Sejarah Peradaban Islam pada Masa Bani Umaiyyah
Qorina el
sholichah, Mohammad Sofi Anwar,Ainun Rieke Fadhilah, Miladisani Ammar Umah
Mahasiswa
Pendidikan Bahasa Arab UIN Maulana Malik Ibrahim
e-mail: Qorinaajjah@gmail.com
Abstract
This article
talks about the Umayyad dynasty. After the Khulafaur Rasyidin ending, comes a
new leadership led by Muawiyah ibn abu sofyan with the name of the Umayyad
dynasty. Issues to be discussed in this article is a turn of the head of state
system, the development of religious sciences, social and cultural systems,
causes deterioration Umayyad dynasty.
System
replacement head of state in nature monarci Umayyad dynasty or kingdom, in
stark contrast to the leadership of Khulafaur Rasyidin. At this time many advances in the field of science and religion
so many discovered new sciences. There is little difference between the
original and mawali Arab nation, the Arab nation and the nation mawali dominate
a nation that's number two.
Abstrak
Artikel ini
berbicara mengenai Dinasti Umayyah. Setelah masa Khulafaur Rasyidin berakhir
muncullah kepemimpinan baru yang dipimpin oleh Muawiyah Bin Abu Sufyan dengan
nama Dinasti Umayyah. Permasalahan yang akan dibahas dalam artikel ini adalah
Sistem penggantian kepala Negara, Perkembangan ilmu-ilmu keagamaan (Ulum
al-Syar’iyah), Sistem sosial budaya
(arab-mawali), Sebab-sebab kemumduran Bani Umayyah.
Sistem
penggantian Kepala Negara dalam Dinasti Umayyah lebih bersifat monarci atau
kerajaan, berbeda sekali dengan masa kepemimpinan khulafaur rasyidin.Pada masa
ini banyak kemajuan-kemajuan dalam bidang keilmuwan dan keagamaan sehingga
banyak ditemukan ilmu-ilmu baru.Terdapat sedikit perbedaan antara orang Arab
asli dan Mawali, bangsa Arab lebih mendominasi dan bangsa Mawali menjadi bangsa
yang nomor dua.
Keywords:
Dinasti Umayyah, Monarki, Arab-Mawali
A.
Pendahuluan
Berakhirnya kekuasaan Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasaan
baru yang berpola dinasti atau kerajaan. Bentuk dinasti yang cenderung bersifat
kekuasaan turun-temurun hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur
otoriter, kekuasaan, mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu
daya, dan hilangnya keteladanan nabi Muhammad Saw. untuk bermusyawarah dalam
menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah Khulafaur
rasyidin.
Setelah
masa khulafaur rasyidin benar-benar berakhir (dengan terbunuhnya
kholifah terakhir, Ali binf Abi Thalib), maka dinasti-dinasti baru pun muncul.
Sejak tahun 661 M, kekuasaan politik mulai di pegang oleh dinasti-dinasti
tertentu, seperti Dinasti Umayyahdi Damaskus, diikuti Dinasti Abbasiyah di
Baghdad, dan sisa-sisa kekhalifahan Umayyah Bara di Kordoba. Pada masa
berikutnya, dinasti-dinasti yang ada
antara lain yaitu Fatimiyyah di Kairo (909-1171 M), Al-Murabitun, dan
Al-Muwahhidun di barat Laut Afrika serta dinasti-dinasti regional yang
memerintah kawasan-kawasan geografis yang lebih kecil. Kebanyakan dari
penguasa-penguasa tersebut berasal dari bangsa Arab atau keturunan Arab.
Hampir
semua sejarawan membagi Dinasti Umayyah menjadi dua, yaitu yang pertama,
Dinasti Umayyah yang dirintis dan didirikan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang
berpusat di Damaskus (syiria). Fase ini berlangsung sekitar satu abad dan
mengubah system pemerintahan dari system khilafah pada system mamlakat
(kerajaan atau monarki) dan kedua, Dinasti Umayyah di Andalusia
(Siberia) yang pada awalnya merupakan wilayah taklukan Umayyah dibawah pimpinan
seorang gubernur pada zaman Walid bin Abd Malik, kemudian diubah menjadi
kerajaan yang terpisah dari kekuasaan Dinasti Bani Abbas setelah berhasil
menaklukkan Dinasti Umayyah di Damaskus.[1]
Dinasti
Umayyah merupakan kerajaan islam pertama yang didirikan oleh Mu’awiyah bin
Abi Sufyan. Perintisan dinasti ini
dilakukan dengan cara menolak pembaiatan terhadap Ali bin Abi Thalib, kemudian
ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali bin Abi Thalib,
dengan strategi politik yang sangatmenguntungkan baginya. Jatuhnya Ali bin Abi
Thalib dan naiknya Mu’awiyah juga disebabkan oleh keberhasilan pihak Khawarij
(kelompok yang menentang dari Ali bin Abi Thalib) membunuh Ali bin Abi Thalib.
Meskipun kemudian tampak kekuasaan dipegang oleh putranya, Hasan, namun tanpa
dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau, akhirnya kepemimpinannya pun
hanya bertahan sampai beberapa bulan.[2]
Nama
“Umayyah”[3] di
nisbatkan kepada Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf, yaitu salah seorang
dari pemimpin kabilah Quraisy pada zaman jahiliah. Ia dan pamannya, Hasyim bin
Abdi Manaf, selalu bertarung dalam perebutan kekuasaan kedudukan.[4]
Bani
Umayyah baru masuk Islam setelah mereka tidak menemukan jalan lain selain
memasukinya, yaitu ketika Nabi Muhammad Saw.beserta beribu-ribu pasukannya
(yang benar-benar percaya terhadap kerasulan dan kepemimpinan) menyerbu masuk
ke dalam kota Makkah.[5]
Kekuasaan
Dinasti Umayyah pada masa keemasannya menandingi Alexander Agung.[6]Dinasti
ini berdiri di Damaskus, Suriah, setelah masa khulafaur rasyidin
berakhir. Pendirinya bernama Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
B.
Sistem Penggantian Kepala Negara
Masa kekuasaan Dinasti Umayyah hampir satu abad, tepatnya selama 90
tahun, dengan 14 orang khalifah. Khalifah yang pertama adalah Mu’awiyah bin Abi
Sufyan. Sedangkan khalifah yang terakhir adalah Marwan bin Muhammad. Diantara
mereka ada pemimpin yang berjasa di berbagai bidang sesuai dengan kehendak zamannya,
sebaliknya ada pula khalifah yang tidak patuh dan lemah.Adapun urutan khilafah
Bani Umayyah adalah sebagai berikut.
1.
Mu’awiyah
bin Abi Sufyan 41-60
H/661-679 M
2.
Yazid
I bin Mu’awiyah 60-64
H/679-682 M
3.
Mu’awiyah
II bin Yazid 64
H/682 M
4.
Marwan
I bin Hakam 64-65
H/683-684 M
5.
Abdul
Malik bin Marwan 65-86
H/684-705 M
6.
Al-walid
bin Abdul Malik 86-96
H/705-714 M
7.
Sulaiman
bin Abdul Malik 96-99
H/714-717 M
8.
Umar
bin Abdul Aziz 99-101
H/719-723 M
9.
Yazid
II bin abdul Malik 101-105
H/719-724 M
10.
Hisyam
bin Abdul Malik 105-125
H/723-742 M
11.
Al-Walid
II bin Yazid II 125-126
H/742-743 M
12.
Yazid
bin Walid bin Malik 126
H/743 M
13.
Ibrahim
bin Al-Walid II 126-127
H/743-744 M
14.
Marwan
II bin Muhammad 127-132
H/744-750 M]
Antara tahun 64 hingga tahun 73 H/ 683 hingga 692 M ada masa dimana
pemerintahan Bani Umayyah tidak sepenuhnya menguasai semua wilayah Islam. pada
saat itu ada pemerintahan Abdullah bin Zubair.
