1.
LAILA
IZZA N. (15110136)
2.
WIDAD
AFIFAH A. (15110168)
3.
NOVITA
ASRIYAH (15110171)
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENDIDIKAN
ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN
KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM
TAHUN AJARAN(2015/2016)
EMAIL : widadzahra95@gmail.com
ABSTRACT : This working paper entitled sources and argumentation of
fiqih is mukhtalaf. Because source of fiqih not spring from one suorce, but
rather be found different source and be needed discussed, which sourcher the
most powerful and accetable all parties therefore these sources can be the
midpoint. Sources and arguments which exist is the result of every age, because
every age sources can change and evolve. The place where the aplication source,
deending on where the source of the change and evolve. The sourches and
arguments can change and evolve with presence source is keptwell evolve with
supporting evidence and source most powerful. That sources and arguments came
from the opinions and thoughts 4 madzhab. Thats why it needs to be discussed to
find the midpoint of the 4 madzhab which will be acceptable to all parties.
Keywords : Maslahah
mursalah,’ Urf, Istihsan,Isthishab, Qoul Shohabi, Syar’un man Qoblana
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam setiap permasalahan
selalu terdapat jalan keluar untuk memecahkannya, dalam memecahkan masalah
haruslah menggunakan solusi dari sumber-sumber yang meyakinkan dan akurat,
dengan begitu tidak akan ada keraguan dalam memecahkan maslah tersebut.
Terutama dalam masalah agama dan peribadatannya, tidaklah boleh sembarangan
dalam mengambil keputusan, karean akan berakibat fatal selain didunia tapi juga
akan dipertatanggung jawabkan diakhirat nanti.
Karena dalam memutuskan
segala hal tidak hanya bersumber dari pendapat dan pandangan satu orang saja.
Dari berbagai pendapat para orang terpercaya disatukan, dimusyawarakan dan
dicari titik tengahnya. Haruslah mengetahui benar dasar-dasar berupan dalil dan
sumber-sumber yang digunakan. Pendapat dari pihak terbanyaklah yang digunakan,
yang dipilih tidak semata-mata hanya karena pendapat terbanyk tapi juga
mempunyai sumber dan dasar yang kuat. Maka hal tersebutlah yang melatarbelakangi
pembuatan makalah ini
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian Maslahah mursalah,’ Urf, Istihsan,Isthishab, Qoul Shohabi, Syar’un
man Qoblana?
2.
Apa
saja contoh dari Maslahah mursalah,’ Urf, Istihsan,Isthishab, Qoul Shohabi,
Syar’un man Qoblana?
3.
Apa
saja pembagian dari Maslahah mursalah,’ Urf, Istihsan,Isthishab, Qoul Shohabi,
Syar’un man Qoblana?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui arti dari Maslahah mursalah,’ Urf, Istihsan,Isthishab, Qoul Shohabi,
Syar’un man Qoblana.
2.
Untuk
mengetahui contoh-contoh dari Maslahah mursalah,’ Urf, Istihsan,Isthishab, Qoul
Shohabi, Syar’un man Qoblana.
3.
Untuk
berapa banyak pembagian dari Maslahah mursalah,’ Urf, Istihsan,Isthishab, Qoul
Shohabi, Syar’un man Qoblana.
D.
Manfaat
·
Manfaat
umum
Makalah
ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca agar dapat mengetahui pengertian
dan perbedaan antara Maslahah mursalah,’ Urf, Istihsan,Isthishab, Qoul Shohabi,
Syar’un man Qoblana.
·
Manfaat
khusus
Makalah
ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kami anggota kelompok dua yang ingin
memahami tentang Maslahah mursalah,’ Urf, Istihsan,Isthishab, Qoul Shohabi,
Syar’un man Qoblana.
PEMBAHASAN
A.
Al-Maslahah
al-Mursalah
1.
Pengertian
al-mashlahah al-mursalah
Para
ahli Ushul memberikan takrif al- mashlahah al-mursalah dengan : “Memberikan
hukum syara` kepada sesuatu kasus yang tidak terdapat dalam nash atau ijtima`
atas dasar memlihara kemaslahat-an”.
Berbicara tentang
kemaslahatan ada tiga macam kemaslahatan :
1.
Kemaslahatan
yang ditegaskan oleh Al-Qur`an atau Al-Sunnah.kemaslahatan semacam ini diakui
oleh para ulama Contohnya seperti hifdzu nafsi, hifdzu mal, dan lain
sebagainya.
2.
Kemaslahatan
yang bertentangan dengan nash syara` yang qoth`i. Jumhur ulama` menolak
kemaslahatan semcam ini kecuali najmuddin athufi dari Madzhab Maliki.
3.
Kemaslahatan
yang tidak dinyatakan oleh syara`, tapi juga tidak ada dalil yang menolaknya.
Bentuk
ketiga inipun tidak disepakati oleh para ulama. Para ulama yang menolak penggunaan istihsan juga menolak penggunaan
mashlahah mursalah ini.[1]
2.
Persyaratan-persyaratan
Al-Mashlahah Al-Mursalah
Persyaratan
Al-mursahalah yang digunakan oleh para ulama menurut `Abd al-Wahab Khallaf dan
Abu Zahrah. Yang disimpulkan sebagai berikut :
a.
Al-Mashlahah
Al-Mursalah tidak boleh bertentangan dengan Maqashid al-Syari`ah, dalil-dalil
kulli, semangat ajaran islam dan dalil-dalil juz`i yang qath`i wurudl dan
dalalahnya.
b.
Kemaslahatan
tersebut harus meyakinkan dalam arti harus ada pembahasan dan penelitian yang
rasional serta mendalam sehingga kita yakin bahwa hal tersebut memberikan
manfaat atau menolak kemadaratan.
c.
Kemaslahatan
tersebut bersifat umum
d.
Pelaksanaannya
tidak menimbulkan kesulitan yang tidak wajar.
Banyak
sekali contoh-contoh penggunaan al-mashlahah al- mursalah terutama dalam
melayani dan mengurus masyarakat, seperti peraturan lalu lintas, adanya
lembaga-lembaga peradilan, adanya surat nikah, dan lain sebagainya
Apabila
kita bandingkan qiyas, istihsan dan mashlahah mursalah sebagai cara berijtihad
maka tampak bahwa: dalam qiyas dan istihsan ada hal lain sebagai bandingannnya.
Misalnya dalam istihsan ada perbandingan antara satu dalil dengan dalil lain
yang dianggap lebih kuat. Sedangkan dalam al-mashlahah al-mursalah perbandingan
itu tidak ada, akan tetapi semata-mata melihat kepada kemaslahatan umat.
B.
Al-‘Urf
(al-‘adah)
1.
Pengertian
Pengertian
Urf adalah sikap, perbuatan, dan perkataan yang “biasa” dilakukan oleh
kebanyakan manusia atau oleh seluruh manusia seluruhnya.
Dari
Takrif Tersebut maka jelas ada perbedaan anatara `Urf dan Ijma` yaitu :
a.
`Urf
terjadi karena ada persesuaian dalam perbuatan ataupun perkataan diantara
umumnya manusia baik pada orang biasa, orang cerdik cendikiawan atau para
mujtahid. Sedangkan didalam Ijma` kesepakatan terjadi dikalangan Mujtahid saja.
b.
Apabila
`Urf ditentang oleh sebagian kecil manusia tidaklah membatalkan kedudukannya
sebagai `Urf. Adapun dalam Ijma, apabila tidak disetujui oleh seorang mujtahid
saja sudah tidak bisa dianggap sebagai Ijma` lagi.
c.
Hukum
yang dihasilkan berdasarkan Ijma` menjadi hukum yang pasti dalam arti tidak
bisa dijadikan objek Ijtihad. Adapun hukum yang dihasilkan berdasarkan `Urf
bisa berubah dengan perubahan `Urf itu sendiri.[2]
2.
Syarat-Syarat `urf yang bisa diterima oleh hukum Islam
a. Tidak ada dalil yang khusus untuk kasus
tersebut baik dalam Al-Qur`an atau Sunnah
b. Pemakaiannya tidak mengakibatkan
dikesampingkannya nash syari`ah termasuk juga tidak mengakibatkan kemafsadatan,
kesempitan dan kesulitan.
c.
Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya yang biasa dilakukan oleh
beberapa orang saja.
3.
Pembagian
`Urf
`Urf
ditinjau dari sisi kualitasnya (bis diterima dan ditolaknya oleh syariah) ada
dua macam `Urf yaitu :
a.
`Urf
yang Fasid atau `Urf yang batal, yaitu `Urf yang bertentangan dengan Syari`ah.
Seperti ada kebiasaan menghalalkan minum-minuman yang memabukkan, menghalalkan
makan riba, adat kebiasaan memboroskan harta, dsb
b.
`Urf
yang Shohih atau Al-`Adah As-shohiha yaitu `Urf yang tidak bertentangn dengan
Syari`ah Seperti memesan dibuatkan pakaian kepada penjahit bahkan cara pemesanan
itu pada masa sekarang sudah berlaku untuk barang-barang yang lebuh besar lagi,
seperti memesan mobil, bangunan bangunan dan lain sebagainya.
Ditinjau dari ruang lingkup
berlakunya adat kebiasaan bisa kita bagi menjadi :
a.
Adat
atau `Urfyang bersifat umum, yaitu adat kebiasaan yang berlaku untuk semua
orang disemua negara. Misalnya memebayar bis kota dengan tidak mengadakan Ijab
qobul atau juga contoh pesanan diatas.
b.
Adat
atau `Urf yang khusus, yaitu yang hanya berlaku disuatu tempattertentu atau
negeri tertentu saja. Misalnya adat gono-gini.
Disamping itu adat juga
bisa berupa :
a.
Perkataan,
Seperti di Arab menyebut walad hanya untuk anak laki-laki saja. Atau di
Indonesia bapak kepada orang yang lebih tinggi, baik umurnya jabatannya, atau
ilmunya
b.
Perbuatan,
seperti cara berpakaian yang sopan dalam menghadiri pengajian-pengajian.
العادة
محاكمة
C.
Al-Istihsan
1.
Pengertian
Istihsan yaitu : “Perpindahan dari satu
hukum yang telah ditetapkan oleh dalil syara kepada hukum lain karena ada dalil
syara yang mengharusakan perpindahan ini sesuai dengan jiwa Syari`ah Islam
Apabila dalam pengertian istihsan itu
ada perpindahan dari satu hukum kepada hukum yang lain, maka yang dimaksud
dengan perpindahan itu adakalanya perpindahan dari dalil yang kulli kepada
adakalanya dari qiyas dhahir kepada qiyas khafi. Para ulama yang menerima
istihsan sebagai dalil, mengembalikan dasar istihsan kepada Al-Qur`an dan
As-Sunnah. Dalil Al-Qur`an antara lain:
فبشر
عباد. الذين يستمعون القول فيتبعون احسنه
“Maka gembirakanlah hamba-hamb-Ku yang mendengar perkataan, lalu
mengikutinya yang lebih baik.”
ما
راءه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
“Apa yang dianggap baik
oleh kaum muslimin, maka baik disisi Allah.”
2.
Sanad
Istihsan ata Sandaran Istihsan
Tidak ada kesepakatan diantara para
ulama tentang sanad isihsan ini. Ulama-ulama Hanafiyah menyebutkan 4 macam
sandarann Istihsan yaitu:
a.
Istihsan
yang sandarannya Qiyas khafi
b.
Istihsan
yang sandarannya `Urf yang shahih
c.
Istihsan
yang sandarannya nash
d.
Istihsan
yang sandarannya darurat
Ulama-ulama malikiyah hanya
menyebutkan 3 macam sandaran istihsan yaitu :
1.
Istihsan
yang sandarannya `Urf shahih
2.
Istihsan
yang sandarannya mashlahat
D.
Al-Istishhab
1.
Pengertian
Istishab dalam ta’rifan Asyaukani
adalah :”tetapnya sesuatu hukum selama tidak ada yang mengubahnya”.
Jadi hukum yang telah ditetapkan pada
masa yang lalu terus berlaku sampaiada dalil lain yang merubah hukum tersebut.
Atau sebaliknya apa yang tidak ditetapkan pada masa lalu, terus demikian
keadaannya sampai ada dalil yang menetapkan hukumnya.
Contoh
tentang istishab adalah sebagai berikut:
a.
Apabila telah jelas adanya pemilikan terhadap
sesuatu harta karena adanya bukti terjadinya pemilikan seperti karena
membeli,warisan,hibbah atau wasiat,maka pemilikan tadi terus berlangsung
sehingga ada bukti-bukti lain yang menunjukkan perpindahan pemilikan pada orang
lain.
b.
Orang yang hilang tetap dianggap hidup
sehingga adabukti atau tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa dia meninggal
dunia.
c.
Seorang yang telah menikah terus
dianggap ada dalam hubungan suami-istri sampai ada bukti lain bahwa mereka
telah bercerai,misalnya dengan talak.
2.
Pembagian istishab
Istishab
al-Bar’at al-Ashliyya (الابرءة
الاصلية)
Menurut al-Qayyim disebut Bar’at
al-Adam al-Ashliyah (الاصليةبراءةالعدم) Seperti
terlepasnya tanggung jawab dari segala taklif sampai ada bukti yang menetapkan
takliefnya. Seperti anak kecil sampai dengan datangnya baliq. Tidak ada
kewajiban dan hak antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bersifat
pernikahan sampai adanya akad nikah.
Istishab yang ditunjukkan oleh syara
atau akal, seperti seorang harus tetap bertanggung jawab terhadap utang sampai
ada bukti bahwa dia telah melunasinya.
Istishab hukum seperti sesuatu telah
ditetapkan dengan hukum mubah atau haram, maka hukum ini terus berlangsung
sampai ada dalil yang mengharamkan yang asalnya mubah atau membolehkan yang
adalnya haram. Dan yang asal dalam sesuatu (muamalah) adalah kebolehan (الاصل في الاشياءالاباحة)
Kebolehan
ini didasarkan kepada firman Allah:
جميعاالارضمافيلكمخلقهوالذي
“Dan
Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”.(al-Baqarah ayat 29)
وسخرلكم في السموات ومافي الارض جميعا
“Dialah Allah yang
menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”.(al-Baqarah ayat 29)lah mudahkan
bagimu apa-apa yang di langit dan apa-apa yang di bumi semua”. (al-Jatsiyah:13)
Istishab Washaf Seperti keadaan hidupnya seseorang
dinisbatkan kepada orang yang hilang Prof.Muhammad Abu Zahrah mengatakan: bahwa
setiap fuqaha menggunakan Istishab dari macam a sampai c, sedang mereka berbeda
pendapat, ulama-ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menggunakan Istishab washaf
secara mutlak dalam arti bisa menetapkan hak-hak yang telah ada pada waktu
tertentu dan seterusnya serta bisa pula menetapkan hak-hak yang baru, sedangkan
ulama Malikiyah hanya menggunakan Istishab washaf ini untuk hak-hak dan
kewajiban yang telah ada,sedangkan untuk hak-hak yang baru mereka tidak mau
memakainya. Contohnya:apabila seseorang dalam keadaan hidup meninggalkan
kampung halamannya, maka orang ini oleh semua mazhab dianggap tetap hidup
sampai ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa dia telah meninggal dunia, oleh
karena itu, tetap isterinya ada dalam tanggung jawabnya dan pemilikannya terhadap
sesuatu tidak berubah. Apabila kemudian orang tua dari orang yang hilang ini
meninggal dunia, maka menurut Malikiyah dan Hanafiyah: qoyim yaitu orang yang
mengurus harta si mafkud tidak bisa meminta bagian warisan si mufkud atas dasar
istishab, tetapi bagiannya dipelihara sebagai amanat sehingga jelas ia telah
meninggal; sebaliknya yaitu apabila ahli waris si mafkud minta dibagi harta si
mafkud, maka hal ini ditolk berdasarkan istishab. Istishab yang digunakan oleh
ulama-ulama Hanafiyah adalah Li daf’ l li itsbt () yaitu untuk menolak bukan
untuk menetapkan.
Para ulama yang menyedikitkan turuqul
istinbat meluaskan penggunaan istisshab, misalnya golongan Dhahiri, karena
mereka menolak penggunaan qiyas. Demikian pula mazhab Syafi’i menggunakan
Istishab karena tidak menggunakan istishab. Oleh karena itu, yang sedikit
menggunakan Istishab adalah Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki karena mereka
meluaskan thurkq al-istinbat dengan penggunaan istihsan,mashlahah mursalah dan
‘urf sehingga ruangan untuk beristinbat dengan al-Istishab tinggal sedikit.
E.
Syari’at
Ummat Sebelum Kita (Syar’un man Qoblana)
Sesungguhnya
syari’at samawi pada asalnya adalah satu, sesuatu dengan firman Allah:
اقيمواانوعيسيوموسيابراهيموماوصينابهاليكاوحيناوالذينوحابهماوصيالدينمنلكمشرع
ولاتتفرقوافيهالدين
“Dia
telah mensyaratkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami
wasiatkan kepada Ibrahim,Musa, dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan jangan kamu
berpecah belah tentangnya”.(asy-syura:13)
Oleh karena yang menurunkan syari’at
samawi itu satu yaitu Allah SWT. Maka syari’at tersebut pada dasarnya/intinya
adalah satu,meskipun kemudian Allah SWT telah mengharamkan beberapa hal kepada
beberapa kaum seperti kepada Yahudi diharamkan binatang-binatang yang
berkuku,gajih sapi, dan kambing:
همارظهوشحومهماالاماحملتحرمناعليهمالبقروالغنمظفرومنذيحرمناكلهادواالذينوعلي
بعظماوالحوايااومااختلط
“Dan kepada orang-orang yahudi, kami
haramkan segala binatang yang berkuku; dan dari sapi dan domba; kami haramkan
atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di
punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan
tulang”.(al-An’am ayat 146)[5]
Juga ditetapkan bahwa dosa tidak bisa dimaafkan
kecuali dengan: membunuh diri dan pakaian yang kena najis tidak bisa jadi suci
dengan dicuci kecuali dengan dipotong kainnya. Selain itu juga bahwa bentuk dan
cara-cara ibadah (hubungan manusia dengan Allah) berbeda dalam perinciannya
meskipun intinya sama yaitu menyembah Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu, terdapat penghapusan
terhadap sebagaian hukum umat-umat yang sebelum kita( umat Islam) dengan
datangnya syari’at Islamiyah dan sebagian lagi hukum-hukum umat yang terdahulu
tetap berlaku, seperti qishash.
Secara ringkas tentang Syari’ah umat
sebelum kita ini, maka gambaran Syari’unman Qablana ada dua macam yaitu:
1.
Tidak Ada yang telah dihapuskan oleh
Syari’ah Islam
2.
Yang tidak dihapuskan oleh Syari’ah
Islam. Yang tidak dihapuskan ini bisa dibagi dua yaitu:
a.
Yang diceritakan kepada kita baik
melalui Al-Qur’an atau Hadits.
b.
Yang tidak disebut-sebut sama sekali di
dalam Al-Qur’an atau Hadits.
F.
Mazhab
Shahabi/Qoul Shahabi (Pendapat Sahabat)
Ada
beberapa dalil yang tidak disepakati oleh ulama tentang nilainya sebagai hujah,
diantaranya pendapat sahabat. Dalam hal ini Jumhur Ulama berpendapat bahwa
pendapat sahabat tidak menjadi hujah, karena Allah tidak mengharuskan kita
untuk mengikutinya. Kita hanya diperintahkan mngikuti Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah dan para sahabat bukanlah orang-orangyang ma’shum. Yang dimaksud
pendapat sahabat adalah sahabat dalam masalah Ijtihad iyah.
Pendapat
yang kedua menetapkan bahwa pendapat sahabat menjadi hujah dan didahulukan dari
pada qiyas dan pendapat yang ketiga menyatakan bahwa pendapat sahabat menjadi
hujah apabila dikuatkan dengan qiyas atau tidak berlawanan dengan qiyas.
Abd
al-Wahab Khallaf12 menyimpulkan bahwa:
Pertama,tidak
ada perbedaan pendapat bahwa pendapat sahabat adalah hujah dalam hal yang
bersifat sam’i dan bukan ‘aqli, karena para sahabat mendasarkan pendapatnya
kepada apa yang didengar dari Rasulullah. Kedua tidak ada perbedaan pendapat
bahwa segala yang disepakati para sahabat adalah hujah karena kesepakatan
mereka atas sesuatu kasus sebagai bukti bahwa mereka menyandarkan pendapatnya
kepada dalil yang tegas/pasti,seperti memberi hak 1/6 bagian kepada
nenek/jadat.
Imam
Ibnu Qayyim dalam kitabnya ‘Ilmu Muwaqqin (Juz 4 Halaman 148) menyatakan 43
alasan yang mewajibkan mengikuti pendapat sahabat, akhirnya beliau berkata:
bahwa fatwa sahabat tidak keluar dari 6 bentuk:
1.
Fatwa yang didengar sahabat dari Nabi.
2.
Fatwa yang didengar dari orang yang
mendengar dari Nabi.
3.
Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya
terdapat Al-Qur’an yang agak kabur dari ayat tersebut pemahamannya bagi kita.
4.
Fatwa yang disepakati oleh tokoh-tokoh
sahabat yang sampai kepada kita melalui salah seorang sahabat.
5.
Fatwa yang didasarka kepada
kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya
tentang keadaan Nabi dan maksud-maksudnya. Kelima ini adalah hujah yang wajib
diikuti.
6.
Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang
tidak datang dari Nabi dan salah pemahamannya, maka hal ini tidak jadi hujah.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Maslahah
mursalah adalah suatu kmaslahatan yang tidak dijumpai nash yang membenarkan
atau mengingkarinya.
2.
‘Urf
adalah kebiasaan, adat istiadat, norma yang diakui oleh suatu masyarakat.
3.
Istihsan
adalah tidak memberi hukum terhadap suatu masalah sebagaimana hukum
masalah-masalah lain yang serupa karena adanya alasan yanglebih kuat yang
mengharuskan seorang mujtahid meninggalkan hukum yang pertama.ini adalah
definisi Abdul Hasan al-karkhi dang dianggap paling komprehensif karena mencakup segala bentuk istihsan.
Definisi ini mengisyaratkan suatu pemikiran yang menjadikan “keluar” dari
kaidah umum lebih utama dan mendekati kepada tujuan-tujuan syarat daripada
berpegang teguh kepadanya. Karena sifatnya yang menyimpanhg dari kaidah qiyas,
maka banyak fuqoha’ menamakannya dengan qiyas kafi (atau menganalogikan pada
hal-hal tersembunyi.)
4.
Istishab
adalah menetapkan suatu hukum berdasarkan hukum masa lampau sepanjang tidak ada
dalil yang merubahnya.
5.
Qoul
shahabi adalah pernyataan atau pendapat para sahabat.
6.
Syar'u
Man Qoblana adalah hukum-hukum yang telah ada sebelumnya, dan masih tetap ada
dan berlaku karena berdasarkan adanya nash Al-qur’an.
B.
Saran
Dari makalah ini kita semua
dapat mengetahui bahwa terdapat banyak sumber-sumber hukum fiqih, dari setiap
hukum tersebut hendaklah kita mengetahui perbedaan, kelemahan dan kelebihan
dari setiap sumber. Haruslah dipilih sumber yang paling kuat untuk dipergunakan
nantinya.
Daftar Pustaka
Djazuli.2005.Ilmu
Fiqh Penggalian,perkembangan,dan penerapan Hukum Islam.Jakarta:Prenadamedia
Grup
Syaltout,
Mahmoud,As-Sayis Ali.1973.Perbandingan Mazhab.Jakarta:PT Bulan Bintang
Sirry,
Mun’im A.1995.Sejarah Fiqih Islam.Surabaya:Risalah Gusti
Mun’im
Saleh, Abdul.2001.Madhhab Syafi’i.Yogyakarta:Bigraf
Daud
Ali, Mohammad.2005.Hukum Islam.Jakarta:PT Rajagrafindo Persada
Revisi:
1.
Tidak
ada indikasi copy-paste.
2.
Makalah
ini kurang rigit dalam menjelaskan.
3.
Makalah
ini sama sekali tidak sesuai dengan arahan saya di awal perkuliahan. Tolong
dirombak secara total.
4.
Makalah
ini tidak referensial. Penulisan footnote hanya sesekali saja; di footnote
hanya ada satu referensi tapi di daftar pustaka ada lima. Tolong jangan memaksa
penulisan referensi apabila itu memang tidak ada.
5.
Gelar
(Prof., Dr. Ustadz, dll) dalam karya ilmiah ditiadakan.
6.
Makalah
ini kurang rencah untuk dibaca, logika penulisannya masih terasa kurang.
Tolong diperbaiki secara total makalah
Anda!!!!! Semangat!!!!!!
[1]Prof. H.A. Djazuli: Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan
Hukum Islam. 2005. Hal 86
[2] Prof. H.A. Djazuli: Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan
Hukum Islam. 2005. Hal 88
[3] Prof. H.A. Djazuli: Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan
Hukum Islam. 2005. Hal 90-91
[4] Prof. H.A. Djazuli: Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan
Hukum Islam. 2005. Hal 91-93
[5] Prof. H.A. Djazuli: Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan
Hukum Islam. 2005. Hal 94-96
Tidak ada komentar:
Posting Komentar