SEJARAH
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQH
Fatkhurrozi,
Nurma Aini, Fajri Fuadah Mazamy
Mahasiswa
PAI UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Angkatan 2014
Abstract
Study
of Ushul Fiqh is the very basic studies in Islam. This
study used to know the basics of the existence of the
law in the science of Fiqh. To find out
about Usul Fiqh, we can't escape from growth
and development. Usul Fiqh of its own seed had
existed at the time of the Prophet, but was still not there
are statutes or the constraints of the
rule language. Due at the time of the Messenger of the
determination of the law determined by the
Prophet and the companions and if failure then God
himself will bring revelation to correct the mistake. The
death of the Prophet and his companions, the science of Ushul
fiqh also stiil able to thrive with the constraints of the
rule language, due to the large difference in the style
of the language among the mujtahid himself. And from
this comes up a lot of difference in the law of
Islam.Therefore, here the author try to discuss
about how the growth and development of Ushul Fiqh, ranging
from the birth of the science of Ushul Fiqh, Ushul Fiqh up
to the development of Science and any books that
discuss the science of Ushul Fiqh.
Keyword : Ushul
Fiqh, science of Ushul Fiqh, law of Islam,
Abstrak
Kajian Ushul Fiqh merupakan kajian yang sangat
mendasar dalam agama Islam. Kajian ini digunakan untuk mengetahui dasar-dasar
adanya hukum dalam Ilmu Fiqh. Untuk mengetahui tentang Ushul Fiqh, kita tidak
dapat lepas dari pertumbuhan dan perkembangannya. Ushul Fiqh sendiri
bibit-bibitnya telah ada sejak pada zaman Rasulullah SAW, akan tetapi masih
belum terdapat ketetapan atau batasan-batasan kaidah bahasa. Dikarenakan pada zaman
Rasulullah penentuan hukum tersebut ditentukan oleh Rasulullah dan para sahabat
dan jika terjadi kekeliruan maka Allah sendiri akan menurunkan wahyu untuk
memperbaiki kekeliruan tersebut. Sepeninggal Rasulullah dan para
sahabat-sahabatnya, ilmu ushul fiqh juga masih tetap dapat berkembang dengan
batasan-batasan kaidah bahasa, karena banyaknya perbedaan gaya bahasa
dikalangan mujtahid sendiri. Dan dari sinilah muncul banyak perbedaan hukum di
dalam agama Islam. Oleh karena itu, disini penulis mencoba membahas tentang
bagaimana pertumbuhan dan perkembangan Ushul Fiqh, mulai dari lahirnya Ilmu
Ushul Fiqh, hingga berkembangnya Ilmu Ushul Fiqh dan kitab-kitab apa saja yang
membahas tentang Ilmu Ushul Fiqh.
Kata Kunci:
Ushul Fiqh, Ilmu Ushul Fiqh, Hukum dasar Islam
A.
Pendahuluan
Ushul
fiqh adalah sautu ilmu yang mengungkap tentang berbagai metode yang
dipergunakan oleh para Mujtahid dalam menggali dan menapak suatu hukum syari’at
dari sumbernya yang telah dinashkan dalam Al-qur’an dan Al-sunnah.[1]Atau bisa saja disebut sebagai kaidah
penggalian hukum yang bersumber langsung dari Al qur’an dan hadist.
Dalam
kehidupan sehari-hari secara sadar atau tidak, kita pasti melakukan berbuatan
yang berhubungan dengan ilmu-ilmu ushul fiqih. Karena ilmu ushul fiqih adalah
salah satu cabang dari ilmu keagamaan dalam islam. Tentunya untuk memahami ilmu
tersebut kita harus sering belajar atau membacanya. Pijakan atau dasar Ilmu
Ushul Fiqh tidaklah berbeda dengan ilmu keagamaan dalam Islam, yakni berpijak
pada Al-Qur’an dan
Al-hadist. Ilmu ushul
Fiqh merupakan ilmu tentang cara atau metode untuk mengeluarkan fiqh dari
sumbernya.