Para sejarah umumnya sependapat bahwa khalifah terbesar dari daulah
Bani Umayyah ialah Mu’awiyah, Abdul Malik dan Umar bin Abdul Aziz.[7]
1.
Mua’wiyah
Bin abi Sufyan
Hasan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah sebagai upaya untuk
menghindari pertumpahan darah kaum muslimin dan untuk menyatupadukan mereka.Akan
tetapi Hasan memberikan beberapa syarat kepada Muawiyah bin Abu Sufyan diantara
syaratnya adalah pertama, Muawiyah harus berjanji tidak mencaci-maki ayahnya
(Ali Bin Abi Thalib) di atas mimbar khutbah. Yang kedua adalah bahwa Muawiyah
harus berjanji jabatan khilafah itu tidak diwariskannya sebagai turunan kepada
anak-cucunya., tetapi diserahkan kepada keputusan musyawarah kaum Muslimin.[8]Dengan
demikian, Mu’awiyah menjadi khalifah yang legal sejak tahun 41 H atau 661M.
yang dikenal dengan “Amul Jamaah”. Mu’awiyah di bai’at oleh umat Islam di
Kufah, sedangkan Hasan dan Husain dikembalikan ke Madinah.
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi
awal pemerintahan Bani Umayyah, Muawiyah mencoba merubah system pemerintahan
yang bersifat demokratis, seperti pada masa Khulafaur Rasyidin, menjadi Monarchiheridetis
(kerajaan turun temurun). Suksesi kepemimpinan secara turun temurun ditunjukkan
ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia (bai’at)
terhadap anaknya, Yazid bin Muawiyah.[9]
Pada masa itu, umat Islam telah bersentuhan dengan peradaban Persia
dan Bizantium. Oleh karena itu, Mu’awiyah juga bermaksud meniru cara sukses
kepemimpinan yang ada di Persia dan Bizantium, yaitu monarki (kerajaan). Akan
tetapi, gelar pemimpin pusat tidak disebut raja (malik).Mu’awiyah tetap
menggunakan gelar khalifah dengan makna konotatif yang diperbaharui.Jika zaman
khalaifah (penganti) yang dimaksudkan adalah Khalifah Rasul Saw. (khalifah
al-rasul) adalah pemimpin masyarakat, sedangkan pada zaman Bani Umayyah, yang
dimaksud adalah khalifah Allah (khalifat Allah) adalah pimpinan yang diangkat
oleh Allah. Langkah awal dalam rangka memperlancar pengangkatan Yazid sebagai
penggantinya adalah menjadikan Yazid bin Mu’awiyah sebagai putra mahkota (tahun
53 H).[10]
Khalifah Umayyah mendirikan suatu pemerintahan
yang terorganisasi dengan baik. “Ketika Mu’awiyah menjadi
penguasa terjadi banyak kesulitan pemerintahan imperium yang
didesentralisasikan itu tampak kacau. Muncul berbagai anarkisme dan
ketidakstabilan kaum nomad menyebabkan ketidakstabilan dimana-mana dan
hilangnya kesatuan.Ikatan teokrasi yang telah mempersatukan kekhalifahan yang
lebih dahulu, tanpa dapat dihindari telah dihancurkan oleh pembunuhan Utsman,
oleh perang saudara sebagai akibatnya, dan oleh pemindahan ibukota dari
Madinah.Oligarki di Mekah di kalahkan dan dicemarkan.Mu’awiyah mencoba untuk
mencari suatu dasar baru bagi kepaduan imperium.Oleh karena itulah, dia
mengubah kedaulatan agama menjadi negara sekuler. Sekalipun demikian, unsur
agama didalam pemerintahan dan pemerintahan tidak hilang sama sekali. Mu’awiyah
tetap mematuhi formalitas agama dan kadang-kadang menunjukkan dirinya sebagai
pejuang Islam.[11]
Diantara jasa-jasa Mu’awiyah ialah mengadakan dinas pos kilat
dengan menggunakan kuda-kuda yang selalu siap di tiap pos. ia juga berjasa
mendirikan Kantor Cap (percetakan mata uang dan lain-lain.[12]
2.
Yazid
bin Mu’awiyah
Mu’awiyah wafat pada tahun 60 H di Damaskus karena sakit dan di
ganti oleh anaknya, Yazid yang telah ditetapkannya sebagai putra mahkota
sebelumnya. Diantara orang yang paling tidak setuju dengan apa yang dilakukan
oleh Mu’awiyah adalah Husen bin Ali, Abdurrahman bin Abu Bakar, Abdullah bin
Umar, Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Zubair.
Seluruh negeri membaiat dirinya pada masa pemerintahan ayahnya
kecuali sejumlah kecil orang di Madinah.Yazid berusaha untuk memaksa
mereka. Maka Abdurrahman bin Abu Bakar,
Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas membaiatnya. Sedangkan Husen dan Abdullah
bin Zubair pergi ke Mekah dan tidak membaiatnya. Keduannya menginginkan
kekhalifahan berada di tangannya.
Yazid tidak sekuat ayahnya
dalam memerintah, banyak tantangan yang dihadapinya, antara lain ialah
membereskan pemberontakan kaum Syiah yang telah membaiat Husain sepeninggal
Mu’awiyah. Terjadi perang di Karbala yang menyebabkan terbunuhnya Husain, cucu
Nabi Muhammad Saw.Yazid menghadapi para pemberontak Mekah dan Madinah dengan
keras.Dinding ka’bah runtuh dikarenakan lemparan munjaniq, alat pelempar
batu pada lawan.Peristiwa tersebut merupakan aib besar pada masanya.[13]
Penduduk Madinah memberontak terhadap Yazid dan memecatnya dan
kemudian mengangkat Abdullah bin Hanzalah dari kaum Anshor. Mereka memenjarakan
kaum Umayyah di Madinah dan mengusirnya dari kota suci kedua bagi umat Islam
itu, sehingga terjadilah bentrok fisik antara pasukan yang dikirim oleh Yazid
yang dipimpin oleh Muslim bin Uqbah Al-Murri, dan penduduk Madinah. Peperangan
antara kedua pasukan itu terjadi di al-Harrah yang dimenangkan olehpasukan
Yazid, pada tahun 63 H. sedangkan kaum Quraisy mengangkat Abdullah bin Muti’
sebagai pemimpin mereka tanpa pengakuan terhadap kepemimpinan Yazid.[14]
Lain halnya dengan penduduk Mekah, sebagian dari mereka membaiat
Abdullah bin Zubair sebagai khalifah. Maka pasukan Yazid yang telah menundukkan
Madinah meneruskan perjalanannya ke Mekah untu menguasainya. Abdullah bin
Zubair selamat dari gempuran pasukan yazid karena ada berita bahwa Yazid telah
wafat sehingga ditariklah pasukannnya ke Suriah. Akan tetapi, kota Mekah
menjadi porak poranda akibat perlakuan pasukanYazid tersebut. Yazid wafat pada
tahun 64 H setelah memerintah selama 4 tahun dan digantikan oleh anaknya,
Mu’awiyah II.[15]
3.
Mu’awiyah
II bin Yazid
Ia hanya memerintah kurang lebih 40 hari dan meletakkan jabatannya
sebagai khalifah tiga bulan sebelum wafatnya. Ia mengalami tekanan jiwa berat
karena tidak sanggup memikul tanggung jawab jabatan yang sangat besar tersebut.
Dengan wafatnya, maka habislah riwayat keturunan Mu’awiyah dalam melanggengkan
kekuasaan dan berganti ke Bani Marwan.
4.
