NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QUR’AN
Ervina Eka Suryanti, Aizatul Hidayah
PAI D Semeter III
Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang
e-mail: ervinavivin97@gmail.com
Abstract: Al-Quran
is the Holy book of Islam, in Al-Quran explains about various issues. Start
from law issues, aqidah, and Nasakh Mansukh issues, as a guide for human.
Nasakh Mansukh (Abolution of Shari’a from literature and law). Kind of
understanding and debate about presence or absence in Al-Quran. Nasakh in erase
Shari’a (law) and Mansukh is a erased Shari’a (law). Or study Al-Quran that
describes about their removal process law on verse by other verse go down
thereafter. Furthermore mny forms of Nasakh Mansukh, examp : verse erased
literature and law, verse erased only law and this literature available, verse
erased only literature and this law still practice. There is also Nasakh
Al-Quran with Al-Quran, Alquran with Sunnah, Sunnah with Al-Quran, and Sunnah
with Sunnah. And wisdom from learn Nasakh Mansukh in Al-Quran is many kind, as
an example from wisdom learn Nasakh Mansukh Al-Quran to benefit for all human
and as meditation that Allah is The Most Beneficent, and many more.
Keywoards: Abolition, form, benefit
Pendahuluan
Sesungguhnya Allah telah Menciptakan makhluk atas dasar
pribadi yang memiliki pengetahuan yang menyeluruh mengenai segala hal ihwal
yang terpaut dengannya. Segala ketetapan berlangsung tanpa adanya rintangan,
dengan estimasi sangatlah cepat. Allah menurunkan kitab kepada umatnya untuk
menjelaskan segala sesuatu, disamping sebagai pedoman, juga rahmat.dalam
al-Quran Allah SWT mentapkan kewajiban, sebagian diantaranya telah
dipertahankan dan beberapa lainnya dihapuskan, sebagai rahmat bagi makhluknya.
Al-Quran memberikan petunjuk dalam permasalahan tentang akhlak,
hokum, dan aqidah. Selain itu Rosulullah juga diperintahkan untuk menyampaikan
kepada umatnya agar mereka mempelajari al-Quran dan memperhatikan isi dari
al-Quran. Salah satu pemasalahan dalam mengkaji ilmu al-Quran yang selalu
mengundang perdebatan sampai sekarang adalah permasalahan tentang
Nasakh-Mansukh.
Secara rasional tidak ada yang bisa menghalangi terjadiya
Nasakh-Mansukh dalan al-Quran, bahkan saksi sejarahpun menguatkan adanya
Nasakh-Mansukh dalam Al-Quran dan memang telah disaksikan bahwa dalam Islam
telah terjadi penggantian suatu hokum dengan hokum yang lain yang turun
sesudahnya. Ataupun aturan syari’at untuk umat terdahulu digantikan dengan
syari’at umat nabi Muhammad SAW, namun sebagian kalangan ulama meyakini bahwa
dalam sejarah al-Quran tidak terdapat penggantian atau penghapusan hokum maupun
syari’at (Nasakh-Mansukh). Dalam hal ini kami akan membahas tentang
Nasakh-Mansukh yang meliputi pengertian, bentuk-bentuk dan hikmah mempelajari
ilmu Nasakh-Manskh dalam al-Quran.
Definisi Nasakh-Mansukh
Pembahasan tentang Nasikh-Mansukh dimulai dari ayat
al-Qur’an
مَا نَنْسَخْ مِنْ ايَةٍ أَوْ نُنْسِهَا
Artinya : apa saja ayat Kami nasakh-kan, atau Kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya. Kami datangkan yang lebih baik dari padanya, atau
yang sebanding dengannya.
Dari segi bahasa jumhur ulama bersepakat tentang makna kata
nasakh, khususnya yang ada pada ayat tersebut.[1] An-naskh
merupakan masdar dari nasakha, yang
secara harfiah berarti “menghapus, memindahkan[2] , mengganti, atau mengubah”. Al
mansukh merupakan kata yang terbentuk dari kata nasakha, dan dari kata tersebut
juga dapat terbentuk kata an nasikh, yang pertama adalah maf’ul dari kata
nasakha[3].
Ada tiga makna nasakh menurut bahasa. Pertama, nasakh
berarti menghapus (al izalah). Misalnya terdapat dalam ungkapan “nasakhat al
syamsu al zhilla” (cahaya matahari telah menghapus bayang-bayang). Kedua, nasakh berarti memindahkan (al naql).
Misalnya ungkapan “nasakhtu al kitab” (saya memindahkan kitab). Ketiga, nasakh berarti mengganti (tabdil).[4] Hal ini
dapat kita lihat dalam ayat berikut
وَاِذَا بَدَّلْنَا اَيَةً مَكَانَ اَيَةٍ ...
Dan jika Kami gantikan sebuah ayat dengan ayat yang lain …
(QS An Nahl: 101)
Kata nasakh juga
berarti التحويل [5] , artinya
pengalihan. Seperti pengalihan bagian harta warisan. Maksudnya perpindahan
harta warisan dari seseorang kepada orang lain.[6]
Sedangkan secara istilah, Nasakh yaitu :
انسخ رفع الحكم الشرعي مع التراخي علي وجه لو لكان الحكم الاول ثابثا
Nasakh ialah menghapuskan hokum syarak
dengan memakai dalil syarak dengan adanya tenggang waktu, dengan catatan kalau
sekiranya tidak ada nasakh itu tentulah hokum yang pertama itu akan tetap
berlaku.[7]
Nasakh menurut istilah, sebagian ulama ushuliyyin (ulama
ahli ushul fiqih) memaknainya dengan membatalkan hukum yang diambil dari nash
terdahulu dengan nash yang datang belakangan. Atau, nasakh adalah Kitab al
Syari’ (seruan Allah SWT) yang mencegah terus berlangsungnyahukum
sebelumnya (An Nabhani, 1953)[8]
Menurut Subhi Ash-Shalih nasakh secara istilah adalah
“Mengangkat hukum syara’ ” dengan dalil syara’ [9].
Qaththan mendefinisikan pula kepada “Mengangkat hukum syara’ dengan dalil
syara’ yang lain”. Definisi dari kedua tokoh tersebut memperlihatkan bahwa
tidak ada perbedaan yang berarti. Maksudnya, ada suatu hukum yang telah
ditetapkan bisa dibatalkan yang kemudian digantikan oleh hukum lain. Al-quran memaknai nasakh dengan arti “penggantian”.
Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi
مَانَنْسَخْ مِنْ ءَايَةٍ اَوْنُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِّنْهَا
أَوْمِثِلهَا اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ اللهَ
عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ
Artinya:
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui, nahwa sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu? (QS. Al Baqarah (2): 106)
Nasakh secara Terminologi (istilah) dapat dikategorikan pada
dua kategori, yaitu kategori menurut ulama Mutaqaddimin dan ulama Mutaakhirin.
a. Mutaqaddimin
Menurut ulama mutaqaddimin, nasakh adalah
[10] رفع الحكم الشرعي
بخطاب شرعي
Mengangkat hukum syar’i (menghapuskan)
hukum syara’ dengan dalil hukum (kitab)
syara’ yang lain.
Ulama mutaqaddimin memberikan batasan
pengertian bahwa nasakh adalah sebagai dalil syar’i yang ditetapkan kemudian.
Pengertian nasakh menurut kelompok ini mencakup pengertian pembatasan (qayyad)
terhadap pengertian bebas (muta’allaq), pengkhususan terhadap yang umum,
pengecualian, syarat dan sifat[11].
b. Mutaakhirin
Pengertian nasakh menurut ulama mutaakhirin diantaranya
adalah sebagaimana diungkapkan Quraish Shihab :”Nasakh terbatas pada ketentuan
hokum yang datang kemudian, guna membatalkan, mencabut atau menyatakan
berakhirnya pemberlakuan hukum yang terdahulu, hingga ketentuan hukum yang ada
yang ditetapkan terakhir”.[12]
Jadi, dalam
Al-quran dijelaskan bahwa nasakh memang terjadi dalam hukum islam, sesuai
dengan ketentuan Allah dan atas pertimbangan situasi dan kondisi masyarakat
pada masa Al-quran itu diturunkan.[13]
Allah berfirman:
يمح الله ما يشاء ويثبت وعنده ام الكتب
Allah
menghapuskan apa yang ia kehendaki, dan menetapkan (apa yang ia kehendaki).