Untuk mengetahui
suatu kekuatan dan kelemahan dalam suatu pendapat sejalan dengan dalil yang telah
digunakan dalam berijtihad, maka di perlukan untuk memelihara agama dari
penyalahgunaan dalil yang mungkin terjadi dalam pembahasan ushul fiqh,
sekalipun suatu hukum diperoleh melalui hasil ijtihad, hal ini statusnya tetap
mendapat pengakuan syara’. Melalui ushul fiqh juga para peminat hukum Islam
agar mengetahui mana sumber hukum Islam yang asli kemudian yang harus
dipedomani dan mana yang merupakan sumber hukum islam yang bersifat sekunder
yang nantinya akan berfungsi untuk mengembangkan syariat sesuai dengan
kebutuhan masyarakat Islam.
Ushul
Fiqh tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak
zaman Rasulullah dan sahabat, Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih
seperti ijtihad, qiyas,nasakh dan takhsis sudah ada sejak
zaman Rasulullah dan sahabat.[2]
Pertumbuhan
dan perkembangan Ilmu Ushul Fiqih hampir sama dengan berkembangnya Ilmu Fiqh
sendiri, dengan perbedaan yaitu Ilmu Fiqih mempelajari tentang hukum perbuatan
yang dilakukan dalam ibadah sedangkan Ilmu Ushul Fiqih mempelajari dasar dari
hukum ibadah itu sendiri.
B.
Pembukuan
ushul fiqih
Salah
satu pendorong diperlukannya pembukaan ushul fiqih adalah perkembangan wilayah
Islam semakin luas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai
persoalan yang belum diketahui hukumnya. Untuk itu para ulama islam sangat
membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan
dalam menggali dan menetapkan hukum.[3]
Sebelum
dibukukannya ilmu ushul fiqih, sebenarnya para ulama-ulama terdahulu juga sudah
membuat kaidah-kaidah ushul fiqih yang disampaikan atau dipegang oleh
pengikutnya masing-masing. Maka dari itu, tak heran kalau gurunya itu disebut
sebagai penyusun pertama dalam kaidah-kaidah itu.
Dalam
golongan Hanafiah misalnya, mereka mengklaim bahwa imam Abu Hanifah, Abu yusuf
dan Muhammad ibnu Ali Al-Hasan adalah ulama yang pertama kali menyusun ilmu
Ushul Fiqih. Mereka beralasan bahwa Abu Hanifah merupakan orang yang
pertamakali menjelaskan metode istinbath dalam bukunya ar-ra’y. Dan abu yusuf
orang yang pertama kali menyusun Ushul fiqih dalam madzab Hanafi, demikian juga
Muhammad ibnu al-hasan telah menyusun ushul fiqih sebelum syafi’i, dan bahkan
Asy-syafi’i berguru kepadanya.[4]
Akan
tetapi, Musthafa Abdul Ar-Raziq tidak setuju dan mengkritik pernyataan diatas,
Dia berkata bahwa jika dianggap benar Abu yusuf dan Muhammad Ibnu hasan
mempunyai kitab Ushul fiqih, hal itu tidak lain hanyalah berdasarkan kitab yang
mendukung metode istihsan Hanafiyah yang sangat ditentang oleh para ahli hadis.
Dan kalaupun Abu yusuf diakui sebagai orang yang pertama yang berbicara Ushul
fiqih, tidaklah salah jika dikatakan bahwa Asy-syafi’i adalah orang yang
pertama menyusun menjadi disiplin ilmu tersendiri, yang dijadikan rujukan oleh
orang-orang untuk menentukan sebuah hukum.
Golongan
Malikiyah juga mengklaim bahwa Imam Malik adalah orang yang pertamakali
berbicara ilmu Ushul fiqih, akan tetapi mereka tidak mengklaim bahwa imam Malik
adalah oarang yang pertama kali menyusun kitab Ushul fiqih.
