ILMU JARH WA TA’DIL
M Hanif Alaudin dan Debi Ayu
Puspitasari
PAI D Semester III
Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang
E-mail: debiayu24@yahoo.com
Abstract:Considering that the establishment of a hadith based on fairness and a strong memory.Science al Jarh wa al ta'dil is the branch of science which concerned the behavior of the narrators who can meet the requirements to be accepted then attached transmitters of hadith, or vice versa. And it may be noted that this science is the science that focuses on the identity of the narrators, whether physical or natural, or others associated with narration. this knowledge has grow and develop accompaniying with periwayatan for determine the integrity and quality of hadith. Hadith become a significant knowledge for determine base foundation of al Jahr wa al Ta'diil. Knowledge of al Jahr wa al Ta'diil basicly determine on activities of law syariah decision in Islam way. Studying al jahr wa Al Ta'diil will be also explained about characteristis, standart class level, along with holy books which compilated on Ilmu Jarh wa al Ta'dil.
Keywords: Hadith,Knowledge, Science, Al Jarh wa al Ta’dil, Narrators
Pendahuluan
Perowi dalam suatu hadits itu
berpengaruh pada kualitas dan kuantitas hadits tersebut.Terdapat syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh setiap perowi, seperti yang telah diterangkan oleh
bab-bab sebelumnya. Di dalam Ilmu Al-Jarh wa al-Ta'dil memiliki karakteristik
dengan memberikan cap kepada para perowi hadits tersebut. Apakah dia (perowi)
termasuk dari orang yang jarh atau ta'dil.Karena terkadang ada seorang
gerombolan masyarakat yang mencap atau mendakwah bahwa seorang perowi itu
adalah orang yang memiliki keadilan yang tidak benar.Maksudnya disini adalah perowi
pernah melakukan hal atau keadaan yang dapat membuatnya di anggap tidak
adil.Sehingga periwayatanya di tolak atau dho'if. Perowi tersebut ada juga yang
mengatakan bahwa ia pernah melakukan kesaksian yang tidak adil, pernah
berbohong, dan lain sebagainya. Yang pernah diucapkan oleh masyarakat setempat.
Dan sari situlah pembahasan
atau inti dari pembahasan dari Ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil berlaku. Yaitu
mengklasifikasikan para perowi dengan cara berbagai hukum-hukum atau
sifat-sifat yang jatuh pada para perowi. Dan terdapat syarat-syarat perowi itu
termasuk orang yang adil atau sebaliknya.
Syarat – syarat Diterimanya Rawi:
Kebanyakan
imam – imam ahli hadits dan Fiqih sepakat mensyaratkan rawi hadits dengan dua
syarat pokok yaitu :
a.
Keadilan: maksudnya
bahwa rawi itu hendaklah orang muslim – baligh – berakal selamat dari sebab
kefasikan – selamat dari noda – noda kesopanan.
b.
Dhabit : maksudnya
bahwa rawi itu tidak menyalahi orang – orang kepercayaan dan tidak jelek
hafalannya – tidak pelupa dan tidak banyak persangkaan.[1]
Dengan Apa Penetapan
Adil?
Keadilan
dapat ditetapkan dengan salah satu dua perkara:
a. Dengan penentuan dua orang yang adil, artinya bahwa
ulama menentukan ia sebagai orang adil atau salah satu ulama menentukan adil
kepadanya.
b.
Adakalanya dengan
pemberitahuan dan kemasyhuran, maka barangsiapa yang telah terkenal keadilannya
diantara para ahli ilmu dan telah banyak
yang memujinya maka telah cukup dan tidak perlu lagi penenetuan orang adil, hal
itu seperti para imam yang terkenal yaitu imam empat dan dua sufyan dan Al –
Auza’I dan lainnya.[2]
Bagaimanakah kedhabitan rawi dapat diketahui?
Kedhabitan
rawi dapat diketahui dengan persesuaian riwayatnya dengan riwayat – riwayat
rawi rawi tsiqat lagi meyakinkan.Maka jika riwayatnya itu lebih banyak sesuai
dengan riwayat mereka maka dia adalah seseorang yang dhabit, dan tidak merusak
bilamana menyelisihinya hanya sedikit, karena jika mereka maka hilanglah sifat
kedhabitannya, dan tidak dapat dijadikan hujjah.[3]
Pengertian Al-Jarh Wa al-Ta’dil
Menurut bahasa al Jarh
dalam bahasa adalah جرح يجرح جرحا yang
berarti melukai atau luka.Menurut istilah al Jarh adalah penjelasan
tentang sifat yang dimiliki para perowi yang membahas tentang keadilannya,
menjaganya, serta hafalannya.Baik dalam berhentinya periwayatan atau adanya
cacatnya riwayat ataupun ditolaknya riwayat. Adapun al Tajriih adalah
menyifati perowi dengan cara apakah ada hadits yang dho’ifnya riwayat
atau tidak dapat diterimanya riwayat.[4]
Sedangkan al ‘Adl
menurut bahasa adalah segala sesuatu yang berada di dalam setiap jiwa yaitu adanya
mustaqiim atau lurus.Dan itu merupakan kebalikan dari al Jarh.Dan
al ‘Adl dari manusia adalah dapat diterimanya perkataan beserta
hukumnya.Dan ada yang mengatakan bahwa seseorang yang adil itu adalah adil
dalam kesaksiannya. Dan al Adl adalah lurusnya serta kokohnya dalam memegang
kebenaran.[5]
Menurut istilah al ‘Adl
adalah tidak adanya hal yang ditemukan dalam diri manusia adanya sesuatu yang
dapat menjelekkan atau melukai dalam bidang agama, serta kewibawaan, jika sudah
seperti itu maka hadits yang disampaikan serta kesaksiaannya dapat memenuhi
criteria yang dibutuhkan oleh perowi.Dan al Ta’dil merupakan sifat
perowi yang bersandar dalam kecerdasannya yang mana dapat di perlihatkan adanya
keadilan dalam diri perowi, maka hadits yang disampaikan dapat diterima.[6]
Maka dari pengertian di atas
dapat diketahui bahwa Ilmu al Jarh wa al Ta’dil adalah ilmu yang
membahas tentang tingkah dari perowi yang mana dapat memenuhi syarat-syarat
menjadi perowi yang mana jika dapat memenuhi syarat-syarat menjadi perowi sudah
dipenuhi maka dapat diterima hadits yang disampaikannya atau sebaliknya. Dan
dapat diketahui pula bahwa ilmu ini merupakan ilmu yang terfokus pada jati diri
seorang perowi, baik fisik atau sifatnya, atau yang lainnya yang berhubungan
dengan perowi.[7]
Pertumbuhan Ilmu Al – Jarh wa al Ta’dil
Ilmu jarh wa al ta’dil tumbuh
bersama – sama dengan tumbuhnya periwayatan hadits dalam Islam karena untuk
mengetahui hadis yang shahih dan keadaan para perawinya sehingga dengan ilmu
ini memungkinkan menetapkan kebenaran seorang perawi atau kedustaannya sampai
mereka bisa membedakan antara yang diterima dan yang ditolak. (maqbul dan
mardud). Karena itu, para ulama menanyakan pertama kali tentang keadaan para
perawi, meneliti kehidupannya, dan mengetahui segala keadaan mereka setiap yang
lebih half, lebih kuat ingatannya, dan lebih lama menyertai gurunya.
Demikianlah ilmu ini tumbuh
dan berkembang bersama – sama dengan tumbuh periwayatan, untuk menetukan bobot
dan kualitas dari pada suatu hadis. Sejak dahulu para ulama menerangkan tentang
cacat atau tidaknya seorang rawi hadis, sehingga membuka tabir kegelapan dalam
menentukan nilai atau kualitas hadis bagi ulama berikutnya.
Pentingnya Mempelajari Ilmu al Jahr wa al
Ta’diil
Sesungguhnya bahwa sunnah
nabi yang murni adalah murninya suatu syariat kedua setelah Al-Qur’an yang mana
ini merupakan salah satu kemurnian yang dibutuhkan dalam suatu syariat aama
islam. Dan oleh sebab itu wajib untuk menetapkan apa itu pengetahuan tentang Ilmu
al Jahr wa al Ta’diil. Ilmu ini adalah imu yang bersandar pada kegiatan
penetapan hukum syariat dalam agama Islam.Dan ilmu ini pula termasuk dalam
ilmu-ilmu yang membahas tentang usul hadits.[8]
Sifat – sifat yang Menyebabkan Seorang Perawi
Dinilai Jarh
Seorang perowi dapat tidak
diterima periwayatannya manakala terdapat suatu sifat yang dapat menggugurkan
keadilannya, yang memiliki efek tidak dapat diterimanya periwayatan.
Sifat-sifat tersebut antara lain[9]
:
1. Dusta
Yang dimaksud dengan dusta
dalam hal ini ialah bahwa orang itu pernah berbuat dusta terhadap sesuat atau
beberapa hadits. Maksudnya, seorang perowi yang berbuat dusta terhadap
Rosulullah SAW, seperti membuat hadits palsu, pernah menjadi saksi palsu,
kecuali ia sudah bertaubat.[10]Menetapkan
kepalsuan suatu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang pernah berbuat dusta
adalah berdasarkan keyakinan yang kuat, bukan atas sangkaan, sehingga mungkin
pada suatu saat, ia berbuat dusta dan dalam keadaan lain, ia berkata
sebenarnya.
2.
Tertuduh Berbuat Dusta
Yang dimaksud dengan tertuduh
berbuat dusta adalah seorang perowi sudah tenar di kalangan masyarakat sebagai
orang yang berdusta.Periwayatan orang yang tertuduh dusta dapa diterima apabila
dia betul-betul tela bertaubat sehingga masyarakat tidak lagi menuduh pendusta.[11]
3. Fasik (Melanggar Ketentuan Syarak)
Yang dimaksud dengan fasik
ialah fasik dalam perbuatan yang tampak secara lahiriah, bukan dalam hal
I’tiqiyah, nama tetap periwayatannya ditolak.[12]Sebagaimana
keterangan dalam firman Allah SWT (QS. Al-Hujurat : 7)
واعلموا أن فيكم رسول الله لو يطيعكم في كثير من الأمرِلعنتم ولكن
الله حبب اليكم الإيمان وزينه في قلوبكم وكره إليكم الكفر والفسوق والعصيان أولئك
هم الراشدون
Dan ketahuilah olehmu bahwa
di kalanganmu ada Rosulullah. Kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan
benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu cinta
kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta
menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Meka iulah
orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.[13]
4. Jahalah
Yang dimaksud dengan jahalah
adalah perawi hadis itu tidak diketahui kepribadiannya, apakah dia sebagai
orang yang tercatat (Jarih).Dengan tidak dikeyahuinya itu, menjadi alasan
untuk tidak diterima riwayatnya, kecuali dari golongan sahabat atau orang yang
disebut dengan lafal yang menyebutkan atau menunjukkan kepada kepercayaan,
seperti dengan lafal hadatsan, tsiqan, atau akhbar-nya ‘adlun,
dan sebagainya.[14]
5. Ahli
Bid’ah
Yang dimaksud dengan ahli
bid’ah, yaitu perawi yang tergolong melakukan bid’ah, dalam hal I’tikadi
yang menyebabkan ia kufur, maka riwayatnya ditolak.[15]
6. Hukum
Men-jarh Seorang Perawi
Imam Nawawi dalam muqoddimah
Sahih Muslim mengatakan, bahwa ulama telah sepakat memperbolehkan seseorang
untuk mencatat (men-jarh) orang lain. Hal ini berdasarkan karena
memelihara agama sehingga terhindar dari ketidak benaran dalam menentukan
kualitas suatu hadis (Muslim Jil.I), mencatat atau men-jarh seperti
tidaklah termasuk mengumpat atau mencela orang lain, melainkan dianggap sebagai
nasihat yang harus diterima dengan lapang dada dan sesuatu yang kita lakukan
demi kepentingan agama.[16]
Martabat jarh dan ta’dilserta lafal-lafal yang digunakan adalah sebagai
berikut[17]
:
a.
Dengan kata-kata yang menunjukkan tercelanya
seseorang perawi, yakni mensifati perawi dengan suatu sifat yang menunjukkan
sangat dusta atau menuduh memalsukan suatu hadis, misalnya dengan ungkapan
berikut
·
“Si fulan orang yang paling dusta.”
(فلان أكد الناس)
·
“Si
fulan yang paling banyak membuat atau memalsukan hadis”
(فلان اوضع اناس)
·
“Dia
sumber dusta”
(هو ضع الكذب)
Dengan
kata-kata sebagai berikut.
·
Dia dajjal atau perusak.
·
Dia orang yang banyak memalsukan hadis.
·
Dia orang yang sangat dusta.
b. Me-nafsihi
perawi dengan salah satu sifat dan memalsukan hadis, tetapi tidak terlalu
menekankan atau berifat dengan yang agak kurang atau ringan keburukannya dari
dusta dan memalsukan hadis, seperti :
·
Fulan tertuduh berdusta.
(فلان متهم
بالكذاب)
·
Fulan memalsukan hadis.
(فلان متهم بالوضع)
·
Fulan seorang yang gugur.
(فلان ساقط)
Sebagaimana pada jarh,
maka di dalam ta’dil terdapat pula martabat pada lafat-lafal yang
digunakan dalam menilai seorang perawi hadis. Untuk menentukan martabat dalam ta’dil,
para ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan ada empat (pendapat Abu Hatim,
Ibnu Soleh, dan Imam Nawawi), sedangkan Imam al- Dzahabi dan Iraq mengatakan ada lima martabat dan menurut
pendapat al-Hafidz Ibnu Hajar adalah sebagai berikut.[18]
a. Ibarat
yang menunjukkan kepada derajat perawi dengan sifat yang member pengertian,
bahwa ia kuat ingatan dan amanahnya, misalnya seperti ungkapan berikut.
·
Fulan adalah orang yang dapat dipandang benar.
(فلان محله الصدق)
·
Fulan orang yang suka pertengahan.
(فلان وسط)
·
Fulan orang yang pertengahan dan syekh.
(فلان وسط شيخ)
b. Ibarat
yang masuk pada fi’il tafdil serta menyerupakan fi’il tafdil, yang
menunjukkan pada mubaligh, seperti
·
Fulan orang yang paling dipercaya
(فلان اوثق الناس)
·
Fulan orang yang paling kuat hafalannya
(فلان اثبت الناس)
·
Kepadanyalah segala kesudahan
(اليه المنتهى)
Tingkatan – tingkatan
Jarh dan Ta’dil
Ibnu Abi Hatim dalam kitabnya “Al – Jarh wa At
– Ta’dil” membagi semua tingkatan jarh dan ta’dil kepada empat macam dan telah
menjelaskan hukum masing – masing tingkatan tersebut, kemudian para ulama
menambah lagi dua tingkatan, maka akhirnya semua tingkatan jarh wa ta’dil menjadi
enam macam dan inilah tingkatan – tingkatannya sekaligus lafadz – lafadznya :
a. Tingkatan
– tingkatan ta’dil dan lafad – lafadznya:
1. Sesuatu
yang menunjukan kelebihan dalam kekokohannya atau keteguhannya atau dengan
lafadz yang mengikuti wazan “af ala”, dan inilah yang paling tinggi seperti
ungkapan “Fulanun ilaihi al-Muntaha fi at-Tatsabbuti” Si Fulan adalah orang
yang paling top keteguhan hati dan lidahnya, atau dengan ungkapan “Fulanun
atsbata an – Nasu” Si Fulan adalah orang yang paling mantap hafalan dan
keadilannya.
2. Sesuatu
yang diperkuat dengan sifat tertentu atau dua sifat dari sifat – sifat tsiqah,
seperti “Tsiqatun – tsiqatun” orang yang tsiqah lagi tsiqah, atau ungkapan
“Tsaqatun tsabitun” orang tsiqah lagi teguh.
3. Sesuatu
yang dinyatakan dengan satu sifat yang menunjukan tsiqah tetapi tanpa ada
penguatnya, seperti “Tsiqatun” orang yang tsiqah, atau dengan kata “Khujjatun”
orang yang ahli kagi ppetah lidahnya.
4. Sesutuatu
yang menunjukan keadilan tetapi tanpa mengandung makan kuat ingatan (dhabbit),
seperti “Makhalluhu ash – Shidqi” orang yang berstatus jujur, atau dengan
ungkapan “la ba’sa bih”, orang yang tidak cacat. Menujut Ibnu Mu’in, karena
ungkapan la ba’sa bih apabila dinyatakan oleh Ibnu Mu’in, maka menurut beliau
berarti tsiqah.
5. Sesuatu
yang tidak ada petunjuk atas ketsiqahannya, seperti “Fulannun syaikhun” Si
Fulan adalah seorang Syaikh) atau ungkapan ruwiya anhu an – nas (orang yang
meriwayatkan daripadanya).
6. Sesuatu
yang mendekati jarh (cacat) seperti “Fulannun shalihu al – haditsi” (Si Fulan
orang yang shalih hadisnya atau dengan “Yaktabu haditsuhu” (orang yang ditulis
hadisnya).[19]
b. Hukum
tingkatan – tingkatan ini:
1. Mengenai
tiga tingakatan yang pertama, maka dengan dijadikan hujjah orang yang memiliki
sifat tersebut, sekalipun sebagian mereka lebih kuat dari sebagian lainnya.
2. Adapun
tingkatan yang keempat dan kelima, maka tidak dapat dijadikan hhujjah bagi yang
mempunyai sifat tersebut, akan tetapi hadisnya tetap ditulis dan diberitakan,
sekalipun ia berada pada tingkatan kelima, bukan termasuk pada tingkatan
keempat.
3. Adapun
yang berada pada tingkatan keenam, maka tidak dapat dijadikan hujjah, akan
tetapi hadisnya tetap ditulis sekedar untuk pelajaran saja, bukan untuk
patokan, hal itu karena nampaknya kondisi mereka yang tidak dhabit.[20]
c. Tingkatan
– tingakatan jarh dan lafad – lafadnya
1. Yang
menunjukan kelunakan: yaitu paling mudahnya tanpa jarh, seperti “Fulannun
layyinu al – haditsi” Si Fulan orang yang lunak hadisnya, atau dengan ungkapan
“fihi maqalun” (dia orang yang diperbincangkan).
2. Yang secara
jelas tidak dapat dijadikan hujjah atau yang menyerupainya, seperti “Fulanun la
yuhtajjubih” (Si Fulan tidak bisa dijadikan dasar) atau “dha ifun” (orang yang
lemah), atau “Lahu manakir” (dia adalah haditsnya mungkar).
3. Yang
jelas tidak boleh ditulis hadisnya, atau yang seperti, “Fulanun la yuktabu
haditsuh” (Hadisnya si Fulan tidak boleh ditulis), atau “latahillu ar –
riwayatu anh” (tidak halal meriwayatkan hadis dari dia), atau “dha ifun jiddan”
(Ia amat dhaif) atau “wahim bimarratin” (orang yang berkali – kali menduga –
duga).
4. Yang
tertuduh dusta atau yang sepertinya, seperti “Fulanun muhtammun bil kadzib” Si
Fulan adalah orang yang tertuduh dusta), atau “muhtammun bil wadl’I (orang yang
tertuduh palsu), atau “yasriqu al – haditsi (orang yang mencuri hadis), atau
“saqithun” (orang yang gugur), atau “matrukun” (orang yang hadisnya
ditinggalkan), atau “laisa bitsiqatin” (tidak tsiqat).
5. Yang
menunjukan sifat dusta dan yang sepertinya, contohnya “kadzdzab” (pendusta),
atau “dajjal” (dajjal), atau “wadla” (pemalsu), atau “yukadzzibu” (berdusta),
atau “yadla’u” (orang yang mebuat hadis dhaif).
6. Yang
menunjukan sangat dusta (yang paling jelek). Seperti “Fulannun akdzabu an –
nasu” (Si Fula adalah orang yang paling dusta), atau ilaihi al muntaha fi al
kadzibi” (orang yang paling dusta), atau “huwa ruknu al – kadzibi” (orang yang
cenderung dusta). [21]
d. Hukum
tingkatan – tingkatan ini:
1. Mengenai
orang yang berstatus pada dua tingkatan utama, maka hadisnya tidak dapat
dijadikan hujjah, akan tetapi hadisnya dapat ditulis hanya untuk pelajaran
saja, sekalipun ia berada pada tingkatan kedua, bukan pada tingkatan yang
pertama.
2. Adapun
orang yang berada pada tingakatan – tingkatan t=yang keempat terakhir, maka
hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak boleh ditulis dan tidak boleh
dianggap adanya.[22]
Syarat
Ulama al-Jarh wa al-Ta’dil.
Seorang ulama al jarh wa al
ta’dil harus memenuhi kriteria-kriteria yang menjadikannya obyektif dalam upaya
menguak karakteristik para periwayat. Syarat – syaratnya adalah:
a. Berilmu,
bertaqwa, wara’, dan jujur. Karena bila ia tidak memiliki sifat – sifat ini, mavka
bagaimana ia dapat menghukumi orang lain dengan al jarh wa al ta’dil yang
senantiasa membutuhkan keadilannya.
Al-Hafidz berkata, seyogyanya
al jarh wa al ta’dil tidak diterimanya kecuali dari orang yang adil dan kuat
ingatannya sehingga menjadikannya berhati-hati dan ingat dengan tepat terhadap
hadits yang ia ucapkan.
b. Ia
mengetahui sebab – sebab al jarh wa al ta’dil. Al – Hafidz Ibnu Hajar
menjelaskan dalam Syarh al-Nukhbah, Tazkiyah(pembersihan terhadap diri orang
lain) dapat diterima bila dilakukan oleh orang yang mengetahui sebab –
sebabnya, bukan dari orang yang tidak mengetahuinya, agar ia tidak memberikan
tazkiyah hanya dengan apa.
c. Kebanyakan
hadis-hadisnya marfu’
d. Kualitas
hadisnya kebanyakan sahih
e. Memuat
hadis-hadis berbagai masalah keagamaan seperti akidah, hukum, perbudakan, tata
cara makan dan minum, safar dan
berada di rumah, tafsir, sejarah, kebiasaan hidup, perbuatan baik dan buruk,
dan sebagainya.
Beberapa
Hal yang Tidak Disyaratkan bagi Ulama al – Jarh wa al – Ta’dil.
1 dan 2
Tidak disyaratkan bagi ulama al jarh wa al – dil harus laki – laki dan merdeka.
Yang penting dalam melakukan tazkiyah dan jarh, orang tersebut hendaklah orang
yang adil, laki – laki maupun perempuan, orang merdeka atau hamba.
3. Suatu
pendapat menyatakan bahwa tidak dapat diterima al jarh wa al – ta’dil kecuali
dengan pertanyaan dua orang, seperti dalam kasus kesaksian lainnya.[23]
Namun,
kebanyakan ulama menganggap cukup penilaian seorang ulama dalam al jarh wa al –
ta’dil apabila memenuhi syarat sebagaimana diriwayatan oleh Al – Amidi dan Ibnu
al – Hajib serta lainnya. Ibnu ash – Shalah berkata “Itu adalah pendapat yang
benar yang dipilih oleh al – Khathib dan lainnya.Karena dalam hal diterimanya
suatu hadist tidak disyaratkan harus oleh sejumlah orang.Lain halnya adilnya
rawi tidak disyaratkan dengan hukum syahadah atau kesaksian.[24]
Tata
tertib Ulama al jarh wa al – ta’dil
Ada
beberapa point tata tertib yang perlu diperhatikan oleh ulama al jarh wa al –
ta’dil. Diantaranya adalah :
1. Bersifat
Objektif dalam tazkiyah, sehingga ia tidak meninggikan seorang rawi dari
martabat yang sebenarnya atau merendahkannya. Sebagaimana yang terjadi bagi
kebanyakan manusia dewasa ini.
2. Tidak
boleh jarh melebihi kebutuhan, karena jarh itu disyari’atkan lantaran darurat,
sementara darurat itu ada batasnya.
3. Tidak
boleh hanya mengutip jarh saja sehubungan dengan orang yang dinilai jarh oleh
sebagian kritikus, tapi dinilai adil oleh sebagian lainnya. Karena sikap yang
demikian berarti telah merampas hak rawi yang bersangkutan dan para muhadditsin
mencela sikap yang demikian.
4. Tidak
boleh jarh terhadap rawi yang tidak perlu dijarh, karena hukumnya disyari’atkan
lantaran darurat. Maka dalam kondisi tidak adanya daruratnya jarh tidak dapat
dilaksanakan. Para ulama mencela perbuatan yang berlebihan dan melarang keras
serta memperingatkan bahwa perbuatan itu adalah suatu kesalahan.[25]
Syarat
Diterimanya al – Jarh wa al – Ta’dil
Syarat pertama, al – jarh wa al – ta’dil
diucapkan oleh ulama yang telah memenuhi segala syarat sebagai ulama al jarh wa
al – ta’dil.
Syarat kedua, jarh tidak dapat diterima kecuali
dijelaskan sebab – sebab.[26]
Apakah
dapat diterima jarh dan ta’dil tanpa dengan penjelasan?
a. Mengenai
ta’dil maka dapat diterima sekalipun tanpa disebutkan sebabnya, menurut
pendapat yang masyhur, karena sebab – sebabnya banyak sekali sulit
untuk
dibatasi, sebab orang yag menta’dil akan harus menyatakan misalnya: “lam yaf al
kadza” ia tidak dapat melakukan perbuatan begini, dan “huwa yaf alu kadza wa
yaf alu kadza wa hakadza” ia selalu mengerjakan begini, dll.
b. Adapun
mengenai jarh maka tidak boleh diterima kecuali dijelaskan sebabnya, karena hal
itu tidak sulit untuk disebutkan, disamping para ulama sendiri berbeda pendapat
mengenai sebab – sebab kejarhannya, kadang seorang menjarh dengan sesuatu yang
tidak beralasan, Ibnu Shalah berkata “dan ini telah nampak jelas disepakati
dalam ilmu Fiqh dan Ushulnya. “Al – Chatib Al – Hafidz menyebutkan bahwa itu
adalah pendapat para imam Huffadzul Hadits, sedang orang yang menanggapinya
adalah Imam Bukhari dan Imam Muslim serta imam – imam lainnya, karenanya beliau
tetp berhujjah dengan segolongan terdahulu yang tidak menjarh terhadap mereka,
seperti hal Ikrimah dan Amru bin Marzuq, sementara Imam Muslim berhujjah dengan
Suwaib bin Sa’id dan segolongan yang terkenal cacatnya, dan seperti beginilah
yang dilakukan oleh Abu Dawud. Dan demikian itu merupakan indikasi bahwa mereka
itu berpendapat bahwa sesungguhnya jarh itu tidak dapat tetap kecuali apabila dijelaskan
atau disebutkan sebab – sebabnya.[27]
Apakah dapat ditetapkan jarh
dan ta’dil dengan seorang saja?
a. Yang
benar bahwa jarh dan ta’dil dapat ditetapkan dengan seorang saja.
b. Ada
pendapat yang menyatakan bahwa jarh harus dari dua orang.[28]
Berkumpulnya jarh dan ta’dil
dengan seorang rawi:
Apabila berkumpul dalam satu
rawi jarh dan ta’dil maka:
a. Yang
dipengangi adalah mendahulukan jarh apabila disebutkan sebab jarhnya.
b. Ada yang
mengatakan, jika bertambah bilangan orang yang menta’dilkan dari pada orang –
orang yang menjarh maka didahulukan ta’dilnya, pendapat ini lemah tidak dapat
dipengangi.[29]
Kitab-kitab yang disusun
mengenai jarh dan ta’dil ialah:
1. At –
Tarikh al – Kabir karya Imam Bukhari, sebuah kitab umum mengenai rawi – rawi
tsiqatdan dla’if.
2. Al –
Jarh wa al – Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim, juga merupakan kitab umum tentang
rawi rawi tsiqat, dla’if, menyerupai kitab yang sebelumnya.
3. Ats –
Tsiqat karya Ibnu Hibban, sebuah kitab khusus tentang rawi – rawi.
4. Al –
Kamil fi al – Dlu’afa karya Ibnu A’dy, sebuah kitab khusus tentang biografi
rawi – rawi dla’if, sebagaimana nampak dari namanya.
5. Al –
Kamal fi Asma’ir Rijal karya Abdul Ghani al – Maqdisi, sebuah kitab umum tapi
hanya khusus tentang rijal dan kutubus sittah.
6. Mizanul
I’tidal karya Al – Dzahaby, sebuah kitab khusus rawi – rawi dla’if dan matruk
(tiap – tiap rawi yang dijarh sekalipun jarhnya tidak dapat diterima).
7. Tahdzibu
al – Tahdzib karya Ibnu Hajar, merupakan tahdzibat dan ringkasan kitab Al –
Kamal fi Asma’ir Rijal.[30]
Kesimpulan
Ilmu al Jarh wa al Ta’dil adalah ilmu yang membahas
tentang tingkah dari perowi yang mana dapat memenuhi syarat-syarat menjadi perowi
maka dapat diterima hadits yang disampaikannya atau sebaliknya. Dan dapat
diketahui pula bahwa ilmu ini merupakan ilmu yang terfokus pada jati diri
seorang perowi, baik fisik atau sifatnya, atau yang lainnya yang berhubungan
dengan perowi. Ilmu ini tumbuh dan berkembang bersama – sama dengan tumbuh
periwayatan, untuk menetukan bobot dan kualitas dari pada suatu hadis.
Pentingnya mempelajari ilmu ini wajib untuk menetapkan apa itu pengetahuan
tentang Ilmu al Jahr wa al Ta’diil. Ilmu ini adalah imu yang bersandar
pada kegiatan penetapan hukum syariat dalam agama Islam. Dalam ilmu jarh wa al
Ta’dil dijelaskan sifat – sifat, tingkatan – tingkatan serta kitab – kitab yang
disusun mengenai llmu jarh wa al Ta’dil.
Ibnu Abi Hatim dalam kitabnya “Al – Jarh wa At – Ta’dil”
membagi semua tingkatan jarh dan ta’dil kepada empat macam dan telah
menjelaskan hukum masing – masing tingkatan tersebut, kemudian para ulama
menambah lagi dua tingkatan, maka akhirnya semua tingkatan jarh wa ta’dil
menjadi enam macam.
Daftar Rujukan
Ahad , Muhammad, 1989, Ushulul
Hadits. Bayrut: Daar al Fikr.
Al-Qur’an Al-Kariim, Jakarta
: Kemenag
Ajaj Muhammad Al Khotib,2006,
Ushulul Hadits, Kuala Lumpur:IIUM.
Nuruddin, 1938, Ulum Al-
Hadis I. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sahrani,Sohari,2010, Ulumul
Hadits,Bogor: Ghalia Indonesia
Thahlan, Mahmud, 2003, Ulumul Hadis Studi
Kompleksitas Hadis Nabi. Yogjakarta: Titian Ilahi Press.
Revisi:
1. Pendahuluan
tidak berisi materi pembahasan.
2. Materinya
lumayan bagus, tetapi tidak rapi. Tolong dirapikan sesuai sengan yang tertulis
di SAP.
3. Manfaat
dan pentingnya ilmu jarh wa ta’dil tolong lebih dielaborasi lagi, sebab masih
sangat minim.
[1] Mahmud
Thahlan, Ulumul Hadis Studi Kompleksitas Hadis Nabi,(Yogjakarta: Titian
Ilahi Press, 2003). hml 158
[4] Muhammad
‘Ahad, Ushulul Hadits, (Bayrut: Daar al Fikr, 1989). hlm. 309
[5]Ibid, hlm. 112
[6]Muhammad Ijaj
Al Khotib, Ushulul Hadits,(Kuala Lumpur; IIUM, 2006).hlm. 310
[7]Ibid, hlm. 308
[9] Sohari
Sahrani, Ulumul Hadits,(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) hlm. 152
[13] Al-Qur’an
Al-Kariim, (Jakarta : Kemenag RI)
[14]Sohari Sahrani,
Ulumul Hadits,(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) hlm. 153
[19] Mahmud
Thahlan, Ulumul Hadis Studi Kompleksitas Hadis Nabi. Yogjakarta: Titian
Ilahi Press, 2003. hml 170
[23] Nuruddin, Ulum
Al- Hadis I. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1938. hml 80
[27]Mahmud Thahlan,
Ulumul Hadis Studi Kompleksitas Hadis Nabi, (Yogjakarta: Titian Ilahi
Press, 2003). hml 159
Tidak ada komentar:
Posting Komentar