Rabu, 09 November 2016

Klasifikasi Hadis dari Aspek Kualitasnya (PBA D Semester III)



 
KLASIFIKASI HADIS DARI ASPEK KUALITASNYA
 
Lailatul Maghfiro, Rif’an Maulana, Farhan Fajri
Pendidikan Bahasa Arab Kelas D, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Lailatulmaghfiro71@yahoo.com
 
Abstract: As described in the previous chapter that tradition can be seen in terms of quantity, which has been described in previous chapters, and traditions can also be seen in terms of its quality, which gets a little bit in this article. Hadith are all the words, deeds, statutes, and all properties are anchored in the Prophet Muhammad. In terms of quality, tradition can be classified into an authentic tradition, hasan, and is weak. A discussion of authentic tradition and hasan examines two types of traditions are almost the same, not only because both existed as a tradition that can be accepted as evidence and the arguments of religion, but distinguishing between them, the narrator no less memory (qalil al-dhabi), while in the authentic tradition of their transmitters are required strong hafalannya (dhabith), while terms such requirements, sanadnya continued, justice narrators, avoid syadz (awkward), and does not contain illat (defects) are all the same.
 
Keyword: Hadith, shahih, hasan.

Pendahuluan
Hadis merupakan sumber ajaran agama Islam, setelah Al-Qur’an jika dilihat dari segi periwatanya jelas berbeda antara Al-Quran dengan Hadis. Mayoritas ulama’ berbeda pendapat dalam pengkajian hadis. Hadis yang sering dijumpai tidak semena-mena dapat diterima secara langsung, tetapi perlu adanya pencarian jati diri hadis tersebut untuk dijadikan landasan hidup.[1]
Sebagaimana telah diuraikan dalam bab sebelumnya bahwa hadis nabi dilihat dari aspek periwayatannya terdiri dari hadis mutawattir dan ahad.Hadis mutawattir telah disepakati para ulama tidak dipermasalahkan lagi, sementara hadis ahad masih dipermasalahkan keberadaannya. Maksudnya, sebagaimana dijelaskan Suyudi Ismail, apabila melalui penelitian suatu hadis diketahui berstatus mutawattir maka telah berakhirlah kegiatan penelitian terhadap hadis yang bersangkutan. Tegasnya tidak perlu dilakukan penelitian terhadap sanad dan matan hadis itu. Status ke-mutawatiran suatu hadis telah memberikan keyakinan yang pasti bahwa hadis tersebut benar-benar berasal dari nabi Muhammad. Sebaliknya, apabila melalului penelitian suatu hadis diketahui berstatus tidak mutawattir maka kegiatan penelitian hadis masih harus dilanjutkan.
Berdasarkan penelitian para ulama diketahui bahwa ternyata tingkat kualitas hadis, yang dimaksudkan disini yakni hadis ahad, ternyata tidak sama. Oleh karena itu, para ulama perlu menciptakan beberapa istilah sebagai standar untuk mengukur tingkat kualitas hadis itu. Istilah-istilah tersebut adalah shahih, hasan, dan dhaif. Kualitas tertinggi adalah hadis shahih, dibawahnya hadis hasan, dan dibawahnya lagi hadis dha’if. Dengan ini kita dapat memilih mana hadis yang harus diterima dan hadis yang harus ditolak.
Dalam kesempatan ini akan dibahas hadis shahihdan hasanyang merupakan permasalahan pokok bab ini dan darinya akan dituturkan juga beberapa submasalah sebagai berikut:
1.      Pengertian Hadis shahih
2.      Kriteria hadisshahih
3.      Macam-macam hadis shahih
4.      Kedudukan hadis shahih
5.      Pengertian hadishasan
6.      Tingkatan – tingkatan hadishasan.[2]
Hadis Shahih
1.     Pengertian Hadis Shahih
Hadis Shahis berasal dari bahas aArab as-shahih, bentuk jama’ dari kata ashhihha dan berakar pada kata shahha. Dari segi Bahasa kata ini memiliki beberapa arti, diantaranya: (1) selamat dari penyakit, (2) bebas dari aib/cacat. Sedangkan pengertian hadis adalah khabar (berita).[3]

Para ulama mendefinisikan Hadis Shahih yang telah disepakati oleh para ahli hadis, yaitu:                                                                                                             الحديث الصّحيح هو الحديث الّذي اتّصل سنده بنقل العدل الضّابط عن العدل الضّابط الى منتهاه ولا يكون شاذاً ولا معلّلاً.
Artinya: “Hadis Shahih adalah hadis yag bersambug sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit dari rawi lain yang adil dan dhabit sampai akhir sanad. Dan hadis itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat).[4]
Contoh hadis shahih:
حدّثنا قتيبة بن سعيد حدّثنا جرير عن عمارة ابن القعقاع عن أبي زرعة عن أبي هريرة قال: جاء رجل الى رسول الله صلّى الله عليه و سلّم فقال: يا رسول الله : من احقّ بحسنى صحابتى؟ قال : امّكَ, قال : ثمّ من؟ قال: امّكَز قال: ثمّ من؟ قال امّكَ, قال: ثمّ من؟ قال: ثمّ ابوكَ. (رواه البخارى و مسلم)
Artinya: “Telah meriwaytkan kepada kami Qutainah bin Siad, ia berkata: telah meriwayatkan kepada kami Jarir dari Umarah bin Qaqa dari Abu Zuhrah dari Abu Hurairah, ia berkata, “dating seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW. Lalu berkata, ‘Ya Rasulullah, siapakah yang berhak mendapat perlakuan yang baik? Rasulullah menjawab, ‘Ibumu.’ Orang itu bertanya lagi, kemudian siapa? Rasulullah menjawab ‘Ibumu’ orang itu kembali bertanya.’ Kemudian siapa?’ rasulullah menjawab ‘ibumu’. Orang itu bertanya lagi. ‘kemudian siapa? ‘rasulullah menjawab, ‘Bapakmu’”. (H.R. Bukhari-Muslim).[5]
2.     Kriteria hadis Shahih adalah:
a.       Sanadnya bersambung
Rawi tingkatan sahabat Nabi (tingkatan pertama) benar-benar bertemu langsung dengan Nabi dan kemudian menyampaikan hadis pada rawi tingkatan kedua, demikian dengan perowi kedua menyampaikan hadis pada rawi ketiga dan seterusnya, sehingga perowi tidak terputus melainkan bersambung mulai dari perowi pertama sampai pada ahir sanad, dan jugajika sanad suatu hadis dianggap tidak bersambung bila terputus salah seseorang atau lebih dari rangkaian para rawinya.[6]
Untu mengetahui bersambung atau tidaknyasuatu sanad, menurut M. Syuhudi Ismail, ulama biasanya menempuh tata kerja penelitian, sebagai berikut:
a.       Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti
b.      Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat yang diakukan:
·         Melalui kitab-kitab rijal al- hadis, misalnya kitab Tahdzb al-kamal karya al-Mizzi, Tahdzb al-Tahdzb karya Ibn Hajar al-‘Asqalani, dan kitab al-Kasyif oleh Muhammad ibn Ahmad al-Dzahabi.
·         Hal itu dimaksudkan untuk: (a). apakah setiap periwayat dalam sanad itu dikenal orang yang tsiqoh serta tidak melakukan tadlis (menyembunyikan cacat) (b). apakah antara periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan satu masa pada masa lampau atau hubungan guru dengan murid dalam periwayatan hadis tersebut.
c.       Meneliti kata-kata (adalah al-tahammul wa ada al-hadits)
Menghubungkan antara periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad, yakni kata-kata yang dipakai dalam sanad berupa: haddatsani, haddatsana, akhbarani, akhbarana, sami’tu, ‘an, anna, dan sebagainya.[7]
b.      Seluruh periwayatan dalam hadis bersifat adil
Periwayat adil adalah periwayat yang memenuhi syarat-syarat berikut:
·         Beragama Islam
·         Mukallaf
·         Melaksanakan ketentuan agama
·         Memelihara muru’ah (memelihara kehormatan dirinya)
Keadilan perawi disini merupakan faktor penentu diterimanya suatu riwayat, karena dengan keadilan perawi bias menunjukkan pribadi yang taqwa dan muru’ah (menjauhkan diri dari sifat atau tingkah laku yang tidak pantas untuk dilakukan). Oleh karena itu, orang kafir, fasiq, gila, dan orang yang tidak pernah dikenal, tidak termasuk orang yang adil. Sedangkan, orang perempuan, budak, dan anak yang sudah mumayyis bisa digolongkan orang yang adil jika telah memenuhi kriteria diatas.[8]
