KONSEP PANDANGAN USHUL FIQH TENTANG
TAQLID, TALFIQ, ITTIBA’ DAN IJTIHAD
Siti Zulin Nurfadlilah, Ulin Niam, Mega
Susilowati, Karisma Novitasari
Mahasiswa PAI-C Angkatan 2014 UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang
Email: ulinniam.email@gmail.com
ABSTRACT
This journal discusses the notion Taqlid, Talfiq, Ittiba 'and Ijtihad in
Usul Fiqh. In addition as a guideline for the retrieval of law as well as the
knowledge of how the process of making the shape of Law.
The reality of law-making is very diverse so in this case, as a devout
Muslim and adherence to religious rules, must know how to follow the law
through the science of usul fiqh and then implied as a medium of learning and pray.
So as to know all that must be understood is the Quran and Sunnah. Of
course, not only that, as a faithful servant must determines how resources
should be in the know other than these two. One of them ijma 'and Qiyas,
because of the emergence of consensus' and Qiyas needed Ra'yi then it is very
important to know the definition and form Taqlid, talfiq, Ittiba' and Ijtihad.
The author tries contruction between in fact the fourth which is a ratio so that a law that can be enjoyed by
all. So with that, the scenario related to the above discussion will be in the
language by this article.
ABSTRAK
Jurnal
ini membahas tentang pengertian Taqlid, Talfiq, Ittiba’ dan Ijtihad dalam Ushul
Fiqh. Selain sebagai pedoman untuk mengambilan hukum juga sebagai pengetahuan
tentang proses bagaimana bentuk pengambilan Hukum.
Realitas
tentang pengambilan hukum sangat beraneka ragam sehingga dalam hal ini, selaku
muslim yang taat dan patuh terhadap aturan agama, harus mengetahui bagaimana
tindak lanjut hukum melalui ilmu ushul fiqh dan kemudian di implikasikan
sebagai media belajar dan beribada.
Sehingga
untuk mengetahui semuanya yang harus dipahami adalah al Quran dan As Sunnah.
Tentunya tidak hanya itu saja, selaku hamba yang setia harus mengetahu
bagaimana sumber yang harus di ketahui selain kedua tersebut. Salah satunya
Ijma’ dan Qiyas, karena munculnya Ijma’ dan Qiyas dibutuhkan Ra’yi maka
sangat penting untuk mengetahui pengertian dan bentuk Taqlid, talfiq, Ittiba’
dan Ijtihad.
Penulis
mencoba mengkontruksikan antara keematnya yang notabenya bersifat rasio sehingga
menjadi hukum yang bisa dinikmati oleh semuanya. Maka dengan hal itu, sekenario
terkait pembahasan diatas akan di bahasa oleh artikel ini.
Keyword: Concept Ro'yi, through reasonable proposition,
participate and
follow the religion
A.
Pendahuluan
Sebelum mengenal
pengertian dan lainnya, terlebih dahulu masuk dalam konsep Sumber hukum dalam
Islam, kemudian ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih
dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur
ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan
urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).
Sedangkan
sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain
sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb,
‘‘uruf, madzhab as-Shahâbi, syar’u man qablana.
Dengan
demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang
disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan. Wahbah al-Zuhaili
menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah
disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara’i.
Sebagian
ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai
dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode
ijtihad.
Keempat
sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan
Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw
Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman.
“Dari Muadz
ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya:
“Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum
dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?,
ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika
tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan
tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan
berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz)
dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”.
Hal yang
demikian dilakukan pula oleh Abu Bakar ra apabila terjadi kepada dirinya
perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika ia temui hukumnya
maka ia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia
mengetahui masalah itu dari Rasulullah Saw,, ia pun berhukum dengan sunnah
Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul Saw, ia kumpulkan para
shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia sepakat dengan pendapat mereka
lalu ia berhukum memutus permasalahan. Hal ini merupakan faktor harusnya
memperlajari pembahasan tersebut. Selanjutnya penulis menyajikan dalam bentuk
halnya artikel yang praktis.
B.
Taqlid
1.
Pengertian Taqlid
Taqlid
secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti yaitu
“mengulangi, meniru, dan mengikuti”.[1]
Dapat diartikan pula sebagai mengikuti seseorang secara patuh. Sedangkan secara
terminologi ushul fiqh, taqlid berarti mengadopsi pendapat orang lain tanpa
mengetahui dalilnya, atau menirukan orang lain dalam melakukan atau
meninggalkan sesuatu.[2]
التقليد قبول
قول القائل وأنت لاتعلم حجته
“Menerima
pendapat orang lain padahal tidak mengetahui asalnya.”
Sedangkan
orang yang bertaqlid disebut sebagai muqallid. Muqallid adalah
orang yang tidak mampu menghasilkan pendapat sendiri menganai hukum, oleh
karena itu ia mengikuti saja pendapat orang lain itu tanpa mengetahui alasan
dan dalil dari pendapatnya tersebut.
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa taqlid adalah menerima atau mengikuti pendapat orang
lain tanpa mengetahui alasan atas dasar apa dia berpendapat demikian dan dari
mana dalil yang mendasari pendapatnya tersebut.
Terdapat
beberapa definisi mengenai taqlid yang dirumusan sebagai hakikat taqlid, yaitu
sebagai berikut :[3]
a.
Taqlid itu adalah beramal
berdasarkan ucapan atau pendapat orang lain.
Orang awam yang
merujuk pendapat dari mujtahid disebut dengan taqlid. Menerima ucapan
Rasulullah saw. disebut juga sebagai taqlid. Karena seseorang tidak akan
mengetahui apakah ucapan beliau termasuk dalam wahyu, ijtihad ataupun qiyas.