Pada-Nya-lah Induk kitab, Ummul Kitab. (Ar Ra’d: 39).
Sudah jelas dari maksud ayat tersebut bahwa hanya Allah yang
berhak menghapus, mengganti, maupun menetapkan mana yang dikehendaki. Ayat yang
dihapus ini kemudian disebut sebagai Mansukh.[14]
Sedangkan Mansukh menurut etimologi, berarti sesuatu yang
dihapus/dihilangkan/dipindah ataupun disalin/diambil. Sedangkan menurut
terminologi Mansukh adalah hokum syarak yang dinukil dari dalil syarak yang
pertama, yang belum dihapus atau dibatalkan dengan hokum syarak baru yang
datang kemudian.[15]
Terangnya, dalam Mansukh itu merupakan ketetapan hokum
syarak pertama yang telah dihapus atau dibatalkan dengan yang baru, karena
adanya perubahan situasi dan kondisi yang menginginkan pergantian dan perubahan
hokum tersebut
Bentuk-bentuk Nasikh-Mansukh
Bentuk Nasikh-Mansukh dalam Syari’at Islam ada empat bentuk,
antara lain:
1. Menasakh al-Qur’an dengan al-Quran (Nasakhul
Quraani bil Quraani),
versi Nasakh ini tidak diperselisihkan
eksistensinya, yakni telah disepakati oleh seluruh orang maupun ulama yang
menyetujui Nasakh mengenai keberadaannya maupun kebolehannya
Contohnya seperti ayat 12 surat
al-Mujadalah yang di Nasakh dengan ayat 13 surat ala-Mujadalah
2. Menasakh Sunnah dengan al-Qur’an, (Nasakhus
Sunnah bil Quraani),
Nasakh ini membatalkan hokum yang di tetapkan
berdasarkan hadist nabi diganti dengan hokum yang berdasarkan dengan yang
terkandung dalam al-Quran, Nasakh jenis ini diperbolehkan atau disepakati oleh
jumhur ulama
seperti Nasakh Syari’at puasa wajib
hari ‘Asyuro (10 Muharram) dengan Syari’at puasa wajib bulan Romadhon.
Yang diriwayatkan Bukhari Muslim. Maksudnya adalah semula berpuasa pada ‘Asyuro
itu wajib, tetapi setelah turunnya ayat yang mewajibkan puasa Romadhon,
maka puasa pada hari Syuro tidak lagi menjadi wajib, sehingga hukumnya menjadi
sunnah.
3. Menasakh al-Qur’an dengan Sunnah. (Nasakhul
Quraani bis Sunnati)
Menasakh al-Quran dengan sunnah ini
menurut jumhur ulama diperbolehkan, dengan syarat harus memakai hadist
mutawatir, sedangkan jika menggunakan hadist ahad tidak diperbolehkan, sebab
al-Qur’an adalah mutawatir dari Allah, sedangkan hadist ahad hanya memberikan
faedah dugaan atau yang disebut dhanni saja.
