AL-QUR’AN DAN HISTORISITASNYA
Khoiriyatul
Muallifa dan Risky Nur Indahsari
Mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas D
Angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang
Abstract
This article discusses about Al-Qur’an and its
historicity, where Al-Qur’an is as a guide for muslim, descended to our prophet
Muhammad SAW by Jibril. Furthermore, Al-Qur’an completes other earlier holy
books and was descended gradually based on people’s need at previous time. The
codification of Al-Qur’an had been there since Muhammad’s period, yet the
codification at that time was done when Muhammad SAW received a vision from
Allah and was spread to his close friends. Then, he asked one of his close
friends to write down the vision or the verse on any things possible. Besides
that, they also memorized those verses. After the death of Muhammad SAW, the
Islamic government was taken over by Abu Bakar as-Siddiq, where there was a war
that killed many hafidz. That incident moved Umar ibn al-Khathab to deliver his
idea to Abu Bakar as-Siddiq to collect Al-Qur’an verses and turn it into
mushaf. While the codification done in KhalifahUstmanibnAffan period, there
were some problems related to Al-Qur’an. At that period, khalifah focused more
on the expansion of some districts and give less attention on Al-Qur’an. One of
the problems occurred related to it was when some people spread their knowledge
about Al-Qur’an, yet with their own various accents. When khalifahUstman bin
Affan knew there were various ways of reading Al-Qur’an in society as it has
spread around places, he took a decision to unite all of the mushafs in his
fellows, so that Islam would have the same way of reading Al-Qur’an and avoid
disunity among muslims.
Abstrak
Artikel
ini membahas tentang kitab suci Al-Qur’an beserta historisitasnya, dimana Al-Qur’an
merupakan pedoman umat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui
perantara malaikat Jibril. Selain itu, Al-Qur’an merupakan penyempurna dari
kitab-kitab sebelumnya dan Al-Qur’an diturunkan secara mutawatir atau
berangsur-angsur sesuai kebutuhan. Kodifikasi Al-Qur’an sudah ada sejak zaman
Nabi Muhammad SAW, namun pada masa Nabi Muhammad beberapa kodifikasi yang
dilakukan yaitu ketika nabi menerima wahyu beliau langsung menyampaikannya
kepada sahabat-sahabatnya. Kemudian beliau mengutus kepada salah satu
sahabatnya untuk menuliskan wahyu atau ayat yang baru diterima nabi untuk
ditulis ke benda apa saja yang bisa ditulis. Selain menulisnya, mereka juga
menghafalkan apa yang telah ia tulis. Setelah nabi wafat, pemerintahan Islam
digantikan oleh khalifah Abu Bakar as-Siddiq, dimana pada masa itu terjadi
peperangan yang menewaskan banyak sahabat penghafal Qur’an. Kejadian tersebut
medorong Umar ibn al-Kaththab untuk menyalurkan inspirasinya kepada khalifah
Abu Bakar as-Siddiq untuk mengumpulkan ayat-ayat suci Al-Qur’an kedalam satu
mushaf. Sedangkan kodifikasi yang dilakukan pada masa Khalifah Ustman ibn Affan
terjadi berbagai permasalahan mengenai al-Qur’an. Dimana pada saat itu khalifah
lebih fokus pada perluasan wilayah dan kurangnya perhatian terhadap Al-Qur’an.
Salah satu permasalahan yang timbul berkaitan dengan masalah tersebut ialah,
banyaknya sahabat yang berbondong-bondong untuk mengajarkan Al-Qur’an keseluruh
wilayah dengan logat mereka masing-masing. Ketika melihat terjadinya perbedaan
bacaan di kalangan umat Islam, karena berkembangnya mushaf-mushaf yang telah
ada pada para sahabat. Maka langkah yang diambil oleh khalifah Ustman bin Affan
yaitu beliau memerintahkan untuk menyatukan mushaf-mushaf yang ada pada para
sahabat, tujuannya agar umat Islam tidak mengalami perbedaan dalam membaca Al-Qur’an
yang nantinya bisa menimbulkan perpecahan.
Keywords: Al-Qur’an, Nabi Muhammad, Khalifah
A.