Hal ini didukung pula oleh Imam Al-Haramain dan Imam Al-Mawardi. Sedangkan Imam
Al-Syafi’i berpendapat bahwa taqlid kepada Rasulullah-lah yang merupakan taqlid
yang benar.
b.
Ucapan atau pendapat orang lain
itu bukan bernilai hujah syari’ah.
Taqlid merupakan
penerima tanpa hujjah terhadap pendapat seseorang yang tidak mendapatkan
legitimasi hujjah. Beberapa ucapan yang bernilai hujjah antara lain ucapan dari
Rasulullah saw., Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan ijma’. Akan tetapi ada yang
beranggapan bahwa ucapan dari Rasulullah termasuk dalam taqlid, karena taqlid
yang benar adalah yang ditujukan kepada Rasulullah saw.
c.
Orang yang mengikuti pendapat
orang lain itu tidak mengetahui hujah atau dalil dari pendapat yang diikutinya.
Mengetahui dalil
suatu hukum berguna untuk mengetahui kebenaran dalil tersebut dan sebagai
pembanding dari keseluruhan dalil yang ada agar tidak terbantahkan
argumentasinya oleh dalil lain. Akan tetapi kemampuan tersebut hanya dimiliki
oleh seorang mujtahid saja. Jika terdapat seseorang yang mengadopsi pendapat
orang lain sedang ia mengetahui dalilnya, maka ia tidak dikatakan bertaqlid.
Orang awam yang mengikuti pendapat seorang mujtahid maka itulah yang dinamakan
bertaqlid.
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa orang yang tidak mengetahui masalah hukum dan
bertanya kepada orang yang lebih tahu dan mengikuti pendapat orang yang tahu
tersebut maka dapat dikatakan sebagai pengertian taqlid.
2.
Hukum Taqlid
Hukum taqlid
menjadi perdebatan diantara para ulama’ Islam. Diantara mazhab fiqh ada yang
melarangnya dengan mengemukakan alasan-alasan Al-Qur’an. Ada juga yang
beranggapan apakah orang yang diikutinya itu mempunyai kepastian yang benar
atau tidak. Namun dalam Al-Qur’an ada pula perintah terhadap orang yang tidak
tahu mengenai hukum syara’ untuk bertanya kepada orang yang lebih tahu,
sebagaimana yang dipaparkan dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 43
4 (#þqè=t«ó¡sù
@÷dr&
Ìø.Ïe%!$#
bÎ)
óOçGYä.
w
tbqçHs>÷ès?
ÇÍÌÈ
Artinya :
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An- Nahl :
43)
Dalam
permasalahan hukum taqlid dalam hal ini dibagi menjadi dua klasifikasi, yaitu
taqlid dalam permasalahan yang berkaitan dengan aqidah atau dasar-dasar ajaran
agama, dan permasalahan yang berkaitan dengan amaliah praktis atau partikular
syari’at.
a.
Taqlid dalam permasalahan aqidah
Dalam
permasalahan ini mencakup, keyakinan tentang ketuhanan dan sifat-sifat-Nya,
tentang kenabian, termasuk pula ajaran-ajaran tentang etika dan hal-hal yang
telah diketahui bersama kebenarannya dalam ajaran agama, sebagaimana kewajiban
shalat lima waktu, keharaman zina, diperbolehkannya nikah, dan hal-hal lain
yang menjadi keniscayaan dari ajaran agama Islam. Mayoritas ulama’ menegaskan,
tidak diperkenankannya taqlid dalam permasalahan ini, dan kewajiban yang harus
dilaksanakan adalah mewujudkan aqidah atas dasar analisis berpikir secara
global, bukan sekedar meniru-niru orang lain.
Hal-hal
yang tidak boleh ditaqlidi dalam masalah aqidah antara lain seperti, wajibnya
shalat lima waktu, puasa ramadhan, zakat, haji, dan juga tentang haramnya
berzina serta minuman keras karena soal-soal ini semua orang dapat
mengetahuinya. Dan hal-hal yang boleh ditaqlidi seperti, menyelidiki dan
mencari dalil soal-soal ibadah dan hukum-hukum yang kecil-kecil lainnya.[4]
b.
Taqlid dalam permasalahan
syari’at
Para ulama’
masih berselisih pula tentang status taqlid dalam masalah syari’at.[5]
Pertama, menurut Jumhur Ulama’ tidak diperbolehkan taqlid secara mutlak.
Yang dimaksudkan supaya setiap muslim berijtihad dan berusaha untuk mengetahui
hukum Allah beserta dalilnya. Dengan demikian dia dapat beramal atas dasar
ilmunya sendiri, bukan sekedar ikut-ikutan saja. Pendapat ini mendapat
penolakan karena akan menyulitkan setiap muslim yang harus mempelajari semua
dalil hukum dalam agamanya tersebut. Sehingga jika semua muslim dibebankan
untuk mempelajarinya maka terbengkalailah bidang-bidang kehidupannya yang juga
memerlukan ilmu lainnya.
Kedua, sebagian ulama
mewajibkan taqlid secara mutlak dan mengharamkan nazar (berfikir)
sendiri. Karena tidaklah dapat dipertanggung jawabkan kalau setiap orang
berfikir sendiri dalam masalah-masalah syari’at. Akan tetapi jikalau hal ini
terjadi akan mengakibatkan hukum Islam menjadi beku, sehingga tidak mampu
memenuhi tuntutan zaman. Padahal Islam diturunkan untuk seluruh umat manusia
sepanjang zaman. Sehingga Islampun tidak dapat berkembang karena keterbatasan
seseorang dalam melakukan ijtihad yang mana dapat memperkuat hukum-hukum Islam
secara benar. Dengan mewajibkan taqlid secara mutlak, semua umat tidak akan
pernah tahu apakah amalan yang selama ini mereka kerjakan benar menurut hukum
Islam atau tidak karena mereka sendiri tidak mengetahui dasar atau dalil dari
amalan yang mereka kerjakan tersebut.