Contohnya seperti puasa hari Asy-Syura yang ditetapkan dan
berdasarkan sunah riwayat Bukhori Muslim dari Aisyah ra :
عَنْ غَائِشَةَ قَالَتْ : كَانَ عَاشُوْرَاءُ صِيَامًا, فَلَمَّا أُنْزِلَ
رَمَضَانُ كَانَ مَنْ َشاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ
Artinya : “Dari Aisyah, beliau berkata: “Hari Asyura itu
adalah wajib berpuasa. Ketika dturunkan (kewjiban berpuasa) bulan ramadhan,
maka ada orang yang mau berpuasa dan ada pula yang tidak berpuasa.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Maksudnya , semula berpuasa hari Asyura itu wajib, tetapi
setelah turun ayat yang mewajibkan puasa pada bulan Ramadhan, maka puasa hari
Asyura itu tidak wajib lagi, sehingga ada orang yang berpuasa da nada yang
tidak. Ayat itu adalah :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya: “Karena itu, barang siapa diantara kalian hadir (di
negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa pada
bulan itu.” (QS Al-Baqarah: 185)
4. Menasakh Sunnah dengan Sunnah.(Naskhus
Sunnah bis Sunnah)
Penghapusan atau pembatalan hokum atau ketetapan yang ada
pada sunnah dengan sunnah yang lebih akhir. Nasakh versi ini tidak lagi menjadi perdebatan
jumhur ulama.[16]
Dalam klasifikasi nasakh ini, ada empat kemungkinan, yaitu:
a) Nasakh sunah yang mutawatirah dengan
hadist yang mutawatirah (Naskhus Sunnati Al-Mutawaatirati bil Mutawaatirati)
b) Nasakh sunnah yang ahad dengan yang
ahad (Naskhus Sunnati Al-Ahaadi bil Ahaadi)
c) Nasakh sunnah yang ahad dengan yang
mutawatir (Naskhus Sunnati Al Ahaadi bil Mutawaatirati)
d) Nasakh sunnah mutawatir dengan sunnah
ahad (Naskhus Sunnati Al Mutawaatirati bil Ahaadi)
Adapun
macam-macam Nasakh-Mansukh yang terjadi dalam al-Qur’an ada tiga macam, antara
lain:
1. Ayat yang bacaan dan hukumnya di nasakh
kan, maka ayat tersebut tidak ditulis lagi dalam Al Quran. Dan hukumnya pun
tidak diamalkan lagi.
Contohnya ayat yang menjelaskan tentang
menyusui anak, yang mana hal tersebut dapat membuat anak tersebut haram menikah
dengan ibu yang menyusuinya, yaitu sepuluh kali, kemudian di nasakhkan oleh
lima kali menyusu. Sehingga yang diharamkan adalah sepuluh kali menyusu.
Aisyah ra. berkata:
كَانَ فِيْمَا
أُنْزِلَ مِنْ الْقُرْاَنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ
مَعْلُوْمَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُوْلُاللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ
فِيْمَا يُقْرَأُ مِنْ الْقُرْاَن
Pernah diturunkan (kepada Nabi) sepuluh kali menyusu yang
dimaklumi yang (menyebabkan) haram (menikahi), kemudian dinasakhkan dengan lima
kali yang dimaklumi. Selanjutnya Rasul wafat, ayat-ayat itu dibaca sebagai
bagian dari Al-Quran.[17]
Al-Qadhi Abu Bakar dalam kitabnya Al-Intishar menceritakan,
bahwa orang-orang tidak membenarkan atau
mengingkari nasakh ini dengan alasan karena ditetapkan dengan hadits ahad yang
dzanni. Namun disisi lain Prof. Manna Al-Qaththan membantah tentang pendapat
tersebut dengan alasan bahwa cukup dengan dalil dzanni dan hadits ahad saja,
karena ini hanya menjelaskan tentang adanya nasakh bukan menjelaskan tentang
turunnya Al-Quran yang memang harus dengan dalil qath’i dan hadits mutawattir.
Adapun ayat yang termasuk kedalam kategori ini, yaitu
seperti ayat berikut
يأَيُّهَاالَّذِيْنَءَامَنُوْا
إِذَا نَجَيْتُمُ الرَّسُوْلَ فَقَدِّمُوْابَيْنَ يَدَىْ نَجْوَىكُمْ صَدَقَةً
“Wahai orang-orang
yang beriman apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan
sedekah (kepada kaum miskin) sebelum pembicaraan itu.” (QS Al Mujadilah : 12).