Pendahuluan
Islam merupakan
agama rahmatan lil ‘alamin, seseorang
bisa dikatakan sudah masuk Islam apabila ia telah mengucapkan dua kalimat
syahadat yakni kalimat yang meyakini bahwa Tuhan hanya satu, dan Nabi Muhammad
adalah utusannya. Pada dasarnya Islam juga mengharuskan (wajib) bagi
penganutnya untuk mempelajari dan meyakini rukun Islam dan rukun iman, dan
mengamalkannya. Dimana isi dari salah satu rukun tersebut yaitu iman kepada
kitab-kitab Allah, salah satunya adalah kitab Al-Qur’an.
Al-Qur’an
merupakan kitab suci umat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw
melalui malaikat Jibril, dan menjadi pedoman untuk umat Islam. Al-Qur’an juga
merupakan kitab terakhir dan penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur’an
menjadi sumber pengetahuan bagi umat Islam, baik itu tentang cara berperilaku,
berbicara, maupun lainnya. Selain sebagai sumber pengetahuan, Al-Qur’an juga
mengandung ajaran-ajaran yang diyakini oleh penganutnya mampu memberikan solusi
maupun kontribusi dalam memecahkan berbagai permasalahan. Baik tentang
permasalahan hukum, politik, sosial dan lain sebagainya.
Sedangkan
kesadaran umat islam untuk berusaha lebih dekat dengan Al-Qur’an terdengar
semakin kuat. Hal tersebut terbukti dari banyaknya Al-Qur’an dan Sunnah yang
terdengar kapanpun dan dimanapun kita berada di media cetak maupun elektronik,
didalam khotbah-khotbah dan lain sebagainya. Namun, menempatkan Al-Qur’an
sebagai petunjuk tidak semudah ketika kita menyampaikan informasi kepada orang
lain.
Al-Qur’an
merupakan kitab suci agama islam yang berisi pedoman untuk bertindak bagi
seluruh umat islam, sehingga mencapai kehidupan yang bahagia di dunia dan di
akhira, lahir dan batin. Kemudian untuk menuju kehidupan yang bahagia tersebut
harus memenuhi ketentuan dan tuntutan tertentu seperti harus berakidah yang
benar, tata aturan yang baik dalam bermasyarakat dan lain sebagainya. Oleh
karena itu, penulis berupaya menjabarkan tentang definisi Al-Qur’an secara
rinci serta historisitasnya dari Al-Qur’an tersebut.
B.
Pengertian
Al-Qur’an
1.
Pengertian
Secara Etimologi (Bahasa)
Secara etimologis Al-Qur’an berasal dari
kata “qara’a, yaqra’u, qira’atan, atau qur’anan” yang artinya
mengumpulkan atau menghimpun dari satu kata atau huruf bagian satu ke bagian
lain, yang dilakukan secara teratur.[1]
Selain
itu, beberapa ulama ada yang berpendapat bahwa dalam pengucapan kata al-Qur’an
tanpa menggunakan huruf hamzah, hal itu merupakan pendapat dari al-Syafi’i,
al-Farra, dan al-Asy’ari. Sedangkan beberapa ulama yang lain berpendapat bahwa
dalam pengucapan kata al-Qur’an harus menggunakan huruf hamzah, diantaranya
yaitu al-Zajjaj dan al-Lihyani. Berikut definisi dari para ulama-ulama
tersebut:[2]
a.
Al-Syafi’i , kata Al-Qur’an
merupakan nama asli yang telah tercantum dalam Al-Qu’ran itu sendiri dan tidak
diambil dari kata lain. Hal
itudisebabkankarena kata tersebut merupakan nama khusus yang diberikan Allah SWT sebagaimana nama kitab
Injil dan
Taurat.
b.
Sedangkan menurut al-Farra
kata Al-Qur’an merupakan jamak dari
qarinah yaitu al-qara’in yang berarti petunjuk, hal itu terlihat dari ayat-ayat Al-Qur’an yang serupa antara
satu sama
lainnya, maksudnya sebagian ayat-ayatnya merupakan petunjuk atau
penjelasan dari
ayat yang serupa dengan itu.
c.
Menurut al-Asy’ari, kata Al-Qur’an berasal dari kata qarana yang artinya menggabungkan,
hal
itu disebabkan karena surat-surat dan
ayat-ayat yang terdapat di dalamAl-Qur’an dihimpun dan digabungkan menjadi satu mushaf.
d.
Sedangkan pendapat dari al-Zajjaj
kata Al-Qur’an berasal dari kata al-qar’u yang berarti penghimpunan, hal
itu disebabkan karena Al-Qur’an merupakan kitab suci yang menghimpun intisari
dari ajaran kitab-kitab suci sebelumnya.
e.
