Senin, 03 Oktober 2016

Nasikh-Mansukh dalam al-Qur'an (PAI D Semester III)




NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QUR’AN
Ervina Eka Suryanti, Aizatul Hidayah
PAI D Semeter III
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: ervinavivin97@gmail.com

Abstract: Al-Quran is the Holy book of Islam, in Al-Quran explains about various issues. Start from law issues, aqidah, and Nasakh Mansukh issues, as a guide for human. Nasakh Mansukh (Abolution of Shari’a from literature and law). Kind of understanding and debate about presence or absence in Al-Quran. Nasakh in erase Shari’a (law) and Mansukh is a erased Shari’a (law). Or study Al-Quran that describes about their removal process law on verse by other verse go down thereafter. Furthermore mny forms of Nasakh Mansukh, examp : verse erased literature and law, verse erased only law and this literature available, verse erased only literature and this law still practice. There is also Nasakh Al-Quran with Al-Quran, Alquran with Sunnah, Sunnah with Al-Quran, and Sunnah with Sunnah. And wisdom from learn Nasakh Mansukh in Al-Quran is many kind, as an example from wisdom learn Nasakh Mansukh Al-Quran to benefit for all human and as meditation that Allah is The Most Beneficent, and many more.
Keywoards:  Abolition, form, benefit

Pendahuluan
Sesungguhnya Allah telah Menciptakan makhluk atas dasar pribadi yang memiliki pengetahuan yang menyeluruh mengenai segala hal ihwal yang terpaut dengannya. Segala ketetapan berlangsung tanpa adanya rintangan, dengan estimasi sangatlah cepat. Allah menurunkan kitab kepada umatnya untuk menjelaskan segala sesuatu, disamping sebagai pedoman, juga rahmat.dalam al-Quran Allah SWT mentapkan kewajiban, sebagian diantaranya telah dipertahankan dan beberapa lainnya dihapuskan, sebagai rahmat bagi makhluknya.
Al-Quran memberikan petunjuk dalam permasalahan tentang akhlak, hokum, dan aqidah. Selain itu Rosulullah juga diperintahkan untuk menyampaikan kepada umatnya agar mereka mempelajari al-Quran dan memperhatikan isi dari al-Quran. Salah satu pemasalahan dalam mengkaji ilmu al-Quran yang selalu mengundang perdebatan sampai sekarang adalah permasalahan tentang Nasakh-Mansukh.
Secara rasional tidak ada yang bisa menghalangi terjadiya Nasakh-Mansukh dalan al-Quran, bahkan saksi sejarahpun menguatkan adanya Nasakh-Mansukh dalam Al-Quran dan memang telah disaksikan bahwa dalam Islam telah terjadi penggantian suatu hokum dengan hokum yang lain yang turun sesudahnya. Ataupun aturan syari’at untuk umat terdahulu digantikan dengan syari’at umat nabi Muhammad SAW, namun sebagian kalangan ulama meyakini bahwa dalam sejarah al-Quran tidak terdapat penggantian atau penghapusan hokum maupun syari’at (Nasakh-Mansukh). Dalam hal ini kami akan membahas tentang Nasakh-Mansukh yang meliputi pengertian, bentuk-bentuk dan hikmah mempelajari ilmu Nasakh-Manskh dalam al-Quran.

Definisi Nasakh-Mansukh
Pembahasan tentang Nasikh-Mansukh dimulai dari ayat al-Qur’an
مَا نَنْسَخْ مِنْ ايَةٍ أَوْ نُنْسِهَا
Artinya : apa saja ayat Kami nasakh-kan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya. Kami datangkan yang lebih baik dari padanya, atau yang sebanding dengannya.
Dari segi bahasa jumhur ulama bersepakat tentang makna kata nasakh, khususnya yang ada pada ayat tersebut.[1] An-naskh merupakan masdar  dari nasakha, yang secara harfiah berarti “menghapus, memindahkan[2]          , mengganti, atau mengubah”. Al mansukh merupakan kata yang terbentuk dari kata nasakha, dan dari kata tersebut juga dapat terbentuk kata an nasikh, yang pertama adalah maf’ul dari kata nasakha[3].
Ada tiga makna nasakh menurut bahasa. Pertama, nasakh berarti menghapus (al izalah). Misalnya terdapat dalam ungkapan “nasakhat al syamsu al zhilla” (cahaya matahari telah menghapus bayang-bayang).  Kedua, nasakh berarti memindahkan (al naql). Misalnya ungkapan “nasakhtu al kitab” (saya memindahkan kitab).  Ketiga, nasakh berarti mengganti (tabdil).[4] Hal ini dapat kita lihat dalam ayat berikut

وَاِذَا بَدَّلْنَا اَيَةً مَكَانَ اَيَةٍ ...
Dan jika Kami gantikan sebuah ayat dengan ayat yang lain … (QS An Nahl: 101)
 Kata nasakh juga berarti  التحويل [5]  , artinya pengalihan. Seperti pengalihan bagian harta warisan. Maksudnya perpindahan harta warisan dari seseorang kepada orang lain.[6]
Sedangkan secara istilah, Nasakh yaitu :
انسخ رفع الحكم الشرعي مع التراخي علي وجه لو لكان الحكم الاول ثابثا
Nasakh ialah menghapuskan hokum syarak dengan memakai dalil syarak dengan adanya tenggang waktu, dengan catatan kalau sekiranya tidak ada nasakh itu tentulah hokum yang pertama itu akan tetap berlaku.[7]
Nasakh menurut istilah, sebagian ulama ushuliyyin (ulama ahli ushul fiqih) memaknainya dengan membatalkan hukum yang diambil dari nash terdahulu dengan nash yang datang belakangan. Atau, nasakh adalah Kitab al Syari’ (seruan Allah SWT) yang mencegah terus berlangsungnyahukum sebelumnya (An Nabhani, 1953)[8]
Menurut Subhi Ash-Shalih nasakh secara istilah adalah “Mengangkat hukum syara’ ” dengan dalil syara’ [9]. Qaththan mendefinisikan pula kepada “Mengangkat hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain”. Definisi dari kedua tokoh tersebut memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti. Maksudnya, ada suatu hukum yang telah ditetapkan bisa dibatalkan yang kemudian digantikan oleh hukum lain. Al-quran  memaknai nasakh dengan arti “penggantian”. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi
مَانَنْسَخْ مِنْ ءَايَةٍ اَوْنُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِّنْهَا أَوْمِثِلهَا  اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ
Artinya:
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui, nahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (QS. Al Baqarah (2): 106)
Nasakh secara Terminologi (istilah) dapat dikategorikan pada dua kategori, yaitu kategori menurut ulama Mutaqaddimin dan ulama Mutaakhirin.
a.       Mutaqaddimin
Menurut ulama mutaqaddimin, nasakh adalah

[10] رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي
Mengangkat hukum syar’i (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum  (kitab) syara’ yang lain.
Ulama mutaqaddimin memberikan batasan pengertian bahwa nasakh adalah sebagai dalil syar’i yang ditetapkan kemudian. Pengertian nasakh menurut kelompok ini mencakup pengertian pembatasan (qayyad) terhadap pengertian bebas (muta’allaq), pengkhususan terhadap yang umum, pengecualian, syarat dan sifat[11].

b.      Mutaakhirin
Pengertian nasakh menurut ulama mutaakhirin diantaranya adalah sebagaimana diungkapkan Quraish Shihab :”Nasakh terbatas pada ketentuan hokum yang datang kemudian, guna membatalkan, mencabut atau menyatakan berakhirnya pemberlakuan hukum yang terdahulu, hingga ketentuan hukum yang ada yang ditetapkan terakhir”.[12]
            Jadi, dalam Al-quran dijelaskan bahwa nasakh memang terjadi dalam hukum islam, sesuai dengan ketentuan Allah dan atas pertimbangan situasi dan kondisi masyarakat pada masa Al-quran itu diturunkan.[13]
Allah berfirman:
يمح الله ما يشاء ويثبت وعنده ام الكتب
            Allah menghapuskan apa yang ia kehendaki, dan menetapkan (apa yang ia kehendaki). Pada-Nya-lah Induk kitab, Ummul Kitab. (Ar Ra’d: 39).
Sudah jelas dari maksud ayat tersebut bahwa hanya Allah yang berhak menghapus, mengganti, maupun menetapkan mana yang dikehendaki. Ayat yang dihapus ini kemudian disebut sebagai Mansukh.[14]
Sedangkan Mansukh menurut etimologi, berarti sesuatu yang dihapus/dihilangkan/dipindah ataupun disalin/diambil. Sedangkan menurut terminologi Mansukh adalah hokum syarak yang dinukil dari dalil syarak yang pertama, yang belum dihapus atau dibatalkan dengan hokum syarak baru yang datang kemudian.[15]
Terangnya, dalam Mansukh itu merupakan ketetapan hokum syarak pertama yang telah dihapus atau dibatalkan dengan yang baru, karena adanya perubahan situasi dan kondisi yang menginginkan pergantian dan perubahan hokum tersebut

Bentuk-bentuk Nasikh-Mansukh
Bentuk Nasikh-Mansukh dalam Syari’at Islam ada empat bentuk, antara lain:
1.      Menasakh al-Qur’an dengan al-Quran (Nasakhul Quraani bil Quraani),
versi Nasakh ini tidak diperselisihkan eksistensinya, yakni telah disepakati oleh seluruh orang maupun ulama yang menyetujui Nasakh mengenai keberadaannya maupun kebolehannya
Contohnya seperti ayat 12 surat al-Mujadalah yang di Nasakh dengan ayat 13 surat ala-Mujadalah
2.      Menasakh Sunnah dengan al-Qur’an, (Nasakhus Sunnah bil Quraani),
Nasakh ini membatalkan hokum yang di tetapkan berdasarkan hadist nabi diganti dengan hokum yang berdasarkan dengan yang terkandung dalam al-Quran, Nasakh jenis ini diperbolehkan atau disepakati oleh jumhur ulama
seperti Nasakh Syari’at puasa wajib hari ‘Asyuro (10 Muharram) dengan Syari’at puasa wajib bulan Romadhon. Yang diriwayatkan Bukhari Muslim. Maksudnya adalah semula berpuasa pada ‘Asyuro itu wajib, tetapi setelah turunnya ayat yang mewajibkan puasa Romadhon, maka puasa pada hari Syuro tidak lagi menjadi wajib, sehingga hukumnya menjadi sunnah.
3.      Menasakh al-Qur’an dengan Sunnah. (Nasakhul Quraani bis Sunnati)
Menasakh al-Quran dengan sunnah ini menurut jumhur ulama diperbolehkan, dengan syarat harus memakai hadist mutawatir, sedangkan jika menggunakan hadist ahad tidak diperbolehkan, sebab al-Qur’an adalah mutawatir dari Allah, sedangkan hadist ahad hanya memberikan faedah dugaan atau yang disebut dhanni saja.
Contohnya seperti puasa hari Asy-Syura yang ditetapkan dan berdasarkan sunah riwayat Bukhori Muslim dari Aisyah ra :

عَنْ غَائِشَةَ قَالَتْ : كَانَ عَاشُوْرَاءُ صِيَامًا, فَلَمَّا أُنْزِلَ رَمَضَانُ كَانَ مَنْ َشاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ
Artinya : “Dari Aisyah, beliau berkata: “Hari Asyura itu adalah wajib berpuasa. Ketika dturunkan (kewjiban berpuasa) bulan ramadhan, maka ada orang yang mau berpuasa dan ada pula yang tidak berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maksudnya , semula berpuasa hari Asyura itu wajib, tetapi setelah turun ayat yang mewajibkan puasa pada bulan Ramadhan, maka puasa hari Asyura itu tidak wajib lagi, sehingga ada orang yang berpuasa da nada yang tidak. Ayat itu adalah :

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya: “Karena itu, barang siapa diantara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu.” (QS Al-Baqarah: 185)
4.      Menasakh Sunnah dengan Sunnah.(Naskhus Sunnah bis Sunnah)
Penghapusan atau pembatalan hokum atau ketetapan yang ada pada sunnah dengan sunnah yang lebih akhir.  Nasakh versi ini tidak lagi menjadi perdebatan jumhur ulama.[16] Dalam klasifikasi nasakh ini, ada empat kemungkinan, yaitu:
a)     Nasakh sunah yang mutawatirah dengan hadist yang mutawatirah (Naskhus Sunnati Al-Mutawaatirati bil Mutawaatirati)
b)     Nasakh sunnah yang ahad dengan yang ahad (Naskhus Sunnati Al-Ahaadi bil Ahaadi)
c)      Nasakh sunnah yang ahad dengan yang mutawatir (Naskhus Sunnati Al Ahaadi bil Mutawaatirati)
d)     Nasakh sunnah mutawatir dengan sunnah ahad (Naskhus Sunnati Al Mutawaatirati bil Ahaadi)

Adapun macam-macam Nasakh-Mansukh yang terjadi dalam al-Qur’an ada tiga macam, antara lain:
1.      Ayat yang bacaan dan hukumnya di nasakh kan, maka ayat tersebut tidak ditulis lagi dalam Al Quran. Dan hukumnya pun tidak diamalkan lagi.
Contohnya ayat yang menjelaskan tentang menyusui anak, yang mana hal tersebut dapat membuat anak tersebut haram menikah dengan ibu yang menyusuinya, yaitu sepuluh kali, kemudian di nasakhkan oleh lima kali menyusu. Sehingga yang diharamkan adalah sepuluh kali menyusu.

Aisyah ra. berkata:

كَانَ فِيْمَا أُنْزِلَ مِنْ الْقُرْاَنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُوْمَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُوْلُاللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيْمَا يُقْرَأُ مِنْ الْقُرْاَن
Pernah diturunkan (kepada Nabi) sepuluh kali menyusu yang dimaklumi yang (menyebabkan) haram (menikahi), kemudian dinasakhkan dengan lima kali yang dimaklumi. Selanjutnya Rasul wafat, ayat-ayat itu dibaca sebagai bagian dari Al-Quran.[17]
Al-Qadhi Abu Bakar dalam kitabnya Al-Intishar menceritakan, bahwa  orang-orang tidak membenarkan atau mengingkari nasakh ini dengan alasan karena ditetapkan dengan hadits ahad yang dzanni. Namun disisi lain Prof. Manna Al-Qaththan membantah tentang pendapat tersebut dengan alasan bahwa cukup dengan dalil dzanni dan hadits ahad saja, karena ini hanya menjelaskan tentang adanya nasakh bukan menjelaskan tentang turunnya Al-Quran yang memang harus dengan dalil qath’i dan hadits mutawattir.

Adapun ayat yang termasuk kedalam kategori ini, yaitu seperti ayat berikut

يأَيُّهَاالَّذِيْنَءَامَنُوْا إِذَا نَجَيْتُمُ الرَّسُوْلَ فَقَدِّمُوْابَيْنَ يَدَىْ نَجْوَىكُمْ صَدَقَةً
“Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus  dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada kaum miskin) sebelum pembicaraan itu.” (QS Al Mujadilah : 12).
Ayat ini telah mewajibkan memberikan shadaqah sebelum pembicaraan dengan Nabi saw. Kemudian ayat ini dinasakh oleh firman Allah SWT :
ءَأَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَىْ نَجْوَىكُمْ صَدَقتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوْا وَتَابَ اللهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيْمُواالصَّلَواةَ وَءَاتُواالزَّكَوةَ وَأَطِيْعُوْا اللهَ وَرَسُوْلَهُ
“Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Qs Al Mujadilah : 13)[18]
Mansukh (yang di nasakh) pada ayat tersebut adalah hukumnya, sementara ayatnya masih ada dalam Al Quran. Nasakh terjadi pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang hukum, dan tidak terjadi pada ayat yang menjelaskan tentang aqidah, sejarah nabi, dan pemberitaan seperti pemberitaan surge dan neraka.
Meskipun para ulama sependapat tentang bentuk nasakh pertama ini, namun dalam hal jumlah ayat yang di nasakh para ulama berbeda pendapat antara satu dengan yang lain. Ada ulama yang menghitung sampai ratusan ada pula yang sedang da nada yang menyedikitkan. Dan yang terakhir ini adalah hasil penelitian dari Dr. Mustafa Zaid yang dituangkan dalam kitabnya yakni al Nasakh fi Al Quran Al Karim, ayat-ayat yang di nasakh kan ternyata hanya berjumlah hitungan jari (sedikit).
2.      Ayat yang hukumnya di nasakh kan, namun bacaannya masih ada, maksudnya hukumnya nasakh ayatnya masih ada.
Hal ini seperti firman Allah :

وَالَّتِي يَأْتِيْنَ الْفَحِشَةَ مِنْ نِّسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوْا عَليْهِنَّ أَرْبَعَةً مِّنْكُمْ فَأِنْ شَهِدُوْا فَأَمْسِكُوْهُنَّ فِى الْبُيُوْتِ حَتَّى يَتَوَفَهُنَّ الْمَوْتُ
Dan (terhadap) wanita-wanita yang mengerjakan perbuatan keji hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberikan kesaksian maka kurunglah mereka (wanita-wanita) itu dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya.
Ketentuan hukuman bagi pezina, yaitu ditahan dirumah sampai meninggal
فَأَمْسِكُوْهُنَّ فِى الْبُيُوْتِ حَتَّى يَتَوَفَهُنَّ الْمَوْتُ,
yang terdapat dalam ayat ini telah di nasakh kan. Akan tetapi ayatnya masih ada. Ayat yang me nasakh kannya adalah :

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِى فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَاتَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِى دِيْنِ اللهِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلاَخِرِ
Prempuan dan laki-laki yang berzina maka deralah setiap orang dari keduanya seratus kali dera. Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir.
Jadi, hukuman bagi pezina berubah dari kurungan menjadi cambuk seratus kali.[19]
Adapun contoh lain seperti ayat ini :

وَالَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ أَزْوَاجًا وَصِيَةً لِآَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا اِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ اِخْرَاج
 “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantara kalian dan meninggalkan beberapa istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya itu, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah.” (QS. Al-Baqarah : 240)
            Dengan ayat ini, maka istri-istri yang dicerai dari suaminya itu harus ber iddah selama satu tahun dan masih berhak mendapatkan nafkah dari tempat tinggal terus selama iddah satu tahun. Tetapi kemudian Allah SWT me nasakh hokum ayat tersebut, sehingga keharusan iddah satu tahun tidak berlaku lagi, meski lafal nash ayatnya masih tetap ada dan boleh tetap dibaca. Lalu diganti dengan ketentuan hokum dari ayat Al-quran :

وَالَّذِيْنَ يَتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ اَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْقُسِهِنَّ أَرْبَعَةً أَشْهُرٍ وَعَشْراً
“Dan orang-orang yang meninggal dunia diantara kalian dengan meninggalkan istri-istri, (maka hendaklah istri-istri itu) menangguhkan diri mereka (ber iddah) selama empat bulan sepuluh hari.” (QS Al-Baqarah : 234)[20]
Dengan turunnya surat Al-Baqarah ayat 234 itu maka hukum yang ada pada ayat 240 tidak berlaku lagi, yakni jika ada seseorang meninggal dunia dan meninggalkan istri maka masa iddah yang berlaku adalah 4 bulan 10 hari. Namun ayat yang sebelumnya masih ada dalam Al-Quran. 


3.      Ayat yang bacaannya dinasakhkan, dan hukumnya masih diamalkan
Hal ini banya terdapat dalam Al quran, diantaranya :
Aisyah berkata, “Dahulunya di zaman Nabi saw, surah Al Ahzab dibaca sebanyak 200 ayat. Tatkala Usman menulis mushaf, ia hanya tinggal 73 ayat saja seperti yang terlihat sekarang. Diantara ayat yang tidak ditulis karena telah di nasakh kan adalah ayat mengenai hukum rajam, yaitu :

اِذَا زَنَا الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ فَارْجُمُوْهُمَا الْبَتَّة نَكَالاً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Apabila orang tua laki-laki dan orang tua perempuan berzina, maka rajamlah keduanya, (hal itu) sebagai pelajaran dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.

Abu Musa Asy’ari juga mengatakan; “pernah turun suatu ayat yang termuat dalam surah At-Taubah, kemudian ayat itu diangkat”. Abu Musa telah menghafal  ayat itu, ayat tersebut adalah

اِّنَّ اللهَ سَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّيْنَ بِأَقْوَامٍ لأَخْلَاقِهِمْ وَلَوْ اَنَّ لاِبْنِ ادَمَ وَادِيَيْنِ مِنْ مَالٍ لَتَمَنَّى وَادِيًا ثَالِثًا وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ ادَمَ اِلَّا التُّرَابُ وَيَتُوْبُ اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ
Sesunguhnya Allah menguatkan agama ini dengan bangsa-bangsa disebabkan karena akhlak mereka. Dan seandainya manusia itu memiliki dua buah lembah harta, maka dia berkeinginan mendapat lembah ketiga. Rongga manusia tidak ada yang dapat memenuhinya kecuali tanah. Allah menerima tobat orang-orang yang bertobat kepada-Nya.[21]
Contoh yang lain ialah apa yang diriwayatkan dalam Ash-Shahihain, dari Anas tentang kisah orang-orang yang dibunuh didekat sumur Ma’unah, sehingga Rasulullah saw ber-qunut untuk mendoakan para pembunuh mereka. Anas mengatakan, “Dan berkenaan dengan mereka turunlah wahyu yang kami baca sampai ia diangkat kembali, yaitu :

اَنْ بَلِّغُوْا قَوْمَنَا اَنْ قَدْ لَقِيْنَا رَبَّنَا فَرَضِيَ عَنَّا وَاَرْضَانَا
“Sampaikanlah dari kami kepada kaum kami bahwa kami telah bertemu Tuhan kami, maka Ia ridha kepada kami dan kami pun ridha.”

Hikmah Nasakh
Setelah mengetahui berbagai dimensi Nasakh-Mansukh, perlu di jelaskan hikmah atau ibrah Allah SWT mensyaria’atkan adanya Nasakh-Mansukh. Sebab mengetahui suatu ketentuan hokum itu dapat membuat pikiran menjadi tenang, menentramkan jiwa, serta menghilangkan keragu-raguan. Apalagi dalam persoalan Nasakh-Mansukh, banyak ulama yang menolak atau tidak mengakui keberadaan Nasakh-Mansukh, sehingga perlu dijelaskan hikmah ini agar lebih memantapkan keyakinan eksistensi serta fungsi dari Nasakh-Mansukh ini.

a.       Hikmah Nasakh secara umum
1)     Untuk menunjukkan bahwa syariat yang paling sempurna adalah syariat agama islam. Maka dari itu syariat-syariat sebelum islam dinasakh oleh syariat islam. Karena syariat islam telah mencakup semua kebutuhan manusia dari segala aspek dan zaman.
2)     Agar kemaslahatan hamba terjaga serta kebutuhan mereka terpelihara dalam semua keadaan
3)     Agar perkembangan hukum islam terjaga dan selalu relevan untuk semua kalangan manusia
4)     Untuk menguji orang mukallaf, apakah mereka tetap taat dalam aturan Allah dengan adanya nasakh atau malah mereka ingkar
5)     Agar kebaikan orang-orang yang setia mengamalkan perintah Allah bertambah, karena dengan bertambahnya kesulitan maka akan bertambah pula kebaikan dan pahalanya
6)     Untuk meringankan umat manusia, karena dengan adanya nasakh ada yang meringanan beban dan mempermudah.

b.      Hikmah Nasakh Tanpa Pengganti
Sebagai contoh Nasakh tanpa pengganti adalah seperti yang ada dalam Al-Quran surat Al-Mujadilah ayat 12 tentang nasakh terhadap hukum sedekah sebelum menghadap Rasul, yang kemudian hukum itu di nasakh oleh surat Al-Mujadilah ayat 13, tetapi tidak disebutkan hukum pengganti dari pe-nasakh-an tersebut.
Maka sebagai hikmahnya dari contoh diatas adalah untuk menjaga kemaslahatan umat manusia, karena dengan begitu mereka tidak berlaku seenaknya (menyenangkan mereka)  ketika ingin menemui Rasul.

c.       Hikmah Nasakh dengan Pengganti yang Lebih Berat
Hikmah dari nasakh ini adalah untuk mempertebal keimanan dan menambah kebaikan serta pahala.

d.      Hikmah Nasakh dengan Pengganti yang Lebih Ringan
Hikmah dari nasakh dengan pengganti lebih ringan adalah untuk memberi keringanan kepada umat manusia, dan juga sebagai renungan bahwa Allah Maha Pemurah.[22]

Adapun beberapa dari hikmah nasakh dari salah satu sumber , antara lain :
1.      Menjaga kemaslahatan umat
2.      Pertumbuhan tasyri’ menuju fase sempurna berdasarkan perkembangan dakwah serta perkembangan keadaan umat Islam
3.      Ujian dan cobaan untuk seorang mukallaf  apakah mematuhinya atau tidak
4.      Menginginkan kemudahan dan kebaikan bagi umat, karna kalau Nasakh itu berpindah ke hal atau urusan yang lebih sukar, maka didalamnya terdapat pahala berlebih, dan jika berpindah ke hal atau urusan yang lebih mudah maka ia memuat keringanan dan kemudahan.[23]

Syarat-syarat Nasakh
Berdasarkan paparan definisi Nasakh diatas dapat disimpulkan bahwa penasakhan harus memenuhi empat syarat, yaitu
1.      Hokum atau ketentuan yang dinasakh harus berupa hokum syarak (firman Allah dan sunnah Rosulullah SAW yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf), bukan hokum aqli (peraturan atau ketetapan oleh akal pikiran manusia).
2.      Dalil syara’hanya boleh menghapus hokum syara’ itu sendiri tidak boleh dari dalil aqli. Yang termasuk dalil syarak antara lain: al-Quran, Hadist, Ijma, dan Qiyas.
3.      Jika ada dalil yang lebih akhir turun harus mencapai tenggang waktu dari dalil hokum yang lebih awal turun. Jadi antara dalil yang lebih awal turun dengan dalil yang turunnya akhir tidak berkaitan
4.      Harus ada pertentangan yang nyata antara dalil yang lebih awal turun dan dalil yang turunnya akhir, supaya tidak tejadi pengkrompromian. Sebab adanya nasakh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada jalan keluarnya kecuali dengan hokum atau ketentuan yang baru.[24]




Daftar Rujukan
Djalal Abdul.2013.Ulumul Quran.Surabaya: CV.Dunia Ilmu
Al-Qarthan Manna’ Al-Qarthan.2008.Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an.Jakarta: Pustaka al-Kautsar
Yusuf.Kadar M.2009.Studi Al-Quran.Jakarta: Amzah
Kurnia Muhammad Rahmat,dkk.2002.Prinsip-Prinsip Pemahaman Al-Quran dan Al Hadits, Jakarta: Khairul Bayan
Madyan  Ahmad Syams.2008.Peta Pembelajaran Al-Quran.Yogyakarta: Pustaka belajar
Anwar Abu.2002.Ulumul Quran Sebuah Pengantar.Jakarta : Amzah
Syafi’I Imam.2004.Ar Risalah.Jakarta: Pustaka Firdaus
Hermawan Acep.2011.Ulumul Quran:Ilmu untuk Memahami Wahyu.Bandung: Remaja Rosdakarya

Revisi:
1.      Tidak ditemukan indikasi copy-paste.
2.      Penulis yang berjumlah tiga orang atau lebih menggunakan format: penulis pertama dkk.
3.      Penulisan footnote yang diulang dengan adanya jeda menggunakan format: penulis, judul (lazimnya tiga kata), halaman.
4.      Kesimpulan belum dicantumkan.






[1] Acep Hermawan,Ulumul Quran:Ilmu untuk Memahami Wahyu,Bandung: Rosdakarya,2011,hlm.161
[2] Mahmud Taysir At-Tahhan, Musthalah AL Hadits, Riyadh: Maktabah Al Ma’arif, 1996, hlm 59.
[3] Kadar M. Yusuf, Studi Al-Quran, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm 113
[4] Muhammad Rahmat Kurnia, Muhammad Sigit Purnawan Jati, dan Muhammad Ismail Yusanto, Prinsip-Prinsip Pemahaman Al-Quran dan Al Hadits, (Jakarta: Khairul Bayan, 2002), hlm 77
[5] Manna’I Al-Qathan, Mabahis fii Ulumul Quran, Riyath, Mansyurat Al-Asr Al-Hadits, T, th, hlm. 232. Lihat juga , Burhan fii Ulumul Quran , juz. 2. hlm. 34
[6] Abu Anwar,Ulumul Quran Sebuah Pengantar, Jakarta: Amzah, 2002, hlm 49
[7] Djalal Abdul,2013,Ulumul Qur’an,Surabaya: CV Dunia Ilmu, Hal.113
[8] Muhammad Rahmat Kurnia, Muhammad Sigit Purnawan Jati, dan Muhammad Ismail Yusanto, Prinsip-Prinsip Pemahaman Al-Quran dan Al Hadits, (Jakarta: Khairul Bayan, 2002), hlm 77
[9] Subhi Ash-Shalih, Mabahith fi ulum  Al-Quran, hlm. 261.
[10] Manna Al-Qathan, lo, cit., hlm. 232.
[11] Abu Anwar, Ulumul Quran Sebuah Pengantar, Jakarta : Amzah, 2002), hlm 51.
[12] Quraish Shihab, Membumikan Alquran, Bandung, Mizan, hlm 144. Lihat juga Alie Yafie, Menggagas fiqih social,  hlm. 33.
[13] Kadar M. Yusuf, Studi Al-Quran, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm 115
[14] Imam Syafi’I,Ar-Risalah,Jakarta: Pustaka Firdaus,2004,hlm.104
[15] Abdul Djalal , Ulumul Quran,Surabaya: CV Dunia Ilmu, 2013, hlm 149
[16] Ahmad Syams Madyan,Peta Pembelajaran Al-Quran,Yogyakarta: Pustaka belajar,2008, hlm.200
[17] HR Muslim, Shahih Muslim, Jilid I, Bandung: Maktabah Dahlan. tt., hlm 616.
[18] Muhammad Rahmat Kurnia, Muhammad Sigit Purnawan Jati, dan Muhammad Ismail Yusanto, Prinsip-Prinsip Pemahaman Al-Quran dan Al Hadits, (Jakarta: Khairul Bayan, 2002), hlm 81
[19] Kadar M. Yusuf, Studi Al-Quran, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm 119
[20] Abdul Djalal , Ulumul Quran,Surabaya: CV Dunia Ilmu, 2013, hlm 149
[21] Az-Zarqani, Manah Al Irfan fi Ulum Al-Quran, Beirut: Dar Al Fikr, 1998, hlm. 23, ayat ini, dulunya, merupakan salah satu ayat yang terdapat dalam Surat At- Taubah.
[22] Abdul Djalal,Ulumul Quran,Surabaya: CV.Dunia Ilmu,2013,hlm.152-156
[23] Manna’ Al-Qarthan,Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2008,hlm.296
[24] Abdul Djalal,Ulumul Quran,Surabaya: CV.Dunia Ilmu,2013,hlm.117-122

Tidak ada komentar:

Posting Komentar