Golongan
Syafi’iyah pun mengklaim bahwa Imam syafi’i adalah orang yang pertamakali
menyusun kitab Ushul Fiqih. Hal ini menurut pendapat Al-Allamah Jamal Ad-din
Abd Ar-rahman ibnu Hasan Al-asnawi. Menurutnya, “tidak diperseleisihkan lagi,
imam syafi’i adalah tokoh besar yang pertama-tama menyusun kitab dalam ilmu
ini, yaitu kitab yang tidak asing lagi dan yang sampai kepada kita sekarang,
yakni kitab Al-risalah”[5]
Kalau
kita kembalikan pada sejarah, sebelum dibukukanya ilmu Ushul Fiqih yang pertama
kali berbicara tentang Ushul fiqih
adalah para sahabat dan tabi’in, pendapat ini adalah yang paling kuat
dan tidak diperselisihkan lagi. Akan
tetapi yang menjadi perselesihan adalah orang yang pertama kali mengarang kitab
Ushul Fiqih sebagai disiplin ilmu tersendiri dan mencakup semua aspeknya. Maka
dari itu, kita sangat perlu untuk mengetahui teori-teori penulisan dalam ilmu
Ushul fiqih. Secara garis besarteori-teori penulisan dalam ilmu Ushul fiqih ada, yaitu :
Pertama,
merumuskan kaidah-kaidah
fiqhiyah bagi setiap bab dalam bab-bab fiqih dan menganalisisnya serta
mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidah-kaidah tersebut. Misalnya
kaidah-kaidah jual beli secara umum, atau kaidah-kaidah perburuhan. Kemudian
menetapkan batasan-batasanya dan
menjelaskan cara-cara mengaplikasikanya dalam kaidah-kaidah teori tersebut.
Teori inilah yang ditempuh oleh golongan Hanafi dan merekalah yang merintisnya.[6]
Kedua, merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong seorang
mujtahid yang ingin mengambil sebuah
hukum tanpa terikat dengan pendapat orang lain atau suatu pemahaman yang
sejalan atau yang bertentangan denganya.
C.
Sejarah
Pertumbuhan Dan Perkembangan Ushul Fiqih
Pertumbuhan
Ushul fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum islam sejak zaman Rasulullah
SAW sampai pada masa tersusun-nya ushul fiqih sebagai salah satu bidang ilmu
pada abad ke-2 hijriyah.[7]
Ilmu tersebut pada abad pertama hijriyah memang tidak diperlukan lantaran
keberadaan Rasulullah SAW masih bisa mengeluarkan fatwa dan memutuskan suatu
hukum berdasarkan ajaran Al-qur’an dan As-sunnah yang diilhamkan kepada beliau.[8]
Ilmu ushul fiqih termasuk salah satu cabang dari ilmu keagamaan
dalam Islam, ilmu
ushul fiqih tumbuh dan berkembang berpedoman pada Al-qur’an dan hadist. Ilmu
ushul fiqih muncul tidak dengan sendirinya, melainkan sudah ada benih-benihnya
sejak zaman Rasulullah Saw dan para sahabatnya yang sumber hukumnya tidak
terlepas dari Al Qur’an dan Hadist[9].
Selain bersumber utam dari Al Qur’an dan Hadist kajian Ushul Fiqh juga tidak
terlepas dari Ijtihad dan Qiyas juga filsafat ilmu[10].Dari
Al Qur’an dan Hadist ini kemudian para Mujtahid perlu merumuskankaidah-kaidah
pengambilan kesimpulan hukum (istinbath) untukmenetapkan hukum-hukum operasional
yang sesuai dengan kondisi sosial saat ini agar dapat mengimplementasikan
prinsip dan tujuan tasyri’.[11]
Ketika
para sahabat bertanya kepada Rasulullah mengenai suatu permasalahan dan tidak
ada di dalam Al-qur’an dan Hadits, maka Allah menurunkan wahyu kepada
Rasulullah mengenai permasalahan tersebut kemudian Rasulullah menyampaikan
kepada para sahabatnya. Begitulah salah satu cara ketika ditetapkannya suatu
hukum.
Mengenai
sejarah pertumbuhan dan berkembangan Ushul Fiqih Terdapat empat periode, yakni periode
Sahabat Rasulullah, periode Tabi’in, periode Imam-imam Mujtahidin dan periode
sesudah imam-imam mujtahidin. Pada masa sahabat rasulullah untuk menentukan
hukum tidaklah diperlukan sesuatu batasan kaidah bahasa, akan tetapi setelah
masa tabi’in, karena banyaknya perbedaan gaya bahasa diperlukan batasan kaidah
bahasa untuk menentukan suatu hukum, agar tidak ada kesalahpahaman dalam
mempelajari ilmu Ushul Fiqh.
Pada
zaman Rasulullah, ketika terdapat masalah yang solusinya tidak terdapat dalam
Al Qur’an atau Hadits maka para sahabat atau Ulama Ushul akan langsung bertanya
kepada Rasulullah, yang mana Rasulullah akan menetapkan hukum dari hasil
ijtihadnya sendiri.
Dalam
menentukan hukum dari berbagai kasus dizaman Rasulullah SAW yang tidak ada
ketentuanya dalam Al-qur.an, para ulama Ushul fiqih menyimpulkan bahwa ada
isyarat Rasulullah Saw menetapkannya melalui ijtihad. Hal ini dapat diketahui
melalui sabda Rasulullah SAW[12]:
إنما
أنا بشر، إذا امرتكم بشيء من دينكم فخذوا به واذا امرتكم بشيء من رأ ي فانما انا
بشر ( رواه مسلم عن را فع بن خديج )
“sesungguhnya saya adalah manusia (biasa), apabila saya perintahkan
kepadamu sesuatu yang menyangkut agamamu, maka ambillah dia. Dan apabila aku
perintahkan kepadamu sesuatu yang berasal dari pendapatku, maka sesunggunya aku adalah manusia biasa.
(H.R. Muslim dari Rafi’ ibn Khudaij).
Secara otomatis hasil ijtihad Rasulullah tersebut kemudian
dijadikan sebagai sumber hukum dan dalil bagi umat islam karena itu adalah
termasuk sunnah.
Dalam beberapa kasus, Rasulullah Saw juga pernah menggunakan qiyas
ketika menjawab pertanyaan sahabat, misalnya beliau menggunakan qiyas ketika
menjawab pertanyaan “Umar Ibn Khattab” tentang batal tidaknya puas seseorang
yang mencium isterinya.[13]
Rasulullah Saw ketika itu bersabda yang artinya:“Apabila kamu berkumur-kumur
dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal?”. “Umar menjawab tidak
apa-apa”(tidak batal). Rasulullah SAW bersabda, “maka teruskanlah puasamu.” (HR. Bukhori muslim, dan Abu Daud.
Peristiwa Umar dan jawaban dari Nabi Muhammad tersebut menetapkan
tidak batalnya seorang berpuasa karena mencium istrinya dengan meng-qiyaskan
tidak batalnya berpuasa karena
berkumur-kumur.[14]Dari beberapa hadist
tersebutlah yang menjadi bibit munculnya Ushul Fiqh. Beberapa ulama juga menyebutkan
bahwa munculnya Ushul Fiqh juga bersamaan dengan munculnya fiqh itu sendiri
yaitu sejak zaman Rasulullah.
Ketika para sahabat Rasulullah Saw saat berijtihad mereka tidak
memerlukan kaidah bahasa sebagai batasannya, karena pergaulan mereka dengan
Rasulullah dan juga karena mereka telah memahami tujuan-tujuan pembuat hukum
syariat dan dasar-dasar pembentukannya. Akan tetapi, ketika Islam bertambah
luas dan pergaulannya dengan bangsa-bangsa lain, masuklah gaya bahasa baru yang
bukan bahasa Arab sehingga terjadilah kesamaran alam memahami nash dan
dibutuhkanlah penyusunan batasan-batasan dan kaidah-kaidah bahasa, yang
kemudian menjelma sebagai Ilmu Ushulul Fiqh[15].
Orang yang pertama kali mengadakan kodifikasi kaidah-kaidah dan
bahasan bahasan ilmu ini[16],
sehingga merupakan kumpulan tersendiri secara tertib (sistematis), dan
masing-masing kaidah itu dikuatkan dengn dalil dan keterangan atau uraian yang
mendalam (serius), Ialah Imam Muhammad bin Idris al Syafi’i yang
meninggal pada tahun 204 H[17].
Hal tersebut telah diriwayatkan dalam kitab Al Risalah Ushuliyah karya Imam Al
Syafi’i yang merupakan kitab kodifikasi pertama dan satu-satunya kitab yang
sampai pada kita. Dan dipopulerkan oleh Ulama bahwa pendasar Ilmu Ushul Fiqih
adalah Imam Syafi’i.
Berikut merupakan penjelasan tentang empat periode perkembangan
Ushul fiqh :
1.
PadaMasaSahabat
Pada masa sahabat, para sahabat nabi telah menggunakan cara-cara
penggalian hukum fiqh, akan tetapi penggalian hukum ini masih belum disebut
sebagai ushul fiqh. Terdapat beberapa contoh tentang penggunaan ushul fiqh
dalam hal mengeluarkan hukum dari dalil-dalil yangdilakukan oleh para sahabat,
yakni :
a.
Pemberian
sanksi oleh Ali bin Abi Thalib kepada peminum khamr menyamakan dengan sanksi bagi penuduh
zina, dengan alasan :
إنه إذا شرب هذى وإذا هذى قد ف
Atas dasar tersebut sehingga Ali bin Abi
Thalib menjatuhkan sanksi bagi orang yang meminum khamr dengan 80 kali jilid
yang disamakan sanksinya dengan penuduh zina. Dalam hal tersebut Ali bin Abi
Thalib menggunakan qiyas dalam menentukan hukum.
b.
Ibn Mas’ud
menetapkan ‘iddah wanita hamil yang ditinggalkan mati suaminya sampai
melahirkan, dengan dasar :
àM»s9'ré&urÉA$uH÷qF{$#£`ßgè=y_r&br&z`÷èÒt£`ßgn=÷Hxq4
“Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya (Al-Thalaq:4)”[19]
Sedang surat
al-Baqarah ayat 234, menyatakan:
tûïÏ%©!$#urtböq©ùuqtFãöNä3ZÏBtbrâxtur%[`ºurør&z`óÁ/utIt£`ÎgÅ¡àÿRr'Î/spyèt/ör&9åkôr&#Zô³tãur(
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan istri, hendaklah para istri itu ber’idah empat bulan sepuluh hari
(Al-Baqarah:234).[20]
Disini ibn
mas’ud menetapkan hukum dengan menggunakan nask mansukh, karena menurutnya
Surat Al Baqarah ayat 234 turun terlebih dahulu daripada surat Ath-thalaq ayat
4, sehingga menurutnya ayat yang telah di naskhlah yang lebih dapat dijadikan
hukum daripada ayat sebelumnya.
2. Pada Masa Tabi’in
Pada masa tabi’in terdapat dua penggunaan cara atau metode dalam
menentukan hukum, yakni dengan menggunakan maslahah dan yang lainnya
menggunakan qiyas. Sebagai contoh, Sa’ad ibn Al-Musayyad di madinah atau
Al-Qamah dan Ibrahim al-Nakha’iy di irak.[21]
Ulama yang menggunakan qiyas lebih menggunakan raa’yu dan mencari illat
sehingga dapat disamakan dengan nashnya. Sedangkan ulama yang menggunakan maslahah
lebih menggunakan hadist-hadist rasulullah dalam menentukan suatu hukum.
Sehingga dari sinilah awal munculnya perbedaan dalam mengistinbathkan hukum di
kalangan ulama fiqh. Dan akibatnya muncul tiga kelompok ulama, yaitu madrasah
al iraq, madrasah al kufah dan madrasah al madinah.[22]
3. Pada Masa Imam-imam Mujtahidin
Pada masa ini, telah ditetapkanbatasan-batasan masalah dan
aturan-aturan istinbath.Misalnya Abu Hanifah yang menggunakan sumber Al-kitab,
al-sunnah dan fatwa shahabat. Sekalipun demikian dia tidak mau menggunakan
fatwa tabi’insebagaimana dikatakanya, “mereka laki-laki dan kitapun
laki-laki (manusia biasa)”.[23]
Ia menggunakan qiyas dan istihsan.
Pada kurun waktu berikutnya terdapat ulama besar, Muhammad ibn
Idris al Syafi’i yang membukukan masalah Ushulfiqh dalam kitab Ar Risalah[24].
Dalam kitab tersebut, beliau menggambarkan cara-cara beristinbath dan juga menjabarkan kekayaan pendapat para
sahabat, tabi’in dan imam-imam mujtahid sebelumnya. Beliau juga mengemukakan
perbedaan pendapat antara fiqh Madinah dan fiqh Irak. Sehingga pendapatnya
dapatdijadikan alat ukur dalam kajian Ushul Fiqh.
4. Pada masa sesudah imam-imam mujtahidin
Sesudah imam Syafi’i para ulama hanya memberikan Syarh atau
menjelaskan yang mujmal dari kitab Ushul Al-fiqh karya imam Syafi’i. Dan juga
terdapat ualama yang mengambil hukum dari kitab Al Syafi’i tetapi secara tidak
keseluruhn, hanya sebagiannnya saja. Dikalangan ahli-ahli Ushul Fiqh pada masa
ini, terdapat dua aliran yang berbeda.[25]
Yakni:
Pertama, ushul al-mutakallimin. Dalam menentukan dasar, golongan
ini tidak terlalu memperhatikan tentang kaidah tersebut cocok atau tidak dengan
furu’. Mereka menetapkakan ukuran-ukutran tanpa dikaitkan dengan furu’. Bagi
mereka menguatkan atau melemahkan furu’ tidak menjadi masalah.