Menurut al-Lihyani kata Al-Qur’an
berasal dari kata qara’a yang berarti membaca, namun kata Al-Qur’an
menurut al-Lihyani merupakan masdar bima’na ismil maf’ul namun dengan
arti maqru’ yang artinya dibaca.[3]
2.
Pengertian
Secara Terminologi (Istilahi)
Sedangkan pengertian Al-.Qur’an secara terminologis juga terdiri dari
beberapa pendapat para ulama di
antaranya yaitu:
a.
Menurut Manna’ Al-Qaththan:
كَلَامُ اللهِ الْمُنَزَّلُ عَلَى
مُحَمَدٍ ص.م.اَلْمُتَعبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ.
Artinya:
“Kitab Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan membancanya memperoleh pahala.”
b.
Menurut Al-Jurjani:
هُوَالْمُنَزَّلُ عَلَى
الرَّسُوْلِ الْمَكْتُوْبُ فِى الْمَصَاحِفِ الْمَنْقُوْلُ عَنْهُ نَقْلًا
مُتَوَاتِرًا بِلَاشُبْهَةٍ.
Artinya:
“Yang diturunkan
kepada Rasulullah SAW, yang ditulis di dalam mushaf dan yang diriwayatkan
secara mutawatir tanpa keraguan.”
c.
Menurut Abu Syahbah:
هُوَ
كِتَابُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ المُنَزَّلُ على خَاتَمِ أَنْبِيَائِهِ مُحَمَّدٍ
ص.م. بِلَفْظِهِ وَمَعْنَاهُ. المَنْقُوْلُ بِالتَّوَاُّترِ المُفِيْدُ لِلْقَطْعِ
وَاليَقِيْنِ المَكْتُوبُ فى المَصَاحِفِ مِنْ اَوَّلِ سُورَةِ الفَاتِحَةِ الى اَخِرِ
سُورَةِ النَّاسِ.
Artinya:
“Kitab Allah
yang diturunkan baik lafadz maupun maknanya kepada nabi terakhir, Muhammad SAW,
yang diriwayatkan secara mutawatir, yakni dengan penuh kepastian dan keyakinan
(akan kesesuaiannya dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad) yang ditulis
pada mushaf mulai dari awal surat Al-Fatihah (1) sampai akhir surat An-Nas
(114).”
d.
Menurut kalangan ushul fiqih,
fiqih, dan bahasa arab:
كَلَامُ اللهِ الْمُنَزَّلُ عَلَى
،َبِيِّهِ (محمد)ص.م.اَلْمُعْجِزُ بِتِلَاوَتِهِ اَلْمَنْقُوْلُ بِالتَّوَاتُرِ,
اَلْمَكْتُوْبُ فِى الْمَصَاحِفِ مِنْ أَوَّلِ سُوْرَةِ الْفَاتِحَةِ إِلَى
سُوْرَةِ النَّاسِ
Artinya:
“Kalam Allah
yang diturunkan kepada nabi-Nya, Muhammad, yang lafadz-lafadznya mengandung
mu’jizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawatir,
dan yang ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat al-fatihah sampai akhir
surat an-nas.[4]
Dari
beberapa definisi tersebut, masih terdapat banyak lagi definisi-definisi lainnya.
Meskipun semua definisi tersebut berbeda, definisi-definisi tersebut masih bisa
diterima untuk dijadikan acuan bagi kita untuk mengetahui tentang pengertian Al-Qur’an,
yang selama itu tidak keluar dari syariat Islam.[5]
Akan
tetapi, definisi Al-Qur’an yang dianggap sebagai definisi yang dapat diterima
oleh para Ulama terutama ahli Bahasa, ahli Fiqh dan ahli Ushul Fiqh ialah
pendapat dari Dr. Muhammad Shubhi Shalih yang berpendapat bahwa Al-Qur’an yaitu
“Kalam yang mu’jiz (dapat melemahkan orang yang menentangnya) yang
diturunkan kepada Nabi (Muhammad) saw, yang tertulis dalam mushaf, yang
disampaikan (kepada kita) secara mutawatir dan membacanya dianggap ibadah”.[6]
Setiap orang muslim diwajibkan untuk
memperbanyak membaca al-qur’an karena membaca al-qur’an dapat mengangkat
derajat, menghapus segala kejelekan, mendidik akhlak untuk menjadi terpuji
karena dalam al-quran selalu mengajarkan kebaikan dan melarang hal-hal yang
buruk, serta mencerahkan jiwa seseorang yang membacanya. Allah SWT berfirman:
إِنَّ الَّذِيْنَ يَتْلُوْنَ
كِتَابَ اللهِ وَأَقَامُ الصَّلواةَ وَأَنْفَقُوْا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا
وَعَلَانِيَةً يَرْجُوْنَ تِجَارَةً لَّنْ تَبُوْرَ
“sesungguhnya,
orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan
menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan
dim-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak
akan merugi.”
