KLASIFIKASI HADIS DARI ASPEK KUALITASNYA
Lailatul Maghfiro, Rif’an Maulana, Farhan Fajri
Pendidikan Bahasa Arab Kelas D, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Lailatulmaghfiro71@yahoo.com
Abstract: As described in the previous chapter that tradition can be seen in terms of quantity, which has been described in previous chapters, and traditions can also be seen in terms of its quality, which gets a little bit in this article. Hadith are all the words, deeds, statutes, and all properties are anchored in the Prophet Muhammad. In terms of quality, tradition can be classified into an authentic tradition, hasan, and is weak. A discussion of authentic tradition and hasan examines two types of traditions are almost the same, not only because both existed as a tradition that can be accepted as evidence and the arguments of religion, but distinguishing between them, the narrator no less memory (qalil al-dhabi), while in the authentic tradition of their transmitters are required strong hafalannya (dhabith), while terms such requirements, sanadnya continued, justice narrators, avoid syadz (awkward), and does not contain illat (defects) are all the same.
Keyword: Hadith, shahih, hasan.
Pendahuluan
Hadis merupakan sumber ajaran agama Islam, setelah
Al-Qur’an jika dilihat dari segi periwatanya jelas berbeda antara Al-Quran
dengan Hadis. Mayoritas ulama’ berbeda pendapat dalam pengkajian hadis. Hadis
yang sering dijumpai tidak semena-mena dapat diterima secara langsung, tetapi
perlu adanya pencarian jati diri hadis tersebut untuk dijadikan landasan hidup.[1]
Sebagaimana telah diuraikan
dalam bab sebelumnya bahwa hadis nabi dilihat dari aspek periwayatannya terdiri
dari hadis mutawattir dan ahad.Hadis mutawattir telah disepakati
para ulama tidak dipermasalahkan lagi, sementara hadis ahad masih
dipermasalahkan keberadaannya. Maksudnya, sebagaimana dijelaskan Suyudi Ismail,
apabila melalui penelitian suatu hadis diketahui berstatus mutawattir maka telah
berakhirlah kegiatan penelitian terhadap hadis yang bersangkutan. Tegasnya
tidak perlu dilakukan penelitian terhadap sanad dan matan hadis itu. Status ke-mutawatiran
suatu hadis telah memberikan keyakinan yang pasti bahwa hadis tersebut
benar-benar berasal dari nabi Muhammad. Sebaliknya, apabila melalului
penelitian suatu hadis diketahui berstatus tidak mutawattir maka
kegiatan penelitian hadis masih harus dilanjutkan.
Berdasarkan penelitian para
ulama diketahui bahwa ternyata tingkat kualitas hadis, yang dimaksudkan disini
yakni hadis ahad, ternyata tidak sama. Oleh karena itu, para ulama perlu
menciptakan beberapa istilah sebagai standar untuk mengukur tingkat kualitas
hadis itu. Istilah-istilah tersebut adalah shahih, hasan, dan dhaif. Kualitas
tertinggi adalah hadis shahih, dibawahnya hadis hasan, dan
dibawahnya lagi hadis dha’if. Dengan ini kita dapat memilih mana hadis
yang harus diterima dan hadis yang harus ditolak.
Dalam kesempatan ini akan
dibahas hadis shahihdan hasanyang merupakan permasalahan pokok
bab ini dan darinya akan dituturkan juga beberapa submasalah sebagai berikut:
1. Pengertian
Hadis shahih
2. Kriteria
hadisshahih
3. Macam-macam
hadis shahih
4. Kedudukan
hadis shahih
5. Pengertian
hadishasan
6. Tingkatan
– tingkatan hadishasan.[2]
Hadis Shahih
1. Pengertian
Hadis Shahih
Hadis Shahis berasal dari
bahas aArab as-shahih, bentuk jama’ dari kata ashhihha dan berakar pada kata
shahha. Dari segi Bahasa kata ini memiliki beberapa arti, diantaranya: (1)
selamat dari penyakit, (2) bebas dari aib/cacat. Sedangkan pengertian hadis
adalah khabar (berita).[3]
Para ulama mendefinisikan
Hadis Shahih yang telah disepakati oleh para ahli hadis, yaitu:
الحديث الصّحيح هو الحديث الّذي اتّصل
سنده بنقل العدل الضّابط عن العدل الضّابط الى منتهاه ولا يكون شاذاً ولا معلّلاً.