Ketiga, sebagian ulama
merincikan bahwa bertaqlid itu wajib atas orang awam dan haram untuk mujtahid.
Pendapat ini diterima oleh kebanyakan ulama karena mendekati kebenaran, yaitu
ulama mujtahid wajib berijtihad untuk menemukan hukum-hukum agama bagi
kejadian-kejadian yang terus menerus timbul dalam kehidupan manusia yang
senantiasa berkembang. Sebaliknya bagi orang awam yang tidak memiliki
kesempatan untuk mempelajari hukum-hukum agama beserta dalilnya wajib bertaqlid
kepada ulama mujtahid dalam bidang hukumnya. Pendapat ini dijadikan pegangan
mayoritas ulama’ karena bersifat menengahi diantara kedua pendapat diatas.
Sehingga ditariklah kesimpulan bahwa taqlid haram hukumnya bagi seseorang yang
telah memiliki kemampuan berijtihad, sedangkan bagi orang-orang awam yang belum
memenuhi kriteria untuk berijtihad wajib melakukan taqlid.
3.
Pendapat Ulama-Ulama Besar
tentang Taqlid[6]
a)
Imam Abu Hanifah berkata:
إن
كان قولى يخالف كتاب الله وخبر رسوله فاتركوا قولى.
“Kalau ucapanku
menyalahi Kitab Allah dan Sunnah rasul, maka tinggalkanlah ucapanku.”
b)
Imam Malik berkata:
إنما
أنا بشر أخطئ وأصيب فانظروا فى رأيى , كل ما وافق اكتاب والسنة فخذوابه , ومالم
يوافق الكتاب والسنة فاتركوه.
“Aku hanya seorang
manusia yang (mungkin) salah dan mungkin (pula) benar. Sebab itu perhatikanlah
pendapatku itu, setiap yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka
peganglah ia dan apa yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka
tinggalkanlah.”
Beliau
berkata pula:
كلنا
راد ومردود إلاصا حب هذا القبر.
“Kita semua menolak
(suatu pendapat) dan ditolak (pendapatnya), melainkan yang mempunyai kuburan
ini (Nabi Muhammad saw.).”
c)
Imam Syafi’i berkata:
مثل
الذى يطلب العلم بلاحجة كمثل حاطب فى ليل يحمل حزمة وفيها أفعى تلدغه وهو لا يدرى.
“Perumpamaan orang
yang menuntun ilmu tanpa dalil adalah seperti tukang kayu api yang membawa
seberkas kayu di waktu malam dan disalamnya ada ular yang akan mematuknya,
sedang dia tiada mengetahuinya.”
Beliau
berkata pula:
إذا
صح الحديث فهومذهبى.
“Apabila hadits itu
shahih maka itulah mazhabku.”
d)
Imam Ahmad Hanbal berkata:
لا
تقلدنى ولاتقلد مالكا ولا الثورى ولاالأوزعى وخذ من حيث أخذوا.
“Janganlah kamu
bertaqlid kepadaku dan janganlah pula kepada Imam Malik, Imam Tsauri, dan Imam
Auza’i, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil.”
من
قلة فقه الجل أن يقلد دينه الرجال.
“Di
antara (tanda) kurang pahamnya seseorang, dia bertaqlid (dalam) agamanya kepala
orang lain.”
4.
Klasifikasi Taqlid
Konsep taqlid
memiliki batas-batas yang amat relatif, maka dalam hal ini hukum taqlid terbagi
menjadi dua bagian, taqlid yang terpuji dan taqlid yang tercela. Taqlid yang
terpuji adalah taqlid yang dilakukan orang-orang yang tidak mampu melakukan
ijtihad karena keterbatasan pengetahuannya. Secara umum, kelompok ini terbagi
menjadi dua klasifikasi. Pertama, orang yang awam sama sekali terhadap
hukum-hukum syari’at. Kedua, orang alim yang sedang menekuni sebagian
disiplin ilmu yang menjadi persyaratan ijtihad, namun dengan kapasitas
keilmuannya, ia belum mampu untuk melakukan ijtihad.
Sedangkan taqlid
yang tercela, atau yang diharamkan, terbagi dalam tiga kategori:
a.
Taqlid yang mengandung unsur
berpaling dari ajaran-ajaran wahyu. Seperti taqlid pada tradisi batil nenek
moyang terdahulu.
b.
Taqlid pada orang yang belum
diketahui kapasitas keilmuannya sebagai mujtahid.
c.
Taqlid pada seseorang yang telah
terbukti kesalahan argumentasinya.
Ketiga taqlid di
atas itulah yang dikecam oleh beberapa ayat dan hadits dan beberapa ulama’
termasuk imam madzhab yang tersebut diatas.[7]
C.
Talfiq
1.
Pengertian Talfiq
Dalam bahasa
Arab talfiq berarti menyamakan atau merapatkan dua tepi yang berbeda.