(QS. Faathir ayat 29).[7]
Rasulullah
SAW juga bersabda:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ
اللهِ فَلَهُ حَسَنَةٌ, وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا, وَلَامٌ حَرْفٌ,
وَمِيْمٌ حَرْفٌ (رواه البخاري والترمذي والحاكم).
“Barang siapa
membaca satu huruf dari al-qur’an, maka ia akan mendapatkan sebuah kebaikan.
Dan satu kebaikan tersebut dilipatgandakan menjadi sepuluh. Aku tidak pernah
berkata alif laam miim itu satu huruf, akan tetapi alif itu satu uruf, lam satu
huruf, dan mim satu huruf.” (HR. Bukhari, Tirmidzi, dan Hakim).[8]
C.
Bukti-Bukti
Al-Qur’an sebagai Wahyu Allah
Wahyu adalah isyarat yang cepat.
Terjadinya terkadang melalui suara semata, dan terkadang pula melaluiisyarat
dengan sebagian anggota badan. Nabi Muhammad SAW sangat yakin terhadap
wahyu-wahyu Tuhan karena “wahyu adalah informasi yang diyakini dengan
sebenarnya bersumber dari Tuhan”.[9]
Ada tiga aspek yang dapat menjadi bukti
kebenaran Nabi Muhammad SAW, sekaligus menjadi bukti bahwa seluruh isi Al-qur’an
itu bersumber dari Tuhan, yaitu:
1.
Aspek keindahan dan ketelitian
redaksi-redaksinya
Seringkali al-quran turun secara
spontan, untuk menjawab pertanyaan atau mengomentari suatu peristiwa. Misalnya
pertanyaan orang Yahudi tentang hakikat ruh. Pertanyaan ini dijawab secara
spontan atau langsung sehingga tidak memberi peluang untuk berfikir dan
menyusun dengan redaksi yang indah apalagi teliti.[10]
2.
Pemberitaan-pemberitaan gaibnya
Seperti berita tentang firaun yang
mengejar-ngejar Nabi Musa dan ditolong oleh Allah untuk menjadi pelajaran bagi
generasi berikutnya. Jasadnya yang masih utuh seperti yang diberitakan melalui
al-qur’an melalui Nabi yang ummiy (tidak bisa membaca dan menulis).[11]
3.
Isyarat-isyarat ilmiahnya
Banyak sekali isyarat ilmiah yang
ditemukan dalam al-qur’an. Misalnya “cahaya matahari bersumber dari dirinya
sendiri, sedangkan cahaya bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari), dan
masih banyak lagi yang kesemuanya belum diketahui manusia. Dari manakah beliau
mengetahui kalau bukan dari Allah.[12]
Al-Qur’an merupakan kalam Allah swt yang telah dijelaskan dalam surat (as-Syuara’ 26:192-195):
وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ, نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ, عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ
الْمُنْذِرِينَ, بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ
“Dan sungguh, (al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan
seluruh alam)”
“Yang dibawa
turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril)”
“ke dalam hatimu
(Muhammad) agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan”
“dengan bahasa
Arab yang jelas”
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh
ayat tersebut, bahwa Al-Qur’an merupakan kalam Allah swt yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril. Dimana ayat-ayat tersebut akan turun
atau langsung masuk ke dalam hati Nabi, yang disebutkan bahwa Al-Qur’an
diturunkan dalam bahasa Arab, alasannya karena Nabi berasal dari bangsa Arab.
Di sisi lain, penyampaian ayat-ayat al-Qur’an melalui malaikat Jibril merupakan
salah satu dari tiga cara Allah swt dalam berkomunikasi dengan manusia
diantaranya yaitu: (1) melalui wahyu (ilham langsung), (2) dari balik hijab,
(3) mengutus malaikat Jibril, kemudian Dia mewahyukan kepadanya (manusia)
dengan seizin-Nya apa yang dikehendakinya.[13] Seperti
firman Allah di dalam surah Al-Syura, ayat 51 sebagai berikut:
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍاَنْ
يُكَلِّمَهُ اللهُ اِلَّا وَحْيًا اَوْمِنْ وَرَآئِ حِجَابً اَوْ يُرْسِلَ
رَسُوْلًا فَيُوْحَى بِاِذْنِهِ...
“Dan tidak (terdapat) bagi seorang
manusia bahwa Allah bercakap-cakap kepadanya, kecuali dengan wahyu, atau dari
balik hijab atau dia mengirim utusan lalu mewahyukan dengan izinnya.” (Al-Syura,
ayat 51)[14]
D.
Sejarah
Penulisan dan Kodifikasi Al-Qur’an
1.
Masa
Nabi Muhammad SAW
Ketika ayat-ayat
suci Al-Qur’an diturunkan kapada Rasulullah saw, beliau segera menyampaikannya
kepada para sahabatnya tanpa merubah, mengurangi maupun menambah ayat-ayat
tersebut sebagaimana beliau menerima dari malaikat jibril. Dimana pada saat itu
Rasulullah saw menganjurkan kepada sahabat-sahabatnya untuk menyampaikannya
lagi kepada sahabat lainnya, terutama kepada anggota keluarga, tetangga dan
hamba yang telah masuk Islam.
Selain itu,
semua ayat Al-Qur’an yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw mendorong minat
sahabat-sahabatnya untuk menghafal Al-Qur’an. Beliau juga menyuruh para sahabatnya
untuk menuliskan ayat-ayat suciAl-Qur’an di atas benda-benda yang bisa ditulis diantaranya
adalah pelepah tamar, kepingan batu, potongan kayu, kain, keratan tulang dan kulit binatang yang sudahdisamak.[15]
Jumlah sahabat
yang pernah menuliskan ayat-ayat suci Al-Qur’an kurang lebih 43 orang
diantaranya yaitu Abu Bakar, Umar ibn al-Khaththab, ‘Ustman ibn ‘Affan, Ali ibn
Abi Thalib, Abu Sufyan, dsb.Kegiatan menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an itu
sebagaimana yang telah didasarkan kepada sebuah hadist Nabi, yang telah
diriwayatkan dalam hadist Muslim sebagai berikut:
Artinya:
“Janganlah kamu
menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali Al-Qur’an, Barang siapa telah
menulis dariku selain Al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya.” (H.R. Muslim)[16]
Akan tetapi dari
43 sahabat tadi, yang paling sering menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an yang
diturunkan di Madinah adalah Zaid ibn Tsabit, dimana ia adalah sekretaris
pribadi Rasulullah saw.[17]
Rasulullah saw
tidakhanyamemperhatikanayat-ayatsuciAl-Qur’an yang beliauterimasetelahberada di
Madinah, melainkanketikabeliaujugamasihberada di Mekkah. Meskipun, padasaat di
Mekkahjumlahumat Muslim masihsedikitdanterbatasnyasarana yang digunakanuntukmenuliskanayat-ayatsuciAl-Qur’an.[18]
Selainitu,
untuktetapterjaganyaayat-ayatsuciAl-Qur’an Rasulullah saw
tidakhanyamenyuruhparasahabatnyamenghafaldanmenuliskanayat-ayatAl-Qur’an
secarautuh. Melainkanjugamenempatkanayat-ayatAl-Qur’an padasuratnyamasing-masing.[19]
2.
Masa
Khalifah Abu Bakar
Setelah wafatnya
Nabi Muhammad saw, khalifah pertama yang menggantikan beliau sebagai pemimpin
dan memerintah umat Islam pada saat itu adalah Abu Bakar al-Shiddiq ra. Dimana
Abu Bakar melakukan upaya untuk pemeliharaan keautentikan teks Al-Qur’an yang
lebih maju, yaitu dengan terlaksananya pengumpulan ayat-ayat suci Al-Qur’an ke
dalam sebuah mushaf.
Latar belakang
pengumpulan ayat-ayat suci Al-Qur’an ke dalam sebuah mushaf yaitu, setelah
terjadinya peperangan antara kaum muslimin dan pengikut Musailamah al-Kayyab
yang terjadi di Yamamah. Dimanadalampeperangantersebutmenurutsebuahriwayatsebanyak
1200 kaummuslimin yang syahiddiantaramerekaterdapatkuranglebih 360 orang
darikaumMuhajirindankaumAnshar. Selainitu, jugaterdapat 70 orang dariqaridanhafizhAl-Qur’an.
Hal tersebutlah yang menimbulkankekhawatiranpada Umar ibn
al-KhaththabbahwaakanbanyaklagiqaridanhafizhAl-Qur’an yang
akansyahid, baikdalampeperanganmaupunhallainnya yang akanmenyebabkanbanyaknyaAl-Qur’an
akanhilang.[20]
Kemudian Umar
ibn al-Khaththab menyampaikan ide kepada khalifah Abu Bakar agar berkenan mengumpulkan Al-Qur’an dari berbagai
sumber, baik yang sudah tersimpan dalam bentuk hafalan maupun tulisan. Dimana
Zaid bin Tsabit merupakan salah satu “juru tulis” Nabi Muhammad.[21]
Menurut Zaid
tugas yang telah dipercayakan khalifah Abu Bakar kepadanya bukanlah hal yang
ringan, sebagaimana kalimat yang pernah terlontar dari mulutnya “Demi Allah,
jika sekiranya orang-orang membebaniku memindahkan suatu gunung, hal itu bagiku
tidak lebih berat daripada apa yang kau perintahkan kepadaku untuk menghimpun Al-Qur’an.”
Hal tersebut sudahlah wajar mengingat tanggung jawab Zaid yang harus menghimpun
ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai tempat yakni, yang tertulis di kayu, pelepah
kurma, tulang hewan, dan di batu, yang kemudian harus mencocokkan
catatan-catatannya dengan catatan-catatan yang dimiliki oleh para sahabat
lainnya. Serta mencocokkannya lagi dengan hafalan-hafalan yang dimiliki para
sahabatnya tadi. Alasan khalifah Abu Bakar menunjuk Zaid bin Tsabit, karena ia
mempunyai kecakapan untuk melaksanakan tugas, meskipun ia masih muda.[22]
Khalifah Abu
Bakar memilih Zaid bin Thabit juga karena sejak usianya diawal dua puluh
tahunan, Zaid diberi keistimewaan tinggal berjiran atau bersebelahan dengan
Nabi Muhammad dan bertindak sebagai salah seorang penulis wahyu yang amat
cemerlang. Abu bakar mencatat kualifikasi Zaid sebagai berikut:
1.
Masa muda Zaid menunjukkan
vitalitas dan kekuatan energinya.
2.
Akhlak yang tak pernah tercemar
menyebabkan Abu Bakar memberi pengakuan secara khusus dengan kata-kata, “Kami
tak pernah memiliki prasangka negatif pada anda”.
3.
Kecerdasannya menunjukkan
pentingnya kompetensi dan kesadaran.
4.
Pengalamannya dimasa lampau
sebagai penulis wahyu.[23]
Melalui
kesunguhannya tersebut dalam waktu kurang dari satu tahun, Zaid yang dengan
dibantu Umar ibn Khattab berhasil menyelesaikan mushaf yang isinya masih murni,
tanpa ada tambahan maupun pengurangan satu ayat, dan telah sesuai dengan yang
dibacakan oleh Rasulullah saw.[24]
3.
Masa
Khalifah Utsman
Setelah wafatnya
Khalifah Umar ibn al-Khattab, maka pemeritahan umat Islam dipimpin oleh
Khalifah Utsman ibn Affan. Dimana pada masa kepemimpinannyaditandai dengan
berbagai penaklukan. Kurang lebih enam tahun lamanya masa penaklukan tersebut.
Oleh karena itu, perhatian pemerintah dan kaum muslim saat itu banyak tercurah
pada penaklukan dan perluasan daerah kekuasaan islam.Sedangkan masalah yang terkait dengan pengajaran
al-qu’an diserahkan sepenuhnya kepada penghafal al-qur’an dan mereka sanggup
untuk itu. Disamping negara memiliki mushaf resmi, beberapa sahabat lain juga
memiliki mushaf pribadi yang dikumpulkannya atas inisiatif dan usaha sendiri, diantara
bacaan dan susunannyapun berbeda dengan yang terdapat dalam mushaf resmi.