Ayat ini telah mewajibkan memberikan
shadaqah sebelum pembicaraan dengan Nabi saw. Kemudian ayat ini dinasakh oleh
firman Allah SWT :
ءَأَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَىْ نَجْوَىكُمْ صَدَقتٍ
فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوْا وَتَابَ اللهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيْمُواالصَّلَواةَ
وَءَاتُواالزَّكَوةَ وَأَطِيْعُوْا اللهَ وَرَسُوْلَهُ
“Apakah kamu takut
akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan
Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat
kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah
dan Rasul-Nya.” (Qs Al Mujadilah : 13)[18]
Mansukh (yang di nasakh) pada ayat
tersebut adalah hukumnya, sementara ayatnya masih ada dalam Al Quran. Nasakh
terjadi pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang hukum, dan tidak terjadi pada
ayat yang menjelaskan tentang aqidah, sejarah nabi, dan pemberitaan seperti
pemberitaan surge dan neraka.
Meskipun para ulama sependapat tentang
bentuk nasakh pertama ini, namun dalam hal jumlah ayat yang di nasakh para
ulama berbeda pendapat antara satu dengan yang lain. Ada ulama yang menghitung
sampai ratusan ada pula yang sedang da nada yang menyedikitkan. Dan yang
terakhir ini adalah hasil penelitian dari Dr. Mustafa Zaid yang dituangkan
dalam kitabnya yakni al Nasakh fi Al Quran Al Karim, ayat-ayat yang di
nasakh kan ternyata hanya berjumlah hitungan jari (sedikit).
2. Ayat yang hukumnya di nasakh kan, namun
bacaannya masih ada, maksudnya hukumnya nasakh ayatnya masih ada.
Hal ini seperti firman Allah :
وَالَّتِي
يَأْتِيْنَ الْفَحِشَةَ مِنْ نِّسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوْا عَليْهِنَّ أَرْبَعَةً
مِّنْكُمْ فَأِنْ شَهِدُوْا فَأَمْسِكُوْهُنَّ فِى الْبُيُوْتِ حَتَّى
يَتَوَفَهُنَّ الْمَوْتُ
Dan (terhadap) wanita-wanita yang mengerjakan perbuatan keji
hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian
apabila mereka telah memberikan kesaksian maka kurunglah mereka (wanita-wanita)
itu dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya.
Ketentuan hukuman bagi pezina, yaitu ditahan dirumah sampai
meninggal
فَأَمْسِكُوْهُنَّ
فِى الْبُيُوْتِ حَتَّى يَتَوَفَهُنَّ الْمَوْتُ,
yang terdapat dalam ayat ini telah di nasakh kan. Akan
tetapi ayatnya masih ada. Ayat yang me nasakh kannya adalah :
الزَّانِيَةُ
وَالزَّانِى فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
وَلَاتَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِى دِيْنِ اللهِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلاَخِرِ
Prempuan dan laki-laki yang berzina maka deralah setiap
orang dari keduanya seratus kali dera. Dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah dan hari akhir.
Jadi, hukuman bagi pezina berubah dari kurungan menjadi
cambuk seratus kali.[19]
Adapun contoh lain seperti ayat ini :
وَالَّذِيْنَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ أَزْوَاجًا وَصِيَةً لِآَزْوَاجِهِمْ
مَتَاعًا اِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ اِخْرَاج
“Dan orang-orang yang akan meninggal
dunia diantara kalian dan meninggalkan beberapa istri, hendaklah berwasiat
untuk istri-istrinya itu, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan
tidak disuruh pindah.” (QS. Al-Baqarah : 240)
Dengan ayat
ini, maka istri-istri yang dicerai dari suaminya itu harus ber iddah selama
satu tahun dan masih berhak mendapatkan nafkah dari tempat tinggal terus selama
iddah satu tahun. Tetapi kemudian Allah SWT me nasakh hokum ayat tersebut,
sehingga keharusan iddah satu tahun tidak berlaku lagi, meski lafal nash
ayatnya masih tetap ada dan boleh tetap dibaca. Lalu diganti dengan ketentuan
hokum dari ayat Al-quran :
وَالَّذِيْنَ
يَتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ اَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْقُسِهِنَّ
أَرْبَعَةً أَشْهُرٍ وَعَشْراً
“Dan orang-orang
yang meninggal dunia diantara kalian dengan meninggalkan istri-istri, (maka
hendaklah istri-istri itu) menangguhkan diri mereka (ber iddah) selama empat
bulan sepuluh hari.” (QS Al-Baqarah : 234)[20]
Dengan turunnya surat Al-Baqarah ayat 234 itu maka hukum
yang ada pada ayat 240 tidak berlaku lagi, yakni jika ada seseorang meninggal
dunia dan meninggalkan istri maka masa iddah yang berlaku adalah 4 bulan 10
hari. Namun ayat yang sebelumnya masih ada dalam Al-Quran.
3. Ayat yang bacaannya dinasakhkan, dan
hukumnya masih diamalkan
Hal ini banya terdapat dalam Al quran, diantaranya :
Aisyah
berkata, “Dahulunya di zaman Nabi saw, surah Al Ahzab dibaca sebanyak 200 ayat.
Tatkala Usman menulis mushaf, ia hanya tinggal 73 ayat saja seperti yang
terlihat sekarang. Diantara ayat yang tidak ditulis karena telah di nasakh kan
adalah ayat mengenai hukum rajam, yaitu :
اِذَا زَنَا
الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ فَارْجُمُوْهُمَا الْبَتَّة نَكَالاً مِنَ اللهِ وَاللهُ
عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Apabila orang tua laki-laki dan orang tua perempuan berzina,
maka rajamlah keduanya, (hal itu) sebagai pelajaran dari Allah. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Mengetahui.
Abu Musa
Asy’ari juga mengatakan; “pernah turun suatu ayat yang termuat dalam surah
At-Taubah, kemudian ayat itu diangkat”. Abu Musa telah menghafal ayat itu, ayat tersebut adalah
اِّنَّ اللهَ
سَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّيْنَ بِأَقْوَامٍ لأَخْلَاقِهِمْ وَلَوْ اَنَّ لاِبْنِ
ادَمَ وَادِيَيْنِ مِنْ مَالٍ لَتَمَنَّى وَادِيًا ثَالِثًا وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ
ابْنِ ادَمَ اِلَّا التُّرَابُ وَيَتُوْبُ اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ
Sesunguhnya Allah menguatkan agama ini dengan bangsa-bangsa
disebabkan karena akhlak mereka. Dan seandainya manusia itu memiliki dua buah
lembah harta, maka dia berkeinginan mendapat lembah ketiga. Rongga manusia
tidak ada yang dapat memenuhinya kecuali tanah. Allah menerima tobat
orang-orang yang bertobat kepada-Nya.[21]
Contoh yang lain ialah apa yang
diriwayatkan dalam Ash-Shahihain, dari Anas tentang kisah orang-orang yang
dibunuh didekat sumur Ma’unah, sehingga Rasulullah saw ber-qunut untuk
mendoakan para pembunuh mereka. Anas mengatakan, “Dan berkenaan dengan mereka
turunlah wahyu yang kami baca sampai ia diangkat kembali, yaitu :
اَنْ بَلِّغُوْا قَوْمَنَا اَنْ قَدْ لَقِيْنَا رَبَّنَا فَرَضِيَ عَنَّا
وَاَرْضَانَا
“Sampaikanlah dari
kami kepada kaum kami bahwa kami telah bertemu Tuhan kami, maka Ia ridha kepada
kami dan kami pun ridha.”
Hikmah Nasakh
Setelah mengetahui berbagai dimensi Nasakh-Mansukh, perlu di
jelaskan hikmah atau ibrah Allah SWT mensyaria’atkan adanya Nasakh-Mansukh.
Sebab mengetahui suatu ketentuan hokum itu dapat membuat pikiran menjadi
tenang, menentramkan jiwa, serta menghilangkan keragu-raguan. Apalagi dalam
persoalan Nasakh-Mansukh, banyak ulama yang menolak atau tidak mengakui
keberadaan Nasakh-Mansukh, sehingga perlu dijelaskan hikmah ini agar lebih
memantapkan keyakinan eksistensi serta fungsi dari Nasakh-Mansukh ini.
a. Hikmah Nasakh secara umum
1) Untuk menunjukkan bahwa syariat yang
paling sempurna adalah syariat agama islam. Maka dari itu syariat-syariat
sebelum islam dinasakh oleh syariat islam. Karena syariat islam telah mencakup
semua kebutuhan manusia dari segala aspek dan zaman.
2) Agar kemaslahatan hamba terjaga serta
kebutuhan mereka terpelihara dalam semua keadaan
3) Agar perkembangan hukum islam terjaga
dan selalu relevan untuk semua kalangan manusia
4) Untuk menguji orang mukallaf, apakah
mereka tetap taat dalam aturan Allah dengan adanya nasakh atau malah mereka
ingkar
5) Agar kebaikan orang-orang yang setia
mengamalkan perintah Allah bertambah, karena dengan bertambahnya kesulitan maka
akan bertambah pula kebaikan dan pahalanya
6) Untuk meringankan umat manusia, karena
dengan adanya nasakh ada yang meringanan beban dan mempermudah.
b. Hikmah Nasakh Tanpa Pengganti
Sebagai contoh Nasakh tanpa pengganti
adalah seperti yang ada dalam Al-Quran surat Al-Mujadilah ayat 12 tentang
nasakh terhadap hukum sedekah sebelum menghadap Rasul, yang kemudian hukum itu
di nasakh oleh surat Al-Mujadilah ayat 13, tetapi tidak disebutkan hukum
pengganti dari pe-nasakh-an tersebut.
Maka sebagai hikmahnya dari contoh
diatas adalah untuk menjaga kemaslahatan umat manusia, karena dengan begitu
mereka tidak berlaku seenaknya (menyenangkan mereka) ketika ingin menemui Rasul.
c. Hikmah Nasakh dengan Pengganti yang
Lebih Berat
Hikmah dari nasakh ini adalah untuk
mempertebal keimanan dan menambah kebaikan serta pahala.
d. Hikmah Nasakh dengan Pengganti yang
Lebih Ringan
Hikmah dari nasakh dengan pengganti
lebih ringan adalah untuk memberi keringanan kepada umat manusia, dan juga
sebagai renungan bahwa Allah Maha Pemurah.[22]
Adapun beberapa dari hikmah nasakh dari salah satu sumber ,
antara lain :
1. Menjaga kemaslahatan umat
2. Pertumbuhan tasyri’ menuju fase
sempurna berdasarkan perkembangan dakwah serta perkembangan keadaan umat Islam
3. Ujian dan cobaan untuk seorang mukallaf
apakah mematuhinya atau tidak
4. Menginginkan kemudahan dan kebaikan
bagi umat, karna kalau Nasakh itu berpindah ke hal atau urusan yang lebih
sukar, maka didalamnya terdapat pahala berlebih, dan jika berpindah ke hal atau
urusan yang lebih mudah maka ia memuat keringanan dan kemudahan.[23]
Syarat-syarat
Nasakh
Berdasarkan paparan definisi Nasakh diatas dapat disimpulkan
bahwa penasakhan harus memenuhi empat syarat, yaitu
1. Hokum atau ketentuan yang dinasakh
harus berupa hokum syarak (firman Allah dan sunnah Rosulullah SAW yang
berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf), bukan hokum aqli (peraturan atau
ketetapan oleh akal pikiran manusia).
2. Dalil syara’hanya boleh menghapus hokum
syara’ itu sendiri tidak boleh dari dalil aqli. Yang termasuk dalil syarak
antara lain: al-Quran, Hadist, Ijma, dan Qiyas.
3. Jika ada dalil yang lebih akhir turun
harus mencapai tenggang waktu dari dalil hokum yang lebih awal turun. Jadi
antara dalil yang lebih awal turun dengan dalil yang turunnya akhir tidak
berkaitan
4. Harus ada pertentangan yang nyata
antara dalil yang lebih awal turun dan dalil yang turunnya akhir, supaya tidak
tejadi pengkrompromian. Sebab adanya nasakh untuk memecahkan suatu masalah yang
tidak ada jalan keluarnya kecuali dengan hokum atau ketentuan yang baru.[24]
Daftar Rujukan
Djalal Abdul.2013.Ulumul Quran.Surabaya: CV.Dunia
Ilmu
Al-Qarthan Manna’ Al-Qarthan.2008.Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an.Jakarta: Pustaka al-Kautsar
Yusuf.Kadar M.2009.Studi Al-Quran.Jakarta: Amzah
Kurnia Muhammad Rahmat,dkk.2002.Prinsip-Prinsip
Pemahaman Al-Quran dan Al Hadits, Jakarta: Khairul Bayan
Madyan
Ahmad Syams.2008.Peta Pembelajaran Al-Quran.Yogyakarta: Pustaka
belajar
Anwar Abu.2002.Ulumul
Quran Sebuah Pengantar.Jakarta : Amzah
Syafi’I Imam.2004.Ar Risalah.Jakarta: Pustaka
Firdaus
Hermawan Acep.2011.Ulumul Quran:Ilmu untuk Memahami
Wahyu.Bandung: Remaja Rosdakarya
Revisi:
1.
Tidak ditemukan indikasi copy-paste.
2.
Penulis yang
berjumlah tiga orang atau lebih menggunakan format: penulis pertama dkk.
3.
Penulisan
footnote yang diulang dengan adanya jeda menggunakan format: penulis, judul
(lazimnya tiga kata), halaman.
4.
Kesimpulan belum
dicantumkan.
[2] Mahmud Taysir At-Tahhan, Musthalah AL Hadits, Riyadh: Maktabah
Al Ma’arif, 1996, hlm 59.
[4] Muhammad Rahmat Kurnia, Muhammad Sigit Purnawan Jati, dan Muhammad
Ismail Yusanto, Prinsip-Prinsip Pemahaman Al-Quran dan Al Hadits, (Jakarta:
Khairul Bayan, 2002), hlm 77
[5] Manna’I Al-Qathan, Mabahis
fii Ulumul Quran, Riyath, Mansyurat Al-Asr Al-Hadits, T, th, hlm. 232.
Lihat juga , Burhan fii Ulumul Quran , juz. 2. hlm. 34
[7] Djalal Abdul,2013,Ulumul Qur’an,Surabaya: CV Dunia Ilmu,
Hal.113
[8] Muhammad Rahmat Kurnia, Muhammad Sigit Purnawan Jati, dan Muhammad
Ismail Yusanto, Prinsip-Prinsip Pemahaman Al-Quran dan Al Hadits, (Jakarta:
Khairul Bayan, 2002), hlm 77
[12] Quraish Shihab, Membumikan
Alquran, Bandung, Mizan, hlm 144. Lihat juga Alie Yafie, Menggagas fiqih
social, hlm. 33.
[16] Ahmad Syams Madyan,Peta Pembelajaran Al-Quran,Yogyakarta:
Pustaka belajar,2008, hlm.200
[18] Muhammad Rahmat Kurnia, Muhammad Sigit Purnawan Jati, dan Muhammad
Ismail Yusanto, Prinsip-Prinsip Pemahaman Al-Quran dan Al Hadits, (Jakarta:
Khairul Bayan, 2002), hlm 81
[21] Az-Zarqani, Manah Al
Irfan fi Ulum Al-Quran, Beirut: Dar Al Fikr, 1998, hlm. 23, ayat ini, dulunya,
merupakan salah satu ayat yang terdapat dalam Surat At- Taubah.
[23] Manna’ Al-Qarthan,Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,Jakarta:
Pustaka al-Kautsar,2008,hlm.296
Tidak ada komentar:
Posting Komentar