Menurut peristilah ulama ushul fiqih, talfiq yang di maksudkan sebagai
nama dari salah satu sikap beragama yang mengambil atau mengikuti dari suatu
hukum dari suatu peristiwa berdasarkan kepada pendapat dari berbagai madzhab.[8]
Sedangkan secara definitif, talfiq adalah mengumpulkan dua pendapat atau
lebih dalam satu rangkaian hukum (qodliyah) yang menimbulkan suatu tata
cara amaliyah yang keberadaannya tidak diakui oleh masing-masing dari pemilik
madzhab yang bersangkutan. Qodliyah sendiri berarti sesuatu yang terdiri
dari syarat, rukun dan mubthilat (hal-hal yang membatalkan), misalnya dalam
permasalahan wudlu saja atau shalat saja. Madzhab Syafi’iyyah, Hanafiyyah dan
Hanabilah membolehkan talfiq sebagai pendapat yang menjadi pegangan saja, akan tetapi
madzhab Malikiyyah memperbolehkan talfiq dalam hal-hal yang berkaitan dengan
ibadah.[9]
Sedangkan contoh
dari talfiq sebagai berikut, seorang laki-laki dan perempuan melakukan akad
nikah tanpa wali dan saksi, karena pertama, mengikuti madzhab Hanafiyah
yang tidak mensyaratkan wali dalam pernikahan dan kedua, mengikuti
madzhab Malikiyah yang tidak mensyaratkan saksi dalam pernikahan tersebut. Atau
contoh lain, seorang berwudhu dengan memakai air musta’mal dan sholat
tidak menggunakan basmalah dalam alfatihah. Karena, pertama, mengikuti
pendapat imam Malik yang membolehkan memakai air musta’mal dan yang kedua,
mengikuti abu Hanifah yang mengatakan bahwa basmallah bukan bagian dari
al-fatihah.[10]
Contoh talfiq
selain dalam permasalahan ibadah adalah seseorang yang mentalak istrinya tiga
kali. Kemudian sang istritersebut menikah dengan anak berusia sembilan tahun
sebagai muhallil (penyela pernikahan, sehingga boleh menikah dengan
suami pertama lagi) dengan bertaqlid pada madzhab Syafi’i. Setelah terjadi
hubungan badan diantara keduanya, suami kedua menceraikan istrinya dengan
bertaqlid kepada madzhab Hanafi dalam keabsahan cerai dengan tanpa masa iddah.
Sehingga suami pertama bisa langsung menikahi wanita tersebut.[11]
2.
Kontroversi tentang Pelarangan
Talfiq
Ulama’ mutaakhirin
melarang tindakan talfiq dalam bertaqlid, beberapa ulama’ menentang
keras pendapat ini. Pelarangan talfiq dan pembatalan amaliyah yang dilakukan
dengan talfiq itu ditentang dari dua sisi, sisi peniadaan dan sisi pembalikan
hukum.
Istilah talfiq
dimunculkan oleh ulama’ mutaakhirin tatkala orang-orang lebih cenderung
berpola pikir taqlid. Pada masa-masa sebelumnya istilah talfiq sama sekali
tidak dikenal, apalagi pada masa-masa Rasulullah saw..di masa-masa sahabat
hingga muncul imam empat pun tidak mempersoalkan talfiq dan tidak pernah
menyebutkan larangan talfiq. Fakta-fakta diatas melemahkan pendapat mutaakhirin
tentang pelarangan talfiq. Karena hal ini akan menimbulkan sebuah
pertanyaan jikalau pada masa-masa sahabat dan imam empat tidak pernah melarang
talfiq. Pelarangan talfiq juga akan bertentangan dengan dasar-dasar syari’at
Islam, yaitu bahwa Islam adalah agama yang mudah dan murah, tidak mempersempit.[12]
Sebagai mana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an:
Artinya
: “Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan.” (QS. Al-Hajj : 78).
Artinya
: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.” (QS. AL-Baqarah : 185)
Sehingga dapat disimpulkan bahwa talfiq
diperbolehkan dalam Islam selama tujuan melaksanakannya semata-mata mengikuti
pendapat yang lebih kuat argumentasinya. Yaitu setelah meneliti dalil-dalil dan
analisa masing-masing pendapat tersebut. Namun, bila talfiq dimaksudkan
untuk mencari keringanan dan mengumpulkannya dalam suatu perbuatan tertentu,
hal itu tidaklah dibenarkan menurut pandangan jumhur ulama. Dan perlu di ingat talfiq
dalam masalah ibadah seharusnya dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak
menimbulkan sikap pertentangan yang ditunaikan untuk mecari keridhaan Allah.
3.
Talfiq yang Dilarang
Para ulama’
memperbolehkan dalam bertalfiq akan tetapi ada batasan-batasan tertentu dalam
bertalfiq, antara lain sebagai berikut:[13]
Pertama, talfiq yang
secara substansi merupakan perbuatan haram, seperti talfiq yang akan
menimbulkan penghalalan hal-hal haram, seperti khamr, zina dan lain
sebagainya.
Kedua, talfiq dipandang
dari aspek negatif yang muncul kemudian. Dalam hal ini diklasifikasikan menjadi
tiga hal:
a)
Talfiq dengan kesengajaan untuk
mencari keringanan saja. Artinya memilih pendapat yang ringan-ringan saja tan
ada udzur dan dlarurat. Talfiq dalam konteks ini dilarang, dengan
menutup dampak negatif dengan anggapan seseorang bahwa dirinya bebas dari
tuntunan syara’.
b)
Talfiq yang akan berdampak
pembatalan terhadap keputusan hakim, sebab keputusan hakim berfungsi sebagai
penyelesai kontroversi pendapat ulama’ untuk meghindarkan terjadinya kekacauan
dan ketidakberaturan.
c)
Talfiq yang akan mengakibatkan
pencabutan sebuah perbuatan yang telah terlaksana, yang timbul dari taqlid pada madzhab lain. Atau talfiq yang akan
mengakibatkan pelanggaran terhadap hasil penetapa ijma’. Misalnya adalah
sesorang yang berkata kepada istrinya “kamu jelas tertalak”, dan ia
berkeyakinan talaknya jatuh tiga kali karena mengikuti ulama’ yang menyatakan
semacam itu. Namun setelah terjadi, dan ia anggap istrinya haram atau tidak
boleh diruju’, ia berubah keyakinan, bahwa talaknya jatuh satu kali saja
sehingga boleh ruju’ kembali karena mengikuti pendapat ulama’ yang mengatakan
talaknya jatuh satu kali. Dalam hal ini terdapat unsur pencabutan perbuatan
pertama karena mengikuti pendapat kedua.
4.
Hukum-hukum Talfiq dalam Syari’at
Islam
Ruang lingkup
talfiq hanyalah bermuara pada permasalahan-permasalahan partikular (cabang)
syari’at yakni permasalahan-permasalahan ijtihad yang bersifat zhanni.
Sedangkan dalam permasalahan teologi, etika dan permasalahan agama yang
bersifat qath’i tidak termasuk dalam ruang lingkup talfiq.
Permasalahan-permasalahan partikular syari’at dibagi atas tiga bagian:
Pertama, permasalahan-permasalahan
cabangan yang berlandaskan atas dasar kemudahan dan toleran. Dalam permasalahan
ini, praktik talfiq diperbolehkan bila ada kebutuhan. Karena yang menjadi muara
disyari’atkannya ibadah mahdlah adalah kepatuhan pada perintah Allah dan
penghambaan pada-Nya, bukan mempersulit. Sedangkan dalam ibadah maliyyah (berkaitan
dengan harta benda), haruslah diperketat supaya tidak menyia-nyiakan hak-hak
fakir miskin.
Kedua, permasalahan-permasalahan
cabangan yang berlandaskan wara’ (kehati-hatian), seperti ketetapan
syara’ yang bersifat larangan. Karena Allah tidak melarang sesuatu kecuali di
dalamnya terdapat unsur merugikan. Maka dalam hal ini, tidak tepat bila
diterapkan talfiq, kecuali dalam keadaan dlarurat.
Ketiga, masalah-masalah
cabangan syari’at yang terbangun atas dasar kemaslahatan manusia. Seperti
permasalahan-permasalahan sosial yang meliputi mu’amalah, pidana,
pernikahan, pengeluaran harta-harta sepuluh persen dan seperlima harta tambang,
pernikahan dan hal-hal yang berkaitan dengannya seperti perceraian yang diatur
atas dasar pencapaian kebahagiaan dan kesejahteraan suami, istri dan keluarga.
Dengan demikian,
hal-hal yang dapat mewujudkanprinsip-prinsip diatas haruslah dilaksanakan,
kendati dalam sebagian kasus harus melalui praktik talfiq. Namun, talfiq
tersebut tidak boleh dijadikan sebagai perantara mempermainkan
ketetapan-ketetapan yang ada dalam pernikahan dan perceraian.[14]
D.
Ittiba’
1.
Pengertian Ittiba’
الاتباع هو قبول قول القاءل وأنت تعلم
من اين قاله
“ittiba’
ialah menerima(mengikuti) perkataan orang yang mengatakan, sedangkan engkau
mengetahui atas dasar apa yang dia berpendapat demikian.”
Jadi
ittiba’ itu mengikuti pendapat orang lain serta mengetahui dalil (alasan) yang
dijadikan dasar pegangan bagi pendapatnya itu. Rang yang mengikuti pendapat
orang lain semacam itu dinamakan muttabi’[15]
2.
Kedudukan hukumnya
الاتباع فى الد ين ماموربه
‘ittiba’
dalam (soal-soal) agama adalah diperintahkan.”
Seorang
mukmin wajib mengikuti (ittiba’) kepada Nabi Saw. Supaya setiap
perbuatannya sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT. Berfirman:
قل ان كنتم تحبون الله فاتبعونى يحببكم
الله ويغفرلكم دنوبكم
“katanlah
(hai Muhammad) : “jika kamu (benar-benar)mencintai Allah, ikutlah aku niscaya
Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu...
Adapun ittiba’
kepada selain Nabi diperintahkan dalam islam, yaitu ittiba’ kepada para ulama
sebagai warasatul anbiya’ (pewaris atau penerus perjuangan nabi-nabi).
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ
كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“karena
itu bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui” (surat An-Nahl ayat 43)
Yang
dimaksud dengan pengetahuan disini ialah pengetahuan yang berdasarkan Al-qur’an
dan As-sunnah, bukan pengetahuan yang berdasarkan akal pikiran mereka
semata-mata.[16] Jadi
yang dimaksud surat An-nahl ayat 43 diatas adalah pengetahuan yang
berlandaskan Al-qur’an dan As-sunnah. Dan apabila kamu menggunakan akal pikiran
berarti itu bukan pengetahuan menurut surat An-Nahl ayat 43. Jika yang
di maksud orang yang mempuanyai pengetahuaorang yang memahami Al-qur’n ialah
orang yang memahami Al-Qur’an dan As-sunnah. Apabila mereka ditanya tentang
suatu hukum, tentu mereka akan menjawab : Allah SWT berfirman demikian . . .
. . atau rasulullah SAW. Bersabda demikian . . . lalu yang bertanya
mengamalkan hukum tersebut.
3.