Para sahabat
yang memiliki mushaf pribadi itu ada yang menetap di luar madinah dan menjadi
guru-guru al-qur’an disana dan mushaf-mushaf pribadi itu menjadi pegangan bagi
kaum muslimin setempat. Mushaf-mushaf tersebut tidak seragam, terutama dalam
hal bacaannya. Kelompok-kelompok kaum muslim yang memperpegangi mushaf-mushaf
tersebut fanatik terhadap kebenaran mushaf yang mereka perpegangi. Akibat dari
perbedaan logat bacaan yang selama ini tidak terawasi oleh pemerintah sebagaimana yang
dilakukan pada masa Khalifah Umar ibn Al-Khattab, telah menimbulkan pertikaian
yang tajam sesama kaum Muslim.[25]
Kasus perbedaan
bacaan yang sangat memprihatinkan itu telah disaksikan pula oleh Huzaifah ibn
al-Yamami, yang kemudian melhirkan gagasan dalam dirinya untuk mengusulkan kepada
khalifah Utsman agar segera mungkin bertindak untuk menyeragamkan mushaf
al-qur’an kepada satu qira’at atau bacaan saja. Dan khalifah Utsman menerima
laporan yang serupa dari sahabat-sahabat yang lain.Dengan inilah terjadilah
pengumpulan al-quran untuk menghilagkan perselisihan dan untuk menyeragamkan
pembacaan al-qur’an di kalangan kaum muslim pada satu harf.[26]
Beberapa langkah
yang ditempuh oleh khalifah Utsman untuk merealisasikan ide penyeragaman mushaf
al-qur’an:
1.
Meminjma mushaf resmi yang telah
dikerjakan oleh Zaid pada masa Abu Bakar kepada Hafshah untuk disalin ke dalam
beberapa mushaf.
2.
Membentuk sebuah panitia yang
terdiri atas empat orang, yaitu ketua Zaid ibn Tsabit dan anggota-anggotanya
sebanyak tiga orang. Pada mulanya jumlah anggota panitia itu hanya empat orang.
Namun setelah meliahat jumlah mushaf yang dibutuhkan untuk dikirim ke berbagai
negeri islam itu lebih banyak daripada rencana semula, jumlah anggota panitia
juga harus ditambah menjadi 12 orang. Tugas yang harus dilaksanakan panitia
tersebut adalah:
a.
Menyalin kembali mushaf resmi
yang telah dipinjam dari Hafshah ke dalam beberapa buah mushaf.
b.
Sebelum penyalinan dimulai,
panitia terlebih dahulu meneliti kelengkapan dan isi mushaf itu, kalau ada ayat
yang tercecer dan sudah hilang atau yang tidak sesuai dengan logat atau dialek
Quraisy, mengingat tujuan mengumpulkan al-quran pada masa Abu Bakar bukan untuk
menyeragamkan bacaan al-qur’an, melainkan untuk memelihara autensitas teksnya
saja.
c.
Apabila terjadi perselisihan
pendapat diantara para anggota panitia tentang bacaan suatu kata atau ayat
al-qur’an. Rujukannya haruslah logat Quraisy. Mengingat al-qur’an diturunkan
adalah dalam logat tersebut.
3.
Setelah panitia selesai
melaksanakan tugas-tugasnya, maka mushaf-mushaf yang telah diselesaikan oleh
panitia itu, dikirim ke berbagai pusat negeri islam.
4.
Memerintahkan kepada kaum muslim
di seluruh negeri islam untuk membakar semua mushaf dan catatan-catatan
al-qur’an yang tidak sesuai dengan mushaf imam yang telah mereka terima.
E.
Penutup
Berdasarkan
hasil pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an merupakan kalam
Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat
Jibril. Al-Qur’an diturunkan secara mutawatir berdasarkan kebutuhan makhluk.
Selain itu Al-Qur’an merupakan wahyu yang langsung dari Allah SWT, bukan dibuat
oleh siapapun baik itu para malaikat maupun nabi dan rosul.
Pengkodifikasian
Al-Qur’an dibagi menjadi tiga masa, diantaranya yaitu pada masa Nabi Muhammad
SAW, masa Khalifah Abu Bakar As-Siddiq dan masa Khalifah Ustman ibn Affan.