Kedua, ushul Al-ahnaf, pembahasan dalam ushul al-ahnaf selalu
menjaga furu’. Mereka membuat ukuran-ukuran yang menguatkan madzhabnya[26].
Kitab-kitab
yang ditulis dengan cara yang pertama di antaranya:
a.
Al-Mu’tamad
karangan Muhammad Husyn ibn Ali Bashriy (wafat463H).
b.
Al-Burhan
karangan Imam al-Haramayn (wafat 487 H).
c.
Al-Musthfa
karangan al-Ghazaliy (wafat 505 H)
Adapun di antara kitab-kitab yang ditulis dengan cara yang kedua
adalah:
a.
Kitab Ushul Abu
Bakar Ahmad al-Jashash (wafat 370H).
b.
Kitab Zayd
‘Ubayd Allah ibn ‘Umar (wafat 430H).
c.
Kitab Syams
al-A’immah ibn Ahmad al-Sarkhasyiy (wafat 483H)
Selain itu, ada pula kitab-kitab yang ditulis dengan cara
mengumpulkan kedua macam aliran, diantaranya:
a.
Badi’ al-Nidham
karangan Ahmad bin Ali al-Baghdadi (wafat 694H). Yang mengumpulkan kitab
Al-Badawiy dan al-Ihkam fiy Ushul al-Ahkam karangan al-‘Amidiy.
b.
Tanqih al-Ushul
karangan Shadr al-Syari’at ‘Abd al-wahhab ibn Mas’ud al-bukhariy (wafat 747 H)
c.
Kitab al tahrir
karangan Kamal al din ibn Hammam (wafat 861 H)
d.
Kitab Jam Al
Jawami karangan Taj Al din Abd Al Wahhab Al Subky (wafat 771 H).
Kitab-kitab Ushul Fiqh yang terakhir di antaranya:
a.
Irsyad Al Fuhul
karangan Imam Al Syawkaniy (wafat 1250 H)
b.
Ushul Al Fiqh
karangan Syaikh Muhammad Khudlariy Bayk.
c.
Ilmu Ushul Al
Fiqh karangan Al-Ustadz
Abd al-Wahhab Kallaf.
d.
Ushul Al Fiqh
karangan Muhammad Abu Zahrah.
e.
Ushul Al
Tasyri’ Al Islamiy fiy Thuruq al Istinbath karangan al-ustadz Ali Hasb Allah.
f.
Mabahits Al
hukmiy ‘Inda al
Ushuliyyin karangan Abd Salam Madzkur.
g.
Al Madhkal ila
Ilm Ushul Al Fiqh karangan Dr. Muhammad Ma’ruf.
D.
Tahapan-Tahapan
Perkembangan Ushul Fiqih
Secara
garis besar, perkembangan Ushul fiqh dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu:
tahap awal (abad 3 H), tahap perkembangan (abad 4 H), dan tahap penyempurnaan
(abad 5 H). Masing-masing tahapan akan diuraikan sebagai berikut :[27]
1)
Tahap Awal (Abad 3 H)
Pada abad 3 H,
di bawah pemerintahan Abbasiyiah wilayah Islam semakin meluas ke bagian Timur.
Khalifah-kalifah Abbasiyah yang berkuasa dalam abad ini adalah : Al-ma’mun (w.
218 H), Al-mu’tashim (w. 227), Al-wasiq (w.232 H), dan Al-mutawakkil (w. 247
H).[28]Ini
salah satu hasil dari kebangkitan berpikir dan semangat keilmuan Islam ketika
itu adalah berkembangnya bidang Fiqih, yang pada gilirannya mendorong untuk
disusunnya metode berfikir fiqih yang disebut ushul fiqih.
