (Pasuruan:Pondok
Pesantren Ngalah,2013)hal: 13
[11]Ibid,
hal xxi
[12]
Zulheri, Skripsi Ilmu Sosial Profetik (Tela’ah Pemikiran Kuntowijoyo) hal
35
[13]Kuntowijoyo,
Islam Sebagai ilmu:Epistemologi, Metodologi,dan Etika(Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2006) hal 83
[14]Ibid,
hal 84
[15]Kuntowijoyo,
Islam Sebagai ilmu : Epistemologi, Metodologi,dan Etika (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2006) hal 85
[16]Ibid,
hal 86-87
[18]
Al-Qur’an, Mushaf Wardah. (Bandung:
JABAL, 2010) hal. 64
[21]Ibid, hal 484
Tidak ada komentar:
Posting Komentar