Dimana pada masa Nabi Muhammad SAW, ketika wahyu diturunkan kepada Nabi beliau
langsung menyampaikan kepada sahabat-sahabatnya dan ditulis di berbagai tempat
tanpa menambah maupun mengurangi sedikitpun dari apa yang telah dibacakan oleh
nabi. Setelah Rasulullah wafat kepemimpinan digantikan oleh Abu Bakar
As-Siddiq, dimana pada saat kepemimpinan beliau terjadi perang Yamamah yang
banyak menewaskan para sahabat penghafal Al-Qur’an. Hal tersebut mendorong Umar
ibn Al-Khathab untuk memberikan ide kepada Khalifah Abu Bakar agar mengumpulkan
ayat-ayat Al-Qur,an dalam satu mushaf.Sedangkan
pada masa Khalifah Ustman ibn Affan hanya menyamakan bacaan karena sebelumnya,
banyak sahabat yang mengajarkan al-Qur’an dengan logat bacaan mereka
masing-masing agar tidak terjadi perpecahan dan kesalahpahaman antar umat Islam
Daftar Pustaka
Al-Azami,
M.2005.The History of The Qur’anic Text.Jakarta:Gema
Insani
Anwar, Rosihon.2015.Ulum Al-Qur’an.Bandung:CV Pustaka Setia
Athailah.2010.Sejarah Al-Qur’an.Yogyakarta: PustakaPelajar
Hermawan,Acep.2011.Ulumul
Qur’an.Bandung: PT RemajaRosdakarya Offset
Hitami, Munzir.2012.PengantarStudi
Al-Qur’an.Yogyakarta: LKiS
Marzuki,
Kamaluddin.1994.’Ulum Al-Quran.Bandung:PT
Rosda Karya
Muhaimin
dkk.2005.KawasandanWawasanStudi Islam.Jakarta: Kencana
Quraish,
M. Shihab.1994.Membumikan Al-Qur’an.Bandung:Mizan
Media Utama
Quraisy,
M. Shihab.2007.Membumikan Al-Quran:Fungsi
dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat.Bandung:Mizan Media Utama
Sayyid, Muhammad Thanthawi.2013.Ulumul Qur’an TeoridanMetodologi.
Yogyakarta:IRCiSoD
Zuhdi,
Masjfuk.1993.Pengantar Ulumul Qur’an.Surabaya: PT Bina Ilmu
Catatan-catatan:
1.
Penulisan footnote masih ada beberapa
yang salah, jadi tolong diperbaiki.
2.
Bukti-bukti al-Qur’an adalah wahyu
tolong lebih diuraikan lagi.
3.
Jika buku yang dirujuk adalah buku
terjemahan, tolong disebutkan nama penerjemahnya.
[2]Athailah, Sejarah Al-Qur’an, (Yogyakarta:
PustakaPelajar, 2010), hlm. 11
[3]MasjfukZuhdi, PengantarUlumul Qur’an, (Surabaya:
PT BinaIlmu, 1993), hlm. 2
[4] Rosihon Anwar,Ulum Al-Qur’an,(Bandung:CV Pustaka
Setia,2015), hlm. 33
[5]Athailah, Sejarah Al-Qur’an,(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,2010), hlm. 16
[6]MasjfukZuhdi, PengantarUlumul Qur’an,(Surabaya:
PT Bina Ilmu,1993), hlm. 1
[7]Muhammad
SayyidThanthawi, Ulumul Qur’an TeoridanMetodologi, (Yogyakarta:IRCiSoD,2013),
hlm. 28
[8]
Ibid.,hlm. 29
[9]M. Quraisy Shihab,Membumikan
Al-Quran:Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,(Bandung:Mizan Media
Utama,2007),hlm. 37
[10]Ibid.,hlm. 39
[11]
Ibid.,hlm. 43
[12]
Ibid.,hlm. 44
[13]MunzirHitami,PengantarStudi Al-Qur’an,(Yogyakarta:
LKiS, 2012),hlm.17
[14] Kamaluddin Marzuki,’Ulum Al-Quran,(Bandung:PT Rosda
Karya,1994),hlm. 10
[15]Athailah,
Sejarah Al-Qur’an, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2010), hlm. 180
[16] Rosihon Anwar.,op.cit.,hlm. 39
[17]Athailah,
Sejarah Al-Qur’an, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2010), hlm. 196
[18] Ibid.,hlm. 197
[19] M. Quraish Shihab,Membumikan Al-Qur’an, (Bandung:Mizan
Media Utama,1994),hlm. 24
[22] Ibid.,hlm. 72
[23] M. Al-Azami, The History of The Qur’anic Text,(Jakarta:Gema
Insani,2005),hlm. 85
[25] Athaillah.,op.cit.,hlm. 236
[26] Ibid.,hlm. 240
Tidak ada komentar:
Posting Komentar