TAKHRIJ AL-HADITS
Siti Aliyy Fatimah dan
Lailatul Hamidah
PAI-B Semester III
Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam
Abstrack
Hadith the prophet Muhammad
SAW is the source both tenets Islam after the Qur’an . Occupy the position of
both central to the teachings of Islam and is a source of tashri ‘ that cannot
be separated between which one with another .To know whether the acts of the
hadith can become hujjah or not, ancients necessary research, namely by using
the method takhrij hadith good it conventionally or by using a computer.
Takhrij according to expert hadith term is to provide information about the
place hadith on the original source with the explanation and sanad when
necessary. Al-manawi give a definition that is almost equal to definition of
above, namely: invoke hadith on the perawi that being narrated hadiths reported
in the scriptures they include law and its quality. There are five method in
takhrij hadith involve : the method takhrij with the word (bi al-lafzhi),
with the theme takhrij (bi al-mawdhu’), takhrij with the beginning
mattan (bi power al-matan), takhrij through perawi the top, and takhrij
to the nature of (bi as-shifah).
Keywords : Hadits, Takhrij, Method.
A.
Pendahuluan
Hadist atau sunnah Nabi Muhammad SAW adalah sumber kedua ajaran Isam sesudah
al-Quran. Keduanya menempati posisi sentral dalam ajaranislam dan merupakan sumber
tashri’yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain.[1]
Berhubung hadist Nabi SAW menempati posisi yang penting dalam syari’at Islam,
maka tidak mengherankan jika umat Islam sangat memperhatikan otentitas kedua
sumber ini sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Perhatian umat
Islam semakin meningkat ketika di tengah-tengah masyarakat bermunculan hadits-haditspalsu
(maudlu), baik yang dibuat untuk kepentingan politik, mencintai amalan kebaikan
tetapi tidak tahu agama, menjilat penguasa, keperluan dongeng, membela madhab
dan alirannya, maupun untuk mengacaukan ajaran-ajaaran Islam oleh musuh-musuh
Islam sesudah mereka gagal menghacurkan Islam lewat peperangan dan adu
argumentasi.
Dalam
rangka untuk menjaga otentitas hadist, para sahabat sudah terbiasa meriwayatkan
hadits semenjak Nabi Muhammad SAW hidup. Sejak Nabi
SAW hidup, pemeliharaan terhadap hadist Nabi Muhammad SAWdalam bentuk
pencatatan pada umunya bersifat pribadi. Adapun pencatatan hadits Nabi SAW
secara resmi, menurut perkiraan al-Khatib dimulai pada masa Abdul Aziz ibn
Marwan bin Hakam (w. 85H), atau menurut mayoritas ulama’ hadist dimulai pada
akhir abad hijriah.
Dalam
jarak waktu antar kewafatan Nabi Muhammad SAW dan penulisan kitab-kitab hadits
tersebut, terjadi berbagai hal yang dapat menjadikan riwayat hadits menyalahi
apa yang sebenarnya berasal dari Nabi SAW. Dengan demikian, untuk mengetahui
apakah riwayat hadits tersebut dapat dijadikah hujjah atau tidak, terelebih
dahulu diperlukan penelitian, yaitu dengan menggunakan metode takhrij hadits
baik itu secara konvensional maupun dengan menggunakan komputer.
B. Pembahasan
1. Definisi Takhrij
Secara etimologi kata “Takhrij” berasal
dari akar kata : خَرَجَ-يَخْرُجُ-خُرُوْجاًmendapat tambahan tasydid/syiddah
pada ra (‘ain fi’il) menjadiخَرَّجَ-يُخَرِّخُ-تَخْرِجاً
yang
berarti menampakkan, mengeluarkan, menerbitkan, menyebutkan, dan menumbuhkan.[2]
Maksudnya menampakkan sesuatu yang tidak atau sesuatu yang masih tersembunyi,
tidak kelihatan dan masih samar. Penampakan dan pengeluaran di sini tidak harus
berbentuk fisik ysng konkret, tetapi mencakup nonfisik yang hanya memerlukan
tenaga dan pikiran seperti makna istikhraj yang diartikan istinbath yang
berarti mengeluarkan hukum dari nash atau teks Al-Qur’an dan hadits.
Takhrij menurut istilah ahli hadits adalah
memberikan informasi tentang tempat hadis pada sumber aslinya dengan penjelasan
sanad dan derajatnya ketika diperlukan. Al-Manawi memberikan definisi yang
hampir sama dengan definisi di atas, yaitu: menisbatkan (menyandarkan) hadis
pada para perawi yang meriwayatkan hadis-hadis tersebut dalam kitab-kitab
mereka menyantumkan hukum dan kualitasnya.[3]
Para Muhaditsin mengartikan
takhrij hadis sebagai berikut :
1. Mengemukakan
hadis pada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang
telah menyampaikan hadis itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.
2. Ulama
mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis, atau
berbagai kitab lain yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayat sendiri,
atau para gurunya, siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya tulis
yang dijadikan sumber pengambilan.
3. ‘Mengeluarkan’
yaitu mengeluarkan hadis dari dalam kitab dan meriwayatkannya. Al-Sakhawy
mengatakan dalam kitab Fathul Mughits sebagai berikut, “Takhrij adalah
seorang muhadits mengeluarkan hadis-hadis dari dalam ajza’, al-masikhat, atau
kitab-kitab lainnya. Kemudian, hadis tersebut disusun gurunya atau
teman-temannya dan sebagainya, dan dibicarakan kemudian disandarkan kepada
pengarang atau penyusun kitab itu.”
4. Dalalah
, yaitu
menunjukkan pada sumber hadis asli dan menyandarkan hadis tersebut pada kitab
sumber asli dengan menyebutkan perawi penyusunnya.
5. Menunjukkan
atau mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang asli, yakni kitab yang
di dalamnya di kemukakan secara lengkap dengan sanadnya masing-masing , lalu
untuk kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas sanad hadis tersebut.
Dari uraian definisi di atas,
takhrij dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Mengemukakan
hadis pada orang banyak dengan menyebutkan para rawinya yang ada dalam sanad
hadis itu.
2. Mengemukakan
asal-usul hadis sambil dijelaskan sumber pengambilannya dari berbagai kitab
hadis, yang rangkaian sanadnya
berdasarkan riwayat yang telah diterimanya sendiri atau berdasarkan rangkaian
sanad gurunya, dan yang lainnya.
3. Mengemukakan
hadis-hadis berdasarkan sumber pengambilannya dari kitab-kitab yang di dalamnya
dijelaskan metode periwayatannya dan sanad hadis-hadis tersebut, dengan metode
dan kualitas para rawi sekaligus hadisnya. Dengan demikian, pen-takhrij-an hadis
penelusuran atau pencarian hadis dalam berbagai kitab hadis (sebagai sumber
asli dari hadis yang bersangkutan) , baik menyangkut materi atau isi (matan),
maupun jalur periwayatan (sanad) hadis yang dikemukakan.[4]
b. Tujuan Takhrij
Dalam
melakukan takhrij tentunya ada tujuan yang ingin dicapai. Tujuan pokok dari
takhrij yang ingin dicapai seorang peneliti adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui
eksistensi suatu hadis apakah benar sutu hadis yang ingin diteliti terdapat
dalam buku-buku hadis atau tidak.
2. Mengetahui
sumber otentik suatu hadis dari buku hadis apa saja yang didapatkan.
3. Mengetahui
ada berapa tempat hadis tersebut dengan sanad yang berbeda di dalam sebuah buku
hadis atau dalam beberapa buku induk hadis.
4. Mengetahui
kualitas hadis (maqbul/diterima atau mardud/tertolak).
c. Faedah dan Manfaat Takhrij
Faedah
dan manfaat takhrij cukup banyak, diantaranya yang dipetik oleh yang
melakukannya adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui
referensi beberapa buku hadis. Dengan takhrij, seseorang dapat
mengetahui siapa perawi suatu hadis yang diteliti dan di dalam kitab hadis apa
saja hadis tersebut didapatkan.
2. Menghimpun
sejumlah sanad hadis. Dengan takhrij,
seseorang dapat menemukan sebuah hadis yang akan diteliti di sebuah atau
beberapa buku induk hadis. Misalnya terkadang di beberapa tempat di dalam kitab
Al-Bukhari saja, atau di dalam kitab-kitab lain. Dengan demikian, ia akan
menghimpun sejumlah sanad.
3. Mengetahui
keadaan sanad yang bersambung (muttashil) dan yang terputus (munqathi’),
dan mengetahui kadar kemampuan perawi dalam mengingat hadis serta kejujuran
dalam periwayatan.
4. Mengetahui
status suatu hadis. Terkadang ditemukan sanad suatu hadis dha’if, tetapi
melalui sanad lain hukumnya
shahih.
5. Meningkatkan
suatu hadis yang dha’if menjadi hasan
li ghayrihi karena adanya dukungan sanad
lain yang seimbang atau lebih tinggi kualitasnya. Atau meningkatnya
hadis hasan menjadi shahih li ghayrihi dengan ditemukannya sanad lain
yang seimbang atau lebih tinggi kualitasnya.
6. Mengetahui
bagaimana para imam hadis menilai suatu kualitas hadis dan bagaimana kritikan
yang disampaikan.
7. Seseorang
yang melakukan takhrij dapat menghimpun beberapa sanad dan matan
suatu hadis.
d. Metode Takhrij
1. Takhrij dengan Kata (Bi Al-Lafzhi)
Takhrij
dengan menggunakan metode ini disyaratkan harus tahu awal kata dari hadits yang akan dicari. Jika awal
katanya tidak diketahui maka proses pencarian hadits dengan metode ini tidak
bisa dilakukan.
Jika
awal kata sudah diketahui, maka langkah selanjutnya adalah melihat huruf
pertama dari kata tersebut, demikian pula dengan huruf ke dua dan ke tiganya.[5]
Kamus
yang digunakan untuk mencari hadits adalah Al-Mu’jam
Al-Mufahras li Alfazh Al-Hadist An-Nabawi. Kamus ini terdiri dari 8 jilid,
lafal-lafal hadits yang dimuat dalam kitab Al-Mu’jam ini
berefrensi pada kitab induk hadist sebanyak 9 kitab sebagai berikut:
a. Shahih
Al-Bukhari dengan diberi lambang :خ
b. Shahih
Muslim dengan lambang :م
c. Sunan
Abu Dawud dengan lambang :د
d. Sunan At-Tirmidzi
dengan lambang :ت
e. Sunan
An-Nasa’i dengan lambang :ن
f.
Sunan Ibu Majah dengan
lambang :جه
g. Sunan
Ad-Darimi dengan lambang :دي
h. Muwaththa’
Malik dengan lambang : ط
i.
Musnad Ahmad dengan lambang : حم
Contoh hadist yang ingin
di-takhrij adalah:
لَا تَدْخُلُوْنَالْجَنَّةَ حَتَى تُؤْمِنُوْا وَلَا تُؤْمِنُوْا
حَتَى تَحَا بُّوْا
Pada
penggalan teks diatas dapat ditelusuri melalui kata-kata yang digaris bawahi.
Andaikata dari kata تحا بواdapat dilihat bab ح dalam kitab Al-Mu’jam karena kata itu berasal dari kata حبب .
Setelah ditelusuri, kata tersebut dapat ditemukan di Al-Mu’jam juz 1 hlm. 408
dengan bunyi:
م ايما ن
93, د ادب 131,ت صفة القيمة 54, استئذان 1, جه مقدمة 9, اذب 11, حم 1, 165 .
Maksud
ungkapan diatas adalah:
a. م ايما ن 93 = Shahih Muslim kitab iman nomor urut hadist 93.
b. د ادب 131 = Sunan Abu Dawud kitab Al-Adab nomor urut bab
131.
c. استـئذان 1, 54ت صفة القيمة = Sunan At-Tarmidzi kitab sifah al-qiyamah nomor urut bab 54
dan kitab isti’dzan nomor urut bab I.
d. جه مقدمة 9, اذب 11 = SunanIbnuMajahkitabMukadimahnomorurutbab 9 dankitab
Al-adabnomorurutbab 11.
e. حم 1, 165 =
Musnad Imam Ahmad bin Hanbal juz I hlm. 165.
Pengertian
nomor-nomordalam Al-Mu’jamsecararingkasdapat di keemukakansebagaiberikut:
a.
Semuaangkasesudahnama-namakitabataubabpadashahih
Al-Bukhari,
Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tarmidzi, Sunan An-Nasa’i,
SunanIbnuMajah, danSunan Ad-Darimimenunjukkanangkabab, bukanangkahadits.
b.
Semuaangkasesudahnama-namakitabataubabpadaShahih
Muslim danMuwaththa’ malikmenunjukkanangkauruthadist, bukanangkabab.
c.
DuaangkayangaadapadakitabMusnad
Ahmad, angka yang lebihbesarmenunjukkanangkajuzkitabdanangkasesudahnya,
atauangka yang biasameenunjukkanhalaman. HadistMusnad Ahmad yang berada di
dalamkotakbukan yang dipinggirataudiluarkotak.
Kelebihandarimetodeiniadalahhadistdapatdicarimelaui
kata manasaja yang diingatpeneliti,
tidakharusdihafalseluruhnyadandalamwakturelatifsingkatseseorangpenelitiakanmenemukanhadis
yang dicaridalambeberapakitabhadist.
Sedangkankesulitannyaadalahseseorangpenilitiharusmenguasaiilmusharaftentangasal-usulsuatu
kata.
2. Takhrij dengan Tema (Bi Al-Mawdhu’)
Arti takhrij kedua ini adalah penelusuran
hadist yang didasarkan pada topik (mawdhu’), misalnya bab Al-Khadim,
Al-Ghusl, Adh-Dhahiyah, dan lain-lain. Seorang peniliti hendaknya sudah
mengetahui topik suatu hadist kemudian ditelusuri melalui kamus hadis tematik.
Salah satu kamus hadist tematik adalah Miftah min Kunuz As-Sunnah oleh Dr. Fuad
Abdul Baqi. Dalam kamus hadist ini dikemukakan berbagai topik, baik yang berkenaan
dengan petunjuk-petunjuk Rasulullah maupun berkaitan dengan
nama. Untuk setiap topik biasanya disertakan suptopik dan untuk setiap subtopik
dikemukakan data hadits dan kitab yang menjelaskannya.
Kitab-kitab
yang menjadi refrensi Kamus Miftah tersebut sebanyak 14 kitab, lebih banyak daripada
Takhrij bi Al-Lafzhi di atas, yaitu 8 kitab sebagaimana di atas ditambah 6
kitab lain. Masing-masing diberi singkatanyang spesifik, yaitu sebagai berikut:
j.
Shahih Al-Bukhari dengan
diberi lambang : بخ
k. Shahih
Muslim dengan lamabang :مس
l.
Sunan Abu Dawud dengan
lambang :بد
m. Sunan
At-Tirmidzi dengan lambang :تر
n. Sunan
An-Nasa’i dengan lambang :نس
o. Sunan
Ibu Majah dengan lambang :مج
p. Sunan
Ad-Darimi dengan lambang : مي
q. Muwaththa’
Malik dengan lambang : ما
r. Musnad
Ahmad dengan lambang : حم
s. Musnad
Abu Dawud Ath-Thayalisi :ط
t.
Musnad Zaid bun Ali :ز
u. Sirah
Ibnu Hisyam :هش
v. Maghazi
al-Waqidi :قد
w. Thabaqat
Ibnu Sadin : عد
Kemudian
arti singkatan-singkatan lain yang dipakai dalam kamus ini adalah sebagai
berikut.
a. Kitab = ك
b. Hadist = ح
c. Juz =ج
d. Bandingkan
(Qobil) =قا
e. Bab =ب
f.
Shahifah = ص
g. Bagian =ق
Misalnya ketika ingin men-takhrij
hadist:
صَلاَةُ الَّيْلِ مَثْنىَ مَثْنَى
Hadits terebut temanya shalat
malam , dalam kamus miftah dicari pada bab Al-Layl tentang sholat malam,
yaitu di halamam 430. Disana dicantumkan sebagai berikut:
1.
بخ – ك 8 ب 48,
ك 145 ب ا , ك 19 ب 10
2.
مس – ك 6 ح 145
– 148
3.
بد – ك 5 ب 24
4.
تر – ك 2 ب 206
5.
مج – ك 5 ب 172
6.
مي – ك 2 ب 155 و 21
7.
ما – ك 7 ح 7 و 13
8.
حم – ثا ن ص ه و 9 و 10
Maksudnya hadist tersebut adanya dalam:
1. Al-Bukhari,
nomor urut kitab 8 dan nomor urut bab 84, nomor urut kitab 145, nomor urut
kitab 19, dan nomor urut bab 10.
2. Muslim,
nomor urut kitab 5 dan nomor urut hadist 145-148
3. Abu
Dawud, nomor urut kitab 5 dan nomor urut baba 24
4. At-
Tirmidzi, nomor urut kitab 2 dan nomor urut bab 206
5. Ibnu
Majah, nomor urut kitab 5 dan nomor urut bab 172
6. Ad-Darimi,
nommor urut kitab 2 dan nomor urut bab 155 dan 21
7. Muwathatha’
Malik, nomor urut kitab 7 dan nomor urut hadis 7 dan 13
8. Ahmad,
Juz 2 hlm. 5,9, dan 10.
Kelebihan metode ini, peneliti
hanya mengetahui makna hadits, tidak diperlukan harus mengingat permulaan matan
teks hadits, tidak perlu harus menguasai asal-usul akar kata, dan tidak perlu
juga mengetahui sahabat yang meriwayatkannya. Disamping itu peniiti
berkemampuan berlatih menyingkap kandungan hadits. Sementara diantara kesulitannya
adalah terkadang peniliti tidak memahami kandungan hadits atau kemungkinan hadits memiliki topik berganda.
3. Takhrij dengan Permulaan Matan(Bi Awwal Al-Matan)
Takhrij
menggunakan permulaan matan dari segi hurufnya, misalnya awal suatu matan
dimulai dengan huruf mim maka
dicari pada bab mim, jika diawali dengan huruf ba maka dicari
pada bab ba dan seterusnya. Takhrij seperti ini diantaranya dengan
menggunakan kitab Al-Jami’ Ash-Shaghir atau Al-Jami’ Al-Kabir karangan
As-Suyuthi dan Mu’jam Jami’ Al-Ushul fi Ahaadits Ar-Rasul, karya Ibnu
Al-Katsir.
Kitab Al-Jami’ Ash-Shaghir nama lengkapnya Al-Jami’
Ash-Shaghir fi Ahaadits Al-Basyir An-Nadzir, salah satu kitab karangan
As-Suyuthi (w. 911 H). Dia seorang ulama hadist yang memiliki gelar Al-Musnid
(gelar keahlian meriwayatkan hadist beserta sanad-nya) dan Al-Muhaqqiq
(peneliti) dan hafal 200.999 hadist. Sebuah kitab yang menghimpun ribuan
hadis yang terpilih dan yang singkat-singkat dipetik dari kitabnya yang besar Jam’u
Al-Jawami, terdiri dari dua juz, dan susunan hadis kitab ini sesuai dengan
urutan alphabet Arab alif, ba, ta, tsa, ja, kha, dan seterusnya. Jika
seorang peneliti ingin mencari hadist melalui kitab ini, harus ingat huruf apa
permulaan hadistnya, kemudian membuka kitaab tersebut pada bab yang sesuai
dengan huruf permulaan tersebut.
Misalnya
ketika ingin mencari hadits yang populer di tengah-tengah santri dan mahasiswa
:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ
مُسْلِمٍ
Kita
buka kitab Al-Jami’ Ash-Shaghir bab ط kita temukan pada juz 2
hlm. 54 ada 4 tempat periwayatan disebutkan, yaitu sebagai berikut
1. طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ
مُسْلِمٍ (عد هب) عَنْ أَنَسٍ (طص خط) عَنْ الحُسَيْنِ بن عَليِّ (طس) عَنْ ابنِ عَبَّاسِ
, تمام عَنْ ابن عُمَرَ (طب) عَن ابن مَسْعُوْدٍ (خط) عَن عَلِّى (طس هب) عَن أبِي
سَعِيْد (صح)
2.
طَلَبُ الْعِلْمِ
فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِدِ
الْخَنَازِيْرِ الْجَوْهَرَ وَالُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ (ه) عَنْ أَنَسٍ (ض)
3. طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ
مُسْلِمٍ وَإِنَّ طاَلِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ كُلُّ شَيْئٍ حَتَى الْحِيْتَانُ
فِيْ الْبَحْرِ, ابنُ عَبْدُ الْبَرِّ فِي الْعِلْمِ عَنْ أَنَسٍ (صح)
4.
طَلَبُ الْعِلْمِ
فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَاللهُ يُحِبُّ إِغَاثَةَ اللَّهْفَانِ (هب) ابنُ
عَبْدُالْبَرِّ فِي الْعِلْمِ عَنْ أَنَسٍ (صح)
Keterangan lambang-lambang di
atas :
1. a. (عد هب) = Ibnu Adi dalam kitab
Al-Kamil
b. (طص خط)=
Ath-Thabrani dalam Ash-Shagir,(خط) = Al-Khathib.
c. (طس) =
Ath-Thabrani dalam Al-Awsath.
d. (طب) =
Ath-Thabrani dalam Al-Kabiir.
e. ((صح =
Hadits Shahih.
2. a. (ه) = Ibnu Majah
b. ((ض = Hadits Dha’if
3. a. ((صح = Hadits Shahih.
4. a. (هب) = Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman.
b. ((صح =
Hadits Shahih.
Dari
hasil takhrij di atas ditemukan bahwa seluruh hadits hanya menyebutkan
sampai مُسْلِمٌ tidak
ada yang menyebutkan وَ مُسْلِمَةٍ, tetapi
yang beredar selalu menyebutkan seperti itu, mungkin ada rujukannya, asal dalam
kitab hadist yang dapat dipedomani. Kualitasnya shahih 3 tempat dan yang satu
dha’if.
Lambang-lambang
singkatan sebagaimana di atas mempunyai makna dan telah dijelaskan oleh
penyusunannya, As-Suyuthi dalam mukadimahnya. Bagi yang ingin mengetahui secara
menyeluruh, dapat membuka kitab Al-Jami’ Ash-Shagir bab Mukadimah. Di antara
kelebihan metode ini adalah dapat menemukan hadits yang dicari dengan cepat dan
mendapatkan haditsnya secara utuh dan keseluruhan, tidak penggalan saja
sebagaimana metode-metode sebelumnya. Akan tetapi, kesulitannya bagi seseorang
yang tidak ingat permulaan hadits. Khawatir hadits yang dingat itu sebenarnya
penggalan dari pertengahan atau akhiran hadits, bukan permulaannya.
4. Takhrij
Melalui Perawi yang Paling Atas (Bi Ar-Rawi al-A’la)
Takhrij
ini menelusuri hadits melalui perawi yang paling atas dalam sanad, yaitu
di kalangan sahabat (muttashil isnad) atau tabi’in (dalam hadits
mursal). Artinya, peneliti harus mengetahui terlebih dahulu siapa sanad-nya
di kalangan sahabat atau tabi’in, kemudian dicari dalam buku hadist
Musnad atau Al-Athraf. Diantara kitab yang digunakan dalam metode ini adalah kitab
Musnad atau Al-Athraf. Seperti Musnad Ahmad bin Hanbal, Tuhfat Al-Asyraf bi
Ma’rifat Al-Athraf karya Al-Mizzi, dan lain-lain. Kitab Musnad adalah
pengodifikasian hadits yang sistematikanya didasarkan pada nama-namasahabat
atau nama-nama tabi’in sesuai dengan urutan sifat tertentu. Adapun
Al-Athraf adalah kitab hadits yang menghimpun beberapa haditsnya para sahabat
atau tabi’in sesuai dengan urutan alphabet Arab dengan menyebutkan
sebagian dari lafal hadits.
Cukup
banyak kitab Musnad pada awal abad kedua Hijriyah, diantaranya yang
sangat populer adalah Musnad Ahmad bin Hanbal (w. 241 H). Sesuai dengan
masa perkembangannya dan latar belakang penulisannya agar mudah dihafal,
beberapa hadits dikelompokkan berdasarkan pada sahabat yang diriwayatkannya.
Kitab ini memuat sekitar 30.000 hadits, sebagian pendapat 40.000 buah hadits
secara terulang-ulang (mukarrar) sebanyak 6 jilid besar. Sistematikanya
tidak disesuaikan dengan urutan alphabet Arab, tetapi didasarkan pada
sifat-sifat tertentu, yaitu pertama sepuluh orang sahabat Nabi yang
digembirakan surga, kemudian musnad sahabat empat, musnad sahabat
ahli bait, musnad sahabat-sahabat yang populer, musnad sahabat
dari Mekah (Al-Makkiyyiin), dari Syam ( Asy-Syamiyyin), dari Kufah, Bashrah,
sahabat Anshar, sahabat wanita, dan dari Abu Ad-Darda.
Bagaimana men-takhrij sebuah hadits berikut dalam Musnad
Ahmad :
عَن
أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ قَالَ أُمِرَ بِلاَلٌ أَنْ يَشْفَعَ لأَذَانَ وَيُوتِرَ
لإِقَامَةَ
Dalam
hadits tersebut sahabat perawi sudah diketahui, yaitu Anas bin Malik, terlebih
dahulu nama Anas itu dilihat pada daftar isi (mufahras) sahabat pada
awal kitab Musnad Anas, dicari satu persatu hadits yang ingin dicari
sampai ditemukan, maka ditemukan pada hlm 103. Dari pen-takhrij-an ini
dapat dikatakan : “Hadits tersebut ditakhrij oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya
juz 3 hlm. 103”
Diantara
kelebihan metode takhrij ini adalah memberikan informasi kedekatan pembaca
dengan pen-takhrij hadits dan kitabnya. Berbeda dengan metode-metode
lain yang hanya memberikan informasi kedekatan dengan pen-takhrij-nya
saja tanpa kitabnya. Sedangkan kesulitan yang dihadapi adalah jika seorang
peneliti tidak ingat atau tidak tahu nama sahabat atau tabi’in yang
meriwayatkannya, disamping campurnya berbagai masalah dalam satu bab dan tidak
terfokus pada satu masalah.
5. Takhrij dengan Sifat (Bi
As-Shifah)
Seseorang dapat memilihmetodemana
yang tepatuntukditentukannyasesuaidengankondisi orang tersebut. Jika suatu hadis sudah dapat dikeetahui
sifatnya, misalnya Mawadhu”, shahih, Qudsu, Mursal, Masyhur, Mutawatir, dan
lain lain sebaiknya di-takhrij melalui kitab-kitab yang telah menghimpun
sifat-sifat tersebut. Misalnya, hadist mawdhu” akan leeeebih mudah di
takhrijkan melalui buku-buku himpunan hadist mawdhu’ seperti Al-Mawdhuat karya
Ibnu Al-Jauzi, mencari hadist mutawatir takhrij-lah melalui kitab AlAzhar
Al-Mutanatsirah ‘an Al-Akhbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi, dan lain lain.
Disana seseorang akan mendapatkan informasi tentang kedudukan suatu hadist,
kualitasnya, sifat-sifatnya, dan lain-lain terutama dapat dilengkapi dengan
kitab-kitab syarahnya.
Kesimpulan
Takhrijhaditsadalah memberikan informasi
tentang tempat hadist pada sumber aslinya dengan penjelasan sanad
dan derajatnya ketika diperlukan. Tujuan dari takhrij hadits adalah Mengetahui
eksistensi suatu hadis apakah benar sutu hadis yang ingin diteliti terdapat dalam
buku-buku hadis atau tidak, mengetahui sumber otentik suatu hadis dari buku
hadis apa saja yang didapatkan, mengetahui ada berapa tempat hadis tersebut
dengan sanad yang berbeda di dalam sebuah buku hadis atau dalam beberapa buku
induk hadis dan mengetahui kualitas hadis (maqbul/diterima atau mardud/tertolak).
Faedah
dan manfaat takhrij cukup banyak, diantaranya yang dipetik oleh yang
melakukannya adalah mengetahui referensi beberapa buku hadis, menghimpun
sejumlah sanad hadis, dan mengetahui
keadaan sanad yang bersambung (muttashil) dan yang terputus (munqathi’),
dan mengetahui kadar kemampuan perawi dalam mengingat hadis serta kejujuran
dalam periwayatan.
Terdapat
lima metode dalam men-takhrij hadis yakni: metode Takhrij dengan Kata (Bi
Al-Lafzhi), Takhrij dengan Tema (Bi Al-Mawdhu’), Takhrij dengan Permulaan
Matan(Bi Awwal Al-Matan), Takhrij Melalui Perawi yang Paling Atas (Bi
Ar-Rawi al-A’la), dan Takhrij dengan Sifat (Bi As-Shifah).
Daftar Rujukan
Anwar, Ali. 2011. Takhrij
al-Hadith dengan Komputer. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Majid Khon, Abdul. 2015. Ulumul
Hadis. Jakarta: Amzah.
Nuruddin. 1994. ‘Ulum
Al-Hadits. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Smeer, Zeid B. 2008. Ulumul
Hadis. Malang: UIN Malang Press.
Solahudin, Agus dan
Suyadi,Agus. 2008. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
Revisi:
1. Tidak ditemukan
indikasi adanya copy-paste.
2. Pendahuluan
kurang singkron dengan pembahasan takhrij. Takhrij tidak bertujuan utama untuk mengetahui
apakah suatu hadis bisa dipakai hujag atau tidak, akan tetapi untuk mengetahui dimana
saja hadis itu ada.
3. Ada beberapa
bagian yang perlu diberikan rujukan, tetapi tidak ada perujukannya.
4. Cara melakukan
takhrij hadis dengan komputer/software perlu divcantumkan.
Secara umum saya menilai makalah
ini cukup baik. Selamat!!!
[1]Ali Anwar, Takhrij
al-Hadith, (Kediri: PustakaPelajar, 2011) hal 115
[2] Abdul Majid Khon, Ulumul
Hadis,. (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2015) hal 127
[3] Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis
Pengantar Studi Hadis Praktis, (Malang: UIN Malang Press, 2008) hal 171
[4] M. Agus Solahudin dan Agus
Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hal 190
[5] Zeid B. Smeer, Ulumul Hadist,(Malang:
UIN Malang Press, 2008), hal. 174
Tidak ada komentar:
Posting Komentar