Artinya: “Hadis Shahih adalah
hadis yag bersambug sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit
dari rawi lain yang adil dan dhabit sampai akhir sanad. Dan hadis itu tidak
janggal serta tidak mengandung cacat (illat).[4]
Contoh hadis shahih:
حدّثنا قتيبة بن سعيد حدّثنا جرير عن
عمارة ابن القعقاع عن أبي زرعة عن أبي هريرة قال: جاء رجل الى رسول الله صلّى الله
عليه و سلّم فقال: يا رسول الله : من احقّ بحسنى صحابتى؟ قال : امّكَ, قال : ثمّ
من؟ قال: امّكَز قال: ثمّ من؟ قال امّكَ, قال: ثمّ من؟ قال: ثمّ ابوكَ. (رواه
البخارى و مسلم)
Artinya: “Telah meriwaytkan kepada kami
Qutainah bin Siad, ia berkata: telah meriwayatkan kepada kami Jarir dari Umarah
bin Qaqa dari Abu Zuhrah dari Abu Hurairah, ia berkata, “dating seorang
laki-laki kepada Rasulullah SAW. Lalu berkata, ‘Ya Rasulullah, siapakah yang
berhak mendapat perlakuan yang baik? Rasulullah menjawab, ‘Ibumu.’ Orang itu
bertanya lagi, kemudian siapa? Rasulullah menjawab ‘Ibumu’ orang itu kembali
bertanya.’ Kemudian siapa?’ rasulullah menjawab ‘ibumu’. Orang itu bertanya
lagi. ‘kemudian siapa? ‘rasulullah menjawab, ‘Bapakmu’”. (H.R. Bukhari-Muslim).[5]
2. Kriteria
hadis Shahih adalah:
a. Sanadnya
bersambung
Rawi tingkatan sahabat Nabi
(tingkatan pertama) benar-benar bertemu langsung dengan Nabi dan kemudian
menyampaikan hadis pada rawi tingkatan kedua, demikian dengan perowi kedua menyampaikan
hadis pada rawi ketiga dan seterusnya, sehingga perowi tidak terputus melainkan
bersambung mulai dari perowi pertama sampai pada ahir sanad, dan jugajika sanad
suatu hadis dianggap tidak bersambung bila terputus salah seseorang atau lebih
dari rangkaian para rawinya.[6]
Untu mengetahui bersambung
atau tidaknyasuatu sanad, menurut M. Syuhudi Ismail, ulama biasanya menempuh
tata kerja penelitian, sebagai berikut:
a. Mencatat
semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti
b. Mempelajari
sejarah hidup masing-masing periwayat yang diakukan:
·
Melalui kitab-kitab rijal al- hadis, misalnya
kitab Tahdzb al-kamal karya al-Mizzi, Tahdzb al-Tahdzb karya Ibn
Hajar al-‘Asqalani, dan kitab al-Kasyif oleh Muhammad ibn Ahmad al-Dzahabi.
·
Hal itu dimaksudkan untuk: (a). apakah setiap
periwayat dalam sanad itu dikenal orang yang tsiqoh serta tidak melakukan tadlis
(menyembunyikan cacat) (b). apakah antara periwayat dengan periwayat
terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan satu masa pada masa lampau atau
hubungan guru dengan murid dalam periwayatan hadis tersebut.
c. Meneliti
kata-kata (adalah al-tahammul wa ada al-hadits)
Menghubungkan
antara periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad, yakni kata-kata yang
dipakai dalam sanad berupa: haddatsani, haddatsana, akhbarani, akhbarana,
sami’tu, ‘an, anna, dan sebagainya.[7]
b. Seluruh
periwayatan dalam hadis bersifat adil
Periwayat adil adalah
periwayat yang memenuhi syarat-syarat berikut:
·
Beragama Islam
·
Mukallaf
·
Melaksanakan ketentuan agama
·
Memelihara muru’ah (memelihara kehormatan
dirinya)
Keadilan perawi disini
merupakan faktor penentu diterimanya suatu riwayat, karena dengan keadilan
perawi bias menunjukkan pribadi yang taqwa dan muru’ah (menjauhkan diri dari
sifat atau tingkah laku yang tidak pantas untuk dilakukan). Oleh karena itu,
orang kafir, fasiq, gila, dan orang yang tidak pernah dikenal, tidak termasuk
orang yang adil. Sedangkan, orang perempuan, budak, dan anak yang sudah
mumayyis bisa digolongkan orang yang adil jika telah memenuhi kriteria diatas.[8]
Para ulama menetapkan
beberapa cara untuk mngetahui adil tidaknya perawi hadis, yaitu:
·
Melalui popularitas keutamaan periwayat
dikalangan ulama hadis, misalnya Malik ibn Anas dan Sufyan al-Tsawri yang
terkenal dengan ke adilan-nya sehingga tidak perlu diragukan lagi.
·
Penilaian diambil dari kritikus periwayat
hadis, yang mana berisi tentang ungkapan kelebihan (al-ta’dil) dan
kekurangan (al-tajrih) yang ada pada diri seorang perawi.
·
Penerapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil,
cara ini digunakan apabila para kritikus periwayat hadis tidak sepakat tentang
kualitas pribadi periwayat tertentu.[9]
c. Seluruh
periwayatan dalam hadis bersifat dhabith
Dhabith disini ialah memiliki
arti ingatan dan hafalan yang sempurna, sehingga dapat memnyimpan hadis-hadis
dengan baik dan benar serta dhabit ini dipandang sebagai rawi cermat mencatat,
membukukan hadis-hadis dan mampu mengungkapkan kembali dengan cakap kapan saja
saat dikehendaki, sehingga tidak bercampur aduk dengan catatan-catatan lain.
Gabungan dari sifat adil dan dhabit
disebut dengan tsiqah, jadi bias disimpulkan bahwasanyya orang yang tsiqah
pasti adil dan dhabit, sedangkan orang yang hanya mempunyai sifat adil saja
belum tentu orang itu dhabit, begitu pula sebaliknya.[10]
Dhabit ada dua macam:
a. Dhabit
hati: seseorang dikatakan dhabit hati apabila dia mampu mengahafal setiap hadis
yang didengarnya dan sewaktu-waktu dia bias mengutarakan atau menyampaikannya.
b. Dhabit
Kitab: seseorang dikatakan habit kitab apabila setiap
Pendapat para ulama’ tentang
cara untuk mengetahui ke-dhabitan periwayat hadis, yaitu:
(1). Kedhabitan periwayat
dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama’.
(2). Berdasarkan kesesuaian
riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah
dikenal ke-dhabitannya, baik kesesuaian itu sampai tingkat makna maupun
sampai tingkat harfiah
(3). Periwayat yang
sekali-kali mengalami kekeliruan, tetap dinyatakan dhabit asalkan
kesalahan itu tidak sering terjadi. Jika ia sering mengalami kekeliruan dalam
riwayat hadis, maka tidak disebut dhabith.[11]
d. Sanad
dan matan hadis terhindar dari syadz
Matan hadis dinyatakan
mengandung syadz jika periwayat yang meriwayatkan hadis terpercaya, tetapi ia
menyalahi periwayat-periwayat lain yang lebih tinggi.[12]
Menurut istilah ulama hadis,
syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat tsiqah dan
bertentangan dengan periwayat yang lebih itsiqah. Perbedaan Imam Syaf’I
dan imam al-Hakim dalam menetapkan perawi hadist yan syadz ialah: 1). Menurut
Syafi’I, hadis Syadz memiliki lebih dari satu sanad sedangkan menurut al-Hakim
hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat 2). Menurut al-Syaf’I, harus terjadi
pertentangan matan dan/atau sanad dari periwayat yang sama-sama tsiqah dan
menrut al-Hakim tidak harus terjadi pertentangan matan dan/atau sanad dari periwayat
yang sama-sama tsiqah itu.
Para ulama hadist sepakat
dengan pendapat imam Syafi’I, karena disamping penerapannya tidak sulit juga
jika pendapat al-Hakim atau al-Khalili diikuti, maka banyak hadis yang oleh
ulama dinilai shahih akan berubah menjadi tidak shahih, karena hadis yang diriwayatkan
oleh periwayt tsiqah yang sendirian termasuk hadis ahad kategori gharib
yang jumlahnya sangat banyak.[13]
e. Sanad
dan matan hadis itu terhindar dari illat.
Illat disini ialah cacat yang
samar yang mengakibatkan hadis tersebut tidak dapat diterima.[14]
Yang dimaksud dengan
terhindar cacat disini adalah terbebas dari cacat-cacat keshahihan pada sanad
seperti, pemalsuan rawi.[15]
3. Macam-macam
Hadis Shahih
Hadis Shahih dibagi menjadi
dua macam:
1. Hadis
Shahih Lidzatih (Shahih karena dirinya)
Ialah
hadis yang memenuhi kriteria hadis secara lengkap syarat-syaratnya.
Contoh:
حدّثتا عبد اللّه بن يوسف اخبرنا مالك عن
نافع عن عبد اللّه انّ رسول اللّه صلّى اللّه عليه و سلّم قال: اذا كانوا ثلاثةً
فلا يتناجى اثنان دون الثّالث. رواه البخاري
Artinya: “Bukhari berkata. “Abdullah bin Yusuf
telah menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah SAW. Bersabda. “apabila mereka
bertiga, janganlah dua orang berbisik tanpa ikut serta orang ketiga.” (H.R.
Bukhari).[16]
2. Hadis
Shahih Li ghayrih (Hadis shahih bukan karena dirinya).
Ialah hadis di bawah tingkatan shahih yang
menjadi hadis shahih karena diperkuat oleh hadis-hadis yang lain. Sekiranya
hadis yang memperkuat itu tidak ada, maka hadis tersebut hanya berada pada
tingkatan hadis hasan. Hadisshahih li ghairihi hakekatnya adalah hadis hasan
lizatih (hadis hasan karena dirinya sendiri).
Contoh:
عن ابي هريرة رضي الله عنه انّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم قال :
لو لا ان اشقّ على امّتى لأمرتهم باالسواك عند كلّ صلاةٍ. (رواه البخارى و
الترمذى).
Artinya:
“dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda, “Sekiranya aku tidak menyusahkan
ummatku, tentu aku menyuruh mereka bersiwak (menggosok gigi) setiap saat. (H.R.
Bukhari dan Turmuzi).[17]
Bila suatu hadis diriwayatkan oleh
lima buah sanad, maka hadis itu dihitung bukan sebagai satu hadis, tetapi lima
hadis. Hadis yang diriwayatkan olh empat buah sanad, dihitung sebagai empat
buah hadis, jadi hadis tersebut diatas, yang diriwayatkan oleh Bukhari dengan
sanad tersendiri dan Tirmizi dengan sanad tersendiri pula, dihitung sebagai dua
hadis. Pertama adalah hadis Bukhari, yang dinilai sebagai hadis lizatih, kedua,
yaitu hadis Tirmizi itu, karena diperkuat oleh hadis Bukhari, hadis Tirmizi
naik tingkatanya menjadi hadis shahih li ghairih.[18]
4. Status
Kehujjahan hadis shahih
Kedudukan hadis shahih sebagai sumber ajaran
Islam lebih tinggi daripada hadis hasan dan hadis daif, tetapi dibawah
kedudukan hadis mutawattir.
Sebagian ulama menentua urutan tingkatan
(martabat) hadis shahih sebagai berikut:
·
Hadis Shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim
·
Haidis Shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari
sendiri.
·
Hadis Shahih yang diriwayatkan oleh seorang
ulama dengan memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim
(berarti rawi-rawinya terdapat dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim).
·
Hadis Shahih yang diriwayatkan oleh seorang
ulama, dengan memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari sendiri.
·
Hadis Shahih yang diriwayatkan oleh seorang
ulama dengan memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Muslim sendiri.
·
Hadis Shahih yang diriwayatkan oleh seorang ulama
yang terpandang (mutabar).[19]
Syekh Abdullah bin Ibrahim
Al-Alawi menghimpun tingkatan hadis shahih dlam nadzam kitabnya yang berjudul Thal’afu
Al-Anwar, sebagai berikut:
اعلى
الصّحيح ما عليه اتّفاقا فما
روى الجعفى فرداً ينتفى
فمسلم
كذالك فى الشّرط عرف فما لشرط
غير ذين يكتنف
“Setinggi-tinggi
hadis shahih ialah yang disepakati oleh AL-Bukahari dan Muslim, alu yang bersih
diriwayatkan oleh Al-Ju’fi (Al-Bukhari) seorang diri, kemudian yang
diriwayatkan oleh Muslim dalam syarat yang diketahui adalah seperti itu,
selanjutya yang diriwayatkan oleh selain dua orang ini dengan melingkupi
syarat-syarat selain dari syarat-syarat keduanya”.
Maksud dari ungkapan dalam nadzam ialah:
·
Hadis shahih yang paling tinggi derajatnya
ialah yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim, yaitu menempati tingkatan
hadis shahih yang pertama.
·
Kemudian hadis shahih yang diriwayatkan oleh
Al-ju’fi (Al-Bukhari) saja menempati tingkatan hadis shahih yang kedua
·
Hadis shahih yang diriwayatkan oleh Muslim saja
menempati tingkatan hadis shahih yang ketiga.
·
Kemudian hadis yang diriwayatkan oleh selain
duaorang ini yang mengikuti syarat-syarat Al-Bukhari dan Muslim,
·
Hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain dua
Imam ini yang mengikuti syaratsyarat Al-Bukhari
·
Hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain dua
orang Imam ini, yang mengikuti syart-syarat Muslim
·
Dan hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain
dua orang Imam ini yang melingkupi syarat-syarat keshahihan selain dari
syarat-syarat keduanya.[20]
Semua ulama sepakat menerima
hadis shahih mutawatrir sebagai sumber ajaran Islam atau sebagai hujjah, baik
dalam bidang hukum, akhlak maupun dalam bidang akidah. Siapa yang menolak hadis
shahih mutawattir dipandang kafir.
Setelah para ulama sepakat
atas wajibnya mengamalkan hadis shahih ahad dalam bidang hokum halal dan haram,
mereka berbeda pendapat tentang penetapan akidah dengan hadis ahda. Sebagian
besar ulama berpendapat bahwa akidah tidak dapat ditetapkan keuali dengan dalil
yang yakin dan pasti, yaitu nas Al-Quran dan hadis mutawattir.[21]
Hadis Hasan
5. Pengertian Hadits Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti yang diingini dan yang
disenangi. Sedangkan menurut pengertiannya, Al Khaththaby:
“ Hadits hasan ialah
hadits yang dikenal perawi – perawinya da masyhur sumber atau tempatnya.”[22]
Sedangkan menurut Ibnu Shalah, hadits hasan itu
dibagi menjadi dua yaitu : hadits hasan lidzatihi dan hadits hasan
lighairihi.[23]
Hadits hasan Lidzatihi adalah hadits yang terkenal para
perawinya tentang kejujuran dan amanahnya tetapi hafalan dan keteghuan hafalannya
tidak mencapai derajat para perawi hadits sahih.[24]
Definisi ini sama pengertiannya dangan definisi yang
dikemukakan oleh Ibnu Hajar dan juga sam yang dimaksudkan oleh Al-Khaththaby.
Sebagai contoh dari hadis ini adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dalam kitab Sunannya yang berbunyi
sebagai berikut:
حدثنا ابو كريب حدثنا عبدة بن سليمان عن
محمد بن عمر و عن ابي سلمة عن ابي هريرة قال : قال رسول الله ص.م. : لو لا ان اشّق
على امّتي لا امرتهم بالسواك عند كل صلاةز
"Telah
menceritakan kepada kami Abu Kuraib, menceritakan kepada kami `Abdah bin
Sulaiman dari Muhammad bin Amer, dari Abi Salamah, dari Abu Hurairahia berkata:
telah bersabda Rasulullah saw: Sekiranya tidak memberatkan kepada umatku, tentu
aku memerintahkan bersiwaq pada tiap – tiap akan shalat ."
Semua perawi dari hadits tersebut bersambung mulai
Turmudzi sampai Nabi Muhammad, yakni mereka mendengar langsung dari yang lain.
Dan semua dari perawinya adil dan dlabith kecuali: Muhammad bin Amr, ia
itu kurang kedlabithannya. Namun karena hadits ini juga diriwayatkan
oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, al Baihaqi, Abu Na’im (walaupun dengan lafadz yang
berbeda), maka hadits Imam Turmudzi ini naik tingkatnyamenjadi hadits shahih
lidzatihi.
Hadits hasan lighairihi ialah hadits yang terdapat
dalam sanadnya yang mastur (yang tidak diketahui keadaannya), yang tidak
kuat hafalannya, tidak dapat dipastikan keahliannya. Tetapi perawi itu bukan
orang yang terlalu lengah dan bukan pula orang yang banyak salah dalam
meriwayatkan hadits, tidak tertuduh dusta dan tidak pula diisbatkan (dibangsakan)
kepada suatu pekerjaan yang dapat menfasikkan yang selain dari dusta,
tetapi hadits itu dibantu oleh tabi’ atau syahid.[25]
Dengan kata lain bahwa hadits hasan lighairihi
semula adalah hadits yang kualitasnya dibawah hasan, tetapi matannya sama
atau semakna dangan matan hadits lain yang sanadnyahasan, atau
karena banyak meriwayatkannya, sehingga hadits pertama tadi terangkat
derajatnya menjadi hadits hasan lighairihi.
Contoh dari hadits ini adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Turmudzi:
حدثنا احمد بن منيع حدثنا هشيم عن يزيد
بن ابي زياد عن عبد الرحمن بن ابي ليلى عن البراء بن عازب قال: قال رسول الله ص.م.
حقّا على المسلمين ان يغتسلوا يوم الجمعة
“Telah
menceritakan kepada kami, Ahmad bin Mani’ telah menceritakan kepada kami,
Husyaim, dari Yazid bin Abi Ziyad, dari Abdirrahman bin ABi Laila, dari Al
Bara’ bin ‘Azib, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw: Sesungguhnya satu
kewajiban atas orang – orang islam mandi pada hari Jum’at”.
Rawi –rawi yang ada di dalm sanad tersebut
semuanya adalah orang kepercayaan, kecuali Husyaim, ia terkenal sebagai orang mudallis,
oleh Karena itu riwayatnya dianggap lemah. Namun karena hadits ini juga
diriwayatkan oleh Imam Turmudzi melalui sanad yang lain, walaupun juga
ada orang yang dianggap lemah, maka hadits tersebut naik tingkatannya menjadi hasan
lighairihi.
6. Tingkatan – Tingkatan
hadits Hasan
Sebagaimana hadits shahih perawi – perawi hadits hasan
pun juga bertingkat – tingkat, demikian pula sanadnya, yang dapat
menyebabkan berbeda tingkatannya hadits hasan itu, yang satu lebih dan
yang lain kurang.
Oleh para Ulama’ diadakan beberapa sebutan yang
menunjukkan tingkatan perawi itu. Tingkatan perawi dapat dibedakan menjadi tiga
martabat sebagaimana table berikut.
Tingkat
Pertama
|
Tingkat
Kedua
|
Tingkat
Ketiga
|
Yang
sangat benar
|
Yang
baik haditsnya
|
Insya
Allah ia seorang yang benar
|
Yang
dapat dipercayai
|
Yang
boleh dipakai haditsnya
|
Aku
harap taka da apa –apa terhadap dirinya
|
Tidak
ada halangan terhadapnya
|
Yang
bagus haditsnya
|
Yang
diterima haditsnya
|
Tidak
ada halangan terhadapnya
|
Tempatnya
adalah kebenaran
|
|
Ia
sebaik – baik manusia
|
Ulama
– ulama meriwayatkan dari padanya
|
|
|
Ia
seorang yang lurus, dsb
|
|
Sedangkan ditinjau adri segi sanad, tentu saja
tingkat ini sangat tergantung pada tingkatan perawi –perawinya, maka
dapatdibagi menjad tiga tingkatan, yaitu:
1. Ulya’.
2. Wustha.
3. Dun ya.
Diantara sanad –sanad yang bermartabat tinggi (‘Ulya)
ialah:
a. Bahz bin Hakim bin
Mu’awiyah bin Haidah dari bapaknya (Hakim) dari kakeknya (Muawiyah).
b. Amer bin Syuaib bin
Muhammad bin Abdillah, dari bapaknya (Amer), dari kakeknya (Abdullah).
c. Ibnu Ishaq dari at Taimy.
Sedangkan tingjat yang
terletak di bawahnya, yaitu tingkat yang diperselisihkan tentang kehasanan
dan kedhaifannya seperti hadits yang melalui:
a. Al Harits Ibnu ‘Abdullah.
b. Ashim ibnu Dlamrah.
c. Al Hajjah Ibnu Arthaah.[26]
Kesimpulan:
Hadits merupakan segala perkataan, perbuatan, ketetapan, dan semua properti yang berlabuh di Nabi Muhammad. Dilihat dari segi kualitasnya, hadis dapat diklasifikasikan menjadi hadis shahih, hasan, dan dhaif. Pembahasan tentang hadis shahih dan hasan mengkaji tentang dua jenis hadis yang hampir sama, tidak hanya karena keduanya berstatus sebagai hadis yang dapat diterima sebagai hujjah dan dalil agama, tetapi yang membedakan diantara keduanya, yakni periwayatnya ada yang kurang hafalannya (qalil al-dhabi) , sementara dalam hadis shahih diharuskan perawinya hafalannya kuat (dhabith), sedangkan persyaratan persyaratan seperti, sanadnya bersambung, keadilan periwayat, terhindar dari syadz (janggal), dan tidak mengandung illat (cacat) semuanya sama.
Daftar Pustaka
Idri. 2010. Studi Hadis. Jakarta: Kencana.
Mustafa Yaqub, Ali. 2001. Dasar-dasar
Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Alawi Al-Maliki, Muhammad.
2006. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Fatih Suryadilaga,
Muhammad. 2010. Ulumul Hadis. Yogyakarta: Teras.
Ahmad, Muhammad, Mudzakir,
Muhammad. 2000. Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia.
Anwar, Muhammad. 1981. Ilmu
Musthalah Hadits. Surabaya: Al-Ikhlas.
Revisi:
1.
Cara
penulisan footnote dan daftar pustaka masih salah, tolong diperbaiki.
2.
Makalah
ini tidak lengkap karena tidak menyertakan pembahasan hadis dhaif.
[1] Khariri, Melerai Hadits-hadits yang
saling berlawanan, Unggun Religi, 2005, hlm. 14
[2]M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, Teras,
Yogyakarta, 2010, hlm 243-244
[3]Ibid, hlm. 244
[4]Muhamad Ahmad dan M.Mudzakir, Ulumul Hadis, Pustaka
setia, Bandung, 2000, hlm 101
[5]Ibid, hlm.101-103
[6]M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, Teras,
Yogyakarta, 2010, hlm245-246
[7]Idri, Studi Hadis, Kencana, Jakarta,
2010, hlm 161- 162
[8]M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, Teras,
Yogyakarta, 2010, hlm 245
[9]Idri, Studi Hadis, Kencana, Jakarta, 2010,
hlm. 163
[10]M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, Teras,
Yogyakarta, 2010, hlm. 245-246
[11]Idri, Studi Hadis, Kencana, Jakarta,
2010, hlm. 166-167
[12]M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, Teras,
Yogyakarta, 2010, hlm. 246
[13]Idri, Studi Hadis, Kencana, Jakarta,
2010, hlm. 168-169
[14]Muhammad
Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006,
hlm. 53
[15]Muhamad Ahmad dan M.Mudzakir, Ulumul Hadis, Pustaka
setia, Bandung, 2000, hlm. 104
[16]Ibid, hlm. 106
[17]Muhamad Ahmad dan M.Mudzakir, Ulumul Hadis, Pustaka
setia, Bandung, 2000, hlm. 106
[18]Ibid, hlm. 106
[19]Ibid, hlm. 108
[20]Muhammad
Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006,
hlm. 58-59
[21]Muhamad Ahmad dan M.Mudzakir, Ulumul Hadis, Pustaka
setia, Bandung, 2000, hlm.108
[22]Moch Anwar,
Ilmu Musthalah Hadits, Al Ikhlas, Surabaya, 1981, hlm. 60
[23]Ibid, hlm. 61
[24]Ibid, hlm. 61
[25]Moch
Anwar, Ilmu Musthalah Hadits, Al Ikhlas, Surabaya, 1981, hlm. 62
[26]Moch
Anwar, Ilmu Musthalah Hadits, Al Ikhlas, Surabaya, 1981, hlm. 65-66
Tidak ada komentar:
Posting Komentar