Pada abad ini
lahirnya ulama-ulama besar yang meletakkan dasar berdirinya madhzab-madhzab
fiqih. Para pengikut merekasemakin menunjukkan perbedaan dalam mengungkapkan
pemikiran ushul fiqih dari para imamnya. Asy-Syafi’i misalnya tidak menerima
cara penggunaan istihsan yang masyhur dikalangan Hanafiyah, sebaliknya
Hanafiyah tidak menggunkan cara-cara pengambilan hukum berdasarkan hadis-hadis
yang dipegang oleh Asy-Syafi’i. Sementara itu, kaum Ahl Al-hadis pada umumnya
dan kaum zhariyah pengikut Daud Azh-Zhahiri pada khususnya, tidak menyetujui metode-metode
dari kedua golongan tersebut, namun
golongan terakhir mempunyai metode tersendiri dalam qiyas dan ta’wil.[29]
Hal semacam itulah
perbedaan pendapat dan metode yang dimiliki masing-masing aliran yang menjadi pendorong semangat pengkajian ilmiah
di kalangan ulama pada abad 3H dan berlanjut terus dan semakin berkembang pada
abad 4 H.
2)
Tahap perkembangan
(Abad 4 H)
Dalam abad 4 H. ada
beberapa hal yang perlu dicatat dan di jadikan sebagai ciri khas perkembangan
ilmu Ushul Fiqih pada masa ini, yaitu: munculnya kitab-kitab Ushul Fiqih yang
membahas ushul fiqih secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti yang
terjadi pada masa sebelumnya yaitu abad 3 H. Dalam abad 4 H ini mulai tampak
adanya pengaruh pemikiran yang bercorak filsafat, khususnya metode berpikir
menurut ilmu Manthiq dalam ilmu Ushul Fiqih. Ini terlihat dari masalah mencari
makna dan pengertian sesuatu, yang dalam ilmu ushul fiqih Al-hudud merupakan
sesuatu hal yang tidak pernah dijumpai dalam perkembangan kitab-kitab
sebelumnya.[30]
3)
Tahap Penyempurnaan (Abad 5-6 H)
Pada abad penyempurnaan 5 dan 6 H ini merupakan
periode penulisan kitab Ushul fiqih terpesat, yang diantaranya terdapat
kitab-kitab yang menjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqih
selanjutnya. Kitab-kitab Ushul fiqih yang paling penting antara lain sebagai
berikut[31]
:
1.
Al-mughni fi
abwab wa At-tauhid
karangan Al-qadhi Abd. Jabbar (wafat.
415 H),
2.
Al-Mu’amad fi Al-Ushil fiqhkarangan
Abu Al-HusainAl-Bashri
(wafat 436 H),
3.
Al-iddaf
fi Ushul fiqh karangan Abu Al-Qadhi Abu Muhammad Ya’la Muhammad Al-Husain Ibn
Muhammad Ibnu Khalf Al-farra (wafat 458 H),
4.
Al-Burhan fi Ushul fiqhkarangan
Imam al-Haramayn (wafat 487 H),
5.
Al-Musthafa Min Ilm Al-Ushulkarangan
al-Ghazaliy (wafat 505 H.
E.
Kesimpulan
Ushul
fiqh adalah suatu ilmu yang mengungkap tentang berbagai metode yang
dipergunakan oleh para Mujtahid dalam menggali dan menapak suatu hukum syari’at
dari sumbernya yang telah dinashkan dalam Al-qur’an dan Al-sunnah.
Salah
satu pendorong diperlukannya pembukaan ushul fiqih adalah perkembangan wilayah
Islam semakin luas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai
persoalan yang belum diketahui hukumnya. Untuk itu para ulama islam sangat
membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam
menggali dan menetapkan hukum.
Ada
empat periode dalam perkembangan Ushul fiqh yaitu, pada masa sahabat, pada masa
Tabi’in, pada masa Imam-imam Mujtahid dan pada masa sesudah Imam-imam Mujtahid.
Kemudian Secara
garis besar, perkembangan Ushul fiqh dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu:
tahap awal (abad 3 H), tahap perkembangan (abad 4 H), dan tahap penyempurnaan
(abad 5 H).
Orang
yang pertama kali mengadakan kodifikasi kaidah-kaidah dan bahasan bahasan ilmu
ini, sehingga merupakan kumpulan tersendiri secara tertib (sistematis), dan
masing-masing kaidah itu dikuatkan dengn dalil dan keterangan atau uraian yang
mendalam (serius), Ialah Imam Muhammad bin Idris al Syafi’i yang
meninggal pada tahun 204 H.
DAFTARPUSTAKA
Djazuli, dan
Nurol Aen. 2000. “Ushul Fiqh MetodologiHukum Islam”. Jakarta. PT
Raja Grafindo Persada.
Haroen, Nasrun. 1997.Ushul
Fiqh 1.Jakarta.PT Logos Wacana
Ilmu .
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushulul fiq. terj. Moch Mansoer
Tolchah dan Iskandar Al Barsany. 2002. Kaidah-kaidah Hukum Islam.
Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
Koto, Alaiddin. 2006.Ilmu
Fiqh Dan Ushul Fiqih. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
Syafe’I, Rachmat. 2010.Ilmu
Ushul Fiqh. Bandung. CV Pustaka Setia.
Khallaf, Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta. Pustaka Amani.
Djalil, Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta.
Kencana.
Fanani, Muhyar. “Kajian Ontologis dan
Aksiologis”. dalam Ilmu Ushul Fiqh. vol IV no.2. 2009.
Khallaf, Abdul Wahhab.2002. Kaidah-kaidah
Hukum Islam (Ushul Fiqh). Jakarta:Rajawali pers
Yasid, H. A. “MENDIALOGKAN DIMENSI KEILMUAN
USHUL FIQH”. Volume 7. 2015.
Catatan:
1.
Penulisan
konten abstrak salah.
2.
Cara penulisan
footnote banyak yang salah, tolong lebih diperbaiki.
3.
Perujukan masih
belum maksimal. Setiap keterangan yang diambil dari buku/jurnal harus diberikan
keterangan rujukan.
4.
Penulisan
referensi dari jurnal harus dituliskan lengkap: nama penulis, artikel, nama
jurnal, volume, nomor, tahun, halaman.
5.
Kelompok ini
terdiri atas tiga orang. Seharusnya makalahnya bisa lebih dari tiga orang.
[1]Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushulul fiq. terj.
Moch.Mansoer Tolchah dan Iskandar Al Barsany. Kaidah-kaidah Hukum Islam,(Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,2002),
[2]
Prof. Dr. Rachmat syafi’i. “Ilmu Ushul Fiqih”. (Bandung:pustaka setia,2010).
hlm,26
[3]ibid, hlm,27
[4]ibid, hlm,27
[5] Ibid,
hlm, 29
[6] Ibid,
hlm, 28-29
[7] Hasrun
Naroen, “Ushul fiqih”. (jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm,6
[8]Opcit, Khallaf,
Abdul Wahhab. Ilmu Ushulul fiq. terj. Moch.Mansoer Tolchah dan Iskandar Al
Barsany. hlm,9
[9]H. Rachmat syafe’I, Ilmu
ushul Fiqh,(Bandung :Pustaka setia), hlm. 26
[10] MuhyarFanani,“Kajian Ontologis dan
Aksiologis”, dalam Ilmu Ushul Fiqh, vol IV no.2, 2009, hlm. 203
[11]H. A.
Yasid, “MENDIALOGKAN DIMENSI
KEILMUAN USHUL FIQH”, Volume 7,2015, hlm 22
[12] Nasrun
Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 7
[13] Ibid,
hlm, 7
[15]Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul
Fiqh, (Jakarta: Pustaka Amani), hlm. 8
[16]Abdul
Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah
Hukum Islam (Ushul Fiqh), (Jakarta:Rajawali pers), hlm. 8
[17]
Opcit, Khallaf,
Abdul Wahhab. Ilmu Ushulul fiq. terj. Moch.Mansoer Tolchah dan Iskandar Al
Barsany.hlm,11
[18]
Prof, Drs. H.A Djazuli dan Dr. Nurol Aen, MA. “Ushul fiqih metodologi hukum islam”( jakarta:PT RajaGrafindo
Persada. 2000), hlm 8
[19] QS.
At-thalaq ayat 4
[20] Qs.
Al-baqarah ayat 234
[24]Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh,
(Jakarta: Kencan), hlm. 21
[25] Opcit,
Prof, Drs. H.A Djazuli dan Dr. Nurol Aen, MA. hlm, 10
[26] Opcit,
Prof, Drs. H.A Djazuli dan Dr.
Nurol Aen, MA. hlm, 10
[27] Opcit,
Rachmat syafi’i, hlm,30
[28] Opcit,
Rachmat syafi’i, hlm,30
[29] Opcit,
Rachmat syafi’i, hlm,32
[30] Opcit,
Rachmat syafi’i, hlm,36
[31] Opcit,
Rahmat syafi’i, hlm, 37
Tidak ada komentar:
Posting Komentar