TOKOH
MADZAB DALAM FIQH
(IMAM
ABU HANIFAH, IMAM MALIK BIN ANAS, IMAM AS-SYAFI’I, DAN IMAM AHMAD BIN HANBAL)
Luli
Nur Amalia, Ita Nur’aini, dan Nur Laily Al-Adawy
PAI E UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: ????????????????
Abstract: Tabi'in period was the golden age for the development of Islamic law. During this period appearImam madhhab that a standard basis in implementing the sharia after the death of sahabat and Rasulullah saw. In this period also appeared four imam madhhab may become a baseline implement the law until today, they are: Imam Abu Hanifa, Malik bin nas imam, Imam Shafi'i and imam Ahmad ibn Hanbal. Imam Abu Hanifa was the founder madhhab Hanafi, imam Malik bin Anas was the originator of madhhab Maliki, while Imam Shafi'i was the founder madhhab Syafi’i, and the last imam Ahmad ibn Hanbal is the originator of the madhhab Hambali. becauseof them, the development of sharia reached the height of glory.
The existence of a wide
variety of fiqh madhhab due to problems of fiqh that is not written in the
Qur'an and hadith. So that problem be
solved by using ra'yu.While, each fuqaha has their own ra'yu. It causes moslem
divided into several group of madhhab. In addition, each Imam madhhab has their
own method. But, the methodology of islamis law was born after Imam Syafi’I
write ar-Risalah. But, it is not mean that the others madhhab don’t have a
method. They have a method, but that’s not systematic like Imam Syafi’i. Imam
Syafi’I write the methodology first than he make a ijtihad. And the others
madhhab make a ijtihad first than their students make a methodology.
Keyword : madhhab, ra’yu, sharia
1.
Pendahuluan
Makna dasar dari madzab adalah pendapat. Madzab
dapat diartikan sebagai patokan dalam melaksanakan syari’at. Menurut ushul
fiqh, Al-Qur’an dan hadits secara sumber dibagi mnjadi dua, ada yang qath’I
dan ada yang zhanni. Sumber yang qath’I merupkan sumber yang
sudah jelas dan tidak perlu diperdebatkan. Sedangkan sumber yang zhanni
adalah sumber hukum yang belum jelas dan masih menjadi perdebatan.Karena adanya
sumber hukum yang qath’I inilah yang menyebabkan adanya perbedaan
pendapat diantara fuqaha. Hal inilah yang melatarbelakangi adanya
berbagai macam madzab. Konon, dalam sejarah perkembangan fiqh pernah terdapat
500 madzab. Sebagian besar tidak lagi memiliki pengikut sesuai dengan perkembangan
zaman.Hanya sebagian kecil, sekitar tujuh sampai delapan madzab yang masih
memiliki pengikut hingga abd ke-21 ini. Berikut ini kami ulas secara
singkat Imam Madzab Sunni yaitu, Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam
Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
2.
Biografi Empat Imam Madzab
A.
Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah memiliki
nama asli Nu’man bin Tsabit bin Inta bin Mah. Beliau dilahirkan pada tahun 702
M atau pada tahun 80 H di Kufah, Iraq.Beliau merupakan pencetus Madzab Hanafi.
Beliau merupakan Imam fiqh tertua diantara keempat Imam Madzab. Imam
Asy-Syafi’I pernah berkata “Manusia memerlukan Imam Abu Hanifah dalam bidang
fiqih.” [1]
Beliau lahir pada masa tabi’in.
Bahkan ia masih dapat menyaksikan kehidupan beberapa sahabat hingga masa
mudanya. Ketika usianya 20 tahun, Aini, sang penafsir dalam kitab Al-Hidayah
berkata bahwa Abu Hanifah bahkan pernah mendengar dan menerima hadits dari
sahabat Nabi Muhammad saw. [2]
Pada mulanya, beliau berprofesi sebagai
pedagang sutera.Ia dikenal jujur dalam bermuamalah dan tidak mau melakukan
pemalsuan. Kemudian beliau beralih kedunia pendidikan.[3]
Imam Abu Hanifah mengawali pendidikannya dengan
mendalami filsafat dan dialektika atau disebut juga Ilmu Kalam.Namun,
setelah beliau menguasai sejumlah disiplin ilmu tersebut, beliau beralih pada
bidang fiqh dan hadits.[4]
Abu Hanifah mengikuti kajian ilmu fiqh yang
disampaikan oleh Hammad.Kemudian beliau lanjutkan mempelajari Ilmu
Hadits.Diantara guru Abu Hanifah adalah para Tabi’in dari Kufah.
Diantara ulama’ tempat Abu Hanifah belajar antara lain : Sya’bi, Salamah
bin Kuhail, Manarib bin Ditsar, Abu Isha Sya’bi, Aun bin Abdullah, Amr bin
Murrah, A’masy, Adib bin Tsabit Al-Anshari, Sama’ bin Harb, dan masih banyak
lagi.
Di Basrah, Abu Hanifah mempelajari hadits dari
Qatadah dan Syu’bah, ulama’tabi’in yang termasyhur yang mempelajari
hadits dari sahabat Nabi Muhammad saw yaitu Sufyan Al-Tsauri. Syu’bah menyebut
beliau sebagai Amir Al-Mu’minin fi Al-Hadits (pemimpin orang-orang
beriman di bidang hadits).[5]
Selain berguru pada para ulama’ diatas,
Imam Abu Hanifah juga meriwayatkan dari ulama’ lain. Diantara ulama’
yang yang menjadi sumber riwayatdan fiqihnya adalah Zainal Abidin, Abdullah bin
Hasan, atau dikenal dengan nama Muhammad An-Nafs Az-Zakiyah. Selain itu, ia
juga belajar dari ulama’ dan fuqaha di Mekkah mengenai
masalah-masalah fiqih saat ia tinggal di Makkah saat musim haji dan selama ia
berdomisili disana sekitar enam tahun ketika berpindah ke Mekkah pada tahun 130
H. [6]
Kemasyhuran Imam Abu Hanifah
sebagai seorang ulama’ yang cerdas terdengar sampai kepenjuru
negeri.Namun, dalam kemasyhurannya berkembang pula pernyataan bahwa beliau
adalah seorang Qayyas, pembuat Qiyas.Hal ini pula terdengar pada
telinga Imam Baqir.Pada kunjungannya ke Madinah, Abu Hanifah bertemu dengan
Imam Baqir saat diperkenalkan kepadanya. Imam Baqir berkata kepada Imam Abu
Hanifah “Rupanya engkau orang yang membantah riwayat kakekku berlandaskan Qiyas?”.
Imam Abu Hanifah menjawab “Semoga Allah melindungiku, siapa pula yang berani
menentang Hadits?.Mari kita duduk, akan aku jelaskan pendapatku”.percakapan
merekapun berlanjut hingga Imam Baqir amat terkesan dengan dialog tersebut.
Setelah pertemuan itu, Imam Abu Hanifah sering belajar pada Imam Baqir.[7]
Dalam memberikan pengajaran kepada para
muridnya, Imam Abu hanifah menggunakan metode analisis, observasi, illat, dan
menelaah dalil.Yaitu dengan pemberian permasalahan-prmasalahan fiqh kepada para
muridnya, kemudian para muridnya memberi pendapat.Diskusi ini berlangsung
hingga terjadi kesepakatan diantara para murid, selanjutnya Imam Abu Hanifah
memberikan kesimpulan dan memerintahkan salah satu muridnya untuk mencatatnya.[8]
Imam besar ini meninggal pada
bulan Rajab tahun 150 H di Kota Kufah karena meminum racun yang disediakan oleh
Khalifah Al-Mansur, sewaktu bermunajat kepada Allah. Beliau meninggal dengan
meninggalkan sejumlah murid sepeninggalan. Abu Mahasin Syafi’I telah membuat
daftar nama muridnya sejumlah 918 orang. Namun, murid beliau yang termasyhur
ialah: Qadhi AbuYusuf, Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani, dan Imam Zufar.[9]
Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah telah
mengarang dua kitab, yaitu Al-Fiqh Al-Akbar sebuah kitab dalam bidang ilmu
kalam dan Al-Musnad yang berisi tulisan dalam bidang hadits.[10]
B.
Imam Malik bin Anas
Imam Malik memiliki nama asli Imam Malik bin
Anas al-Ashbahi, dinisbatkan pada suku Dzi Ashbah, di Yaman. Keluarganya adalah bangsawan Arab Humair dari
Yaman. Sebenarnya, nama kecilnya adalah Abdullah. Malik merupakan nama ayah
beliau. Setelah terkenal sebagai ulama’, orang Madinah lebih suka
memanggilnya Imam Dar Al- Hijrah (Imam Negeri Hijrah).Terdapat berbagai
pendapat tentang tahun kelahiran Imam Malik. Menurut Imam Khaliqan mencatat
bahwa beliau dilahirkan pada tahun 75 H, menurut riwayat Imam Syafi’I, beliau
dilahirkan pada tahun 94 H. Namun, kebanyakan berpendapat bahwa beliau dilahirkan pada tahun 93 H.
Beliau menetap di Madinah tanpa pernah meninggalkannya kecuali untuk
melaksanakan haji hingga wafat tahun 179 H.[11]
Beliau belajar fiqh, sunnah,
serta fatwa sahabat dari beberapa syaikh. Diantaranya Abdurrahman
bin Harmaz dan Muhammad bin Muslim bin Syihab Al-Zuhdi. Beliau juga belajar
hadits pada Abu Zinad Abdullah bin Dzakwan. Selain itu, beliau juga mempelajari
Fiqh Ra’yupada Yahya bin Sa’id dan Rabi’ah bin Abdurrahman atau Rabi’ah
Ar-Ra’yi. Dan masih banyak lagi tempat beliau belajar.Namun, yang palin
berpengaruh adalah Ibnu Syihab Al-Zuhry dan Rabi’ah Ar-Ra’yi.[12]
Imam Malik sebagai Muhadits, ulama’, dan
ahli periwayatan ilmu Hadits. Dia telah meneliti semua macam periwayatan
pembicaraan dari uraian Nabi saw tentang Al-Qur’an, Hadits dan kisah-kisah lain
berkenaan dengan kebaikan dan riwayat perjalanan hadits tersebut melalui
sahabat, penjelasan Al-Qur’an dan Hadits oleh para sahabat , dan jalan hidup
mereka. Lalu Imam Malik mengumpulkan dan menyusun sekitar 1000 buah hadits
kedalam kitabnya Al-Muwatha’, setelah melalui pertimbangan yang matang.[13]
Dalam mengeluarkan fatwa, Imam Malik sangatlah
teguh pendirian, walaupun fatwa yang beliau keluarkan itu menentang khalifah
yang berkuasa.Pernah suatu ketika, beliau diminta memberikan fatwa tentang
hukum talak secara terpaksa. Ulama’ lain berpendapat bahwa talak secara
terpaksa adalah sah. Sedangkan menurut Imam Malik, hal itu hukumnya tidak sah.
Akhirnya, Ja’far bin Sulaiman gubernur Madinah saat itu menegurnya untuk tidak
memberi fatwa semacam itu. Namun, Imam Malik tetap teguh sehingga beliau harus
dihukum cambuk.[14]
Kemasyhurannya sebagai ulama’ menyebabkan beliau
didatangi para pelajar dari berbagai negeri Islam. Seperti, Mesir, Syam, Irak,
Afrika Utara, dan Andalusia. Setelah berhasil, para muridnya kembali ke daerah
masing-masing untuk menyebarkan Ilmu fiqh yang mereka dapatkan. Diantara murid
beliau adalah, Abdullah bin Wahb, Abdurrahman bin Qasim Al-Mishri, Yahya bin
Yahya Al-Masmudi, Abi Abdullah AbdAl-Rahmanbin Al-Qashim bin Khalid Al-Thasri,
dan masih banyak lagi. Hingga selepas kematiannya, Imam Malik masih saja dicari
untuk dimintai pendapat dan menimba ilmu kepadanya.Hingga akhirnya terciptalah
kitab Al-Mudawwanah yang berisi pendapat-pendapat Imam Malik tentang berbagai
permasalahan hukum yang diriwayatkan oleh Imam Sahnun. (Abdul Karim, 209-210)[15]
C.
Imam Asy-Syafi’I
Nama lengkap dari ulama besar pendiri
madzhab syafi’i adalah Imam Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i.
Nasabnya bertemu dengan Rasulullah shallallhu ‘alaihi wassalam pada Abdu
manaf. Ia dilahirkan di kota kecil di Palestina, Ghazza dikawasan Mediteranian
yang lebih dikenal Syam, pada tahun 150 H, dan wafat di Mesir pada tahun 204 H.
, kemudian beliau belajar kepada Muslim bin Khalid az-Zanji, mufti Makkah,
hingga diizinkan memberikan fatwa saat Imam Syafi’I berumur lima belas tahun.
Kemudian Imam Syafi’i pergi ke Madinah, bertemu dengan Imam Malik, meriwayatkan
al-Muwaththa’ darinya, belajar fiqih kepadanya, dan menyertainya (mulazamah
dengan beliau) hingga Imam Malik wafat pada tahun 179 H. kemudian Imam
Syafi’i pergi ke Yaman. Di sana ia bertemu dengan ‘Umar bin Abu Salamah,
pengikut Imam al-Auza’i , dan belajar darinya fiqih syaikhnya, sebagaimana ia
bertemu dengan Yahya bin Hasan seorang ulama fiqih Mesir, dan belajar fiqih
Imam Besar padanya. Pada tahun 184 H Imam Syafi’i di datangkan ke Baghdad
karena di tuduh menentang Daulah Abbasiyyah, namun ia terbebas dari tuduhan.
Kedatangannya ke Baghdad menjadi awal pertemuan ia dengan ulama fiqih Irak
Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, pengikut Abu Hanifah. Kemudian Imam Syafi’i mulazamah
kepadanya, membaca kitab-kitabnya,
meriwayatkan darinya, dan belajar maslah-masalah fiqih darinya. Kemuudian Imam
Syafi’I pindah ke Makkah dengan membawa kitab-kitab fiqih ulam Irak, dan
tinggal di Makkah selama sembilan tahun untuk mengajar, berfatwa, dan bertemu
dengan banyak ulama di musim haji. Setelah itu, beliau pergi ke Baghdad kedua
kalinya pada tahun 195 H. dan bermukim disana selama dua tahun Lalu ia kembali
lagi ke Makkah. Lalu kembali lagi ke Baghdad pada tahun 198 H dan bermukim
disana selama beberapa bulan. Kemudian beliau pergi ke Mesir pada tahun 199 H,
atau dikatakan pada tahun 200 H, ia menetap disana, mengajar,
berfatwa,mengarang, dan mengajar murid-muridnya hingga wafat pada tahun 204 H.[16]
Imam Abi Muhammad Qadli Husain dalam
muqaddimah kitab ta’liqohnya mengatakan bahwa Imam Syafi’i
mengarang 113 kitab terdiri dari kitab-kitab fiqih, tafsir, adab dsb.
Diantara karangan-karangan beliau:
a)
ar-Risalah (usul
fiqih) yang pertama di dunia;
b)
al-Hujjah (fiqih qaul qodim);
c)
al-’Um (fiqih
qoul jadid);
d)
Muhtashor al-Buwaiti
(dihimpun oleh murid beliau Imam
al-Buwaiti);
e)
Muhtashor ar-Robi’
(dihimpun oleh murid beliau Imam
ar-Robi’);
f)
al-Muhtashor al-Muzani(dihimpun oleh murid beliau Imam Muzani);
g)
dsb. [17]
Kitab Imam Syafi’I terbagi menjadi dua:
1.
Qoul Qodim
Ialah
kitab atau pendapat yang dikarang oleh beliau dan sahabat-sahabat beliau berdasarkan atas intruksi beliau ketika
berada di Irak Baghdad.
2.
Qoul Jadid
Ialah
kitab atau pendapat yang dikarang oleh beliau dan sahabat-sahabat beliau
berdasarkan instruksi beliau, ketika berada di Mesir.
Menurut al-Asnawi pendapat Imam
Syafi’i yang tertuang dalam qoul qodim merupakan madzhab diluar madzhab
asy-Syafi’i kecuali apabila pendapat tersebut sama dengan qoul jadid, dikarenakan
kedudukan qoul qodim sudah dihapus (mansukh) oleh qoul jadid, sebagai bukti
bahwa Imam asy-Syafi’i sendiri melarang para muridnya untuk meriwayatkan qoul
qodim dan tulisan-tulisan beliau yang terdapat pada kitab al-Hujjah (kitab qoul
qodim) yang tidak cocok dengan qoul jadid dihapus dengan menggunakan air.[18]
Murid-murid Imam syafi’i[19]
a)
Yusuf bin Yahya al-Buwaiti
Wafat
tahun 231 H dalam penjara di Baghdad, karena fitnah mengenai pendapat bahwa
Al-Qura’an adalah makhluk yang ditimbulkan oleh khalifal al-Ma’mun.Dia telah
menghasilkan mukhtasar yang mashur berdasarkan pendapat Imam Syafi’i.
b)
Abu Ibrahim, Ismail bin Yahya.
Wafat
pada tahun 264 H. Dia telah menghasilkan banyak kitab dalam madzhab
syafi’i.diantaranya ialah al-Mukhtasar al-Kabir dan al-Mukhtasar
ash-Shagir.
c)
Ar-Rabi’ bin Sulaiman bin Abdul Jabbar al-Muradi.
Wafat
pada tahun 270 H. Dia merupakan muadzin di masjid Amr Ibnul Ash.Dia bersama
Imam Syafi’i dalam jangka waktu yang lama sehingga banyak riwayat kitab-kitab
Imam Syafi’i datang darinya. Melalui dia, kitab ar-Risalah, al-Umm, dan
kitab-kitab Imam Syafi’i yang lain sampai kepada kita.
d)
Harmalah bin Yahya bin Harmalah
Wafat
pada tahun 266 H. dia meriwayatkan kitab-kitab Imam syafi’i yang tidak
diriwayatkan oleh ar-Rabi’, seperti kitab asy-Syurut (tiga jilid), kitab
as-Sunan (10 jilid), kitab an-Nikah, dan kitab Alwan al-bil
wal Ghanam wa Shifatihaa wa Asnaaniha.
D.
Imam
Ahmad bin Hanbal
Ia adalah Abu Abdullah bin Ahmad bin Hanbal bin Hilal
bin asad asy-Syaibani. Lahir di Baghdad pada tahun 164 H, dan wafat di Baghdad
juga pada tahun 241 H. imam hanbali termasuk salah satu di antara ulama-ulama
yang terkenal kuat daya hapalnya dan seorang perowi hadis yang terkemuka.
Dengan memusatkan pada studi hadis, imam hanbali menggeluti ilmu hadis dan
fiqih di bawah bimbingan Imam Abu Yusuf, murid termasyhur Imam Abu Hanifah,
Juga kepada Imam Syafi’I. Di samping alim dan mumpuni dalam bidang Sunnah, ia juga
seorang faqih yang mendalam hingga Imam Syafi’I berkata pada saat ia pergi ke
Mesir : “aku keluar ke Baghdad dan tidak meninggalkan seseorang laki-laki yang
lebih mulia. Lebih alim, lebih faqih daripada Ahmad bin Hanbal”. [20]
Imam Ahmad telah menerima banyak cobaan dan ujian.Dia
telah di tahan dan dianiaya karna fitnah mengenai pendapat bahwa Al-Qur’an
adalah makhluk pada zaman Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq.
Imam Ahmad tidak mengarang kitab Fiqih sehingga
sahabatnya mengumpulkan pendapat madzhabnya berdasarkan perkataan, perbuatan
jawaban-jawaban Imam Ahmad dan sebagainya.Dia telah menghasilkan Al-Musnad dalam
hadist, yang mengandung lebih dari 40.000 ribu hadist.Dia mempunyai kekuatan
hafalan yang amat kuat. Dia mengamalkan hadist mursal (hadistt yang dalam
sanadnya rawi shahbi-nya tidak ada), dan hadist dho’if yang boleh meningkat ke derajat hadist hasan.
Tetapi ia tidak beramal kepada hadis batil dan munkar. Dia lebih mengutamakan
hadis dho’if dan mursal daripada qiyas.[21]
Murid-murid
Hanbali:
a)
Salih bin Ahmad bin Hambal
Wafat pada tahun 266 H. dia ialah anak Imam Ahmad yang
paling tertua; mempelajari ilmu fiqih dan hadist pada ayahnya, dan juga dari
para ulama’ lain pada zamannya.
b)
Abdullah bin Ahmad bin Hambal
Wafat pada tahun 290 H. dia mempunyai perhatian yang
besar pada periwayatan hadist dari ayahnya.Sedangkan saudaranya Salih
memfokuskan kepada bidang fiqih ayahnya dan masalah-masalah yang berhubungan
dengannya.
c)
Al-Astram, Abu Bakr, Ahmad bin Muhammad bin Hani’
al-Khurasani, al-Baghdadi.
Wafat pada tahun 273 H. dia telah meriwayatkan
masalah-masalah fiqih dan hadist dari Imam Ahmad.Dia menghasilkan kitab as-Sunan
fil Fiqh berdasarkan madzhab hanbali.Kitab ini menggunakan hadist sebagai
dasarnya.
d)
Abdul Malik bin Abdul Hamid bin Mahran al-Maimuni
Meninggal pada tahun 274 H. dia hidup bersama Imam
Ahmad lebih dari 20 tahun.Dia memiliki kedudukan yang tinggi dikalangan sahabat
Imam Ahmad.
3.
Karakteristik Pemikiran Empat Imam Madzab
A.
Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah adalah Imam ahli Ar-ra’yu. Beliau
menggunakan qiyas dan istihsan secara meluas. Dasar madzab Hanafi
adalah Al-qur’an, As-sunnah, ijma’, qiyas, dan istihsan. Menurutnya,
adat istiadat juga merupakan sumber yang berarti dalam kehidupan manusia.[22]
Berikut ini penjelasan tentang sumber hukum
madzab Hanafi[23]:
1. Al-Qur’an
Menurut
madzab Hanafi, Al-Qur’an merupakan sumber hukum mutlaq yang tidak dapat
diganggu gugat. Apabila adasumber lain yang bertentangan dengan Al-Qur’an, hal
tersebut dibilang tidak valid.
2. Sunnah
Dalam
menggunakan Hadits sebagai sumber hukum setelah Al-Qur’an, Madzab Hanafi
memiliki kualifikasi tertentu.Selain hadits tersebut harus shahih,
hadits tersebut juga harus masyhur.
3. Ijma’
sahabat
Madzab
Hanafi mengutamakan Ijma’ sahabat daripada pendapat beliau sendiri dan pendapat
para muridnya.Madzab Hanafi juga mengakui ijma’ para ulama disetiap periode
sebagai hal yang valid dan mengikat.
4. Pendapat
sahabat
Dalam
menggunakan pendapat sahabat sebagai sumber hukum, Madzab Hanafi lebih
mengutamakaannya daripada pndapat beliau sendiri.Apabila ada perbedaan pendapat
diantara para sahabat, maka Madzab Hanafi menggunakan pendpat yang dirasa
paling layak digunakan sebagai hukum.
5. Qiyas
Saat
tidak ada hukum yang terdapat pada sumber yang disebutkan diatas, madzab Hanafi
melakukan ijtihad sendiri dengan berdasarkan prinsip qiyas yang beliau bangun
bersama murid-muridnya.
6. Istihsan
Walupun
istihsan bersifat lemah daripada sumber lain, istihsan dapat dijadikan pilihan
yang lebih spesifik dari hal yang umum.dan dapat menjadi hukum yang lebih tepat
daripada qiyas.
7. ‘urf
Tradisi
local diberi bobot hukum yang mengikat dalam wilayah dimana tradisi tersebut
berjalan.Tradisi berjalan secara turun temurun dan secara otomatis menjadi
sistem hukum yang harus dijalankan oleh masyarakat local.
Saat Imam Abu Hanifah diminta pendapat tentang
suatu permasalahan, maka pendapanya mengalir dari lisannya. Beliaulah yang
pertama kali mementingkan cara qiyas dalam membentuk undang-undang. Berkata
Asaf A.A.Fyzee :
“…the
special characteristic of which was reliance on the principles of qiyas or
analogical deduction. Many scholar think that he was the founder of qiyas, this
is incorrect. He employed qiyas more because the science of hadith had not
developed fully by that time, and no recognized collections were available.”
“…karakteristik khusus berdasarkan pada prinsip-prinsip qiyas atau deduksi analogis. Banyak sarjana berpikir bahwa ia adalah pencetus qiyas, ini tidak benar. Beliau cenderung menggunakan qiyas karena ilmu hadits tidak sepenuhnya dikembangkan pada saat itu, dan tidak ada pengumpulan resmi yang tersedia”
Dijelaskan
pula bahwa Imam Abu Hanifah bersandar pada Al-Qur’an dan hadits bila hadits
tersebut benar-benar shahih.Karena pada saat itu terdapatkaum zindikyang
membuat-buat hadits.Kemudian beliau juga menetapkan prinsip istihsan.[24]
B.
Imam Malik bin Anas
Imam Malik bin Anas membangun madzabnya
berdasarkan dua puluh dasar. Lima dari Al-Qur’an dan lima dari As-Sunnah,
yaitu nash al-Kitab, zahirnya yakni umumnya, mafhum
Al-Mukhalafah, mafhumnya yakni mafhum Al-Muwaaqah, tanbihnya
yakni peringatan Al-Qur’an terhadap illah. Yang lain ialah Al-Ijma’,
qiyas, amal ahli Madinah, Qaul As-Sahabi, al-istihsan, sadd adz-dzarai’,
menjaga khilaf, istishab, al-mashalih Al-Mursalah, dan Syar’ man
qablana.[25]
Berikut ini penjelasan tentang sumber hukum
madzab Maliki[26] :
1. Al-Qur’an
Sebagaimana
madzab yang lain, Madzab Maliki menggunakan Al-Qur’an sebagai sumber pertama
dan utama.
2. Sunnah
Sebagaimana
Madzab Hanafi, Madzab Maliki juga memiliki kualifikasi tertentu dalam
penggunaan hadits sebagai sumber hukum. Madzab Maliki menolak hadits yang
bertentangan dengan tradisi masyarakat Madinah dan tidak mengharuskan haits
tersebut masyhur.
3. Praktik
masyarakat Madinah
Madzab
Maliki berpendapat bahwa tradisi masyarakat Madinah adalah sumber hukum yang
valid. Hal ini dikarenakan keturunan para sahabat berada disana dan Rasulullah
menghabiskan sepuluh tahun terakhirnya di kota tersebut, maka praktik yang
dilakukan masyarakat Madinah merupakan hal yang diperbolehkan atau bahkan
dianjurkan oleh Rasulullah.
4. Ijma’
sahabat
Penggunaan
ijma’ sahabat dan ijma’ ulama dijadikan hukum dirasa layak oleh Madzab Hanafi
sebagaimana pendapat Madzab Hanafi.
5. Pendapat
Sahabat
Madzab
Maliki menjadikan pendapat sahabat sebagai sumber hukum setelah ijma’
sahabat.Bahkan pendapat para sahabat beliau masukkan dalam kitabnya yang
berjudul Al-Muwatta’.Beliau juga mengutamakan pendapat sahabat daripada
pendapatnya sendiri.
6. Qiyas
Imam
Malik pernah menggunakan qiyas dalam penentuan hukum yang tidak terdapat dalam
sumber hukum yang telah disebutkan diatas.Namun, beliau sangat berhati-hati
dalam penggunaanya karena qiyas cnderung bersifat subjektif.
7. Istislah
(kemaslahatan)
Sebagaimana
Imam Abu Hanifah yang menggunakan istihsan sebagai sumber hukum, Imam Malik
menamainya dengan istislah yang berarti kemaslahatan yang intinya
mempertimbangkan kemaslahatan masyarakat walaupun tidak ada dalam hukum syariat secara khusus.
8. Urf
Sebagaimana
Imam Abu Hanifah yang menggunakan adat istiadat sebagai sumber hukum, Imam
Malik juga menggunakannya walaupun hanya berlaku pada masyarakat local.Namun,
beliau menolaknya apabila adat istiadat tersebut bertentangan dengan hukum
syariah.
C.
Imam Syafi’i
Sumber-sumber Hukum Madzhab Syafi’i[27]:
1)
Al-Qur’an
Imam
syafi’I tidak berbeda dengan para imam pendahulunya dalam memposisikan
al-Qur’an sebagai sumber hukum yang pertama di antara sumber-sumber hukum
lainnya.
2)
Sunnah
Imam
syafi’I hanya bersandar pada satu syarat dalam menerima sebuah hadis, yaitu
hadis tersebut harus shohih.Ia menolak semua persyaratan lainnya bagaimana
diterapkan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Malik.
3)
Ijma’
Meskipun
Imam Syafi’I memiliki keragu-raguan yang serius mengenai kemungkinan Ijma’
dalam sejumlah kasus, ia mengakui bahwa dalam beberapa kasus di mana ijma’
tidak terelakkan, ia harus dianggap sebagai sumber pokok hukum Islam urutan
ketiga.
4)
Qoul sahabat
Imam
Syafi’I menaruh kepercayaan atas pendapat individual para sahabat dengan
catatan pendapat tersebut antara satu dengan yang lainnya tidak bervariasi.
Jika terdapat pertentangan di dalamnya, sebagaimana Imam Abu Hanifah, ia akan
memilih pendapat yang paling dekat dari sumbernya dan membuang pendapat yang
lain.
5)
Qiyas
Menurut
Imam Syafi’I, qiyas merupakan metode yang sah dalam merumuskan hukum lebih
lanjut dari sumber-sumber hukum sebelumnya. Meski demikian, ia menempatkannya
pada posisi terakhir, dengan memandang pendapat pribadinya berada di bawah
dalil-dalil yang didasarkan atas pendapat para sahabat.
6)
Istihab
secara
literal berarti mencari suatu keterkaitan, tetapi secara hukum, istihab merujuk
pada proses perumusan hukum -hukum fiqih dengan mengaitkan keadaan berikutnya
dengan keadaan sebelumnya.
D.
Imam Ahmad bin Hanbal
Sumber-sumber
hukum madzhab hanbali [28]:
1.
al-Qur’an
Al-Qur’an diberikan kedudukan paling tinggi mengatasi
semua sumber hukum lainya untuk semua keadaan.
2.
Sunnah
Sunnah nabi menempati posisi kedua diantara
prinsip-prinsip dasar yang digunakan oleh pendiri madzhab Hanbali dalam proses
pengambilan hukum. Satu-satu persyaratan adalah bahwa sunnah atau hadis yang
digunakan harus marfu’ yakni diatributkan langsung kepada Nabi SAW.
3.
Ijma’ Sahabat
Imam Hanbali mengakui ijma’ sahabat, namun demikian,
ia mengesampingkan ijma’ diluar era para sahabat karena dianggap sebagai ijma’
yang tidak akurat, dengan alasan terlalu banyaknya jumlah para ulama’ dan
terpencar-pencarnya mereka sepanjang imperium islam.
4.
pendapat Individu Sahabat
Imam hanbali mempercayai semua pendapat individu para
sahabat yang beraneka ragam sebagaimana Imam Malik. Oleh karenanya, sebagai
konsekuensinya, dalam madzhabnya berkembang banyak hal mengenai ketetapan hukum
yang beragam mengenai kasus-kasus individual.
5.
hadis Dha’if dan Mursal
Untuk ketetapan hukum atas suatu kasus dimana tidak
ada satupun dari empat prinsip di atas yang bisa menawarkan solusi, Imam
Hanbali cenderung menggunakan hadis dhaif dan mursal daripada menggunakan
qiyas.Namun demikian harus dengan syarat dhaifnya hadis bukan karena adanya
fakta bahwa salah satu dari para perawinya adalah fasiq atau kadzib.
6.
Qiyas
Sebagai jalan terakhir, yaitu ketika sejumlah
prinsip-prinsip di atas tidak bisa diterapkan secara langsung, Imam Hanbali
secara enggan menerapkan qiyas dan mengambil solusi dengan bersandar pada satu
atau lebih prinsip-prinsip sebelumnya.
4.
Contoh Perbedaan Pendapat diantara Empat Imam
Madzab
a)
Doa qunut dalam shalat
Dalam shalat membaca doa qunut
hukumnya mandub. Akan tetapi, fuqaha berbeda pendapat mengenai shalat
yang ada doa qunutnya. Ulama’ Hanafiyah dan Hanbilah berpendapat bahwa doa
Qunut dibaca hanya dalam shalat witir saja. Doa ini dibaca sebelum ruku’
menurut Hanafiyyah, dan sesudah ruku’ menurut Hanabilah.
Menurut Malikiyyah dan Syafi’iyyah
bahwa shalat yang ada qunutnya adalah shalat subuh.Dibaca setelah ruku’ menurut
syafi’iyyah. Namun menurut Malikiyyah yang afdhal doa dibaca sebelum ruku’.doa
ini makruh dibaca pada selain shalat subuh, menurut Malikiyyah. Lebih rincinya
sebgai berikut:
a.
Madzhab Hanafiyyah
Ulama’ Hanafiyyah disunnahkan bagi seseorang untuk
membaca doa Qunut dalam shalat witir sebelum ruku’. dan tidak disunnahkan
membaca doa qunut selain dalam shalat
Subuh. Hal ini didasarkan pada riwayat yang artinya“Rasulullah saw. Membaca doa
Qunut dalam shalat Subuh selama satu bulan dan setelah itu beliau tidak
membacanya lagi.”
b.
Madzhab Malikiyyah
Menurut Malikiyyah disunnahkan membaca doa qunut subuh
dengan suara rendah, namun tidak pada shalat witir dan lainnya. Afdhalnya
dibaca sebelum ruku’, namun boleh juga membaca doa Qunut setelah ruku’.
c.
Madzhab Syafi’iyyah
Menurut syafi’iyyah disunnahkan membaca doa Qunut pada
posisi I’tidal kedua shalat subuh. Adapun dasar yang digunakan adalah hadist
nabi yang artinya: “Rasulullah saw. Selalu membaca doa Qunut dalam shalat subuh
sampai beliau meninggal dunia”
Doa Qunut termasuk sunnah
Ab’adh, artinya jika tidak dilaksanakan maka harus menggantinya dengan sujud
sahwi.
d.
Madzhab Hanabilah
Pendapat Hanabilah mirip
dengan pendapat Hanafiyyah, yaitu disunnahkan membaca Qunut hanya dalam shalat
witir pada rakaat tunggal dan dilakukan setelah ruku’ sebagaimana pendapat Imam
Syafi’i dalam witir pertengahan akhir bulan Ramadhan.
Menurut Hanabilah tidak
disunnahkan membaca doa Qunut dalam shalat subuh ataupun shalat-shalat lainnya
selain witir, sebagaimana juga Hanafiyyah. Dalilnya hadist nabi saw. Yang
berbunyi ,” Rasulullah
saw. Membaca doa Qunut dalam shalat Subuh selama satu bulan dan setelah itu
beliau tidak membacanya lagi.”
b) Pemberitahuan
makmum pada imam atas kesalahan bacaan dalam shalat
a. Pendapat
Madzab Hanafi
Jika
imam berhenti dan kebingungan dalam bacaan sebelum melanjutkan ayat berikutnya
adalah boleh dengan niat membetulkan.Namun, seyogyanya makruh tidak
terburu-buru membetulkan bacaan imam karena hukumnya adalah makruh sebagaimana
makruhnya ucapan makmum bagi imam.
b. Pendapat
Madzab Maliki
Shalatnya
seorang makmum yang membetulkan bacaan makmum lain adalah batal karena msuk dalam
kategori berbicara. Tapi membetulkan bacaan imam yang salah dan kebingungan
hukumnya boleh bahkan wajib.
c. Pendapat
Madzab Syafi’i
Jika
makmum membenarkan bacaan imam yang diam dan kebingungan maka hukumnya boleh,
namun jika makmum membenarkan bacaan imam dimana imam masih mencoba
mengulang-ulang bacaannya maka hukumnya haram.Menurut riwayat yang lebih
shahih, mengingatkan bacaan imam yang salah saat imam dian dan kebingungan
adalah boleh.Sedangkan mengingatkan bacaan imam yang mencoba mengulang bacaannya
maka dianggap makmum tersebut membatalkan bacaannya dan harus mengulang bacaan
makmum dari awal.
d. Pendapat
Madzab Hanafi
Menurut
madzab Hanafi membenarkan bacaan imam yang diam dan kebingungan adalah wajib
seperti halnya mengingatkan imam yang lupa melakukan sujud.Karena kesempurnaan
shalat tergantung pada imam.
5.
Kesimpulan
Keempat imam madzab lahir pada masa tabi’in.Dari
keempat madzab, Imam Abu Hanifahlah yang paling tua. Kemudian disusul dengan
Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’I, dan
Imam Ahmad bin Hanbal.
Dalam menentukan hukum Islam, keempatnya
menggunakan Al-Qur’an dan As-Sunnah terlebih dahulu. Mereka tidak akan
menggunakan hukum yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka juga
tidak akan menggunakan ra’yu mereka sendiri selama hukum tersebut terdapat
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan dalam penggunaan hadits, mereka memiliki
kualifikasi tersendiri.Bahkan sebagian Imam madzab hanya mengakui hadits yang
shahih dan masyhur.
DAFTAR PUSTAKA
A. Rahman I.2002. Penjelasan
Lengkap Hukum-Hukum Islam (Syariah).Jakarta: Raja Grafindo Persada
Ameenah,Abu. 2005. Asal
Usul dan Perkembangan Fiqh.Bandung:Nusamedia
Az-Zuhaili, Wahbah.2010.Fiqih
Islam 2. Depok : Gema Insani
Khusnan, Yahya .2011. Ulasan
Nadhom Qowaid Fiqhiyyah Al-Faroid Al-Bahiyyah.Pustaka Muhibbin
Siddik, Abdullah. 1982. Asas-Asas Hukum
Islam. Jakarta: Bumirestu
Zaidan, Abdul Karim .2008.Pengantar
Studi Syari’at.Jakarta: Robbani Press
Revisi:
1.
Penulisan
footnote tolong diperbaiki, masih banyak kesalahan, terutama pada pengulangan
referensi yang telah digunakan sebelumnya.
2.
Lacak ciri
khusus yang dimiliki masing-masing imam madzhab.
3.
Contoh perbedaan
pendapat tidak ada referensinya.
[1]
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam 2,(Depok : Gema Insani, 2010), hlm. 40
[2] A.
Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Islam (Syariah), (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm 121
[3] Abdul
Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’at, (Jakarta: Robbani Press, 2008),
hlm. 197
[4] Abu
Ameenah, Asal Usul dan Perkembangan Fiqh, (Bandung:Nusamedia, 2005),
hlm. 87
[5]A.
Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Islam (Syariah), (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm 121
[6]Abdul
Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’at, (Jakarta: Robbani Press, 2008),
hlm. 198
[7]A.
Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Islam (Syariah), (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm 123-124
[8]Abdul
Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’at, (Jakarta: Robbani Press, 2008),
hlm. 199
[9]A.
Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Islam (Syariah), (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm 126
[10]Wahbah
Az-Zuhaili, Fiqih Islam 2,(Depok : Gema Insani, 2010), hlm. 40
[11]A.
Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Islam (Syariah), (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm 128
[12]Abdul
Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’at, (Jakarta: Robbani Press, 2008),
hlm. 205-206
[13]A.
Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Islam (Syariah), (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm 134
[14]
Ibid, hlm 135
[15]Abdul
Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’at, (Jakarta: Robbani Press, 2008),
hlm. 209-210
[16]Abdul
Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’at, (Jakarta: Robbani Press, 2008),
hlm. 212
[17]Yahya Khusnan ,Ulasan Nadhom Qowaid Fiqhiyyah
Al-Faroid Al-Bahiyyah, (Pustaka Muhibbin.,2011). Hlm, 79
[18]Yahya Khusnan ,Ulasan Nadhom Qowaid Fiqhiyyah Al-Faroid Al-Bahiyyah,
(Pustaka Muhibbin.,2011). Hlm, 322
[19]Wahbah
Az-Zuhaili, Fiqih Islam 2,(Depok : Gema Insani, 2010), hlm. 46
[20]Abdul
Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’at, (Jakarta: Robbani Press, 2008),
hlm.216
[21]Wahbah
Az-Zuhaili, Fiqih Islam 2,(Depok : Gema Insani, 2010), hlm. 47
[22]Ibid,
hlm. 40
[23] Abu
Ameenah, Asal Usul dan Perkembangan Fiqh, (Bandung:Nusamedia, 2005),
hlm. 89-91
[24]
Abdullah Siddik, Asas-Asas Hukum Islam, (Jakarta: Bumirestu, 1982), hlm.
238-239
[25]Wahbah
Az-Zuhaili, Fiqih Islam 2,(Depok : Gema Insani, 2010), hlm. 42
[26]Abu
Ameenah, Asal Usul dan Perkembangan Fiqh, (Bandung:Nusamedia, 2005),
hlm. 96-99
[27]Abu
Ameenah, Asal Usul dan Perkembangan Fiqh, (Bandung:Nusamedia, 2005),
hlm. 110
[28]Ibid,
hlm. 115
Tidak ada komentar:
Posting Komentar