Tujuannya
Jadi sekarang
jelas bagi kita bahwa ittiba’ itu perbuatan yang utama bahkan wajib
hukumnya, bagi mereka yang tidak mampu berijtihad sendiri. Tujuannya adalah
setiap orang mukmin dapat mengamalkan ajaran-ajaran agama dengan pengertian dan
kesadaran. Kita diwajibkan tentang sesuatu yang belum kita mengerti, dan mengetahui
dalil dari apa yang kita pertanyakan yang merupakan faktor untuk mendorong
kepada amalan yang lebih sempurna. Jadi ketika kita mau mengamalkan
amalan-amalan as-sunnah jika kita belum tau alangkah lebih baiknya kita
bertanya kepada seseorang yang lebih tau dan berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
E.
Ijtihad
1.
Pengertian Ijtihad
Ijtihad
menurut pengertian secara bahasa berasal dari kata al-Jahd dan al-Juhd
yang berarti al-Thaaqah yaitu suatu tenaga atau kuasa atau daya,
kemudian masuk dalam pengertian Ijtihad yakni pada lafadz al Ijtihad dan
al-Tahajud yang diartikan sebagai penumpahan segala kesempatan dan
tenaga.[17]
Maka, Ijtihad diartikan sebagai implikasi usaha untuk mencurahkan tenaga dan
kesempatan meraih apa yang diinginkan berdasarkan Ridha-Nya. Selain itu,
Ijtihad berasal pula dari kata jahada kata ini menurut buku karya Amir
Mu’alim Yusdani mengandung arti pencurahan segala bentuk kemampuan untuk
memperoleh dari suatu pekerjaan atau urusan.[18]
Dan juga menggunakan wazan ifti’al
yang berarti bersentuhan dalam pekerjaan. Sehingga, artinyapun
mencurahkan segala kemampuan untuk segala perbuatan apapun. Kemudian Ijtihad
dan Jihad memiliki arti sama, hanya untuk ijtihad lebih mengarah kepada
pemikiran dan intelektual dan Jihad pada lingkup realisasi perbuatan dan
tingkah laku.[19] Dengan
demikian, tidak dinamakan Ijtihad apabila tidak ada bentuk usaha yang harus di
lakukan. Di sisi lain apabila tidak ada kesulitan untuk pekerjaan dan usaha
maka tidak dinamakan Ijtihad.
Ijtihad
secara istilah juga banyak di kemukakan oleh tokoh-tokoh bahwa Ijtihad
merupakan pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang Mujtahid untuk mencari
sumber hukum-hukum fiqih.[20]
Sehingga, Mujtahid harus menggali hukum untuk menemukan hukum-hukum syariat
atau yang mashur di sebut Istimbath. Dari pengertian diatas para Tokoh
termasuk Al Ghazali dan Al Amidi menyatakan bahwa dalam memasuki dunia Ijtihad
persyaratan kurangmampunya seseorang untuk mencari tambahan kemampuan sangat
sulit, karena menyangkut kehati-hatian seseorang dalam melakukan Ijtihad.
Selain itu juga karena beratnya persyaratan tersebut sehingga menutup
kemungkinan seseorang untuk mengembangkan Ijtihad.[21]
Maka dengan hal ini, Ijtihad sangat berat dan hanya orang-orang pilihan yang
memenuhi syarat sebagai mujtahid yang akan penulis jelaskan pada syarat-syarat
Mujtahid.
Kemudian,
apabila ada seorang muslim yang notabenya belum sepenuhnya menemukan
hukum-hukum yang tertuang di al Quran dan As Sunnah, maka seseorang tersebut
harus meminta tolong kepada Mujtahid untuk mengambil hukum berdasarkan kaedah
yang ada.[22]
Sehingga, prosesnya pun dalam mencari hukum wajid di tertibkan urutannya dari
mulai al Quran, As Sunnah hingga terakhir Ijtihad.
2.
Ruang Lingkup ijtihad
Ruang gerak ijtihad menurut Syaikh
Muhammad al Madani ada dua jenis, yang pertama hukum-hukum qat’iat
yang ditegaskan oleh dalil kukuhnya dalil qat’at tersebut menjadikan
hukum-hukum bersifat mutlak, tidak berubah pada ruang dan waktu. Kedua
hukum-hukum yang belum ditetapkan secara jelas baik periwayatannya maupun
artinya.[23]
Hukum yang Jelas Hukum yang Belum Jelas
|
|
3.
Dasar-dasar Penetapan Ijtihad
Dalam
lika-liku pendapat tentang syariat Islam, Ijtihad menjadikan permasalahan yang
kompleks sehingga menyebabkan ulama berbeda pendapat terkait Ijtihad. Ulama
yang sepakat dengan ijtihad dan yang tidak sepakat dengan Ijtihad, mereka
memiliki beberapa argumen yang tertuang dalam tabel penulis:[24]
|
Argumen Kelompok yang mendukung
Ijtihad
|
Argumen kelompok yang anti Ijtihad
|
||
Penjelasan
|
Dalil
|
Penjelasan
|
Dalil
|
|
Al
Quran
|
Taat
Allah, Rasul dan Ulil Amri dipahami sebagai penunjukan kepada penetapan
Ijtihad
|
QS.
An Nisa’ Ayat 59
|
Banyak
al Quran yang menunjukan kecukupan nas untuk memenuhi keperluan manusia tanpa
melakukan Ijtihad
|
QS.
An Nahl 89
QS.
Al An’am 38
QS.
Al Baqarah 29
QS.
Al Maidah 101
QS.
An Nisa’ 59
QS.
An Nisa’ 105
|
As
Sunnah
|
Terkait
cerita Mu’ad yang memutuskan hukum pada peradilan ketika Rasululllah mengutus
ia ke Yaman, Mu’adz dg tegas menjawab kalau tidak ada di al Quran dan As
Sunnah “saya akan mengerahkan kemampuan ro’yiku
|
Hadis
diriwayatkan oleh al-Bagawi
|
Diceritakan
bahwa pernah ada yang mencela orang menggunakan ra’yu. Dengan
penjelasan umat nabi Muhammad Akan terpecah menjadi 73 Golongan lebih. Dan
ungkapan Sahabat umar terkait ra’yu karena menjadi musuh As Sunnah
|
Hadis
riwayat Malik al Asyja’i
& Asar sahabat Umar
|
Dalil
Akal
|
Pertimbangan
karena perkembangan zaman semakin pesat sedangkan al Quran dan Sunnah masih
bersifat global, maka diperlukannya pemikiran untuk menerjemahkan al Quran
dan As Sunnah berdasarkan taraf aturan yang telah di sepakati ulama
|
Hadis
diriwayatkan oleh al-Bagawi
|
Tentang
perkataan sayyidina Ali jika menggunakan ra’yu ibarat mengusap
terhadap sepatu (khaf) lebih pantas dari pada bagian atasnya.
Sedangkan ibnu Abbas berpendapat masih memberikan keraguan, karena tidak tahu
apa itu kebaikan atau tidak
|
Ungkapan
Sayyidina Ali bin Khattab dan Ibnu Abbas
|
4.
Pola Ijtihad
a.
Pola Bayani
Maksud
dari bayani sendiri adalah semua kegiatan yang berkaitan dengan kajian bahasa (lughoh),
seperti suatu lafadz diartikan sebagai majaz, memilih arti dengan lafadz yang
ambigu (musytarak), ayat yang umum atau khusus, yang qhat’i dan dzanni,
perintah yang wajib dan sunnah atau setertusnya.[25]
Inti dari bayani sendiri adalah bentuk kebahasaan, bentuk pengolahannya dan
redaksinya, Mujtahid harus mampu mengetahui pola tersebut. Sebagai contohnya
seperti ini terkait masa Iddah perempuan yang telah di jima’ dan
masih berhaid adalah tiga quru’. Kemudian masa iddah ini dianggap
qhot’i (Sesuatu yang menunjuk suatu hukum dan tidak mengandung
kemunginan makna selainnya) sehingga ada yang berpendapat hal itu termasuk masa
suci dan ada pula yang berpendapat hal itu adalah masa haid. Hal ini yang
dinamakan zanni (sesuatu yang tidak pasti).[26]
b.
Pola Qiyasi
Qiyasi
di sini adalah semua jenis penalaran yang menjadi hambatan hukum (‘Illad)
sebagai titik tolaknya. Sehingga, hambatan tersebut di Nisbatkan kepada suatu
hambatan yang baru, contohnya seperti gandum dan kurma dalam zakat kemudian di
Indonesia di gantikan dengan Beras dan Jagung.[27]
c.
Pola Istilahi
Pola
ini di donimasi dengan ayat-ayat umum yang dikumpulkan guna menciptakan prinsip
(umum) yang digunakan dalam rangka sebagai pelindung dan keperluan maslahatan.[28]
Dari bentuknya istilahi, maka di simpulkan bahwa dalam merumuskan pola dan
mengambil hukum menggunakan prinsip-prinsip umum yang dapat ditarik dari
ayat-ayat seperti larangan untuk menelakakan diri sendiri dan lainnya.
5.
Kualifikasi Mujtahid
a.
Pantangan seorang Mujtahid dalam
melakukan Ijtihad[29]
1.
Subyektifikasi, mengambil sikap
mentah secara terntentu sebelum saatnya diberlakukan hukum terhadap nas,
istilah lain adalah prematur hukum.
2.
Manipulasi, menghiraukan dalil
syar’i dalam keadaan situasi dan kondisi mendesak.
3.
Justifikasi, membernarkan realita dengan nas
nas yang menurut seseorang relavan dan harus di gunakan. Maksudnya bisa seperti
layaknya realitas bunga Bank dan lainnya.
4.
Interpolasi, memasukkan dalil
kepada pemikiran tertentu. Dalil di sesuaikan dengan ra’yu.
5.
Inakurasi, ketidaktahuan atau
ketidak telitiannya dalam berpegang kepada dalil-dalil atau nas-nas yang tidak
relavan atau tidak valid. Sehingga, dijadikan sebagai acuan semuanya.
b.
Syarat-syarat Mujtahid
Adapun Yusuf
al Qardhawi dalam bukunya menjelaskan
beberapa syarat yang harus di tempuh untuk menjadi Mujtahid yakni:[30]
1.
Wajib mengetahui al Quran dan As
Sunnah beserta ilmu untuk memperlajari keduannya.
2.
Wajib mengetahui kaedah bahasa
arab
3.
Wajib mengetahui tema-tema yang
sudah menjadi kesepakatan (ijma’)
4.
Wajib mengetahui ushul fiqh
5.
Wajib mengetahui sejarah berserta
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan sejarah.
6.
Mengenal manusia dan alam
sekelilingnya
7.
Bersifat adil dan taqwa.
Selain itu dalam
buku Muhammad Amin juga mengutip bahwa ada syarat-syarat tambahan selain syarat
diatas, diantaranya:[31]
1.
Mengetahui ilmu Ushuludin
2.
Mengetahui Ilmu Mantik
3.
Dan mengetahui cabang-cabang Fiqh
F.
Kesimpulan
Taqlid
secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti yaitu
“mengulangi, meniru, dan mengikuti”. Dapat diartikan pula sebagai mengikuti
seseorang secara patuh. Sedangkan secara terminologi ushul fiqh, taqlid berarti
mengadopsi pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya, atau menirukan orang
lain dalam melakukan atau meninggalkan sesuatu.