Para ulama menetapkan beberapa cara untuk mngetahui adil tidaknya perawi hadis, yaitu:
·         Melalui popularitas keutamaan periwayat dikalangan ulama hadis, misalnya Malik ibn Anas dan Sufyan al-Tsawri yang terkenal dengan ke adilan-nya sehingga tidak perlu diragukan lagi.
·         Penilaian diambil dari kritikus periwayat hadis, yang mana berisi tentang ungkapan kelebihan (al-ta’dil) dan kekurangan (al-tajrih) yang ada pada diri seorang perawi.
·         Penerapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil, cara ini digunakan apabila para kritikus periwayat hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.[9]
c.       Seluruh periwayatan dalam hadis bersifat dhabith
Dhabith disini ialah memiliki arti ingatan dan hafalan yang sempurna, sehingga dapat memnyimpan hadis-hadis dengan baik dan benar serta dhabit ini dipandang sebagai rawi cermat mencatat, membukukan hadis-hadis dan mampu mengungkapkan kembali dengan cakap kapan saja saat dikehendaki, sehingga tidak bercampur aduk dengan catatan-catatan lain.
Gabungan dari sifat adil dan dhabit disebut dengan tsiqah, jadi bias disimpulkan bahwasanyya orang yang tsiqah pasti adil dan dhabit, sedangkan orang yang hanya mempunyai sifat adil saja belum tentu orang itu dhabit, begitu pula sebaliknya.[10]
Dhabit ada dua macam:
a.       Dhabit hati: seseorang dikatakan dhabit hati apabila dia mampu mengahafal setiap hadis yang didengarnya dan sewaktu-waktu dia bias mengutarakan atau menyampaikannya.
b.      Dhabit Kitab: seseorang dikatakan habit kitab apabila setiap
Pendapat para ulama’ tentang cara untuk mengetahui ke-dhabitan periwayat hadis, yaitu:
(1). Kedhabitan periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama’.
(2). Berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal ke-dhabitannya, baik kesesuaian itu sampai tingkat makna maupun sampai tingkat harfiah
(3). Periwayat yang sekali-kali mengalami kekeliruan, tetap dinyatakan dhabit asalkan kesalahan itu tidak sering terjadi. Jika ia sering mengalami kekeliruan dalam riwayat hadis, maka tidak disebut dhabith.[11]
d.      Sanad dan matan hadis terhindar dari syadz
Matan hadis dinyatakan mengandung syadz jika periwayat yang meriwayatkan hadis terpercaya, tetapi ia menyalahi periwayat-periwayat lain yang lebih tinggi.[12]
Menurut istilah ulama hadis, syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat tsiqah dan bertentangan dengan periwayat yang lebih itsiqah. Perbedaan Imam Syaf’I dan imam al-Hakim dalam menetapkan perawi hadist yan syadz ialah: 1). Menurut Syafi’I, hadis Syadz memiliki lebih dari satu sanad sedangkan menurut al-Hakim hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat 2). Menurut al-Syaf’I, harus terjadi pertentangan matan dan/atau sanad dari periwayat yang sama-sama tsiqah dan menrut al-Hakim tidak harus terjadi pertentangan matan dan/atau sanad dari periwayat yang sama-sama tsiqah itu.
Para ulama hadist sepakat dengan pendapat imam Syafi’I, karena disamping penerapannya tidak sulit juga jika pendapat al-Hakim atau al-Khalili diikuti, maka banyak hadis yang oleh ulama dinilai shahih akan berubah menjadi tidak shahih, karena hadis yang diriwayatkan oleh periwayt tsiqah yang sendirian termasuk hadis ahad kategori gharib yang jumlahnya sangat banyak.[13]
e.       Sanad dan matan hadis itu terhindar dari illat.
Illat disini ialah cacat yang samar yang mengakibatkan hadis tersebut tidak dapat diterima.[14]
Yang dimaksud dengan terhindar cacat disini adalah terbebas dari cacat-cacat keshahihan pada sanad seperti, pemalsuan rawi.[15]

3.     Macam-macam Hadis Shahih
Hadis Shahih dibagi menjadi dua macam:
1.      Hadis Shahih Lidzatih (Shahih karena dirinya)
Ialah hadis yang memenuhi kriteria hadis secara lengkap syarat-syaratnya.
Contoh:
حدّثتا عبد اللّه بن يوسف اخبرنا مالك عن نافع عن عبد اللّه انّ رسول اللّه صلّى اللّه عليه و سلّم قال: اذا كانوا ثلاثةً فلا يتناجى اثنان دون الثّالث. رواه البخاري
Artinya: “Bukhari berkata. “Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah SAW. Bersabda. “apabila mereka bertiga, janganlah dua orang berbisik tanpa ikut serta orang ketiga.” (H.R. Bukhari).[16]
2.      Hadis Shahih Li ghayrih (Hadis shahih bukan karena dirinya).
Ialah hadis di bawah tingkatan shahih yang menjadi hadis shahih karena diperkuat oleh hadis-hadis yang lain. Sekiranya hadis yang memperkuat itu tidak ada, maka hadis tersebut hanya berada pada tingkatan hadis hasan. Hadisshahih li ghairihi hakekatnya adalah hadis hasan lizatih (hadis hasan karena dirinya sendiri).
Contoh:
عن ابي هريرة رضي الله عنه انّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم قال : لو لا ان اشقّ على امّتى لأمرتهم باالسواك عند كلّ صلاةٍ. (رواه البخارى و الترمذى).
Artinya: “dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda, “Sekiranya aku tidak menyusahkan ummatku, tentu aku menyuruh mereka bersiwak (menggosok gigi) setiap saat. (H.R. Bukhari dan Turmuzi).[17]
            Bila suatu hadis diriwayatkan oleh lima buah sanad, maka hadis itu dihitung bukan sebagai satu hadis, tetapi lima hadis. Hadis yang diriwayatkan olh empat buah sanad, dihitung sebagai empat buah hadis, jadi hadis tersebut diatas, yang diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanad tersendiri dan Tirmizi dengan sanad tersendiri pula, dihitung sebagai dua hadis. Pertama adalah hadis Bukhari, yang dinilai sebagai hadis lizatih, kedua, yaitu hadis Tirmizi itu, karena diperkuat oleh hadis Bukhari, hadis Tirmizi naik tingkatanya menjadi hadis shahih li ghairih.[18]

4.     Status Kehujjahan hadis shahih
Kedudukan hadis shahih sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi daripada hadis hasan dan hadis daif, tetapi dibawah kedudukan hadis mutawattir.
Sebagian ulama menentua urutan tingkatan (martabat) hadis shahih sebagai berikut:
·         Hadis Shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
·         Haidis Shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari sendiri.
·         Hadis Shahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama dengan memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim (berarti rawi-rawinya terdapat dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim).
·         Hadis Shahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama, dengan memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari sendiri.
·         Hadis Shahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama dengan memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Muslim sendiri.
·         Hadis Shahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama yang terpandang (mutabar).[19]
Syekh Abdullah bin Ibrahim Al-Alawi menghimpun tingkatan hadis shahih dlam nadzam kitabnya yang berjudul Thal’afu Al-Anwar, sebagai berikut:
اعلى الصّحيح ما عليه اتّفاقا               فما روى الجعفى فرداً ينتفى
فمسلم كذالك فى الشّرط عرف            فما لشرط غير ذين يكتنف
“Setinggi-tinggi hadis shahih ialah yang disepakati oleh AL-Bukahari dan Muslim, alu yang bersih diriwayatkan oleh Al-Ju’fi (Al-Bukhari) seorang diri, kemudian yang diriwayatkan oleh Muslim dalam syarat yang diketahui adalah seperti itu, selanjutya yang diriwayatkan oleh selain dua orang ini dengan melingkupi syarat-syarat selain dari syarat-syarat keduanya”.
            Maksud dari ungkapan dalam nadzam ialah:
·         Hadis shahih yang paling tinggi derajatnya ialah yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim, yaitu menempati tingkatan hadis shahih yang pertama.
·         Kemudian hadis shahih yang diriwayatkan oleh Al-ju’fi (Al-Bukhari) saja menempati tingkatan hadis shahih yang kedua
·         Hadis shahih yang diriwayatkan oleh Muslim saja menempati tingkatan hadis shahih yang ketiga.
·         Kemudian hadis yang diriwayatkan oleh selain duaorang ini yang mengikuti syarat-syarat Al-Bukhari dan Muslim,
·         Hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain dua Imam ini yang mengikuti syaratsyarat Al-Bukhari
·         Hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain dua orang Imam ini, yang mengikuti syart-syarat Muslim
·         Dan hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain dua orang Imam ini yang melingkupi syarat-syarat keshahihan selain dari syarat-syarat keduanya.[20]
Semua ulama sepakat menerima hadis shahih mutawatrir sebagai sumber ajaran Islam atau sebagai hujjah, baik dalam bidang hukum, akhlak maupun dalam bidang akidah. Siapa yang menolak hadis shahih mutawattir dipandang kafir.
Setelah para ulama sepakat atas wajibnya mengamalkan hadis shahih ahad dalam bidang hokum halal dan haram, mereka berbeda pendapat tentang penetapan akidah dengan hadis ahda. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa akidah tidak dapat ditetapkan keuali dengan dalil yang yakin dan pasti, yaitu nas Al-Quran dan hadis mutawattir.[21]

Hadis Hasan
5. Pengertian Hadits Hasan
            Menurut bahasa, hasan berarti yang diingini dan yang disenangi. Sedangkan menurut pengertiannya, Al Khaththaby:
“ Hadits hasan ialah hadits yang dikenal perawi – perawinya da masyhur sumber atau tempatnya.”[22]
            Sedangkan menurut Ibnu Shalah, hadits hasan itu dibagi menjadi dua yaitu : hadits hasan lidzatihi dan hadits hasan lighairihi.[23]
            Hadits hasan Lidzatihi adalah hadits yang terkenal para perawinya tentang kejujuran dan amanahnya tetapi hafalan dan keteghuan hafalannya tidak mencapai derajat para perawi hadits sahih.[24]
            Definisi ini sama pengertiannya dangan definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar dan juga sam yang dimaksudkan oleh Al-Khaththaby.
            Sebagai contoh dari hadis ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dalam kitab Sunannya yang berbunyi sebagai berikut:
حدثنا ابو كريب حدثنا عبدة بن سليمان عن محمد بن عمر و عن ابي سلمة عن ابي هريرة قال : قال رسول الله ص.م. : لو لا ان اشّق على امّتي لا امرتهم بالسواك عند كل صلاةز
"Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, menceritakan kepada kami `Abdah bin Sulaiman dari Muhammad bin Amer, dari Abi Salamah, dari Abu Hurairahia berkata: telah bersabda Rasulullah saw: Sekiranya tidak memberatkan kepada umatku, tentu aku memerintahkan bersiwaq pada tiap – tiap akan shalat ."
            Semua perawi dari hadits tersebut bersambung mulai Turmudzi sampai Nabi Muhammad, yakni mereka mendengar langsung dari yang lain. Dan semua dari perawinya adil dan dlabith kecuali: Muhammad bin Amr, ia itu kurang kedlabithannya. Namun karena hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, al Baihaqi, Abu Na’im (walaupun dengan lafadz yang berbeda), maka hadits Imam Turmudzi ini naik tingkatnyamenjadi hadits shahih lidzatihi.
            Hadits hasan lighairihi ialah hadits yang terdapat dalam sanadnya yang mastur (yang tidak diketahui keadaannya), yang tidak kuat hafalannya, tidak dapat dipastikan keahliannya. Tetapi perawi itu bukan orang yang terlalu lengah dan bukan pula orang yang banyak salah dalam meriwayatkan hadits, tidak tertuduh dusta dan tidak pula diisbatkan (dibangsakan) kepada suatu pekerjaan yang dapat menfasikkan yang selain dari dusta, tetapi hadits itu dibantu oleh tabi’ atau syahid.[25]
            Dengan kata lain bahwa hadits hasan lighairihi semula adalah hadits yang kualitasnya dibawah hasan, tetapi matannya sama atau semakna dangan matan hadits lain yang sanadnyahasan, atau karena banyak meriwayatkannya, sehingga hadits pertama tadi terangkat derajatnya menjadi hadits hasan lighairihi.
            Contoh dari hadits ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi:
حدثنا احمد بن منيع حدثنا هشيم عن يزيد بن ابي زياد عن عبد الرحمن بن ابي ليلى عن البراء بن عازب قال: قال رسول الله ص.م. حقّا على المسلمين ان يغتسلوا يوم الجمعة
“Telah menceritakan kepada kami, Ahmad bin Mani’ telah menceritakan kepada kami, Husyaim, dari Yazid bin Abi Ziyad, dari Abdirrahman bin ABi Laila, dari Al Bara’ bin ‘Azib, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw: Sesungguhnya satu kewajiban atas orang – orang islam mandi pada hari Jum’at”.
            Rawi –rawi yang ada di dalm sanad tersebut semuanya adalah orang kepercayaan, kecuali Husyaim, ia terkenal sebagai orang mudallis, oleh Karena itu riwayatnya dianggap lemah. Namun karena hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Turmudzi melalui sanad yang lain, walaupun juga ada orang yang dianggap lemah, maka hadits tersebut naik tingkatannya menjadi hasan lighairihi.
6. Tingkatan – Tingkatan hadits Hasan
            Sebagaimana hadits shahih perawi – perawi hadits hasan pun juga bertingkat – tingkat, demikian pula sanadnya, yang dapat menyebabkan berbeda tingkatannya hadits hasan itu, yang satu lebih dan yang lain kurang.
            Oleh para Ulama’ diadakan beberapa sebutan yang menunjukkan tingkatan perawi itu. Tingkatan perawi dapat dibedakan menjadi tiga martabat sebagaimana table berikut.
Tingkat Pertama
Tingkat Kedua
Tingkat Ketiga
Yang sangat benar
Yang baik haditsnya
Insya Allah ia seorang yang benar
Yang dapat dipercayai
Yang boleh dipakai haditsnya
Aku harap taka da apa –apa terhadap dirinya
Tidak ada halangan terhadapnya
Yang bagus haditsnya
Yang diterima haditsnya
Tidak ada halangan terhadapnya
Tempatnya adalah kebenaran

Ia sebaik – baik manusia
Ulama – ulama meriwayatkan dari padanya


Ia seorang yang lurus, dsb



            Sedangkan ditinjau adri segi sanad, tentu saja tingkat ini sangat tergantung pada tingkatan perawi –perawinya, maka dapatdibagi menjad tiga tingkatan, yaitu:
1. Ulya’.
2. Wustha.
3. Dun ya.

            Diantara sanad –sanad yang bermartabat tinggi (‘Ulya) ialah:
a. Bahz bin Hakim bin Mu’awiyah bin Haidah dari bapaknya (Hakim) dari kakeknya (Muawiyah).
b. Amer bin Syuaib bin Muhammad bin Abdillah, dari bapaknya (Amer), dari kakeknya (Abdullah).
c. Ibnu Ishaq dari at Taimy.
Sedangkan tingjat yang terletak di bawahnya, yaitu tingkat yang diperselisihkan tentang kehasanan dan kedhaifannya seperti hadits yang melalui:
a. Al Harits Ibnu ‘Abdullah.
b. Ashim ibnu Dlamrah.
c. Al Hajjah Ibnu Arthaah.[26]

Kesimpulan:
   Hadits merupakan segala perkataan, perbuatan, ketetapan, dan semua properti yang berlabuh di Nabi Muhammad. Dilihat dari segi kualitasnya, hadis dapat diklasifikasikan menjadi hadis shahih, hasan, dan dhaif. Pembahasan tentang hadis shahih dan hasan mengkaji tentang dua jenis hadis yang hampir sama, tidak hanya karena keduanya berstatus sebagai hadis yang dapat diterima sebagai hujjah dan dalil agama, tetapi yang membedakan diantara keduanya, yakni periwayatnya ada yang kurang hafalannya (qalil al-dhabi) , sementara dalam hadis shahih diharuskan perawinya hafalannya kuat (dhabith), sedangkan persyaratan persyaratan seperti, sanadnya bersambung, keadilan periwayat, terhindar dari syadz (janggal), dan tidak mengandung illat (cacat) semuanya sama.
 
Daftar Pustaka
                   Idri. 2010. Studi Hadis. Jakarta: Kencana.
Mustafa Yaqub, Ali. 2001. Dasar-dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Alawi Al-Maliki, Muhammad. 2006. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Fatih Suryadilaga, Muhammad. 2010. Ulumul Hadis. Yogyakarta: Teras.
Ahmad, Muhammad, Mudzakir, Muhammad. 2000. Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia.
Anwar, Muhammad. 1981. Ilmu Musthalah Hadits. Surabaya: Al-Ikhlas.

Revisi:
1.      Cara penulisan footnote dan daftar pustaka masih salah, tolong diperbaiki.
2.      Makalah ini tidak lengkap karena tidak menyertakan pembahasan hadis dhaif.



[1] Khariri, Melerai Hadits-hadits yang saling berlawanan, Unggun Religi, 2005, hlm. 14
[2]M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, Teras, Yogyakarta, 2010, hlm 243-244
[3]Ibid, hlm. 244
[4]Muhamad Ahmad dan M.Mudzakir, Ulumul Hadis, Pustaka setia, Bandung, 2000, hlm 101
[5]Ibid, hlm.101-103
[6]M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, Teras, Yogyakarta, 2010, hlm245-246
[7]Idri, Studi Hadis, Kencana, Jakarta, 2010, hlm 161- 162
[8]M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, Teras, Yogyakarta, 2010, hlm 245
[9]Idri, Studi Hadis, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 163
[10]M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, Teras, Yogyakarta, 2010, hlm. 245-246
[11]Idri, Studi Hadis, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 166-167
[12]M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, Teras, Yogyakarta, 2010, hlm. 246
[13]Idri, Studi Hadis, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 168-169
[14]Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hlm. 53
[15]Muhamad Ahmad dan M.Mudzakir, Ulumul Hadis, Pustaka setia, Bandung, 2000, hlm. 104
[16]Ibid, hlm. 106
[17]Muhamad Ahmad dan M.Mudzakir, Ulumul Hadis, Pustaka setia, Bandung, 2000, hlm. 106
[18]Ibid, hlm. 106
[19]Ibid, hlm. 108
[20]Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hlm. 58-59
[21]Muhamad Ahmad dan M.Mudzakir, Ulumul Hadis, Pustaka setia, Bandung, 2000, hlm.108
[22]Moch Anwar, Ilmu Musthalah Hadits, Al Ikhlas, Surabaya, 1981, hlm. 60
[23]Ibid, hlm. 61
[24]Ibid, hlm. 61
[25]Moch Anwar, Ilmu Musthalah Hadits, Al Ikhlas, Surabaya, 1981, hlm. 62
[26]Moch Anwar, Ilmu Musthalah Hadits, Al Ikhlas, Surabaya, 1981, hlm. 65-66

Tidak ada komentar:

Posting Komentar