Marwan
bin Hakam
Mu’awiyah II diganti oleh Marwan bin Hakam, seorang yang memegang
stampel khalifah pada masa Utsman bin Affan. Ia adalah gubernur Madinah di masa
Mu’awiyah dan penasihat Yazid di Damaskus di masa pemerintahan putra pendiri
daulah Umayyah itu. Ketika Mu’awiyah II wafat dan tidak menunjuk siapa
penggantinya, maka keluarga besar Umayyah mengangkatnya sebagai khalifah.Ia dianggap
orang yang dapat mengendalikan kekuasaan karena pengalamannya, sedangkan orang
lain yang pantas memegang jabatan khalifah itu tidak didapatkannya. Padahal
keadaan itu rawan dengan terjadinya perpecahan di tubuh bangsa Arab sendiri dan
ditambah dengaan pemberontakan kaum Khawarij dan Syi’ah yang
bertubi-tubi.Khalifahyang baru itu menghadapi segala kesulitah satu demi
satu.Ia dapat mengalahkan kabilah Ad-Dahhak bin Qais, kemudian menduduki Mesir
dan menetapkan putrannya Abdul Aziz sebagai gubernurnya. Abdul Aziz adalah ayah
Umar, seorang khalifah Bani Umayyah yang masyhur itu.Marwan menundukkan
Palestina, Hijaz dan Irak. Namun ia cepat pergi dan hanya memerintah selama 1
tahun, ia wafat pada tahun 65 H dan menunjuk anaknya, Abdul Malik dan Abdul
Aziz sebagai pengganti sepeninggalnya secara berurutan.[16]
5.
Abdul
Malik dan Abdul Aziz
Abdul Malik menjadi khalifah setelah ayahnya Marwan bin Hakam
meninggal pada tahun 65 H/ 684 M. Pada saat itu khalifah yang legal adalah
Abdurrahman bin Zubair. Kemudian dia berhasil mengambil Irak dari tangan
Abdurrahman bin Zubairdan menaklukkan Hijaz secara keseluruhan. Setelah
Abdurrahman bin Zubair terbunuh, maka ia dibaiat oleh seluruh masyarakat
muslim. Dia menjadi khalifah sejak tahun 73 H/692 M. Keadaan negara aman berada
di tangannya.
Khalifah Abdul Malik adalah orang kedua terbesar yang dalam deretan
para khalifah Bani Umayyahyang disebut-sebut sebagai “Pendiri kedua” bagi
kedaulatan Umayyah.Iadikenal sebagai khalifah dalam ilmu agamanya, terutama
dibidang fiqh. Ia telah berhasih mengembalikan sepenuhnya integritas wilayah
dan wibawa keluarga Umayyah dari segala pengacau negara pada masa-masa
seblumnya. Mulai dari gerakan separatis Abdullah bin Zubair di Hijaz,
pemberontakan kaum Syi’ah dan khawarij, sampai kepada aksi terror yang
dilakukan oleh Al-Mukhtar bin Ubaid as-Saqafy di wilayah Kufah, dan
pemberontakan yang dipimpin oleh Mus’ab bin Zubair di Irak. Ia juga menundukkan
tentara Romawi yang sengaja membuat kegundahan sendi-sendi pemerintahan
Umayyah. Ia memerintah menggunakan bahasa Arab sebgaai bahasa administrasi di
wilayah Umayyah, yang sebelumnya masih memakai bahasa yang bermacam-macam,
seperti bahasa Yunani di Syam, bahasa Persia di Persia dan bahasa Qibti di
Mesir. Ia juga memerintahkan untuk
mencetak uang secara teratur, membangun beberapa gedung dan masjid serta
saluran-saluran air.[17]
Khalifah Abdul Malik memerintah paling lama, yakni 21 tahun
ditopang oleh para pembantunya yang juga termasuk orang kuat dan menjadi
kepercayaannya, seperti al-Hajjaj bin Yusuf yang gagah berani di medan perang
dan Abdul Aziz saudaranya yang dipercaya memegang kekuasaan sebagai gubernur
Mesir. Al-Hajjaj bin Yusuf menjadi gubernur wilayah Hijaz setelah menundukkan
Abdullah bin Zubair yang memberontak di wilayah tersebut. Gubernur itu
dipindahkan ke Irak setelah dapat menaklukkan para pembangkang disana.Ia juga
menundukkan raja Turki, Ratbil yang berusaha menyerang Sijitstan yang sudah
menjadi wilayah Islam dan membunuh gubernurnya, dengan pasukan yang dipimpin
oleh Abdurrahman bin Al-Asy’as. Padahal
telah disepakati perjanjian damai antara kedua belah pihak, sehingga
penguasa Turki itu harus membayar jizyah kepada Umayyah. Akan tetpa, pasukan
Islam berakhir dengan tragis karena perselisihan intern yang terdapat dalam
elite penguasa muslim sendiri, yakni antara al-Hijjaj dengan al-Asy’as. Tidak
terelakkan lagi, terjadilahkontak senjata antara keduannya yang akhirnya
dimenangkan oleh al-Hijjaj karena dibanu oleh Khalifah Abdul Malik. Disamping
Berjaya dimedan perang, al-Hijjaj juga berhasil memperbaiki slauran-saluran air
sungai Eufrat dan Tigris, memajukan perdagangan, dan memperbaiki system ukuran
timbang, takaran dan keuangan, disamping menyempurnakan tulisan mushaf
Al-Qur’an dengan titik pada huruf-huruf tertentu. Khalifah Abdul Malik wafat
tahun 86 H dan diganti oleh putranya yang bernama Al-Walid.[18]
6.
Al-Walid
bin Abdul Malik
Khalifah al-Walid bin Abdul Malik memerintah sepuluh tahun lamanya
(86-96 H). pada masa pemerintahannya, kekayaan dan kemakmuran melimpah ruah.
Kekuasaan Islam melangkah keSpanyol dibawah pimpinan pasukan Thariq bin Ziyad
ketika Afrika Utara dipegang oleh gubernur Musa bin Nushair. Karena kekayaan
melimpah maka ia sempurnakan pembangunan gedung-gedung, pabrik-pabrik dan
jalan-jalan yang dilengkapi dengan sumur untuk para kafilah yang berlalu lalang
di jalur tersebut. Ia membangun Masjid al-Amawi yang terkenal hingga masa kini
di Damaskus. Disamping itu, ia menggunakan kekayaan negerinya untuk menyantuni
para yatim piatu, fakir miskin, dan penderita cacat seperti orang lumpuh, buta,
dan sakit kusta. Khafilah al-Walid bin Abdul Malik wafat tahun 96 H dan
digantikan oleh adiknya, Sulaiman sebagaimana wasiat ayahnya.[19]
7.
Sulaiman
bin Abdul Malik
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik tidak sebijak kakaknya, ia kurang
bijaksana, suka harta sebagaimana yang diperhatikan ketika ia menginginkan
harta rampasan perang (ghanimah) dari spanyolyang dibawa oleh Musa bin Nushair.
Ia menginginkan harta itu jatuh ke tangannya, bukan ke tangan kakaknya,
al-Walid yang saat itu masih hidup meskipun dalam keadaann sakit.Musa bin
Nushair diperintahkan oleh Sulaiman agar memperlambat kedatangannya ke Damaskus
dengan harapan harta yang dibawanya itu jatuh ke tangannya. Namun, Musa tidak
melaksanakan perintah Sulaiman tersebut, yang mengaibatkan ia disiksa dan
dipecat dari jabatannya ketika Sulaiman naik menjadi khalifah menggantikan
al-Walid.[20]
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dibenci oleh rakyatnya karena
tabiatnya yang kurang bijaksana itu. Para pejabatnya terpecah belah, demikian
pula masyarakatnya. Orang-orang yang berjasa di masa para pendahulunya
disiksanya, seperti keluarga Hajjaj bin Yusuf dan Muhammad bin Qosim yang
menundukkan India. Ia menunjuk Umar bi Abdul Aziz sebagai penggantinya sebelum
meninggal pada tahun 99 H.[21]
8.
Umar
bin Abdul Aziz
Adapun masa ketiga yang besar ialah Umar bin Abdul Aziz. Meskipun
masa pemerintahannya sangat singkat, namun Umar merupakan ‘lembaran putih’ Bani
Umayyah dan sebuah periode yang berdri sendiri, mempunyai karakter yang tidak
tidak terpengaruhi oleh berbagai kebijaksanaan daulah Bani Umayyah yang banyak
disesali. Ia merupakan personifikasi seorang khalifah yang taqwa dan bersih,
suatu sikap yang jarang sekali di temukan pada sebagian pemimpin Bani Umayyah.[22]
Khalifah yang adil adalah putra Abdul Aziz, gubernur Mesir.Ia
lahirdi Hilwan dekat Kairo, atau Madinah menurut sumber yang lain. Rupanya
keadilan itu menurun dari khalifah Umar bin Khattab yang menjadi kakeknya dari
jalur ibunya. Ia menghabiskan waktu di Madinah untuk mendalami ilmu agama
Islam, khususnya ilmu hadits dan ketika menjadi khalifah ia memerintahkan kaum
muslimin untuk menuliskan hadits, dan inilah perintah pertama dari penguasa
Islam umar adalah orang yang rapi dalam berpakaian, memakai wewangian dengan
rambut yang panjang dan cara jalan tersendiri, sehingga mode Umar itu ditiru
banyak orang pada masanya.[23]
Ia dikawinkan dengan Fatimah, putri Abdul Malik, kalifah Umayyah
yang sekaligus sebagai pamanya. Ia diangkat menjadi gubernur Madinah oleh
Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik, salah seorang sepupunya, tetapi ia dipecat
dari jabatannya itu karena masalah putra mahkota. Berbekal pengalamannya
sebagai pejabat, kaya akan ilmu dan hart, serta sebagai bangsawan Arab yang mulia,
ia diangkat menjadi khalifah menggantikan Sulaiman, adik al-Walid. Khalifah
Umar bin Abdul Aziz berubah tingkah lakunya, ia menjadi seorang zahid,
sederhana, bekerja keras, dan berjuang tanpa henti sampai akhir hayatnya yang
hanya memerintah kurang lebih dua tahun.[24]
Khalifah yang kaya itu menguasai tanah-tanah perkebunan di Hijaz,
Syiria, Mesir, Yaman dan Bahrain yang menghasilka kekayaan 40.000 dinar tiap
tahun. Namun setelah menduduki jabatan barunya, khalifah Umar bin Abdul Aziz
mengembalikan tanah-tanah yang dihibahkan kepadanya dan meninggakan
kebiasaan-kebiasaan lamanya serta menjual barang-barang mewahnya untuk
diserahkan hasil penjualannya ke baitul mal. Disamping itu, ia mengadakan
perdamaian antara Amawiyah dan Syi’ah seta Khawarij, menggantikan peperangan
dan mencegah caci maki terhadap Khalifah ali bin Abi Thalib dalam khutbah
Jum’at dan diganti dengan bacaan ayat berikut.[25]
Khalifah yang adil itu berusaha memperbaiki segala tatanan yang ada
dimasa kekhalifahnya, seperti menaikkan gaji para gubernur, memeratakan
kemakmuran dengan meberi santunan kepada fakir miskin dan memperbarui dinas
pos. Ia juga menyamakan kedudukan orang-orang non-Arab sebagai warga kelas dua
dengan orang-orang Arab. Ia mengurang beban pajak dan menghentikan pembayaran
jizyah bagi orang-orang Islam baru. [26]
Kekhalifahan Umayyah mulai mundur sepeninggal khalifah Umar bin
Abdul Aziz. Meskipun tidak secemerlang tiga khalifah yang masyhur sebagaimana
khalifah diatas, khalifah Hisyam bin Abdul Malik perlu dicatat sebagai khalifah
yang sukses. Ia memerintah dalam waktu yang panjang, yakni 20 tahun (105-125
H). Ia dapat juga bisa dikategorikan sebagai khalifah Umayyah yang terbaik
karena kebersihan pribadinya, pemurah, gemar kepada keindahan, berakhlak mulia
dan tergolong teliti terutama dalam soal keuangan, disamping bertaqwa dan
berbuat adil. Pada masa pemerintahannya terjadi gejolak yang dipelopori oleh
kaum Syi’ah yang bersekutu dengan kaum Abbasiyah mereka menjadi kuat karena
kebijaksanaan yang diterapkan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz yang bertindak
yang bertindak lemah lembut terhadap semua kelompok.Dalam diri keluarga Umayyah
sendiri terjadi perselisihan tentang putra mahkota yang melemahkan posisi
Umayyah.[27]
9.
Yazid
II bin Abdul Malik (101-105 H)
Khalifah Umar meninggal pada tahun 101 H dan diganti oleh Yazid II
bin Abdul Malik (101-105 H). Pada masa pemerintahannya timbul perselisihan
antara kaum Maduriyah dan Yamaniyah. Pemerintahannya yang sangat singkat itu
mempercepat proses kemunduran Umayyah. Kemudian diganti oleh khalifah Hisyam
bin Abdul Malik.[28]
10. Hisyam bin Abdul Malik
Hisyam bin Abdul Malik
menjadi khalifah sesuai dengan pesan dan wasiat saudaranya Yazid II bin
Abdul Malik . Hisyam dikenal sangat jeli dalam berbagai perkara dan sabar.Dia sangat
membenci pertumpahan darah, namun dia dikenal sangat kikir dan pelit.[29]
Ia meninggal pada tahun 124 H/ 741 M yang kemudian digantikan oleh
anaknya Ibrahim bin Al-Walid. Pada masa ini muncul gerakan Abu Muslim
Khurasani, salah seorang penyeru pendiri pemerintahan bani Abbasiyah.
11. Walid bin Yazid II
Dia menjadi khalifah berdasarkan wasiat pamannya, Hisyam bin Abdul
Malik. Dikenal sebagai sosok yang menuruti hawa nafsunya dan tindakan-tindakan
yang tidak pantas.Sehingga, banyak manusia yang jengkel terhadapnya dan secara
diam-diam mereka membaiat sepupunya yang bernama Yazid bin Walid yang dikenal
sebagai sosok yang sholeh.Maka, Yazid menerukan agar Walid dicopot saat dia
tidak berada di tempat. Kemudian dia mengirimkan sejumlah pasukan pada Walid bin
Yazid dan membunuhnya pada tahun 126 H/ 743 M. Walid berkuasa selama setahun 3
bulan.
12. Yazid bin Walid bin Abdul Malik
Dia
dilantik sebagai khalifah setelah sepupunya yang bermental rusak Walid bin
Yazid terbunu pada tahun 126 H. masa pemerintahannya sangat pendek dan penuh
dengan gejolak. Dia sama sekali tidak menikmati masa kekuasaannya walau sehari.
[30]
Gejolak
dan pemberontakan muncul dimana-mana.Setelah itu muncul konflik antara
orang-orang Qaisiyah dan Yamaniyah terutama di Khurasan.Dia meninggal akibat
penyakit Tha’un pada tahun 126 H setelah memerintah selama enam bulan.
13.
Ibrahim
bin Walid bin Abdul Malik
Dia menjadi
khalifah setelah kakaknya Yazid. Saat itulah Marwan bin Muhammad melakukan
pemberontakan yang menyatakan akan balas dendam atas kematian Walid bin Yazid
dan menyerukan untuk membaiat kedua anak Walid bin Yazid yang kemudian dibunuh
oleh Ibrahim di dalam penjara. Marwan sampai ke Damaskus dan Ibrahim melarikan
diri.Pemerintahannya hanya berumur 70 hari saja. Setelah itu Marwan bin
Muhammad naik tahta.
14.
Marwan
bin Muhammad
Marwan bin
Muhammad bin Marwan bin Hakam diberi gelar “Himar” karena sangat aktif dan
pemberani dalam berperang. Dia melakukan penyerangan ke negeri Romawi pada
tahun 105 H/723 M dan mampu menaklukkan kota Konya saat menjabat sebagai
penguasa Armenia dan Azarbaijan. [31]
Masa
pemerintahannya ditandai dengan banyaknya konflik dan instabilitas hingga
akhirnya pemerintahannya jatuh dan runtuh dan beliau meninggal di tangan Bani
Abbasiyah.Maka berakhirlah kepemimpinan Dinasti Umayyah.
C.
Perkembangan Ilmu-Ilmu Keagamaan (Ulûm al-Syar`iyah)
Pada periode Dinasti Umayyah belum ada
pendidikan formal. Putra-putra khalifah
Bani Umayyah biasanya akan “disekolahkan” ke badiyah, gurun Suriah, untuk
mempelajari bahasa Arab murni, dan mendalami puisi. Kesanalah Mu’awiyah
mengirimkan putranya yang kemudian menjadi penerusnya, Yazid. Masyarakat luas
memandang orang yang dapat membaca dan menulis bahasa aslinya, bisa menggunakan
busur dan panah, dan pandai berenang sebagai seorang terpelajar. Orang semacam
itu disebut dengan al-Kamil, yang sempurna. Kemampuan berenang sangatlah dihargai terutama bagi
mereka yang hidup di daerah pantai Mediterania.[32]
Masyarakat luas yang hendak memperoleh pendidikan, dalam pengertian
masa itu, akan menggunakan masjid untuk mempelajari Al-Qur’an dan hadits. Karena
itu, guru-guru paling pertama dalam Islam adalah membaca Al-Qur’an (qurra’).
Pada awal 17 H/638 M
Dalam bidang pengetahuan, pada masa Dinasti Umayyah, ilmu pengetahuan terbagi
menjadi beberapa bagian, yakni
1.
al-adab al-hadith (ilmu-ilmu baru), yang meliputi al-ulum
al-islamiyah (ilmu al-Qur’an, hadits, fiqh)
2.
al-ulum al-lisaniyah, at-tarikh,
dan al-jughrafi);
3.
al-ulum ad-dakhiliyah (ilmu yang
diperlukan untuk kemajuan islam), yang meliputi ilmu kedokteran, filsafat, ilmu
pasti, dan ilmu eksakta lainnya yang disalin dari Persia dan Romawi; serta
4.
al-adab al-qadamah (ilmu lama),
yaitu ilmu yang telah ada pascazaman jahiliyah dan ilmu pada masa khalifah yang
empat, seperti ilmu lughah, syair, khitabah, dan amthal.[33]
Pada masa itu Abu Aswad Ad-Duali (wafat 681 M) menyusun gramatika
Arab dengan memberikan titik pada huruf-huruf hijaiyah yang semula tidak
bertitik.Usaha ini besar artinya dalam mengembangkan dan memperluas bahasa
Arab, serta mempermudah orang membaca dan mempelajari dan menjaga barisan yang
menentukan gerak kata dan bunyi suara serta ayunan iramanya, sehingga dapat
diketahui maknanya.Kerajaan ini pun telah mulai menempatkan dirinya dalam ilmu
pengetahuan dengan mementingkan buku-buku bahasa Yunani dan Kopti (Kristen
Mesir).[34]
Adapun beberapa kemajuan dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan
ialah sebagai berikut:[35]
a.
Pengembangan
Bahasa Arab
Para penguasa dinasti
Umayyah telah menjadikan islam sebagai daulah (negara), kemudian dikuatkan dan dikembangkanlah bahasa Arab
dalam wilayah kerajaan Islam. Upaya tersebut dilakukan dengan menjadikan bahasa
arab sebagai bahasa resmi dalam tata usaha negara dan pemerintahan, sehingga
pembukuan dan surat menyurat harus menggunakan bahasa Arab, yang sebelumnya
menggunakan bahasa Romawi atau bahasa
Persia daerah-daerah bekas jajahan mereka dan Persia.
b.
Marbad;
Kota Pusat Kegiatan Ilmu
Dinasti Umayyah juga
mendirikan sebuah kota kecil sebagai pusat kegiatan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan. Pusat kegiatan ilmu dan kebudayaan itu dinamakan marbad, kota
satelit dari Damaskus. Di kota Marbad inilah, berkumpul para pujangga, filsuf,
ulama, penyair, dan cendekiawan lainnya, sehingga kota ini biberi gelar ukadz-nya
Islam.
c.
Ilmu
Qira’at
Ilmu qira’at adalah
ilmu seni baca al-Qur’an.Ilmu qira’at merupakan ilmu syariat agam
tertua, yang telah dibina sejak zaman khulafaur rasyidin.Kemudian, pada
masa dinasti Umayyah, dikembangkan, sehingga menjadi cabang ilmu syariat yang
sangat penting. Pada masa ini, lahir para ahli qira’at ternama, seperti
Abdullah bin Qusair dan Ashim bin Abi Nujud.
d.
Ilmu
Tafsir
Untuk memahami al-Qur’an
sebagai kitab suci, diperlukan interprestasi pemahaman secara
komprehensif.Minat menafsirkan al-Qur’an di kalangan umat Islam semakin
meningkat.Pada masa perintisan ilmu tafsir, ulama yang membukukan ilmu tafsir
adalah Mujahid (wafat pada tahun 104 H).
e.
Ilmu
Hadits
Ketika kaum muslimin
telah berusaha memahami al-Qur’an, ternyata ada satu hal yang harus mereka
butuhkan, yaitu ucapan-ucapan Nabi Muhammad Saw.yang dinamakan hadits.Oleh
karena itu, muncullah usaha manusia untuk mengumpulkan hadits sekaligus
menyelidiki asal usulnya, sehingga menjadi satu ilmu yang berdiri sendiri yang
dinamakan ilmu hadits.
Penguasa muslim
pertama yang membolehkan penghimpunan hadist adalah khalifah Umar bin Abdul
Azis.8
sejak itu hadist mulai dihimpun dan dicatat untuk memelihara keshahihan hadist,
munculah metode sanad, yang berarti penyandaran suatu ucapan pada orang yang
menyatakanya. Dengan metode sanan munculah beberapa istilah diantaranya;
·
Shahih yaitu hadist yang memeilki kesempurnaan
atau tanpa cacat
·
Hasan yaitu hadist yang isnadnya tidak
sepenuhnya shahih
·
Dhaif yaitu hadist yang pada matan atau isnad
terdapat cacat
·
Gharib yaitu hadist yang didalaya terdapat hal
yang asing atau aneh
Diantara
ilmu hadits yang termasyhur pada masa Dinasti Umayyah adalah al-Jauzi
Abdurrahman bin Amru (wafat tahun 110 H), Ibnu Abu Malikah (119 H), dan Asya’bi
Abu Amru bin Ayurahbil (wafat tahun 104 H).
f.
Ilmu
Fiqh
Setelah menjadi daulah maka para penguasa sangat membutuhkan adanya
peraturan-peraturan untuk menjadi pedoman dalam menyelesaikan berbagai
masalah.Mereka kembali kepada al-Qur’an dan hadits, sekaligus mengeluarkan
syariat dan kedua sumber tersebut untuk mengatur pemerintahan dan memimpin
rakyat.
Al-Qur’an adalah dasar fiqh Islam, dan
pada zaman ini, ilmu fiqh telah menjadi satu cabang ilmu syariat yang berdiri
sendiri. Diantara para ahli fiqh terkenal adalah Sa’ad bin Musib, Abu Bakar bin
Abdurrahman, Qasim ubaidillah, Urwah, dan Kharijah
g.
Ilmu
Nahwu
Pada masa Dinasti Umayyah, Karena
wilayahnya berkembang sangat luas, khususnya ke wilayah diluar Arab, maka ilmu
nahwu sangat diperlukan.Hal tersebut dikarenakan pula bertambahnya orang-orang
Ajam (non-Arab) yang masuk Islam, sehingga keberadaan bahasa Arab sangat
dibutuhkan. Oleh karena itu, dibutuhkanlah ilmu nahwu, dan berkembanglah satu
cabang ilmu yang penting untuk memperlajari berbagai ilmu agama islam.
Tokoh
tokoh ilmu nahwu adalah Sibawaih, kemudian Al-Farisy selanjutnya Al-Zujaj.[36]
h.
Ilmu
Jughrafi dan Tarikh
Jughrafi pada masa Dinasti Umayyah
telah berkembang menjadi ilmu tersendiri. Demikian pula ilmu tarikh (ilmu
sejarah), baik sejarah umum maupun sejarah islam pada khususnya. Adanya
pengembangan dakwah islam ke daerah-daerah baru yang luas dan jauh menimbulkan
gairah untuk mengarah ilmu jughrafi (ilmu bumi atau geografi), demikian
pula ilmu tarikh. Kedua ilmu ini lahir pada masa Dinasti Umayyah, yang
berkembang suatu ilmu yang betul-betul berdiri sendiri pada masa ini.
i.
Usaha
Penerjemahan
Untuk kepentingan pembinaan dakwah
islamiyah, pada masa Dinasti Umayyah, dimulai pula penerjemahan buku-buku ilmu
pengetahuan dari bahasa-bahasa lain ke dalam bahasa Arab.Dengan demikian,
jelaslah bahwa gerakan penerjemahan telah dimulai pada zaman ini, hanya baru
berkembang pesat pada zaman dinasti ebrikutnya yaitu Dinasti abbasiyah.
Adapun
mula-mula yang melakukan usaha penerjemah adalah Khalid bin Yazid, seorang
pangeran yang sangat cerdas dan ambisius. Ketika gagal memperoleh kursi
kekhalifahan ia focus di bidang ilmu pengertahuan, diantaranya mengusahakan
penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dari bahasa lain ke bahasa Arab.
Para ahlu ilmu pengetahuan yang melakukan
penerjemahan dari berbagai bahasa didatangkan dari Damaskus.Maka, diterjemahkan
buku-buku tentang ilmu kimia, ilmu astronomi, ilmu falak, ilmu fisika,
kedokteran, dan lain-lain. Sedangkan Khalid bin Yazid adalah seorang yang ahli
dalam bidang astronomi.
D.
Sistem Sosial Budaya (arab - mawali)
Pada masa Dinasti Umayyah, orang-orang Arab memandang dirinya lebih
mulia dari segala bangsa bukan Arab (Mawali). Orang-orang Arab memandang
dirinya “Sayyid” atau tuan atas bangsa bukan Arab, dengan negeri
taklukannya menjadi jurang pemisah dalam hal pemberian hak-hak negara.
Masyarakat di seluruh kerajaan terbagi ke dalam empat kelas sosial.
1.
Kelas
tertinggi kelas tertinggi biasanya di isi oleh para penguasa Islam, dipimpin
oleh keluarga kerajaan dan kaum aristocrat Arab. Berapa banyak jumlah mereka,
tidak bisa diketahui dengan pasti.[37]
2.
Kelas
sosial berikutnya, yang berada di bawah kelas muslim Arab adalah para muallaf
yang masuk Islam melalui pemaksaan sehingga secara teoritis negara mengakui hak
penuh mereka sebagai warga muslim.[38]
3.
Kelas
sosial ketiga adalah anggota-anggota sekte, dan para pemilik kitab suci yang
diakui, yang disebut dengan ahl al-Dzimmahyaitu orang Yahudi, Kristen
dan Saba yang telah mengikat perjanjian dengan umat Islam. Dalam status semacam
itu, orang dzimmi mendapatkan tingkat toleransi yang tinggi, tentu saja
setelah mereka membayar pajak tanah dan pajak kepala.[39]
4.
Kelas
paling rendah dalam masyarakat adalah golongan budak.[40]
Mawali berasal dari Maula, budak tawanan perang yang sudah
dimerdekakan.Mereka itu mula-mula berasal dari bangsa Persia atau keturunannya,
baik kedua orang tuanya berasal dari Persia atau salah satunya dari bangsa
Arab.Dalam perkembangan selanjutnya kata Mawali diperuntukkan pula bagi bangsa
selain Arab. Istilah itu muncul karena Bani Umayyah berusaha untuk meninggikan
derajat bangsa Arab sebagai penguasa diantara bangsa lain yang dikuasai. Karena
kefanatikannya kepada bangsa Arab khalifah Abdul Malik bin Marwan mewajibkan
bahasa Arab menjadi bahasa resmi negara sehingga semua perintah dan peraturan
serta komunikasi secara resmi memakai bahasa Arab. Akibatnya bahasa Arab
dipelajari orang. Tumbuhlah ilmu Qowaid dan ilmu lain untuk mempelajari bahasa
Arab. Bahasa Arab menjadi bahasa resmi di banyak negara sampai saat ini: Irak,
Syiria, Mesir, Libanon, Libia, Tunisia, Aljazair, Maroko, disamping Saudi
Arabia,Yaman, Emirat Arab, dan sekitarnya.[41]
Dalam bidang sosial budaya, Bani Umayyah telah
membuka terjadinya kontak antarbangsa muslim (Arab) dengan negeri-negeri
taklukanyang memiliki tradisi yang luhur, seperti Persia, Mesir, Eropa, dan
lain sebagainya. Hubungan tersebut melahirkan
kreativitas baru yang menakjubkan di bidang seni dan ilmu pengetahuan.
Di bidang seni, terutama seni bangunan (arsitektur), Bani Umayyah
mencatat suatu pencapaian yang gemilang.sepertiDome of the Rock (Qubah
ash-Shakira) di Jerusalem menjadi monument terbaik yang hingga kini tak
henti-hentinya dikagumi orang.[42]
Kehidupan Keluarga Istana. Ketika
malam tiba, para khalifah menikmati hiburan dan jamuan sosial.Muawiyah sangat
suka mendengar kisah sejarah, anekdot terutama dari Arab Selatan dan pembacaan
puisi. Untuk memuaskan kegemarannya, ia mendatangkan seorang ahli cerita dari
Yaman, Abid ibn Syaryah, yang menghibur khalifah sepanjang malam dengan
kisah-kisah kepahlawanan masa lalu. Minuman yang paling disukai adalah sirup
buah, yang sering menjadi tema lagu-lagu
Arab dan hingga kini masih bisa dinikmati di Damaskus, dan kota-kota lainnya.
Minuman itu biasanya sangat diminati oleh kaum wanita.[43]
Diantara aktivitas masa silam yang menarik minat para khalifah dan
para pengiringnya adalah berburu, balapan kuda, dan dadu.Polo, yang merupakan
olahraga favorit keluarga Abbasiyah, mungkin diperkenalkan oleh orang Persia
menjelang akhir pemerintahan Umayyah.Berburu merupakan olahraga yang pertama
kali dikembangkan di Arab, dengan menggunakan anjing saluki (saluqi, dari
Saluq di Yaman).[44]
Kehidupan Umum Ibukota. Bisa
dikatakan bahwa irama kehidupan dan karakteristik Damaskus tidak banyak berubah
sejak menjadi ibukota Dinasti Umayyah. Dulu, seperti juga sekarang, di
jalan-jalan sempit dan padat, banyak ditemui orang Damaskus, yang mengenakan
celana lebar, sepatu dengan ujung berwarna merah, dan sorban besar, terlihat
menepu-nepuk pundak orang badui yang berbusana longgar, menggunakan kafiyah (tutup
kepala) dan iqal (ikat kepala), atau ada juga orang Ifranji yang
berpakaian Eropa.
Seperti halnya di perkotaan, orang Arab dusun tinggal di wilayah
mereka yang terpisah sesuai dengan afiliasi kesukuan mereka.Di damaskus, Hims,
Aleppo, dan kota-kota lainnya, harah (pemukiman) ini masih bisa
dikendali dengan baik.Dinasti Umayyah yang bisa kita saksikan sekarang di
Damaskus adalah teknik pengairan yang tak tertandingi padsa masanya di dunia
Timur, dan hingga jinni masih berfungsi dengan baik. Nama Yazid diabadikan
sebagai nama sebuah kanal, Nahr Yazid, yang digali atau mungkin diperkuas dari
Barada, untuk menyempurnakan irigasi di Gutah. Oasis subur di luar Damaskus,
serta taman-tamannya yang indah merupakan hasil dari pengairan Barada. Di
samping Nahr Yazid, Barada juga terbagi menjadi empat cabang saluran yang
menyebarkan kesuburan dan kesegaran ke seluruh kota. [45]
E.
Sebab-sebab Kemunduran Bani Umaiyyah
Keruntuhan
daulah Bani Umayah berawal dari diangktnya Hisyam bin Abdul Malik menjadi
khalifah atas wasiat dari saudaranya, Yazid bin Abdul Malik bin Marwan.
Sedankan Walid bin Abdul Malik dijadikan putra mahkota setelah pemerintahan
Hisyam. Dia menerima kepemimpinan dari Hisyam pada bulan Rabiul Akhir tahun 125
H.[46]
Walid
bin Abdul Malik adalah seorang yang fasik peminum khamr dan banyak merusak
aturan Allah. Satu saat dia ingin menunaikan ibadah haji dengan tujuan minum
khamr di atas ka’bah, sehingga banyak orang yang membencinya dan memberontak
pada masa pemerintahannya.[47]
Diantara
sebab terpenting keruntuhan dinasti umayah dampak pembunuhan Husein, cucu
Rasululah SAW yang dilakukan Yazid bin Mua’wiyah. Hal ini yang menanamkan
kebencian dalam hati kaum syiah dan bertekad untuk melancarkan pemberontakan terhadap Bani Umayyah.[48]
Selain
daripada itu para penguasa Bani Umayah tidak menghargai jasa pahlawan.Para
pahlawan besar yang mengabdikan diri kepada Bani Umayah dan semestinya
memperoleh penghargaan dan penghormatan, tetapi malah dijebloskan ke dalam
penjara dan dibunuh.Kerajaan Islam pada zaman kekuasaan Bani Umayah semakin
luas sehingga sulit untuk mengendalikan dan mengawasinya, terlebih lagi dengan
semakin berkurangnya penguasa yang berwibawa untuk mengawasi suatu wilayah.[49]
Sepeninggal
Umar bin Abdul Azis kekhalifahan Bani Umayah berada di tangan Yazid bin Abdul
Malik. Penguasa yang satu ini terlalu gandrung dengan kemewahan dan kurang
memperhatikan kepentingan rakyat. Kerusuhan terus berlanjut hingga pemerintahan
Hisyam bin Abduk Malik. Pada zaman ini muncul kekuatan baru yang berasal dari
Bani Hasyim didukung golongan mawali.Kekuatan ini menjadi tantangan berat bagi
kaum Pemerintah Bani Umayah. Hisyam bin Abdul Malik sebenarnya khalifah yang
kuat dan terampil, tetapi dia muncul ketika pemerintahan diambang kehancuran.
Sepeninggal Hisyam khalifah yang tampil bukan hanya lemah, tetapi juga bermoral
buruk, Hal ini memperkuat golongan oposisi.Akhirnya pada tahun 750 M, daulah
Bani Umayah digulingkan Bani Abbasiyah yang bersekutu dengan Abu Muslim Al
Khurasani.[50]
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Umayah lemah dan membawanya kepada
kehancuran, diantaranya:
1.
Ketidakjelasan
sistem pergantian Khalifah sehingga menyebabkan terjadinya persaingan tidak
sehat dikalangan anggota keluarga istana.
2.
Sisa-sisa
Syi’ah dan Khawarij terus menjadi oposisi. Penumpasan pada golongan ini banyak
menyedot kekuatan pemerintah.
3.
Ada
pertentangan etnis antara suku Arabia utara dan selatan yang semakin meruncing
sejak zaman sebelum islam. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa bani
Umayah sulit menggalang persatuan.
4.
Sikap
hidup mewah di lingkungan istana , sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup
memikul tanggung jawab tatkala mereka mewarisi tahta.[51]
5.
Setelah
menakhlukkan spanyol penguasa muslim tidak menjalankan kebijakan islamisasinya dengan
sempurna. Penduduk Spanyol dibiarkan memeluk agamanya dan mempertahankan
tradisi mereka, akibatnya muncul pertentangan antara islam dengan kristen.[52]
6.
Terpecahnya
kekuasaan khalifah menjadi dinasti kecil-kecil, dan kekuatanpun terpecah-pecah
dan lemah.
7.
Kemerosotan
di bidang perekonomian, karena para penguasa mementingkan pembangunan fisik
dengan mendirikan bangunan-bangunan megah dan monomental.[53]
8.
Munculnya
kelompok khawarij dan syi’ah yang memandang bani Umayah sebagai perampas
kekhalifahan.[54]
Suatu
kebudayaan tentu akan mengalami pasang surut sebagaimana berputarnya sebuah
roda, kadang berada diatas kadang berada di bawah. Demikian juga dengan
kekuasaan sebuah imperium, satu saat dia muncul, berkembang pesat, lalu jatuh
dan hilang.[55]
Di
saat-saat terakhir kekhalifahan bani Umayah dipegang oleh Marwan bin Muhammad,
benar-benar dalam keadaan sudah gawat. Marwan berhadapan dengan dengan berbagai
persoalan, dia sibuk menutup hutang para pendahulunya, sementara itu pasukan
Romawi timur bergerak hingga mampu menguasai pesisir barat asia kecil dengan
semenanjung Greek, pantai Levantine, pulau Cyprus, pulau Rodes, dan Aradus.
Sementara itu Marwan juga harus menghadapi pemberontakan[56]
Sebenarnya dia adalah penguasa yang besar, tapi dia muncul ketika keadaan Bani
Umayah benar-benar dalam keadaan merosot.[57]
Di
saat terjadi banyak kekacauan itu gerakan Abbasiyah yang selama ini menyusun
kekuatan secara rahasia dan mendapat dukungan dukungan dari Bani Hasyim
golongan syi’ah dan kaum Mawali, menumpahkan seluruh kekuatannya untuk
menggempur habis-habisan Bani Umayah.Gerakan Abbasiyah ini berhasil menguasai
seluruh khurasan, dan selanjutnya menuju Irak untuk menghancurkan pasukan
Marwan.Khalifah Marwan mlarikan diri ke Mesir dan ditankap di sebuah biara di
pelabuhan Abusir, di Muara Sungai Nil.
F.
Penutup
Berdasarkan
uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Dinasti Umayyah lahir dari gejolak
politik yang haur akan kekuasaan. Dinasti Umayyah masuk Islam setelah
penaklukan kota Mekah, dan hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk
menjaga kehormatan dan kelanggengan kekuasaan. Akhirnya ambisi Dinasti Umayyah
tercapai juga oleh keturunan yang bernama Muawiyah bin Abi Sufyan hingga
mencapai masa keemasaaannya. Dan dalam system pergantian pemimpin Dinasti ini
menggunakan system turun temurun, sehingga hanya keluarga kerajaanlah yang
dapat memimpin kerajaan. Walaupun di permukaan tampak kacau akan tetapi pada
masa kejayaannya dinasti ini mampu menghasilkan ilmuwan-ilmuwan serta
karya-karya muslim popular.
DAFTAR PUSTAKA
Sunanto, Musyrifah. 2011. Sejarah Islam Klasik : Perkembangan
Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: Kencana.
As Suyuthi, Imam. 2005. Tarikh Khulafa’. Jakarta Timur:
Pustaka Al Kausar.
Ahmad Amin. 1987. Islam dari Masa ke Masa. Bandung: CV Rosda
Bandung.
Yatim, Badri. 1993. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada.
Supriyadi,
Dedi. 2016. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Aizid,
Rizem. 2015.Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik, Pertengahan,
dan Modern. Yogyakarta: DIVA Pers.
K. Hitti , Philip. 2006. History
of the Arabs (Terj.). Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Munir,
Samsul Amin. 2006. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Al-Usairy,
Ahmad.2010. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX.Jakarta:
Akbar Media.
A.N,
Firdaus.1997. Kepemimpinan Khalifah Umar Bin Abdilazi.Jakarta:
Publicita.
Catatan:
1. Abstrak seharusnya cuma satu paragraf.
2. Pendahuluan berisi pengantar untuk masuk pada
materi pembahasan, bukan materi pembahasan itu sendiri.
3. Perujukan masih belum maksimal pada bagian
awal.
4. Berikan kesimpulan mengenai sistem pergantian
kepalan negara.
5. Dalam tulisan ilmiah, penulisan gelar (Prof. Dr.,
Ustadz., dll) dihilangkan.
6. Penulisan footnote di bagian-bagian akhir
banyak yang salah. Tolong lebih diteliti.
[1]
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam,(Bandung: CV Pustaka Setia,
2016), Hlm. 103
[2]
Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik, Pertengahan,
dan Modern, (Yogyakarta: DIVA Pers, 2015), hlm. 246.
[3]Pengertian
kata “Bani” menurut bahasa berarti anak, anak cucu atau keturunan. Dengan
demikian yang dimaksud dengan Bani Umayyah adalah anak, anak cucu atau
keturunan dari Bani Umayyah bin Abdi Syams dari satu keluarga. Sedangkan kata
“Dinasti” bermakna raja-raja yang memerintah, dan semuanya berasal dari satu
keturunan.Jadi, Dinasti Umayyah adalah keturunan raja-raja yang memerintah,
yang berasal dari Bani Umayyah. Adapun istilah lain yang sering digunakan
adalah “daulah” yang berarti kekuasaan, pemerintahan, atau negara. Dengan
ungkapan lain, Daulah Bani Umayyah adalah negara yang diperintah oleh Dinasti
Umayyah yang raja-rajanya berasal dari Bani Umayyah.
[4]
Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik, Pertengahan,
dan Modern, (Yogyakarta: DIVA Pers, 2015) hlm. 246-247.
[5]Ibid,
hlm. 247.
[6]Alexander
Agung adalah maharaja tersohor dari masa helenisme awal.Penaklukan Athena oelh
Philip II dari Makedonia mengakhiri dominasi Athena atas seluruh
Yunani.Alexander Agung, Putra Philip II (lahir tahun 356 SM), segera dididik
dalam pola Yunani oelh Aristoteles. Ketika Philip II meninggal dunia pada tahun
336, Alexander muda langsung dinobatkan sebagai raja pada tahun yang
sama,.Dalam masa Alexander Agung inilah, hampir wilayah sekitar Laut Tengah
ditaklukkan dan disatukan sebagai satu imperium. Pada masa pemeintahannya
(336-323 SM), proses helenisasi dapat berlangsung secara luas. Namun, Alexander
Agung tidak membasmi budaya dan kepercayaan budaya setempat.Ia menghargai
dewa-dewa setempat, sebagaimana ia menyembah dewa-dewi Yunani. Ini memberi ciri
sinkretis pada agama masa helenisme. Karena keberanian, kepahlawanan, dan
keterbukaannya terhadap agama/budaya setempat, ia mendapatkan penghargaan
istimewa di seluruh wilayah hellenistik. Ia diakui sebagai raja ilahi,
bukan hanya ketika masih hidup, tetapi juga setelah ia meninggal dunia ]. Ia
menerima gelar “yang agung”; kuil dibuat di berbagai wilayah untuk
menyembahnya; patung dibuat untuk melambangkannya sebagai pahlawan ilahi [Ayub
Ranoh, Kepemimpinan Kharismatis; Tinjauan Teologis-Etis atas Kepemimpinan
Sukarno (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), hlm. 139-140]
[7]
Drs. Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2006),
hlm. 121-122.
[8]K.H
Firdaus A.N, Kepemimpinan Khalifah Umar Bin Abdilaziz,(Jakarta:
Publicita,1997), hlm.22
[9]
Prof. Dr. Imam Fu’adi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam(Yogyakarta:Penerbit
Teras,2011), hlm.89.
[10]
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam,(Bandung: CV Pustaka Setia,
2016), hlm. 104.
[11]Ibid,
hlm. 104-105.
[12]
Drs. Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Amzah, 2006),
hlm: 123.
[13]
Ibid,.
[14]
Ibid,.
[15]
Ibid,.
[16]
Drs. Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Amzah, 2006),
hlm: 124.
[17]
Drs. Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Amzah, 2006),
hlm: 124-125.
[18]
Ibid,.
[19]
Drs. Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Amzah, 2006),
hlm: 125-126.
[20]
Ibid,.
[21]
Ibid,.
[22]
Ibid,.
[23]Drs.
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Amzah, 2006), hlm:
127
[24]
Ibid,.
[25]
Ibid,.
[26]Ibid,
hlm. 128
[27]
Ibid,.
[28]
Ibid,.
[29]
Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta:
Akbar Media, 2010), hlm. 207
[30]Ibid,
hlm. 210
[31]Ibid,
hlm. 211
[32]
Philip K. Hitti, History of the Arabs (Terj.),(Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta, 2006), hlm. 316.
[33]
Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik, Pertengahan,
dan Modern, (Yogyakarta: DIVA Pers, 2015) hlm. 257.88888
[34]
Drs. Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2006),
hlm. 132.
[35]
Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik, Pertengahan,
dan Modern, (Yogyakarta: DIVA Pers, 2015) hlm. 258-261.
[36]
Prof. Dr. Hj. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik : Perkembangan Ilmu
Pengetahuan Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 44.
[37]
Philip K. Hitti, History of the Arabs (Terj.),(Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta, 2006), hlm. 289
[38]
Ibid,.
[39]Ibid,
hlm 291.
[40]Ibid,
hlm 293.
[41]
Prof. Dr. Hj. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik : Perkembangan Ilmu
Pengetahuan Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 42-43.
[42]
Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik, Pertengahan,
dan Modern, (Yogyakarta: DIVA Pers, 2015) hlm. 255.
[43]
Philip K. Hitti, History of the Arabs (Terj.),(Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta, 2006), hlm. 283-284
[44]Ibid,
hlm. 285
[45]Ibid,
hlm. 287-289.
[46]
Imam As Suyuthi, Tarikh Khulafa’ (Jakarta Timur: Pustaka Al Kausar, 2005),
hlm.298.
[47]
Ibid
[48]
Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa (Bandung: CV Rosda Bandung, 1987), hlm.107.
[49]Ibid,
hlm.108.
[50]
Dr.Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam(Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada,1993),hlm.47-48.
[51]Ibid,
hlm.48-49.
[52]
Dedi Supriyadi, M.Ag., Sejarah Peradaban Islam(Bandung:Pustaka Setia
Bandung,2016),hlm.124.
[53]
Ibid,125-126.
[54]
PROF. DR. Imam Fu’adi, M.Ag., Sejarah Peradaban Islam(Yogyakarta:Penerbit
Teras,2011),hlm.94.
[55]
Supriyadi, M.Ag., Sejarah Peradaban Islam(Bandung:Pustaka Setia
Bandung,2016),hlm.123
[56]
PROF. DR. Imam Fu’adi, M.Ag., Sejarah Peradaban Islam(Yogyakarta:Penerbit
Teras,2011),hlm.102
[57]
Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa (Bandung: CV Rosda Bandung, 1987), hlm.106.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar