PENGARUH FIQIH DALAM MATERI LEGISLASI HUKUM
ISLAM DI INDONESIA
Nila Nafisatul Laili dan Rahma Rizki
Larasati
PAI E UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang
ABSTRAC
Talk about Islamic law is the law that comes
from Allah and Rasulullah and fiqh itself was created to facilitate human
understanding of the laws of Islam that has existed for a long time ago. This
paper discusses what is fiqh, what is Islamic law, and national law as well as
the influence of Islamic law between the system of law in Indonesia, also anything
Legislation Of Islamic law in Indonesia. The Islamic law influential on the
system of government in Indonesia, but not completely, because Indonesia also
has a custom and also influences from western colonizers which is currently
Indonesia Merdeka yet.
Keyword : fiqh, Islamic law, national law,
legislation
A. PENGERTIAN FIQIH, HUKUM ISLAM DAN LEGISLASI
Fiqih adalah paham atau pengertian, pemahaman
tentang syari’at. Ilmu fiqih adalah ilmu yang berusaha memahami hokum-hukum yang
terdapat di dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad untuk diterapkan pada
perbuatan manusia yang sehat akalnya yang berkewajiban melaksanakan hokum
Islam. Hasil pemahaman tentang hokum islam itu disusun secara sistematis dalam
kitab-kitab fiqih yang disebut hokum fiqih. Hukum fiqih, sebagaimana hukum yang
diterapkan pada kasus tertentu dalam keadaan konkret, mungkin berubah dari masa
ke masa dan mungkin pula berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Ini sesuai
dengan ketentuan yang disebut juga dengan kaidah hokum fiqih yang menyatakan
bahwa perubahan tempat dan waktu menyebabkan perubahan hukum. Perubahan tempat
dan waktu yang menyebabkan hokum itu, dalam sistem hukum Islam disebut illat
(latar belakang yang menyebabkan ada atau tidak adanya hukum atas sesuatu hal).
Dari kaidah ini dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum fiqih itu cenderung
relative, tidak absolute seperti hokum syari’at yang menjadi sumber hokum fiqih
itu sendiri. Sifatnya zanni, yakni sementara belum dapat dibuktikan
sebaliknya, ia cenderung dianggap benar. Sifat ini terdapat hasil karya manusia
dalam bidang apapun juga.[1]
Hukum Islam adalah hokum yang bersifat universal
karena ia merupakan bagian dari agama islam yang universal sifatnya.
Sebagaimana halnya dengan agama islam yang universal sifatnya itu, hokum islam
berlaku bagi orang islam dimanapun ia berada, apapun nasionalitasnya. Hukum
nasional adalah hokum yang berlaku bagi bangsa tertentu di suatu negara
nasional tertentu. Dalam kasus Indonesia, hokum nasional mungkin juga berarti
hokum yang dibangun oleh bangsa Indonesia setelah Indonesia merdeka dan berlaku
bagi penduduk Indonesia, terutama warga Negara Republik Indonesia, sebagai
pengganti hukum kolonial dahulu.[2]
Legislasi dalam arti sempit merupakan proses
dan produk pembuatan undang-undang (the creation of general legal norm by
special organ), dan regulasi (regulations or ordinances). Legislasi dalam arti
luas termasuk pula pembentukan Peraturan Pemerintah dan peraturan-peraturan
lain yang mendapat delegasian kewenangan dari undang-undang (delegation of rule
making power by the laws). Dalam proses legislasi pembentukan
undang-undang (legislative act, parliament act, Act of Parliament)
melibatkan badan perwakilan. Fungsi legislasi dilakukan oleh badan legislatif
baik secara sendiri-sendiri atau “together with the head of State). Dalam
Bahasa Arab secara
etimologis, kata taqnin (تقنين) merupakan bentuk masdar dari qannana (قَنَّنَ), yang berarti membentuk undang-undang. Ada yang berpendapat
kata ini merupakan serapan dari Bahasa Romawi, canon. Namun ada juga
yang berpendapat, kata ini berasal dari Bahasa Persia. Seakar dengan taqnin adalah
kata qanun (قَانُوْن)
yang berarti ukuran segala sesuatu, dan juga berarti jalan atau cara (thariqah).[3]
Agama
memiliki peran dalam sistem hukum. Di
negara-negara di mana Islam berpengaruh kuat, hukumnya juga akan banyak
dipengaruhi oleh hukum Islam. Semula, di dunia Islam, banyak persesuaian antara
syar’ (شرع) dan qanun (قانون).
Ketegangan antara keduanya muncul akibat pengaruh Barat melalui
kolonialismenya, yang mengakibatkan penggantian hukum di berbagai negara Muslim
dengan hukum Eropa. Ketika masyarakat muslim berkesempatan membina hukumnya
sendiri, mereka kembali menjadikan hukum Islam sebagai sumber penting
legislasi.
B.
PENGARUH HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM DI
INDONESIA
Dalam membicarakan Hukum Islam di Indonesia,
pusat perhatian akan ditujukan pada kedudukan hokum islam dalam sistem hokum di
Indonesia. Yang dimaksud Dengan sistem hokum Indonesia adalah sistem hokum yang
berlaku di Indonesia. Sistem Indonesia adalah sistem hokum yang majemuk, karena
di tanah air kita berlaku berbagai sistem yakni Adat, Islam dan Barat. Ketiga
sistem itu mulai berlaku di Indonesia pada waktu yang berlainan. Hukum adat
telah lama ada dan berlaku di Indonesia, walaupun sebagai sistem hokum baru dikenal
pada permulaan abad ke-20.
Perlu
dicatat bahwa pendapat Mahadi yang mengatakan bahwa dalam melaksanakan pasal 37
Undang-Undang Perkawinan, dapat didalilkan bahwa Pengadilan Agama adakalanya
dapat mempergunakan hokum adat sebagai dasar untuk mengambil suatu keputusan.
Namun yang dipergunakan bukanlah hokum adat yang bertentangan dengan hokum
islam. Ini sesuai dengan uraian di atas mengenai sumber hokum islam mengatakan
bahwa adat yang baik dapat dijadikan sebagai salah satu sarana atau cara
pembentukan hokum islam. Artinya adat yang baik dapat dipandang sebagai hokum
Islam.[4]
Dalam proses pembentukan ilmu fiqh, fiqh ini
menjadi bahan bagi pembentukan sebagai pembentukan berbagai peraturan baik
perundang-undangan, peratutan pemerintah, bahkan peraturan-peraturan daerah.
Bagi The Muslim Country (Negara Muslim)
atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Indonesia dan
Mesir, Politik hukum negara yang bersangkutan menjadi sangat penting. Untuk kasus Indonesia misalnya, peluang pen-taqnin-an
ini menjadi terbuka setelah dalam Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN) dinyatakan bahwa bahan di dalam pembentukan hokum
nasional adalah : hokum Adat, hokum Barat, dan hokum Islam.
Hubungan pen-taqnin-an dan fiqh seperti
digambarkan diatas, sangat erat dengan meminjam kata-kata Musthafa’ Ahmad Zarqa
yang kemudian dijadikan judul bukunya yaitu : Al-fiqh al-Islamy Fi
Tsauwihial al-Jadid.(“Fiqh Islam di dalam Bajunya yang Baru”) artinya : materi
tetap materi-materi yang dibahas parat ulama’ yang lalu, hanya cara bahasan
teorinya-teori dan penyusunan materi serta pengkodifikasiannya disesuaikan
dengan cara-cara ilmu hokum yang berlaku. Subtansinya tetap, subtansi ilmu
fiqh, penampilannya yang berbeda.
Dalam pen-taqnin-an ini,
ijtihad yang dilakukan pada umumnya adalah Ijtihad fi Tatbiq al-Ahkam
(ijtihad di dalam penerapan hukum) dengan menggunakan metode Ijtihad
Jama’i (Ijtihad Kolektif); prosesnya adalah dengan menghadirkan para pakar
di bidang ilmu-ilmu yang berhubungan dengan materi yang dibahas, untuk
memberikan pertimbangan keadaan yang sesungguhnya dan dihadiri pula oleh para
ahli agama, khususnya ahli hokum islam, untuk memberikan pertimbangan hukumnya
(al-Hukm qabla bayan dhulmun, wa tark al-hukm ba’da bayan dhulman).
Dengan cara ini diharapkan hasil ijtihadnya lebih benar, lebih baik dan indah
serta lebih arif untuk kemaslahatan hidup bersama.
Akhirnya bisa dinyatakan bahwa dengan pen-taqnin-an
ini, ilmu fiqh ini sedang mengalami fase perubahan; perubahan dengan
tidak meninggalkan jati dirinya yang tercermin di dalam dalil-dalil kauli, kaidah-kaidah
kuliyah, maqasihid al-syari’ah dan semanangat ajara yang adil, memberi
rahmat, maslahat dan mengandung makna bagi kehidupan: atau dengan ungkapan
lain: al Muhafadlah ‘ala al-Qadim al-Shahih wa al-Akhdz bi al-Jadid al-Aslah
(“Mempertahankan yang lama yang maslahat dan mengambil yang baru yang lebih
maslahat”).[5]
C.
BIDANG-BIDANG PENTAQNINAN[6]
1.
Al-Ahwal Al-Syakhsiyah (Hukum Keluarga)
Di Indonesia dengan keluarnya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No.
28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Mendorong kebutuhan untuk pen-taqnin-an
di dalam hokum keluarga, di tambah dengan keluarnya Undang-undang No. 7 Tahun
1989 tentang peradilan Agama yang di dalam Bab III Pasal 49 Undang-undang
tersebut dinyatakan:
“Pengadilan
agama bertugas dan berwewenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang: a. Perkawinan, b. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan
berdasarkan hokum islam, c. Wakaf dan Sedekah”
Kenyataan di lapangan, hokum
Islam yang di terapkan di lingkungan peradilan agama yang menuju kepada
kitab-kitab fiqh terdapat banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama’,
untuk mengatasi hal ini diperlukan adanya satu buku-buku hokum yang menghimpun
semua hokum terapan yang berlaku bagi lingkungan peradilan agama yang dapat
dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya, sehingga
terjamin adanya kesatuan dan kepastian hokum.[7]
Dari sudut lingkup makna the
ideal law, kehadiran kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan rangkaian
sejarah hokum nasional yang dapat mengungkapkan ragam makna kehidupan
masyarakat Islam Indonesia, terutama tentang: (1) adanya norma hokum yang hidup
dan ikut serta bahkan mengatur interaksi sosial, (2) aktualnya dimensi normatif
akibat terjadnya eksplanasi fungsional ajaran islam yang mendorong terpenuhinya
tuntutan kebutuhan hokum (3) response structural yang dini melahirkan
rangsangan KHI, dan (4) alim ulama’ Indonesia mengantisipasi ketiga hal di atas
dengan kesepakatan bahwa KHI adalah rumusan tertulis hokum Islam yang hidup
seiring dengan kondisi hokum dan masyarakat Indonesia.[8]
Rancangan Kompilasi Hukum
Islam yang terdiri dari tiga buku yaitu buku I tentang Hukum Perkawinan, buku
II tentang Hukum Kewarisan, dan buku III tentang Hukum Perwakafan, selaras
dengan wewenang utama Peradilan Agama, yang diterima baik oleh para ulama’ dan
sarjana Hukum Islam seluruh Indonesia dalam lokakarya yang diselenggarakan di
Jakarta tanggal 2 sampai dengan 5 Februari 1988, melalui Intruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 telah ditentukan sebagai pedoman bagi
instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan
masalah-masalah di ketiga bidang hokum tersebut.
Kompilasi Hukum Islam, yakni
kumpulan atau himpunan kaidah-kaidah hokum islam yang disusun secara sistematis
tersebut terdiri dari tiga buku. Masing-masing buku dibagi ke dalam beberapa
bab dan pasal, dengan sistematika sebagai berikut:[9]
Buku I : Hukum Perkawinan terdiri dari 19 bab dengan 170 pasal ( 1 - 170)
Buku II: Hukum Kewarisan
terdiri dari 6 bab dengan 44 pasal (171 - 214)
Buku III: Hukum Perwakafan terdiri
dari 5 bab dengan 14 pasal (215 - 228)
2.
Pentaqninan di Bidang Mu’amalah
Pen-taqnin-an di
Bidang Muamalah dalam arti sempit dimulai sejak dikeluarkannya Majalah Al-Ahkam
al-Adliyah pada zaman kekhalifahan Turki Usmani, yang dimulai pada tahun 1869 dan
selesai tahun 1876. Majalah al-Ahkam ini terdiri dari 16 buku dengan 1851
pasal, yang dimulai dengan 99 kaidah fiqh yaitu dari mulai pasal 2 sampai dengan pasal 100.
Kemudian bahasan-bahasannya
tentang a). Kepemilikan benda akad seperti jual beli (al-ba’i),
tanggungan (al-kafalah), perpindahan utang (al-hiwalah),
gadai (al-rahn), hak membeli kembali (ba’I al wafa), titipan (wadi’ah),
pinjaman (I’arah), pemberian (hibah), pembagian harta campuran (qismah),
kerja sama (syirkah), kerja sama modal usaha (mudlarabah),
investasi dalam pertanian (muzara’ah), dan musaqah perwakilan (wakalah),
perdamaian (al-sulhu), perwasitan dalam memutus perkara (al-tahkim),
pinjaman yang sekali pakai (al-qard), kesepakatan dalam penghapusan akad
(al-iqalah). Subyek hokum baik individu manusia maupun subyek hokum yang
berupa badan hokum.
Satu hal baru lagi di bidang
fiqh muamalah adalah munculnya lembaga-lembaga ekonomi baru di dunia islam,
diantaranya yang paling penting, karena perannya di bidang keuangan adalah
Perbankan Syari’ah. Di Indonesia baru tahun 1992 didirikan Bank Muamalah
Indonesia, dan kemudian bermunculan Bank Syari’ah lain di Indonesia seperti
Bank Syari’ah Mandiri, BNI Syari’ah, BRI Syari’ah, Bank Danamon Syari’ah, Bank
JFJ Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah.
Dalam islam landasan
filosofinya : keseimbangan kehidupan antara materi dan spiritual antara dunia
dan akhirat dengan landasan akidah. Dan bertujuan untuk kesejahteraan baik
individu maupun masyarakat yang ddiiwai dengan nilai-nilai keadilan,
kerahmatandan kemaslahatan, diniati dengan ibadah menuju keridloan Allah SWT.
Di dlam Maqasid al-Syari’ah hal ini terkait dengan hifdh al-mal dan hifdh
al-ummah, dalam artinya yang paling luas.
Kemudian Perbankan Syari’ah
dipertegas lagi dalam Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas
Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Di dalam undang-undang No. 10
tahun 1998 ini dalam pasal 6 (m) disebutkan: “Menyediakan pembiayaan sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”.
Di dalam pasal 1 ayat 33
disebut pula tentang mudharabah, musyarakah, murabahah, ijariah, wa iqtina. Pada
pasal 1 (1) dan passal 1 (m) disebutkan tentang Dewan Syari’ah Nasional dan
Dewan Pengawas Syari’ah yang ditempatkan pada Bank yang melakukan kegiatan
usaha Syari’ah.
Setelah keluar Undang-undang
No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan ternyata perkembangan cukup pesat, baik
dalam jaringan perbankan syariah maupun dalam jumlah aset danpembiayaan. Dari
tahun 1992 dengan jumlah kantor bank baru ada 1, sampai tahun 2003 dengan
jumlah kantor bank menjadi 255. Dan jumlah asset pada tahun 200 sekitar 2
Triliun, sedang pada tahun 2003 menjadi 5 Triliun.[10]
3.
Pentaqnian di Bidang Siyasah
Di sini akan diperkenalkan pen-taqnin-an
di Bidang Siyasah Dusturiyah, yaitu yang berhubungan dengan
Undang-undang Dasar suatu negara.
Memnag Al-Qur’an sudah tertulis, kitab-kitab
hadits tertulis, hasil ijtihad sudah tertulis pula di dalam ribuan kitab fiqh,
akan tetapi untuk membuat konstitusi yang tertulis (written constitution) tidak
mudah, ada beberapa kesulitan yang harus dihadapi, kesulitan-kesulitan tersebut
antara lain:
1.
Aspek peristilahan: sesungguhnya banyak
istilah-istilah yang erat kaitannya dengan Undang-undang Dasar (konstitusi),
akan tetapi istilah-istilah tersebut asing di kalangan kaum muslimin umumnya,
seperti istilah Malik, Sulthon, Hukum (pemerintah), Amir,Wilayah, meskipun
istilah itu sudah jadi bahasa Indonesia, akan tetapi sering memiliki pengertian
yang berbeda.
2.
Di dalam kitab-kitab fiqh yang lama
jarang ditemukanbahasan khusus dalam satu bab atau pasal tertentu tentang
konstitusi. Dengan pengecualian beberapa ulama dahulu membagi bab-bab kitab fiqh
kepada: ibadah munahakat, muamalat,dan jinayah, bidang dusturiyah
hanya disinggung sedikit-sedikit di dalam kitab: al-qadla, siyar,hudud, selain
itu istilah-istilah yang mereka gunakan juga tidak seragam, sering berbeda
antara seorang ulama’ dengan ulama’ lainnya. Baru dikalangan ulama-ulama
sekarang menggunakan istilah dustur untuk Undang-Undang Dasar, tidak
mustahil kata Undang-Undang Dasar (bahasa Indonesia) berasal dari kata dustur
itu.
3.
Aspek pendidikan: banyak para ahli di Bidang
Al-Qur’an, Hadits, fiqh tapi kurang memahami kenyataanperkembangan ilmu
di dunia luar. Untuk hal ini, maka disamping perbandingan madzhab maka penting
pula perbandingan hokum untuk dipelajari.
Di Indonesia sendiri tidak menjadikan Islam
sebagai sebagai agama resmi negara atau agama kepala negara, tapi di dalam
Pancasila, sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti diketahui
dalam sejarah pembentukan UUD 1945, Ketuhanan Yang Maha Esa asalnya, di dalam
Piagam Jakarta 22 Juni 1945 berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tujuh kata terakhir dianggap
diskriminatif oleh wakil-wakil Protestan dan Katolik, akhirnya diganti dengan:
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selain itu di dalam bab XI pasal 29
Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa:
1.
Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha
Esa.
2.
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaan itu.[11]
4.
Pentaqninan di Bidang Qadla
Pada masa sekarang negara di
Dunia Islam telah memiliki lembaga-lembaga peradilannya masing-masing, meskipun
di dalam proses pembentukan lembaga peradilan, khususnya pembentukan peradilan
agama, masing-masing negara memiliki pengalamannya sendiri-sendiri yang
seringkali tidah mudah. Hal ini sangat tergantung pada kondisi sosial politik
di negara masing-masing.
Sebagai contoh kasus di
Indonesia, meskipun telah keluar Undang-Undang No.14 Tahun kekuasaan kehakiman
yang di dalam Pasal 10 ayat 1 dinyatakan: “bahwa kekuasaan kehakiman
dilaksanakan oleh peradilan umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan
Tata Usaha Negara”. Setelah 18 tahun lebih, baru keluar Undang-Undang Republik
Indonesia No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Di Indonesia MUI telah
menandatangani pendirian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (sebagai Yayasan)
pada tanggal 21 Oktober 1993, kemudian dengan SK No.09/MUI/XII/2003 tanggal 30
Syawal 1424 H/24 Desember 2003 M. telah menetapkan:
1.
Mengubah nama Badan Arbitrase Muamalah
Indonesia (BAMUI) menjadi Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS)
2.
Mengubah bentuk badan hokum BAMUI dari Yayasan
manjadi badan yang berada di bawah MUI dan merupakan perangkat organisasi MUI
3.
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai
lembaga hokum Badan Arbitrase Syariah Nasional bersifat otonom dan independen.
Kedudukan arbitrase sebagai
cara penyelesaian sengketa perdata Indonesia, diperjelas dan dipertegas dengan
keluarnya Undang-Undang No. 30 Tahun1999 tentang arbitrase dan alternative
penyelesaian sengketa, tanggal 12 Agustus 1999. Di dalam pasal 5 aat 1
disebutkan: “sengketa yang dapat diselesaikan di bidang perdagangan dan
mengenai hak yang menurut hokum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Di dalam penjelasan atas Undang-undang
No. 30 tahun 1999 ini, disebutkan bahwa pada umumnya lembaga arbitrase
mempunyai kelebihan disbanding dengan lembaga peradilan [12]
5.
Pentaqninan di Bidang Jinayah
Hukum pidana Islam, hanya
bisa diterapkan untuk: Pertama: kaidah-kaidah dan asas-asasnya yang
memiliki sifat universal, Kedua: kejahatan-kejahatan ta’zir (selain
hudud dan diyat). Karena sanksi ta’zir diserahkan berat ringannya kepada ulil
amri, dalam hal ini lembaga legislative asal memiliki daya preventif dan daya
represif (istilah para uulama al-ra’ddlu wa al jazru). Kejahatan ta’zir ini
paling banyak jumlahnya disbanding hudud dan qisas diyat, sanksi di dalam
ta’zir terbentang antara sanksi percobaan sampai hokum mati.
Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana berasal dari Wedboek Van Strafrecht Voor Indonesia (Staatsblad 1915:732)
yang berlaku pada zaman penjajahan Belanda. Ada keinginan untuk menyusun kitab
Undang-undang Hukum Pidana Nasional untuk menggantikan Kitab undang-undang
Hukum Pidana Peninggalan colonial Belanda dalam rangka Pembangunan hukum
nasional
Di dalam fiqh jinayah (Hukum
Pidana Islam), Menanggulangi kejahatan dilakukan secara lebih komperehensif,
dari mulai memperkokoh keimanan, memperbaiki akhlak masyarakat, sampai
menghilangkan sebab timbulnya kejahatan seperti kemiskinan, dan keterbelakangan
dan memberikan sanksi yang memiliki daya preventif dan represif (al-raddu wa
al-jazru).
Pemerintah Indonesia sekitar tahun 2001 telah membuat rancangan
Undang-Undang tentang kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini terdiri dari 647
pasal, dan telah didiskusikan di berbagai lembaga perguruan tinggi,
lembaga-lembaga keutamaan dan MUI, termasuk di MUI Jawa Barat pada tanggal 27 Juni
2002 yang merekomendasikan antara lain:
1.
Diterapkan lagi hokum pidana mati sebagai
hukuman pokok dalam pembunuhan dan kejahatan-kejahatan yang berbahaya bagi
masyarakat.
2.
Penindakan yang sama terhadap seluruh warga
negara tanpa memandang jabatan/posisi sosial, politik, ekonomi (catatan untuk
pembunuhan dengan motif politik diatur sendiri.)
3.
Diakui sanksi kompensasi jika pihak korban
member pemaafan.
4.
Di dalam tindak pidana susila, sifat sanksi
tidak alternative tapi harus komulatif
5.
Sanksi dikenakan terhadap semua pihak yang
terkait dalam kejahatan susila.
Seperti kita ketahui,
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini sampai sekarang masih tetap
merupakan rancangan, artinya Kitab Undang-Undang hokum pidana yang berlaku di
Indonesia sampai sekarang masih tetap warisan pemerintah colonial
Belanda, meskipun ada beberapa pasal yang dihapus dan diubah.[13]
Revisi:
1. Ini
makalah terakhir, tetapi tidak ternyata masih tidak mengacu pada format makalah
yang telah ditentukan. Apa yang diupload ini sudah agak saya perbaiki.
2. Tidak
ada pendahuluan dan kesimpulan.
3. Dalam
tulisan ilmiah, penulisan gelar (Prof. Dr. Ustadz, dll) ditiadakan.
4. Daftar
pustaka tidak ada.
5. Ini “Ibrahin Anis, Al-Mu’jam al-Wasith, Juz 2, hal 763” mengacu ke
mana??? Apakah benar Anda merujuk ke buku itu?
6. Penulisan footnote masih salah, tolong diperbaiki lagi.
Meskipun makalahnya “berisi”
tetapi apabila dibungkus dengan format yang tidak sesuai, maka hasilnya pun
tidak akan bagus. Tolong apa yang saya sampaikan dipahami dengan baik, agar
makalah yang Anda buat bisa bagus dan berkualitas.
[1] Prof.
H. Mohammad Daud Ali, S.H, Hukum Islam: Penagntar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Isam di Indonesia, (Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO, 2012 ) hal 53
[2]
Ibid., hal 266-267
[3]
Ibrahin Anis, Al-Mu’jam al-Wasith, Juz 2, hal 763
[4]
Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H, Hukum Islam: Penagntar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Isam di Indonesia, (Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO, 2012 ) hal 228
[5]
Prof. H.A. Djazuli, ILMU FIQIH: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan
Hukum Islam, (Jakarta: KENCANA, 2005), hal 163-166
[6]
Ibid., hal 169
[7]
Ibid., hal 169-171
[8]
Dr. Abdul Gani Abdullah, SH, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata
Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hal 61-62
[9]
Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H, Hukum Islam: Penagntar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Isam di Indonesia, (Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO, 2012 ) hal 297
[10] [10]
Prof. H.A. Djazuli, ILMU FIQIH: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan
Hukum Islam, (Jakarta: KENCANA, 2005), hal 177 - 182
[11]
Ibid., hal 182-186
[12]
Ibid., hal 187-192
[13]
Ibid., hal 192- 195
Tidak ada komentar:
Posting Komentar