Talfiq
Dalam bahasa Arab talfiq berarti menyamakan atau merapatkan dua tepi
yang berbeda. Menurut peristilah ulama ushul fiqih, talfiq yang di
maksudkan sebagai nama dari salah satu sikap beragama yang mengambil atau mengikuti
dari suatu hukum dari suatu peristiwa berdasarkan kepada pendapat dari berbagai
madzhab.
“ittiba’
ialah menerima(mengikuti) perkataan orang yang mengatakan, sedangkan engkau
mengetahui atas dasar apa yang dia berpendapat demikian.”
Jadi
ittiba’ itu mengikuti pendapat orang lain serta mengetahui dalil (alasan) yang
dijadikan dasar pegangan bagi pendapatnya itu. Rang yang mengikuti pendapat
orang lain semacam itu dinamakan muttabi’.
Ijtihad
menurut pengertian secara bahasa berasal dari kata al-Jahd dan al-Juhd
yang berarti al-Thaaqah yaitu suatu tenaga atau kuasa atau daya,
kemudian masuk dalam pengertian Ijtihad yakni pada lafadz al Ijtihad dan
al-Tahajud yang diartikan sebagai penumpahan segala kesempatan dan
tenaga. Maka, Ijtihad diartikan sebagai implikasi usaha untuk mencurahkan
tenaga dan kesempatan meraih apa yang diinginkan berdasarkan Ridha-Nya. Selain
itu, Ijtihad berasal pula dari kata jahada kata ini menurut buku karya
Amir Mu’alim Yusdani mengandung arti pencurahan segala bentuk kemampuan untuk
memperoleh dari suatu pekerjaan atau urusan.
G.
Daftar Pustaka
Koto,
Alaiddin. 2006. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada.
Mahfudh,
Sahal. 2004. Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam. Kediri: Purna Siwa Aliyyah
Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien PP. Lirboyo Kota Kediri.
Syarifuddin,
Amir. 2012. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Rifa’i,
Moh. 1973. Ushul Fiqh. Bandung: PT Alma’arif.
Abidin
Ahmad, Zainal. 1975. Ushul Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang.
Suyatno.
2011. Dasar-dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Yusdani,
Amir Mu’allim. 2005. Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer.
Jogjakarta: UII Press.
Murtadha
& M. Baqir, 1993. Pengantar Ushul
Fiqh & Ushul Fiqh Perbandingan. Malang: Pustaka Hidayah.
Catatan:
1. Referensi
cuma ada delapan.
2. Perujukan
masih perlu diperbaiki. Beberapa tempat yang seharusnya butuh referensi, tapi tidak
dicantumkan.
3. Dalam
buku Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam, KH. Sahal Mahfudh bukan penulis tapi
orang memberikan kata pengantar.
4. Abstrak
seharusnya hanya satu paragraf.
5. Kesimpulan
bukan pengulangan materi. Ia berisi kesimpulan singkat dari apa yang telah Anda
tulis.
6. Pembahasan
ini termasuk yang butuh eksplorasi banyak. Lebih dari 15 halaman tidaklah
mengapa. Lagipula kelompok ini personelnya empat orang.
[1] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan
Ushul Fiqh, (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2006), hal. 132.
[2] Sahal Mahfudh, Kilas Balik Teoritis
Fiqh Islam, (Kediri: Purna Siwa Aliyyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien
PP. Lirboyo Kota Kediri, 2004), hal. 369.
[3] Amir Syarifuddin, Garis-Garis
Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hal. 163.
[4] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqh, (Bandung:
PT Alma’arif, 1973), hal. 150
[5] Zainal Abidin Ahmad, Ushul
Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 219.
[6] Op, Chit., Moh. Rifa’i,
hal. 151-152
[7] Op, Chit., Sahal Mahfudh,
hal. 382.
[8] Op, Chit., Alaiddin Koto,
hal. 131.
[12] Ibid, hal. 399.
[14] Op, Chit., Sahal Mahfudh,
hal. 402-404.
[15] Op. Chit., Abidin Zainal
Ahmad, hal 214
[16] ibid, hal 215
[17] Suyatno, Dasar-dasar Ilmu
Fiqh & Ushul Fiqh, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 172
[18] Amir Mu’allim Yusdani, Ijtihad
dan Legislasi Muslim Kontemporer, (Jogjakarta: UII Press, 2005), hal. 11
[19] Op, Chit., Alaiddin Koto,
hal. 127
[20] Op, Chit., Amir Mu’allim
Yusdani, hal. 12
[21] Op, Chit., Suyatno, hal.
173
[22] Murtadha & M. Baqir, Pengantar
Ushul Fiqh & Ushul Fiqh Perbandingan. (Malang: Pustaka
Hidayah, 1993), hal.
[23] Op, Chit., Amir Mu’allim
Yusdani, hal. 39-42
[24]
Ibid, hal. 43-51
[25] Ibid, hal. 72
[26] Al Yasa Abubakar, Fiqh Islam
dan Rekayasa Sosial, di dalam Ari Anshori dan Slamet Warsidi (Editor) Fiqh
Indonesia dalam Tantangan, (Surakarta: FIA-UMS, 1991), hal. 13-14
[27] Op, Chit., Amir Mu’allim
Yusdani, hal. 87
[28] Op, Chit., Al Yasa
Abubakar, hal. 15
[29] Sayyid Baqir Sadr, Iqtisaduna,
(Beirut: Dar at Ta’ruf, 1979), hal. 404-415
[30] Muhammad Yusuf al Qardhawi, Ijtihad
dalam Syariat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hal 173
[31] Muhammad Amin, Ijtihad Ibn
Taimiyyah dalam Bidang Fikih Islam, (Jakarta: INIS, 1991), hal. 39-43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar