Kamis, 13 Oktober 2016

Sumber-Sumber dan Dalil Fiqih yang Mukhtalaf (PAI E Semseter III)





1.     LAILA IZZA N. (15110136)
2.     WIDAD AFIFAH A. (15110168)
3.     NOVITA ASRIYAH (15110171)

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM
TAHUN AJARAN(2015/2016)
EMAIL : widadzahra95@gmail.com

ABSTRACT     : This working paper entitled sources and argumentation of fiqih is mukhtalaf. Because source of fiqih not spring from one suorce, but rather be found different source and be needed discussed, which sourcher the most powerful and accetable all parties therefore these sources can be the midpoint. Sources and arguments which exist is the result of every age, because every age sources can change and evolve. The place where the aplication source, deending on where the source of the change and evolve. The sourches and arguments can change and evolve with presence source is keptwell evolve with supporting evidence and source most powerful. That sources and arguments came from the opinions and thoughts 4 madzhab. Thats why it needs to be discussed to find the midpoint of the 4 madzhab which will be acceptable to all parties.


Keywords : Maslahah mursalah,’ Urf, Istihsan,Isthishab, Qoul Shohabi, Syar’un man Qoblana



PENDAHULUAN

A.               Latar Belakang
Dalam setiap permasalahan selalu terdapat jalan keluar untuk memecahkannya, dalam memecahkan masalah haruslah menggunakan solusi dari sumber-sumber yang meyakinkan dan akurat, dengan begitu tidak akan ada keraguan dalam memecahkan maslah tersebut. Terutama dalam masalah agama dan peribadatannya, tidaklah boleh sembarangan dalam mengambil keputusan, karean akan berakibat fatal selain didunia tapi juga akan dipertatanggung jawabkan diakhirat nanti.
Karena dalam memutuskan segala hal tidak hanya bersumber dari pendapat dan pandangan satu orang saja. Dari berbagai pendapat para orang terpercaya disatukan, dimusyawarakan dan dicari titik tengahnya. Haruslah mengetahui benar dasar-dasar berupan dalil dan sumber-sumber yang digunakan. Pendapat dari pihak terbanyaklah yang digunakan, yang dipilih tidak semata-mata hanya karena pendapat terbanyk tapi juga mempunyai sumber dan dasar yang kuat. Maka hal tersebutlah yang melatarbelakangi pembuatan makalah ini
B.     Rumusan Masalah
1.             Apa pengertian Maslahah mursalah,’ Urf, Istihsan,Isthishab, Qoul Shohabi, Syar’un man Qoblana?
2.             Apa saja contoh dari Maslahah mursalah,’ Urf, Istihsan,Isthishab, Qoul Shohabi, Syar’un man Qoblana?
3.             Apa saja pembagian dari Maslahah mursalah,’ Urf, Istihsan,Isthishab, Qoul Shohabi, Syar’un man Qoblana?

C.      Tujuan
1.             Untuk mengetahui arti dari Maslahah mursalah,’ Urf, Istihsan,Isthishab, Qoul Shohabi, Syar’un man Qoblana.
2.             Untuk mengetahui contoh-contoh dari Maslahah mursalah,’ Urf, Istihsan,Isthishab, Qoul Shohabi, Syar’un man Qoblana.
3.             Untuk berapa banyak pembagian dari Maslahah mursalah,’ Urf, Istihsan,Isthishab, Qoul Shohabi, Syar’un man Qoblana.



D.     Manfaat
·         Manfaat umum
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca agar dapat mengetahui pengertian dan perbedaan antara Maslahah mursalah,’ Urf, Istihsan,Isthishab, Qoul Shohabi, Syar’un man Qoblana.
·         Manfaat khusus
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kami anggota kelompok dua yang ingin memahami tentang Maslahah mursalah,’ Urf, Istihsan,Isthishab, Qoul Shohabi, Syar’un man Qoblana.



PEMBAHASAN
A.       Al-Maslahah al-Mursalah
1.        Pengertian al-mashlahah al-mursalah
Para ahli Ushul memberikan takrif al- mashlahah al-mursalah dengan : “Memberikan hukum syara` kepada sesuatu kasus yang tidak terdapat dalam nash atau ijtima` atas dasar memlihara kemaslahat-an”.
Berbicara tentang kemaslahatan ada tiga macam kemaslahatan :
1.      Kemaslahatan yang ditegaskan oleh Al-Qur`an atau Al-Sunnah.kemaslahatan semacam ini diakui oleh para ulama Contohnya seperti hifdzu nafsi, hifdzu mal, dan lain sebagainya.
2.      Kemaslahatan yang bertentangan dengan nash syara` yang qoth`i. Jumhur ulama` menolak kemaslahatan semcam ini kecuali najmuddin athufi dari Madzhab Maliki.
3.      Kemaslahatan yang tidak dinyatakan oleh syara`, tapi juga tidak ada dalil yang menolaknya.
Bentuk ketiga inipun tidak disepakati oleh para ulama. Para ulama yang menolak  penggunaan istihsan juga menolak penggunaan mashlahah mursalah ini.[1]

2.     Persyaratan-persyaratan Al-Mashlahah Al-Mursalah
Persyaratan Al-mursahalah yang digunakan oleh para ulama menurut `Abd al-Wahab Khallaf dan Abu Zahrah. Yang disimpulkan sebagai berikut :
a.       Al-Mashlahah Al-Mursalah tidak boleh bertentangan dengan Maqashid al-Syari`ah, dalil-dalil kulli, semangat ajaran islam dan dalil-dalil juz`i yang qath`i wurudl dan dalalahnya.
b.      Kemaslahatan tersebut harus meyakinkan dalam arti harus ada pembahasan dan penelitian yang rasional serta mendalam sehingga kita yakin bahwa hal tersebut memberikan manfaat atau menolak kemadaratan.
c.       Kemaslahatan tersebut bersifat umum
d.      Pelaksanaannya tidak menimbulkan kesulitan yang tidak wajar.
Banyak sekali contoh-contoh penggunaan al-mashlahah al- mursalah terutama dalam melayani dan mengurus masyarakat, seperti peraturan lalu lintas, adanya lembaga-lembaga peradilan, adanya surat nikah, dan lain sebagainya
Apabila kita bandingkan qiyas, istihsan dan mashlahah mursalah sebagai cara berijtihad maka tampak bahwa: dalam qiyas dan istihsan ada hal lain sebagai bandingannnya. Misalnya dalam istihsan ada perbandingan antara satu dalil dengan dalil lain yang dianggap lebih kuat. Sedangkan dalam al-mashlahah al-mursalah perbandingan itu tidak ada, akan tetapi semata-mata melihat kepada kemaslahatan umat.

B.   Al-‘Urf (al-‘adah)
1.     Pengertian
Pengertian Urf adalah sikap, perbuatan, dan perkataan yang “biasa” dilakukan oleh kebanyakan manusia atau oleh seluruh manusia seluruhnya.
Dari Takrif Tersebut maka jelas ada perbedaan anatara `Urf dan Ijma` yaitu :
a.     `Urf terjadi karena ada persesuaian dalam perbuatan ataupun perkataan diantara umumnya manusia baik pada orang biasa, orang cerdik cendikiawan atau para mujtahid. Sedangkan didalam Ijma` kesepakatan terjadi dikalangan Mujtahid saja.
b.    Apabila `Urf ditentang oleh sebagian kecil manusia tidaklah membatalkan kedudukannya sebagai `Urf. Adapun dalam Ijma, apabila tidak disetujui oleh seorang mujtahid saja sudah tidak bisa dianggap sebagai Ijma` lagi.
c.     Hukum yang dihasilkan berdasarkan Ijma` menjadi hukum yang pasti dalam arti tidak bisa dijadikan objek Ijtihad. Adapun hukum yang dihasilkan berdasarkan `Urf bisa berubah dengan perubahan `Urf itu sendiri.[2]
2. Syarat-Syarat `urf yang bisa diterima oleh hukum Islam
a.  Tidak ada dalil yang khusus untuk kasus tersebut baik dalam Al-Qur`an atau Sunnah
b.  Pemakaiannya tidak mengakibatkan dikesampingkannya nash syari`ah termasuk juga tidak mengakibatkan kemafsadatan, kesempitan dan kesulitan.
c. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya yang biasa dilakukan oleh beberapa orang saja.       

3.     Pembagian `Urf
`Urf ditinjau dari sisi kualitasnya (bis diterima dan ditolaknya oleh syariah) ada dua macam `Urf yaitu :
a.         `Urf yang Fasid atau `Urf yang batal, yaitu `Urf yang bertentangan dengan Syari`ah. Seperti ada kebiasaan menghalalkan minum-minuman yang memabukkan, menghalalkan makan riba, adat kebiasaan memboroskan harta, dsb
b.         `Urf yang Shohih atau Al-`Adah As-shohiha yaitu `Urf yang tidak bertentangn dengan Syari`ah Seperti memesan dibuatkan pakaian kepada penjahit bahkan cara pemesanan itu pada masa sekarang sudah berlaku untuk barang-barang yang lebuh besar lagi, seperti memesan mobil, bangunan bangunan dan lain sebagainya.
Ditinjau dari ruang lingkup berlakunya adat kebiasaan bisa kita bagi menjadi :
a.       Adat atau `Urfyang bersifat umum, yaitu adat kebiasaan yang berlaku untuk semua orang disemua negara. Misalnya memebayar bis kota dengan tidak mengadakan Ijab qobul atau juga contoh pesanan diatas.
b.      Adat atau `Urf yang khusus, yaitu yang hanya berlaku disuatu tempattertentu atau negeri tertentu saja. Misalnya adat gono-gini.
Disamping itu adat juga bisa berupa :
a.       Perkataan, Seperti di Arab menyebut walad hanya untuk anak laki-laki saja. Atau di Indonesia bapak kepada orang yang lebih tinggi, baik umurnya jabatannya, atau ilmunya
b.      Perbuatan, seperti cara berpakaian yang sopan dalam menghadiri pengajian-pengajian.

العادة محاكمة      
“Adat itu bisa dijadikan hukum”[3]




C.             Al-Istihsan
1.     Pengertian
Istihsan yaitu : “Perpindahan dari satu hukum yang telah ditetapkan oleh dalil syara kepada hukum lain karena ada dalil syara yang mengharusakan perpindahan ini sesuai dengan jiwa Syari`ah Islam
Apabila dalam pengertian istihsan itu ada perpindahan dari satu hukum kepada hukum yang lain, maka yang dimaksud dengan perpindahan itu adakalanya perpindahan dari dalil yang kulli kepada adakalanya dari qiyas dhahir kepada qiyas khafi. Para ulama yang menerima istihsan sebagai dalil, mengembalikan dasar istihsan kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dalil Al-Qur`an antara lain:
فبشر عباد. الذين يستمعون القول فيتبعون احسنه
“Maka gembirakanlah hamba-hamb-Ku yang mendengar perkataan, lalu mengikutinya yang lebih baik.”
ما راءه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
“Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka baik disisi Allah.”

2.     Sanad Istihsan ata Sandaran Istihsan
Tidak ada kesepakatan diantara para ulama tentang sanad isihsan ini. Ulama-ulama Hanafiyah menyebutkan 4 macam sandarann Istihsan yaitu:
a.         Istihsan yang sandarannya Qiyas khafi
b.         Istihsan yang sandarannya `Urf yang shahih
c.          Istihsan yang sandarannya nash
d.         Istihsan yang sandarannya darurat
Ulama-ulama malikiyah hanya menyebutkan 3 macam sandaran istihsan yaitu :
1.             Istihsan yang sandarannya `Urf shahih
2.             Istihsan yang sandarannya mashlahat
3.             Istihsan yang sandarannya raf` al-kharaj[4]










D.     Al-Istishhab
1.     Pengertian
Istishab dalam ta’rifan Asyaukani adalah :”tetapnya sesuatu hukum selama tidak ada yang mengubahnya”.
Jadi hukum yang telah ditetapkan pada masa yang lalu terus berlaku sampaiada dalil lain yang merubah hukum tersebut. Atau sebaliknya apa yang tidak ditetapkan pada masa lalu, terus demikian keadaannya sampai ada dalil yang menetapkan hukumnya.
Contoh tentang istishab adalah sebagai berikut:
a.      Apabila telah jelas adanya pemilikan terhadap sesuatu harta karena adanya bukti terjadinya pemilikan seperti karena membeli,warisan,hibbah atau wasiat,maka pemilikan tadi terus berlangsung sehingga ada bukti-bukti lain yang menunjukkan perpindahan pemilikan pada orang lain.
b.    Orang yang hilang tetap dianggap hidup sehingga adabukti atau tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa dia meninggal dunia.
c.     Seorang yang telah menikah terus dianggap ada dalam hubungan suami-istri sampai ada bukti lain bahwa mereka telah bercerai,misalnya dengan talak.

2.   Pembagian istishab
Istishab al-Bar’at al-Ashliyya (الابرءة الاصلية)
Menurut al-Qayyim disebut Bar’at al-Adam al-Ashliyah (الاصليةبراءةالعدم) Seperti terlepasnya tanggung jawab dari segala taklif sampai ada bukti yang menetapkan takliefnya. Seperti anak kecil sampai dengan datangnya baliq. Tidak ada kewajiban dan hak antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bersifat pernikahan sampai adanya akad nikah.
Istishab yang ditunjukkan oleh syara atau akal, seperti seorang harus tetap bertanggung jawab terhadap utang sampai ada bukti bahwa dia telah melunasinya.
Istishab hukum seperti sesuatu telah ditetapkan dengan hukum mubah atau haram, maka hukum ini terus berlangsung sampai ada dalil yang mengharamkan yang asalnya mubah atau membolehkan yang adalnya haram. Dan yang asal dalam sesuatu (muamalah) adalah kebolehan (الاصل في الاشياءالاباحة)
Kebolehan ini didasarkan kepada firman Allah:
جميعاالارضمافيلكمخلقهوالذي
“Dan Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”.(al-Baqarah ayat 29)
وسخرلكم في السموات ومافي الارض جميعا
“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”.(al-Baqarah ayat 29)lah mudahkan bagimu apa-apa yang di langit dan apa-apa yang di bumi semua”. (al-Jatsiyah:13)
Istishab Washaf  Seperti keadaan hidupnya seseorang dinisbatkan kepada orang yang hilang Prof.Muhammad Abu Zahrah mengatakan: bahwa setiap fuqaha menggunakan Istishab dari macam a sampai c, sedang mereka berbeda pendapat, ulama-ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menggunakan Istishab washaf secara mutlak dalam arti bisa menetapkan hak-hak yang telah ada pada waktu tertentu dan seterusnya serta bisa pula menetapkan hak-hak yang baru, sedangkan ulama Malikiyah hanya menggunakan Istishab washaf ini untuk hak-hak dan kewajiban yang telah ada,sedangkan untuk hak-hak yang baru mereka tidak mau memakainya. Contohnya:apabila seseorang dalam keadaan hidup meninggalkan kampung halamannya, maka orang ini oleh semua mazhab dianggap tetap hidup sampai ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa dia telah meninggal dunia, oleh karena itu, tetap isterinya ada dalam tanggung jawabnya dan pemilikannya terhadap sesuatu tidak berubah. Apabila kemudian orang tua dari orang yang hilang ini meninggal dunia, maka menurut Malikiyah dan Hanafiyah: qoyim yaitu orang yang mengurus harta si mafkud tidak bisa meminta bagian warisan si mufkud atas dasar istishab, tetapi bagiannya dipelihara sebagai amanat sehingga jelas ia telah meninggal; sebaliknya yaitu apabila ahli waris si mafkud minta dibagi harta si mafkud, maka hal ini ditolk berdasarkan istishab. Istishab yang digunakan oleh ulama-ulama Hanafiyah adalah Li daf’ l li itsbt () yaitu untuk menolak bukan untuk menetapkan.
Para ulama yang menyedikitkan turuqul istinbat meluaskan penggunaan istisshab, misalnya golongan Dhahiri, karena mereka menolak penggunaan qiyas. Demikian pula mazhab Syafi’i menggunakan Istishab karena tidak menggunakan istishab. Oleh karena itu, yang sedikit menggunakan Istishab adalah Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki karena mereka meluaskan thurkq al-istinbat dengan penggunaan istihsan,mashlahah mursalah dan ‘urf sehingga ruangan untuk beristinbat dengan al-Istishab tinggal sedikit.

E.        Syari’at Ummat Sebelum Kita (Syar’un man Qoblana)
Sesungguhnya syari’at samawi pada asalnya adalah satu, sesuatu dengan firman Allah:
اقيمواانوعيسيوموسيابراهيموماوصينابهاليكاوحيناوالذينوحابهماوصيالدينمنلكمشرع
ولاتتفرقوافيهالدين
“Dia telah mensyaratkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim,Musa, dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan jangan kamu berpecah belah tentangnya”.(asy-syura:13)
Oleh karena yang menurunkan syari’at samawi itu satu yaitu Allah SWT. Maka syari’at tersebut pada dasarnya/intinya adalah satu,meskipun kemudian Allah SWT telah mengharamkan beberapa hal kepada beberapa kaum seperti kepada Yahudi diharamkan binatang-binatang yang berkuku,gajih sapi, dan kambing:
همارظهوشحومهماالاماحملتحرمناعليهمالبقروالغنمظفرومنذيحرمناكلهادواالذينوعلي
بعظماوالحوايااومااختلط
“Dan kepada orang-orang yahudi, kami haramkan segala binatang yang berkuku; dan dari sapi dan domba; kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang”.(al-An’am ayat 146)[5]
Juga ditetapkan bahwa dosa tidak bisa dimaafkan kecuali dengan: membunuh diri dan pakaian yang kena najis tidak bisa jadi suci dengan dicuci kecuali dengan dipotong kainnya. Selain itu juga bahwa bentuk dan cara-cara ibadah (hubungan manusia dengan Allah) berbeda dalam perinciannya meskipun intinya sama yaitu menyembah Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu, terdapat penghapusan terhadap sebagaian hukum umat-umat yang sebelum kita( umat Islam) dengan datangnya syari’at Islamiyah dan sebagian lagi hukum-hukum umat yang terdahulu tetap berlaku, seperti qishash.
Secara ringkas tentang Syari’ah umat sebelum kita ini, maka gambaran Syari’unman Qablana ada dua macam yaitu:
1.      Tidak Ada yang telah dihapuskan oleh Syari’ah Islam
2.      Yang tidak dihapuskan oleh Syari’ah Islam. Yang tidak dihapuskan ini bisa dibagi dua yaitu:
a.       Yang diceritakan kepada kita baik melalui Al-Qur’an atau Hadits.
b.      Yang tidak disebut-sebut sama sekali di dalam Al-Qur’an atau Hadits.

F.        Mazhab Shahabi/Qoul Shahabi (Pendapat Sahabat)
Ada beberapa dalil yang tidak disepakati oleh ulama tentang nilainya sebagai hujah, diantaranya pendapat sahabat. Dalam hal ini Jumhur Ulama berpendapat bahwa pendapat sahabat tidak menjadi hujah, karena Allah tidak mengharuskan kita untuk mengikutinya. Kita hanya diperintahkan mngikuti Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah dan para sahabat bukanlah orang-orangyang ma’shum. Yang dimaksud pendapat sahabat adalah sahabat dalam masalah Ijtihad iyah.
Pendapat yang kedua menetapkan bahwa pendapat sahabat menjadi hujah dan didahulukan dari pada qiyas dan pendapat yang ketiga menyatakan bahwa pendapat sahabat menjadi hujah apabila dikuatkan dengan qiyas atau tidak berlawanan dengan qiyas.
Abd al-Wahab Khallaf12 menyimpulkan bahwa:
Pertama,tidak ada perbedaan pendapat bahwa pendapat sahabat adalah hujah dalam hal yang bersifat sam’i dan bukan ‘aqli, karena para sahabat mendasarkan pendapatnya kepada apa yang didengar dari Rasulullah. Kedua tidak ada perbedaan pendapat bahwa segala yang disepakati para sahabat adalah hujah karena kesepakatan mereka atas sesuatu kasus sebagai bukti bahwa mereka menyandarkan pendapatnya kepada dalil yang tegas/pasti,seperti memberi hak 1/6 bagian kepada nenek/jadat.
Imam Ibnu Qayyim dalam kitabnya ‘Ilmu Muwaqqin (Juz 4 Halaman 148) menyatakan 43 alasan yang mewajibkan mengikuti pendapat sahabat, akhirnya beliau berkata: bahwa fatwa sahabat tidak keluar dari 6 bentuk:
1.             Fatwa yang didengar sahabat dari Nabi.
2.             Fatwa yang didengar dari orang yang mendengar dari Nabi.
3.             Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terdapat Al-Qur’an yang agak kabur dari ayat tersebut pemahamannya bagi kita.
4.             Fatwa yang disepakati oleh tokoh-tokoh sahabat yang sampai kepada kita melalui salah seorang sahabat.
5.             Fatwa yang didasarka kepada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi dan maksud-maksudnya. Kelima ini adalah hujah yang wajib diikuti.
6.             Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan salah pemahamannya, maka hal ini tidak jadi hujah.













PENUTUP
A.      Kesimpulan
1.         Maslahah mursalah adalah suatu kmaslahatan yang tidak dijumpai nash yang membenarkan atau mengingkarinya.
2.         ‘Urf adalah kebiasaan, adat istiadat, norma yang diakui oleh suatu masyarakat.
3.         Istihsan adalah tidak memberi hukum terhadap suatu masalah sebagaimana hukum masalah-masalah lain yang serupa karena adanya alasan yanglebih kuat yang mengharuskan seorang mujtahid meninggalkan hukum yang pertama.ini adalah definisi Abdul Hasan al-karkhi dang dianggap paling komprehensif  karena mencakup segala bentuk istihsan. Definisi ini mengisyaratkan suatu pemikiran yang menjadikan “keluar” dari kaidah umum lebih utama dan mendekati kepada tujuan-tujuan syarat daripada berpegang teguh kepadanya. Karena sifatnya yang menyimpanhg dari kaidah qiyas, maka banyak fuqoha’ menamakannya dengan qiyas kafi (atau menganalogikan pada hal-hal tersembunyi.)
4.         Istishab adalah menetapkan suatu hukum berdasarkan hukum masa lampau sepanjang tidak ada dalil yang merubahnya.
5.         Qoul shahabi adalah pernyataan atau pendapat para sahabat.
6.         Syar'u Man Qoblana adalah hukum-hukum yang telah ada sebelumnya, dan masih tetap ada dan berlaku karena berdasarkan adanya nash Al-qur’an.

B.      Saran
Dari makalah ini kita semua dapat mengetahui bahwa terdapat banyak sumber-sumber hukum fiqih, dari setiap hukum tersebut hendaklah kita mengetahui perbedaan, kelemahan dan kelebihan dari setiap sumber. Haruslah dipilih sumber yang paling kuat untuk dipergunakan nantinya.




Daftar Pustaka
Djazuli.2005.Ilmu Fiqh Penggalian,perkembangan,dan penerapan Hukum Islam.Jakarta:Prenadamedia Grup
Syaltout, Mahmoud,As-Sayis Ali.1973.Perbandingan Mazhab.Jakarta:PT Bulan Bintang
Sirry, Mun’im A.1995.Sejarah Fiqih Islam.Surabaya:Risalah Gusti
Mun’im Saleh, Abdul.2001.Madhhab Syafi’i.Yogyakarta:Bigraf
Daud Ali, Mohammad.2005.Hukum Islam.Jakarta:PT Rajagrafindo Persada

Revisi:
1.      Tidak ada indikasi copy-paste.
2.      Makalah ini kurang rigit dalam menjelaskan.
3.      Makalah ini sama sekali tidak sesuai dengan arahan saya di awal perkuliahan. Tolong dirombak secara total.
4.      Makalah ini tidak referensial. Penulisan footnote hanya sesekali saja; di footnote hanya ada satu referensi tapi di daftar pustaka ada lima. Tolong jangan memaksa penulisan referensi apabila itu memang tidak ada.
5.      Gelar (Prof., Dr. Ustadz, dll) dalam karya ilmiah ditiadakan.
6.      Makalah ini kurang rencah untuk dibaca, logika penulisannya masih terasa kurang.

Tolong diperbaiki secara total makalah Anda!!!!! Semangat!!!!!!  



[1]Prof. H.A. Djazuli: Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam. 2005. Hal 86
[2] Prof. H.A. Djazuli: Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam. 2005. Hal 88
[3] Prof. H.A. Djazuli: Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam. 2005. Hal 90-91
[4] Prof. H.A. Djazuli: Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam. 2005. Hal 91-93
[5] Prof. H.A. Djazuli: Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam. 2005. Hal 94-96

Tidak ada komentar:

Posting Komentar