ILMU JARH WA TA’DIL
Elsha Anggy Anggraeni dan Mufidatul Ilma
Pendidikan Bahasa Arab Kelas D, Uin Maulana Malik
Ibrahim, Malang
Abstract: The scholars have agreed that Ulumul Hadith or science who addressed the subject both in terms of hadith narrations or in material or former hadith history is a science that is very important. Therefore is a must for stakeholders hadith. This chapter will discuss one of the science is very important in the study of the science of hadith is the science Jarh wa ta'dil. Science Jarh wa ta'dil is the science that stands alone, which is where the science Jarh ta'dil wa explains about the notes that faced with the transmitters and on fair (fair view of the transmitters). Science Jarh wa al-ta'dil used to establish whether the narration a narrator can be accepted or rejected.With this knowledge can be seen later on who among the perowi acceptable history, and who should be rejected. In fact, this science is a science that is not owned by the followers of the other.
Keywords : hadith, stakeholders, science, fair, knowledge
Pendahuluan
Ilmujarhwata’dilpadahakekatnyamerupakansuatubagiandariilmuRijalilHadits.
Akan tetapi, karenabagianinidipandangsebagai yang
terpentingmakailmuinidijadikansebagaiilmu yang berdirisendiri. Yang
dimaksuddenganilmujarhwata’dil adalahilmu yang
menerangkantentangcatatan-catatan yang
dihadapkanpadaperawidantentengpenakdilannya (memandangadilparaperawi)
denganmemakai kata-kata yang khususdantentangmartabat-martabat kata-kata itu.
Ilmu ini membahas tentang hal-hal yang
berhubungan dengan para perowi hadits dari segi diterimanya atau ditolaknya
riwayat mereka. Dimaksudkan dengan hal-hal ikhwal yang berhubungan dengan
perowi hadits dari segi diterimanya riwayat adalah sifat-sifat yang dipunyai
sebagai syarat dapat diterimanya suatu yang diriwayatkannya. Ada sikap pokok
yang harus dimiliki oleh para perowi hadits yaitu adil dan dhobith.[1]
Ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah
“timbangan” bagi para perowi hadits. Rawi yang berat timbangannya diterima
riwayatnya, dan rawi yang ringan timbangannya ditolak riwayatnya. Dengan ilmu
ini kita bisa mengetahui periwayatan yang dapat diterima haditsnya dan kita dapat
membedakannya dengan periwayatan yang tidak dapat diterma haditsnya.
Oleh karena itu para ulama hadits
memperhatikan ilmu ini dengan penuh perhatian dan mencurahkan segala pikirannya
untuk menguasainya. Merekapun ber-ijma’ akan validitasnya, bahkan
kewajibannya karena kebutuhan yang mendesak akan ilmu ini.[2]
Seandainya para tokoh kritikus rawi itu tidak
mencurahkan segala perhatiannya dalam masalah ini dengan meneliti keadilan para
rawi, menguji hapalan dan kakuatan ingatannya, hingga untuk itu mereka tempuh rihlah
yang panjang, mananggung kesulitan yang besar, mengingatkan masyarakat untuk
berhati-hati tehadap para rawi yang pendusta, yang lemah, dan kacau hapalannya,
seandainya bukan usaha mereka, niscaya akan menjadi kacau balaulah urusan
islam, orang-orang zindiq akan berkuasa, dan para dajjal akan
bermunculan.[3]
Pengertian
ilmu jarh wa ta’dil
Ilmu
al-Jarh, yang secara bahasa berarti luka, cela, atau cacat. Ilmu al-Jarh
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada
keadilan dan kedhabitannya.[4]
Para ahli hadits mendefinisikan al-jarh dengan :
الطّعن فىى راوى الحديث بما يسلب أو يخلّ بعدالته أو ضبطه [5]
“Kecacatan pada perawi Hadis disebabkan oleh sesuatu yang
dapat merusak keadilan atau kedabitan perawi” [6]
Lafadh “Jarh” menurut muhaddistin ialah
sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadailan dan kehafalannya. Menjarh
seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat
menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya.[7]
Sedangkan at-Ta’dil, yang secara bahasa
berarti at-tasywiyah (menyamakan). Menurut istilah berarti :
عكسه هو تزكية الرّاوي والحكم عليه بأنّه عدل أو ضابط [8]
“Lawan dari al-Jarh,
yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan, bahwa adil atau dabit”.[9]
Rawi yang dikatakan adil ialah orang yang
dapat mengendalikan siafat-sifat yang dapat menodai agama dan keperwiraannya,
memberikan sifat-sifat yang terpuji kepada seorang rawi hingga apa yang
diriwayatkan dapat diterima disebut menta’dilkannya.
هو العلم الذي يبحث في أحوال الرواة من حيث قبول روايتهم
أوردها
“Ialah suatu ilmu yang
membahas hal ihwal para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya.”[10]
Ulama lain mendefinisikan al-Jarh dan at-ta’dil
dalam satu definisi, yaitu :
علم يبحث عن الرّواة من حيث ما ورد فى شأنهم
ممّا يشنيهم أو يزكّيهم بألفاظ مخصوصةٍ [11]
“Ilmu yang membahas tentang para perawi Hadis
dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan
atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafaz tertentu”.[12]
a.
Manfaat Ilmu
Jarh wat-Ta’dil
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat untuk
menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus
ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dinilai oleh para ahli sebagai rawi
yang cacat, periwayatannya harus ditolak, dan apabila seorang rawi dipuji
sebagai orang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat
yang lain untuk menerima hadist dipenuhi.
Kalaulah ilmu al-jarh wa at-ta’dil ini
tidak dipelajari dengan seksama, paling tidak akan muncul penilaian bahwa
seluruh orang yang meriwayatkan hadis dinilai sama. Padahal, perjalanan hadis
semenjak Nabi Muhammad SAW. Sampai dibukukan mengalami perjalanan yang begitu
panjang, dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah
wafatnya Rasulullah SAW, kemurnian sebuah hadis perlu mendapat penelitian
secara seksama karena terjadinya pertikaian di bidang politik, masalah ekonomi
dan masalah-masalah yang lainnya banyak mereka kaitkan dengan hadis. Akibatnya,
mereka meriwayatkan suatu hadis yang disandarkan kepada Rasulullah, padahal
riwayatnya adalah riwayat yang bohong, yang mereka buat untuk kepentingan
golongannya.
Jika kita tidak mengetahui benar atau salahnya
sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan antara hadis yang benar-benar dari
Rasulullah dan hadis yang palsu (maudhu’)
Dengan mengatahui ilmu al-jarh wa at-ta’dil
kita juga akan bisa menyeleksi mana hadis sahih, hasan, ataupun hadis dhaif,
terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.[13]
b.
Macam-macam
Keaiban Rawi
Keaiban seorang rawi itu banyak. Akan tetapi
umumnya hanya berkisar kepada 5 macam saja. Yakni:
1. Bid’ah (melakukan tindakan tercela, diluar ketentuan
syaria’t).
2. Mukhlafah (melaini dengan periwayatan orang yang lebih
tsiqoh).
3. Ghalat (banyak kekeliruan dalam periwayatan).
4. Jahalatul-hal (tidak dikenal identitasnya).
5. Da’wal’l-inqitha’ (diduga keras sanadnya tidak
bersambung).
Orang yang disifati dengan bid’ah adakalannya
tergolong orang yang dikafirkan dan adakalanya tergolong orang yang difasikkan.
Sedangkan orang-orang yang dianggap fasik ialah golongan yang mempunyai itikad
berlawanan dengan dasar syari’at. Mukhalafah yakni yang dapat menimbulkan
kejanggalan dan kemungkaran suatu hadist, ialah apabila seorang rawi yang setia
ingatannya lagi jujur meriwayatkan sesuatu hadist berlawanan dengan riwayat
orang yang lebih setia ingatannya atau berlawanan dengan kebanyakan orang, jika
rawinya sangat lemah hafalannya periwayaan hadistnya disebut mungkar. Ghalath
yakni seorang rawi yang disifati banyak kesalahannya. Sedangkan Jahalatul-hal
atau tidak diketahui identitasnya merupakan pantangan untuk diterima hadistnya,
selama belum jelas identitasnya. Da’wal-inqitha’ atau pendakwaan terputus dalam
sanad, misalnya mendakwa rawi mentadlikan atau penipuan suatu hadist.[14]
Adapun informasi jarh dan ta’dilnya
seorang rawi bisa diketahui melalui dua jalan, yaitu:
1. Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa
mereka dikenal sebagai orang yang adil, atau rawi yang mempunyai ‘aib. Bagi
yang sudah terkenal di kalangan ahli ilmu tentang keadilannya, maka mereka
tidak perlu lagi diperbincangkan keadilannya, begitu juga dengan perawi yang
terkenal dengan kefasikannya atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.
2. Berdasarkan pujian atau pen-tajrih-an dari rawi
lain yang adil. Bila seorang rawi yang adil menta’dilkan seorang rawi yang lain
yan belum dikenal keadilannya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa
menyandang gelar adil dan periwayatannya bisa diterima. Begitu juga dengan rawi
yang di-tajrih. Bila seorang rawi yang adil telah mentajrihnya
maka periwayatannya menjadi tidak bisa diterima.[15]
Penetapan
keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh :
1.
Seorang
rawi yang adil. Jadi, tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang men-ta’dil-kan
sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat hadis.
2.
Setiap
orang yang dapat diterima periwayatannya, baik laki-laki maupun perempuan, baik
orang yang merdeka maupun budak, selama ini mengetahui sebab-sebab yang dapat
mengadilkannya.
Penetapan
tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan, yaitu:
1.
Berdasarkan
berita tentang ketenaran rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal
sebagai orang yang fasik atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi
dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan
kecacatannya.
2.
Berdasarkan
pen-tajrih-an dari seorang yang adil, yang telah mengetahui sebab-sebab
dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang muhaditsin.[16]
c.
Syarat
Ulama al-jarh wa at-ta’dil
Seorang ulama al-jarh
wa at-ta’dil harus memenuhi kriteria-kriteria yang menjadikannya objektif
dalam upaya menguak karakteristik para periwayat, syarat-syaratnya adalah :
1.
Berilmu,
bertaqwa, wara’, dan jujur. Karena bila mereka tidak memiliki sifat-sifat ini,
maka bagaimana ia dapat menghukumi orang lain dengan al-jarh wa at-ta’dil yang
senantiasa membutuhkan keadilannya.
Al-Hafizh berkata, “Seyogyanya
al-jarh wa at-ta’dil tidak diterima kecuali dari orang yang adil dan
kuat ingatannya, yakni orang yang mampu mengungkapkan hadits dan kuat
ingatannya sehingga menjadikannya berhati-hati dan ingat dengan tepat
terhadap hadits yang ia ucapkan.
2.
Ia
mengetahui sebab-sebab al-jarh wa at-ta’dil.
Al-Hafizh Ibnu Hajar
menjelaskan dalam Syarh al-Nukhbah, “Tazkiya (pembersihan terhadap diri
orang lain) dapat diterima bila dilakukan oleh orang yang mengetahui
sebab-sebabnya, bukan dari orang yang tidak mengetahuinya, agar ia tidak
memberikan tazkiyah hanya dengan apa yang kelihatan olehnya dengan
sepintas tanpa mendalami dan memeriksanya.”
3.
Ia
mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab, sehingga suatu lafazh yang
digunakan tidak dipakai untuk selain maknanya, atau men-jarh dengan
lafazh yang tidak sesuai untuk men-jarh.[17]
Masalah berikutnya adalah perselisihan dalam
menentukannya mengenai jumlah orang yang dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan
dan men-tarjih-kan rawi. Sebagaimana berikut :
1.
Minimal
dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal riwayah.
Demikian pendapat kebanyakan fuqaha Madinah.
2.
Cukup seorang
saja, dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah. Sebab,
bilangan tersebut tidak menjadi syarat dalam penerimaan hadis, maka tidak pula
disyaratkan dalam men-ta’dil-kan dan men-tarjih-kan rawi.
Berlainan dengan soal syahadah.
3.
Cukup
seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah.[18]
d.
Pertentangan
antara al-jarh wa at-ta’dil
Terkadang, pernyataan-pernyataan ulama tentang
tajrih dan ta’dil terhadap orang yang sama bisa saling
bertentangan. Sebagian men-tajrih-kannya, sebagian lain men-ta’dil-kan.
Bila keadaan seperti itu, diperlikan penelitian lebih lanjut tentang keadaan
sebenarnya.
Dalam masalah ini, para
ulama terbagi dalam beberapa pendapat, sebagai berikut :
1.
Al-Jarh harus
didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’adil-nya lebih banyak
daripada jarh-nya. Sebab, jarih tentu mempunyai kelebihan ilmu
yang tidak diketahui oleh mu’adil dan kalau jarih membenarkan mu’adil
tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedangkan jarih memberitahukan
urusan batiniah yang tidak diketahui oleh si mu’adil. Inilah pendapat
yang dipegang oleh mayoritas ulama.
2.
Ta’dil didahulukan
daripada jarh, bila yang men-ta’dil-kan lebih banyak karena
banyaknya yang men-ta’dil bisa mengukuhkan keadaan rawi-rawi yang
bersangkutan. Menurut ‘Ajjaj Al-Khathib, pendapat ini tidak bisa
diterima, sebab yang men-ta’dil, meskipun lebih banyak jumlahnya, tidak
memberitahukan apa yang menyanggah pernyataan yang men-tajrih.
3.
Bila jarh
dan ta’dil bertentangan, salah satunya tidak bisa didahulukan,
kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya, yakni keadaan
dihentikan sementara, sampai diketahui mana yang lebih kuat di antara keduanya.[19]
4.
Tetap
dalam ta’arudh bila tidak ditemukan yang men-tajrih-kan.[20]Pengarang
at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khilaf ini, ialah jika jumlah
mu’addilnya lebih banyak, tetapi kalau jumlahnya seimbang antara mu’addil dan
jarih-nya, maka mendahulukan jarah itu sudah merupakan putusan ijma’.[21]
Faktor-Faktor
Yang MelatarbelakangiMunculnyaIlmuJarhWaTa’dil
a. Faktorlahirnyaal-Jarhwa
al-Ta’dil
Ada beberapafaktorpenting, yang
menjadipenyebablahirnyakonsepal-Jarhwa al-Ta’dildalamtradisiulamahadits.
Sebagaisatudisiplinilmu yang memilikipirantidankaidah-kaidahkhusus.Tujuan
paling agungadalahuntukmemliharaduasumberIslam : Al-Qur’an dansunnahNabi
Muhammad saw. Yang paling prinsipiladalahmunculnyagerakan “pemalsuhadits” (al-wadh’u).Gerakaninilah
yang menjadipemicuutamalahirnyailmutersebut.
Olehkarenaitu,
paraulamabergerakuntukmembendungaruspemalsuanhaditstersebut, yang melahirkanbeberapadisiplinilmuhadits,
yakni : (1) yang berkenaandenganisnadhadits; (2)
melakukanchekatasvalidasihadits. Hal
inidilakukandenganmerujukkepadaparasahabat, tabi’indanparaulama yang
pakardalamilmuini; (3) kritikparaperawidanmenjelaskankepribadianmereka,
darisisikejujurandankedustaannya; (4)
membuatkaidah-kaidahumumdalammengklasifikasikanhadits.Merekamembagijenishaditskedalamtiga:
shahih, hasan, dandha’if.
Usaha yang
dilakukanparaulamatersebutakhirnyamembuahkanbeberapahal yang sangaturgen: (1)
kodifikasisunnah; (2) ilmuMushthalahhadits; (3) ilmual-Jarhwa
al-Ta’dil; (4) ilmu-ilmuhadits (Ulum al-Hadits); (5)
penulisantentangbuku-bukuhaditspalsu (al-maudu’at) danparapemalsunya (al-wadhadha’un);
dan (6) penulisbuku-bukutentanghadits-hadits yang masyhur di tengah-tengahmasyarakat.[22]
b. Perkembanganal-Jarhwa
al-Ta’dil
Al-jarhwa al-ta’dilberkembangbersamaandenganperkembanganriwayat.
Karenauntukmengetahuishohihdantidaknyasuatuhaditsharusdiketahuikeadaanperowinya.Denganituakandiketahuijujuratautidaknyariwayatitu.
Selanjutnyadapatdibedakanantara yang diterimadan yang
ditolak.Pengetahuantentangrowimeliputiseluruhaspekkehidupannyasehinggadapatdiketahuikekuatanhafalannya,
dayatangkapdaningatannya,
panjangdanpendeknyamasapergaulandenganNabidansebagainya.
Para sahabat, tabi’indanahliilmumenjelaskankeadaanpararowisemata-matakarena
Allah,
bukankarenatakutpadaseseorang.MerekatidakmemandangdarimanamerekamenerimahaditsNabi.Dan
halinimerekalakukankarenakekhidmatanmerekapadasyari’at Islam,
untukmenjagasumbersyariatitudan arena niat yang ikhlas.
Syu’bah bin Al Hajjaj yang hidupantaratahun
80-160 H pernahditanyatentanghadits yang didapatidariHukai bin Zubairyaitu
orang yang sangatsenangberdusta, makajawabSyu’bah “sayatakutneraka”. Karenaitulahmaka
Imam Syafi’iberkata “seandinyatidakadaSyu’bahmakatidakakankitadapatihadits
di Irak”.
Kata AsySya’bi “demi Allah,
seandainyaakubenartujuhpuluh kali dankelirusekalisaja,
sungguhmengalahkankepadakukesalahan yang hanyasekaliitu”.
Para
ulamamemberipengertianpenuhdalammencarihalIkhwalpararowi, danmenanyakankeadaanmereka.AbdurRohman
bin Al mahdipernahbertanyakepadaSyu’bah, IbnulMubarok, Atstsauridan Malik bin
Anashtentangseorang yang disangkaberdusta, makaparaulamatersebutmenjawab “jelaskankepadanya,
sebabhalituadalahtermasukurusan agama”.
Dalamhaliniulamamenetapkansebagaisuatukeharusan,dantidaktermasukmengumpat,
justumenjelaskantentangshohihdandhoif,
maqbuldanmarduddaninisemuapenjagaanterhadaphaditsNabi.
Abdullah bin Ahmad bin Hambalberkata “Abu
Turab An Nakhsyabidatangkepadaayahku, daripercakapanmereka :
Ayah berkata “fulanituseorang yang
dho’ifdanfulan yang lain adalah orang yang dapatdipercaya”. Mendengarhalitu
Abu Turabberkata “wahai guru,
janganmengumpatparaulama.
Ayah berkata “wahbagaimanakamuini,
iniadalahNasikhatsamasekalibukanmengumpat”
PernahditanyakankepadaYahya bin Said Al Qotthoh
“tidaklah orang itu (yang dinyatakancacatnya) nantiakanmenuntutnya di
hadapan Allah?”
Yahya bin Sa’idmenjawab “akulebihsukadituntutolehmerekadaripadasayadituntutolehRasulullah”.[23]
Para sahabatsebagaimanaparatabi’inmemandanghalinissebagaisuatuhal
yang wajib, merekaberdasarkanfirman Allah.[24]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًاسَدِيدًا (.٧) يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَنْيُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا (٧١)
33:70. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar,
33:71. niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.
Tingkatan-tingkatan jarh wa ta’dil
Para perawi yang meriwayatkan hadis tidak semuanya berada dalam satu derajat. Bila dipandang dari segi keadilannya , kedlabitan, dan hafalan mereka kondisinya sangat beragam. Di antara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang ‘adil amanah, serta ada juga yang berdusta dalam hadits. Maka Allah menyingkap kualitas meraka ini melalui tangan para ulama’.
Oleh karena itu, para ulama’ telah menetapkan tingkatan Jarh dan Ta’dil, dan lafad-lafad yang menunjukkan pada setiap tingkatan tersebut. Tingkat Ta’dil ada enam, begitu pula dengan Jarh.
Karena kualitas hafalan dan tingkat keterpercayaan tiap perowi berbeda, maka para ulama, memberikan batasan-batasan rinci yang terkait dengan pengklasifikasian kualitas perowi. Batasan-batasan tersebut kemudian dikenal dengan istilah maratib al-jarh wa ta’dil (tingkat jarh dan ta’dil)[25] yang tergambar sebagai berikut :
1. Tingkatan Ta’dil
a. Tingkat pertama, segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan, dengan menggunakan lafazh-lafazh yang af’alu al-ta’dil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian sejenis :
أوثق النّاس = orang yang paling tsiqat, orang yang paling kuat hafalannya.
أثبت النّاس حفظا وعدالة = orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya.
إليه المنتهى فى الثّبت = orang yang paling menonjol keteguhan hatinya dan akhlaknya.
ثقّة فوق ثقة = orang yang tsiqat yang melebihi orang tsiqat.
b. Tingkatan kedua, memperkuat ke-tsiqah-an rawi dengan membubuhi satu sifat yang menunjukkan keadilan dan ke-dhabit-annya, baik sifatnya yang dihubungkan itu selafazh (dengan mengulangnya) maupun semakna, misalnya :
ثبت ثبت = orang yang teguh (lagi) teguh, yaitu teguh dalam pendiriannya.
ثقّة ثقّة = orang yang tsiqah (lagi) tsiqah, yaitu orang yang sangat dipercaya.
حجّة حجّة = orang yang ahli (lagi) petah lidahnya.
ثبت ثقة = orang yang teguh (lagi) tsiqah, yaitu teguh dalam pendiriannya dan kuat hapalannya.
حافظ حجّة = orang yang hafidz (lagi) petah lidahnya.
ضابط متقن = orang yang kuat ingatan (lagi) meyakinkan ilmunya.
c. Tingkatan ketiga, menunjukkan keadilan dengan suatu lafazh yang mengandung arti ‘kuat ingatan’, misalnya :
ثبت = orang yang teguh (hati-hati lidahnya).
متقن = orang yang meyakinkan ilmunya.
ثقّة = orang yang tsiqah.
حافظ = orang yang hafizh (kuat hapalannya).
حجّة = orang yang petah lidahnya.
d. Tingkatan keempat, menunjukkan keadilan dan ke-dhabit-an, tetapi dengan lafazh yang tidak mengandung arti ‘kuat ingatan dan adil (tsiqah), misalnya :
صدوق = orang yang sangat jujur.
مأمون = orang yang dapat memegang amanat.
لابأس به = orang yang tidak cacat.
e. Tingkatan kelima, menunjukkan kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui adanya ke-dhabit-an, misalnya :
محلة الصدق = orang yang berstatus jujur.
جيّد الحديث = orang yang baik hadisnya.
حسن الحديث = orang yang bagus hadisnya.
مقارب الحديث = orang yang hadisnya berdekatan dengan hadis lain yang tsiqah.
f. Tingkatan keenam, menunjukkan arti ‘mendekati cacat’. Seperti sifat-sifat tersebut di atas yang diikuti dengan lafazh “Insya Allah”, atau lafazh tersebut di-tasghir-kan (pengecilan arti), atau lafazh itu dikaitkan dengan suatu pengharapan, misalnya :
صدق إن شاءالله = orang yang jujur, Insya Allah.
فلان أرجو بأن لّابأس به = orang yang diharapkan tsiqah.
فلان صويلح = orang yang sedikit kesalehannya.
فلان مقبول حديثه = orang yang diterima hadis-hadisnya.[26]
Tingkatan |
Bentuk (صيغة) |
Lafazh-lafazh |
Pertama |
Kelebihan rawi dalam keadilan |
أوثق النّاس- أثبت النّاس حفظا وعدالة- إليه المنتهى فى الثّبت- ثقّة فوق ثقة |
Kedua |
Memperkuat ketsiqahan rawi |
ثبت ثبت- ثقّة ثقّة- حجّة حجّة- ثبت ثقة-
حافظ حجّة- ضابط متقن
|
Ketiga |
Menunjukkan keadilan |
ثبت- متقن- ثقّة- حافظ- حجّة |
Keempat |
Menunjukkan keadilan dan kedhabitan |
صدوق- مأمون- لابأس به
|
Kelima |
Menunjukkan kejujuran rawi |
محلة الصدق- جيّد الحديث- حسن الحديث- مقارب
الحديث
|
Keenam |
Arti ‘mendekati cacat’ |
صدق إن شاءالله- فلان أرجو بأن لّابأس به-
فلان صويلح- فلان مقبول حديثه
|
Hukum-hukum tingkatan-tingkatan Ta’dil
Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih kuat dari sebagian yang lain. Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadits mereka dengan hadits-hadits para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak.
Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, karena mereka tidak dlabith.[27]
2. Tingkatan al-Jarh
a. Tingkatan pertama, menunjukkan pada keterlaluan si rawi tentang kecacatan dengan menggunakan lafazh-lafazh yang berbentuk af’alu al-tafdil atau ungkapan lain yang mengandung penegrtian sejenisnya, misalnya :
أوضع النّاس = orang yang paling dusta.
أكذب النّاس = orang yang paling bohong.
إليه المنتهى فى الوضع = orang yang paling menonjol kebohongannya.
b. Tingkatan kedua, menunjukkan sangat cacat dengan menggunakan lafazh-lafazh berbentuk shigat muballagah, misalnya :
كذّاب = orang yang pembohong.
وضّاع = orang yang pendusta.
دجّال = orang yanng penipu.
c. Tingkatan ketiga, menunjuk pada tuduhan dusta, bohong atau sebagainya, misalnya:
فلان متّهم بالكذب = orang yang dituduh bohong.
أومتّهم بالوضع = orang yang dituduh dusta.
فلان فيه النّظر = orang yang perlu diteliti.
فلان ساقط = orang yang gugur.
فلان ذاهب الحديث = orang yang haditsnya telah hilang.
فلان متروك الحديث = orang yang ditinggalkan haditsnya.
d. Tingkatann keempat, menunjukkan sangat lemahnya, misalnya :
مطروح الحديث = orang yang dilempar haditsnya.
فلان ضعيف = orang yang lemah.
فلان مردود الحديث = orang yang ditolak haditsnya.
e. Tingkatan kelima, menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hapalannya, misalnya :
فلان لا يحتج به = orang yang tidak dapat dibuat hujjah hadisnya.
فلان مجهول = orang yang tidak dikenal identitasnya.
فلان منكر الحدييث = orang yang munkar hadisnya.
فلان مضطرب الحديث = orang yang kacau hadisnya.
فلان واه = orang yang banyak duga-duga.
f. Tingkatan keenam, menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tetapi sifat-sifat itu berdekatan dengan adil, misalnya :
صعف حديث = orang yang di-dha’if-kan hadisnya.
فلان مقال فيه = orang yang diperbincangkan.
فلان فيه خلف = orang yang disingkiri.
فلان ليّن = orang yang lunak.
فلان ليس بالحجة = orang yang tidak dapat digunakan hujjah hadisnya.
فلان ليس بالقوي = orang yang tidak kuat.[28]
Tingkatan |
Bentuk (صيغة) |
Lafazh-lafazh |
Pertama |
Keterlaluan rawi dalam kecacatan |
أوضع النّاس- أكذب النّاس- إليه المنتهى فى الوضع
|
Kedua |
Menunjukkan sangat cacat ‘shigat muballagah’ |
كذّاب- وضّاع- دجّال
|
Ketiga |
Tuduhan dusta dan bohong |
فلان متّهم بالكذب- أومتّهم بالوضع- فلان
فيه النّظر- فلان ساقط- فلان ذاهب الحديث- فلان متروك الحديث
|
Keempat |
Menunjukkan sangat lemahnya |
مطروح الحديث- فلان ضعيف- فلان مردود
الحديث
|
Kelima |
Menunjukkan kelemahan dan kekacauan hafalan |
فلان لا يحتج به- فلان مجهول- فلان منكر
الحدييث- فلان مضطرب الحديث- فلان واه
|
Keenam |
Sifat mendekati adil |
صعف حديث- فلان مقال فيه- فلان فيه خلف- فلان
ليّن- فلان ليس بالحجة
|
Hukum tingkatan-tingkatan al-jarh
Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadis riwayat mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya perowi yang berada pada tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama. Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.[29]
Kesimpulan
Al-Jarh dan at-ta’dil
adalah Ilmu yang membahas tentang para perawi Hadis dari segi yang dapat
menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan
mereka, dengan ungkapan atau lafaz tertentu. Al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat
untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus
ditolak sama sekali. Dengan mengatahui ilmu al-jarh wa at-ta’dil kita
juga akan bisa menyeleksi mana hadis sahih, hasan, ataupun hadis dhaif,
terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.
Keaiban seorang rawi ada 5 yaitu : Bid’ah,
Mukhlafah, Ghalat, Jahalatul-hal, dan Da’wal’l-inqitha’. Syarat Ulama al-jarh
wa at-ta’dil antara lain adalah berilmu, bertaqwa, wara’, jujur, mengetahui sebab-sebab al-jarh wa
at-ta’dil, dan mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab.
Tingkatan-tingkatan jarh wa ta’dil adalah pada
saat paraperawi
yang meriwayatkan hadis tidak semuanya berada dalam satu derajat. Bila
dipandang dari segi keadilannya , kedlabitan, dan hafalan mereka kondisinya
sangat beragam. Di antara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang
dalam hafalan dan ketepatan, ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka
orang yang ‘adil amanah, serta ada juga yang berdusta dalam hadits.Maka Allah
menyingkap kualitas meraka ini melalui tangan para ulama’.
Oleh karena itu, para ulama’ telah menetapkan tingkatan Jarh dan Ta’dil, dan lafad-lafad yang menunjukkan pada setiap tingkatan tersebut. Tingkat Ta’dil ada enam, begitu pula dengan Jarh. Karena kualitas hafalan dan tingkat keterpercayaan tiap perowi berbeda, maka para ulama, memberikan batasan-batasan rinci yang terkait dengan pengklasifikasian kualitas perowi.
Daftar Rujukan
Suparta, Munzeir. 2006. Ilmu
Hadis. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Smeer, Zeid B. 2008. Ulumul
Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis. Malang: UIN-Malang Press
Hadi, Saeful. 2008. Ulumul
Hadits Panduan Ilmu Memahami Hadits Secara Konprehensif. Yogyakarta: Sabda
Media
‘ITR, Nuruddin. 1995. ‘Ulum
Al-Hadits 1. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtishar
Mushthalahu’l Hadits. Bandung : PT Alma’arif
Solahudin, M. Agus, dan
Suyadi Agus. 2008. Ulumul Hadis Disusun Berdasarkan Kurikulum Terbaru
Nasional Perguruan Tinggi Agama Islam. Bandung : Pustaka Setia
Revisi:
1. Tidak ditemukan indikasi
copy-paste.
2. Penulisan footnote masih
salah.
Secara umum, makalah ini baik. Selamat!!!!
[1]SaefulHadi, UlumulHaditsPanduanIlmuMemahamiHaditsSecaraKonprehensif,
Yogyakarta :Sabda Media, 2008, hlm. 16.
[2]Nuruddin
‘ITR, ‘Ulum Al-Hadits 1, Bandung : Penerbit PT Remaja Rosdakarya, 1995,
hlm. 78.
[3]Ibid, hlm.
79.
[4]Munzier
Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 31.
[5]Nur Al-Din
‘itr, Manhaj Al-Naqd fi Ulum Al-Hadits, Damaskus: Dar Al-Fikr,1979, hlm.
92.
[6]Munzier
Suparta, op,cit., hlm.31.
[7]Fatchur
Rahman, Ikhtishar Mushthalahu’l Hadits, Bandung : PT Alma’arif, 1974,
hlm. 307.
[8]Nur Al-Din
‘itr, op.cit., hlm. 92.
[9]Munzier
Suparta, op,cit., hlm.31.
[10]Fatchur
Rahman, op,cit., hlm.307.
[11]Subhi
Al-Shalih, ‘Ulum Al-Hadits wa Musthalahuhu, Beirut: Dar Al-Ulum
Al-Malayin, 1977,hlm.109.
[12]Munzier
Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006, hlm.31-32.
[13]M. Agus
Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis Disusun Berdasarkan Kurikulum
Terbaru Nasional Perguruan Tinggi Agama Islam, Bandung : Pustaka Setia,
2008, hlm. 159.
[14]Fatchur
Rahman, Ikhtishar Mushthalahu’l Hadits, Bandung : PT Alma’arif, 1974,
hlm. 308-309.
[15]Munzier
Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 33.
[16]M. Agus
Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis Disusun Berdasarkan Kurikulum
Terbaru Nasional Perguruan Tinggi Agama Islam, Bandung : Pustaka Setia,
2008, hlm. 160.
[17]Nuruddin
‘ITR, ‘Ulum Al-Hadits 1, Bandung : Penerbit PT Remaja Rosdakarya, 1995,
hlm. 79-80.
[18]M. Agus
Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis Disusun Berdasarkan Kurikulum
Terbaru Nasional Perguruan Tinggi Agama Islam, Bandung : Pustaka Setia,
2008, hlm. 162.
[19]Ibid, hlm.
163.
[20]Endang
Soetari, Ilmu Hadis: Kajian Diriwayah dan Dirayah, Bandung: Mimbar
Pustaka, 2005, hlm. 208.
[21]Fatchur
Rahman, Ikhtishar Mushthalahu’l Hadits, Bandung : PT Alma’arif, 1974,
hlm. 313.
[22]Zeid B. Smeer, UlumulHadisPengantarStudiHadisPraktis,
Malang: UIN-Malang Press, 2008, hlm. 135-136
[23]SaefulHadi, UlumulHaditsPanduanIlmuMemahamiHaditsSecaraKonprehensif,
Yogyakarta :Sabda Media, 2008, hlm. 114-116
[26]M. Agus
Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis Disusun Berdasarkan Kurikulum
Terbaru Nasional Perguruan Tinggi Agama Islam, Bandung : Pustaka Setia,
2008, hlm. 164-166.
[28]M. Agus
Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis Disusun Berdasarkan Kurikulum
Terbaru Nasional Perguruan Tinggi Agama Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2008,
hlm. 166-167.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar