Senin, 03 Oktober 2016

Asbab al-Nuzul (PAI D Semester III)




ASBAB AL-NUZUL
Kholida Firdausi Nuzula  (15110161),
Nia Nur Azizah (15110093),
Fajar Mudzakkir Maulana (15110153)
PAI D Semester III
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang  

Abstract:
asbab an idhafah-nuzul is a form of the word "asbab" and "nuzul".Etymologically, asbab an-nuzul is the causes behind the occurrence of something.
asbab-nuzul an expression used specifically to state the reasons behind the decline of Al-Quran, as well as al-wurud
asbab specifically used for the causes of hadith.
An examination of the events
it nuzul, there are two kinds of Quranic verses, The first verses revealed without any relevance to the specific causes and specific events.
And usability asbab an-nuzul
to show that the determination of the law has been through various judgment, to understand that verse down applies specifically, When the paragraph text public, and there are arguments devoting it, to assist in understanding the meaning of the verse, as well as to prevent abuse paragraph to personal goals.And in an-nuzul asbab help understand and cope with the uncertainties regarding the message in the verses of the Qur'an.
And some argue that the historicity of Arabia pre-Qur'an during the fall of the Qur'an is the background of macro quran, while narrations asbab an-nuzul a micro background.

Pendahuluan
Al-Quran bukanlah merupakan sebuah buku dalam pengertian umum, karena ia tidak pernah di formulasikan, tetapi di wahyukan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW. Sesuai situasi yang menuntunnya. Al-quran sendiri sangat menyadari kenyataan ini sebagai sesuatu yang akan menimbulkan keusilan di kalangan oembantahnya. Qs Al-furqon ayat 32. Seperti yang di yakini sampai sekarang, pewahyuan al-quran secara total dan secara sekaligus itu tidak mungkin karena al-quran di turunkan sebagai petunjuk bagi kaum muslimin secara berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada.
Sebagian dari tugas untuk memahami pesan dari al-aquran sebagai dari suatu kesatuan adalah mempelajarinya dan konteks latar belakangnya. Latara belakang yang paling tepat adalah kegiatan dan perjuangan nabi yang berlangsung selama 23 tahundi bawah bimbingan al-quran. Terhadap perjuangan nabi yang secara keseluruhan sudah terpapar dalam sunnahnya kita perlu memamhaminya lingkungan pergaulan arab pada masa awal penyebaran islam dalam konteks prespektif karena aktifitas nabi di dalamnya. Oleh karena itu, adat istiadat, lembaga-lembaga serta pandangan hidup aktivitas Nabi. Secara khusus, situasi Mekkah pra-Islam perlu di pahami secara mendalam. Apabila tidak memahami masalah ini, kita tidak akan dapat memahami pesan al-quran sebagai suatu keutuhan. Orang akan salah menangkap pesan-pesan al-quran secara utuh, jika hanya memahami bahasanya saja, tanpa memahami konteks historinya. Untuk dipahami secara utuh, al-quran harus di cerna dalam konteks perjuangan nabi dan latar belakang pejuangannya. Oleh sebab itu, hampir semua literatur yang berkenaan dengan al-quran menekankan pentingnya asbab annuzul.[1]
1.     Definisi Asbab Al-Nuzul
            Ungkapan asbab an-nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul". Secara etimologi, asbab an-nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatar belakangi terjadinya sesuatu dapat disebut asbab an-nuzul, dalam pemakaiannya, ungkapan asbab an-nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya Al-Quran, seperti halnya asbab al-wurud secara khusus digunakan bagi sebab-sebab terjadinya hadits. [2]
            Dilihat dari aspek peristiwa nuzulnya, ayat Alquran ada dua macam. Pertama ayat yang diturunkan tanpa ada keterkaitannya dengan sebab tertentu, tapi semata karena hidayah bagi manusia. Kedua, ayat-ayat Alquran  yang diturunkan karena adanya sebab atau peristiwa tertentu. Misalnya pertanyaan yang diajukan oleh umat islam atau bukan muslim kepada Rasulullah Saw. Atau adanya kasus tertentu yang memerlukan jawaban sebagai sikap syariat islam terhadaptau adanya kasus tertentu yang memerlukan jawaban sebagai sikap syariat islam terhadaptau adanya kasus tertentu yang memerlukan jawaban sebagai sikap syariat islam terhadap kasus tersebut. Ayat-ayat macam inilah yang dibahas dalam kaitannya dengan pembicaraan Asbab Al-Nuzul.
            Para ulama ahli Ulum Alquran, misalnya Syekh Abdu Al- Adhim Al-Zarqani, dalam Manahil Al-Irfan mendefinisikan asbab al-nuzul atau sebab nuzul sebagai kasus atau sesuatu yang terjadi yang ada hubungannya dengan turunnya ayat, atau ayat-ayat Alquran sebagai penjelasan hukum pada saat terjadinya kasus.
            Kasus yang dimaksud dalam definisi di atas, tentu saja terjadi pada jaman Rasulullah Saw. Demikian juga pertanyaan –pertanyaan yang diajukan setelah terjadinya kasus tertentu atau pertanyaan tertentu yang diajukan kepada Rasulullah Saw. Kemudian turun satu atau beberapa ayat  Alquran yang menjelaskan hukum kasus tersebut atau menjawab pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah Saw. Hakikatnya Rasulullah hanyalah pembawa risalah, beliau tidak memegang otoritas umtuk menetapkan suatu hukum syariat. Hukum itu sendiri datang dari Allah Swt. Melalui wahyu yang dibawa oleh malaikat Jibril.[3]
Ada tiga definisi yang dikemukakan oleh ahli tafsir tentang Asbabun Nuzul:
1.      Menurut Az-Zarqoni, Asbabun Nuzul adalah khusu atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan turunnya ayat Al-Quran yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.  
2.      Peristiwa-peristiwa pada masa ayat Alquran diturunkan (yaitu dalam waktu 23 tahun), baik peristiwa itu terjadi sebelum atau sesudah ayat itu diturunkan.
3.     Peristiwa yang dicakup oleh suatu ayat, baik pada waktu 23 tahun itu maupun yang terjadi sebelum atau sesudahnya. Ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan oleh Subhi Sholeh yang berbunyi:
مانزلت الاية اوالايات بسببه متضمنة له اومجيبة عنه اومبينة لحكمه زمن وقوعه
Sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab tersebaut.”
            Pengertian ketiga ini memberikan indikasi bahwa sebab turunnya suatu ayat adakalanya berbentuk peristiwa dan adakalanya berbentuk pertanyaan. Satu ayat atau beberapa ayat yang turun untuk menerangkan hal yang berhubungan dengan peristiwa tertentu atau memberi jawaban terhadap pertanyaan tertentu. Dalam hal ini termasuk pendapat Al-Wahidi, yang menyatakan bahwa latar belakang turunnya surah Al-Fiil adalah kisah penyerbuan ka’bah oleh Raja Habasyah (Abrahah).
            Sebab turun ayat dalam bentuk peristiwa ini ada tiga macam yaitu:
1.    Disebabkan peristiwa pertengkaran. Contoh peristiwa ini adalah perselisihan yang berkecamuk antara suku Aus dengan suku Khazraj. Perselisihan tersebut muncul dari intrik-intrik yang dihenbuskan oleh kelompok Yahudi sehingga mereka berteriak: senjata! Senjata! (perang! Perang!). peristiwa tersebut menyebabkan turunnya ayat 100 surah Ali Imron:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi al-kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir.”
Ayat tersebut dilanjutkan samapai beberapa ayat sesudahnya. Hal ini merupakan cara terbaik untuk menjauhkan orang dari perselisihan dan merangsang orang untuk berkasih sayang satu dengan yang lainnya, memiliki rasa persaudaraan yang tinggi dan kekompakan atau kesepakatan yang kuat.
2.    Disebabkan peristiwa kesalahan yang serius. Contoh, seorang yang menjadi imam dalam shalat dan orang tersebut dalam keadaan mabuk. Sehingga orang tersebut salah membaca surah Al-Kafirun, dia membacanya dalam shalat:
أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. قُلْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلْكَٰفِرُونَ
Imam tersebut tidak menggunakan kata لا ketika membaca  لا اعبد Peristiwa tersebut menyebabkan turunnya surah An-Nisa’ ayat 42 yang melarang orang mengerjakan shalat ketika mabuk. Ayat tersebut berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghapiri (mengerjakan) shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.”
  1. Disebabkan adanya cita-cita dan keinginan. Contoh, sejarah mencatat ada beberapa ucapan yang ingin diucapkan oleh Umar al-Khattab, tapi dia tidak berani, kemudian turun ayat misalnya yang diinginkan oleh Umar, ayat 14 dalam surah Al Mukminun yang berbunyi:
فَتَبَارَكَ اللَّهُ
أَحْسَنُ الْخَالِقِين
Contoh lain adalah menjadikan maqam Ibrahim sebagai tempat shalat ayat tersebut berbunyi:
واتخدوامن مقام ابراهيم مصلى
Artinya:
Untuk mengetahui Asbabun Nuzul haruslah berdasarkan periwayat yang shahih, sebab berdasarakan periwayatan yang shahih dapat diketahui latar belakang turunnya ayat. Untuk itu periwayatan Asbabun Nuzul yang diriwayatkan berdasarkan hadis mursal tidak dapat diterima, kecuali apabila diperkuat oleh hadis mursal yang lain yang rawinya belajar dari sahabat, seperti Mujahid,bIkrimah, Said bin Zubair. [4]

  1. KEGUNAAN MEMPELAJARI ASBABUN NUZUL
A.      Untuk menunjukkan bahwa dalam penetapan hukum sudah melalui berbagai pertimbangn, termasuk masalah-masalah yang dihadapi oleh perorangan.

B.      Untuk memahami bahwa ayat yang turun berlaku khusus, bagi yang berpegang pada kaidah:
العبرة بخصوص السبب لابعموم اللفظ
Artinya:
Yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus, bukan keumuman teksnya.

Misalnya seperti ayat:
لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya:
“Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang gembira dengan apa yang mereka kerjakan dan mereka suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan, jangan sekali-kali kamu mengira bahwa mereka akan lolos dari ahzab. Mereka akan mendapat azab yang pedih” (Q.S Ali Imron/3: 188).
Ayat itu pernah membingungkan Marwan, Gubernur Mu’awiyyah di Hijaz. Ia bingung karena siapa yang tidak gembira dengan apa yang ia lakukan dan tidak ingin dipuji, karena ia manusia akan masuk neraka. Ia memerintahkan seorang pembantunya bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, kemudian Ibnu ‘Abbas menjawab (ayat 187), yaitu bahwa nabi Muhammad pernah bertanyakepada mereka mengenai sesuatu. Mereka menjawabnya dengan sesuatu yang tidak sebenarnya, tetapi mereka merasa sudah berjasa kepada Nabi SAW dan minta dipuji. Ayat itu menegaskan bahwa mereka masuk neraka. Dengan demikian, ayat 188 itu berlaku khusus, yaitu hanya bagi ahli kitab tersebut, tetapi itu bagi yang berpegang pada kaidah diatas. Orang yang tidak berpegang pada kaidah itu tetap berpendapat bahwa ayat itu berlaku umum.
C.      Bila teks ayat umum, dan terdapat dalil yang mengkhususkannya, maka sebab turunnya ayat diterapkan pada bentuk yang bukan bentuk dalil itu.

Misal ayat:
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (٢٣) يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (٢٤) يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ اللَّهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ وَيَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ الْمُبِينُ (٢٥
Artinya:
“Sungguh, orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik. Yang lengah dan beriman (dengan tuduhan berzinah), mereka dilaknat di dunia dan di akhirat, dan mereka akan mendapat azab yang besar, pada hari ketika lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Pada hari itu Allah menyempurnakan balasan yang sebenarnya bagi mereka, dan mereka tahu bahwa Allah maha besar, maha menjelaskan” (Q.S An-Nur/24: 23-25)
Ayat ini umum, siapa yang menuduh perempuan-perempuan baik berzinah, ia akan dilknat di dunia dan di akhirat. Berarti tobat orang itu tidak diterima. Tetapi ayat ini turun khusus berkenaan dengan orang yang menuduh Ummul-Mukminin, ‘Aisyah dan istri-istri Rasulullah lainnya, menurut satu pendapat.
Terdapat ayat lain, yaitu:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (٤) إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٥     
Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzinah) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan kali.dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang jasik, kecuali mereka orang yang bertaubat setelah itu dan memperbaiki dirinya. Maka sesungguhnya Allah maha pengampun, maha penyayang.” (Q.S An-Nur/24: 4-5)
Dalam ayat ini taubat orang yang menuduh diterima, berarti ayat ini adalah dalil untuk mengkhususkan (menyempitkan pengertian) ayat 23-25 diatas. Tetapi, ayat ini tidak bisa diberlakukan pada ayat 23-25 itu, dikarenkan sebab turun ayat itu jelas (qal’i) berkenaan dengan orang yang menuduh Aisyah, memberlakukan ayt yang umum itu untuk khusus, yaitu untuk Aisyah saja. Dengan demikian, orang yng menuduh Aisyah tidak diterima taubatnya, sedangkan orang menuduh perempuan baik-baik selain Aisyah diterima tobatnya.



D.     Untuk membantu dalam memahami makna ayat.
Misalnya mengenai surat Ali Imran/3: 188 di atas,  yang membuat Marwan bingung atu mengenai ayat:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ
Artinya:
Sesungguhnya Safa dan Mrwah merupakan sebagian syi’ar (agama) Allah maka barang siapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan. Maka Allah mensyukuri. Maha mengetahui. (Q.S Al-Baqarah/2: 158)
Ada sahabat yang memahami dari ayat itu bahwa sa’i antara Safa dan Marwa dalam ibadat haji itu tidak wajib, karena ungkapan ayat itu adalah, “tidak ada dosa”. Hal itu dibantah oleh Aisyah dengan sebab turun ayat itu, yaitu bahwa orang-orang pada zaman jahiliyah memulai sa’i dengan mengusap patung yang bernama isaf yang mereka letakkan di Safa, dan mengusap patung bernama Na’ila yang mereka letakkan di Marwah. Dalam zaman Islam para sahabat merasa berdosa mengerjakan sa’i itu karena kebiasaan orang jahiliyah tersebut. Maka turunlah ayat yang menyatkan “tidak ada dosa” itu, tetapi maksudnya “wajib”.
E.      Untuk menghindari penyalahgunaan ayat untuk tujuan pribadi.

Contoh ayat: 
وَالَّذِي قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ لَكُمَا أَتَعِدَانِنِي أَنْ أُخْرَجَ وَقَدْ خَلَتِ الْقُرُونُ مِنْ قَبْلِي وَهُمَا يَسْتَغِيثَانِ اللَّهَ وَيْلَكَ آمِنْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَيَقُولُ مَا هَٰذَا إِلَّا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِين
Artinya:
“Dan orang yang berkata kepada kedua orang tuannya:”ahh”, apakah kamu berdua memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan (dari kubur), padahal beberapa umat sebelumku telah berlalu? Lalu kedua orang tuanya itu memohon pertolongan kepada Allah (seraya berkata). “celaka kamu, berimanlah! Sungguh, janji Allah itu benar.” Lalu dia (anak itu) berkata: “ini hanyalah dongeng orang-orang dahulu.” (Q.S Ahqaf/46: 17)
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa orang yang berdurhaka kepada orang tuanya akan masuk neraka. Ayat itu digunakan aleh Marwan, Gubernur Mu’awiyah di Hijaz, untuk menangkap Abdurrohman bin Abu Bakar As-Siddiq, karena ia tidak mau membaiat Yazid putra Mu’awiyah yang diangkat oleh ayahnya itu untuk menggantikannya sebagai khalifah. Abdurrohman lari ke rumah Aisyah. Waktu Marwan hendak menangkapnya, Aisyah menjelaskan bahwa makna ayat itu tidak seperti yang dipahami Marwan, oleh karena itu, ia benar-benar mengetahui bahwa ayat itu turun berkenaan dengan siapa? [5]


  1. Asbab an-Nuzul Mikro dan Makro
Asbabun- Nuzul Secara Mikro
Riwayat yang disampaikan  Ibn Abi Khatim dan Al-Adni dari Ibn Abi Najih yang bersumber dari Mujahid menyatakan bahwa Salman bertanya kepada Nabi saw. Tentang penganut agama yang pernah ia anut bersama mereka. Ia terangkan cara shalat dan ibadahnya. Maka turunlah ayat 62 surah Al-Baqarah ini sebagai penegasan bahwa orang yang beriman kepada Allah, hari akhir dan berbuat baik akan mendapat pahala dari Allah.
Riwayat  yang disampaikan oleh Al-Walid dari Abdullah bin Katsir yang bersumber dari Mujahid menyatakan bahwa ketika Salman menceritakan kepada Rasulullah saw. Kisah teman-temannya, maka Nabi menjawab “mereka di neraka”. Salman berkata “seolah-olah dunia ini gelap gulita bagiku”. Akan tetapi setelah turun ayat ini (Qs. 2:62) “dunia ini seolah- olah terang benderang bagiku”.
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا وَأَحْسَنُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (٩٣
Artinya:
Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang shaleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dengan mengerjakan amalan-amalan yang shaleh, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (Qs. Al Maidah 93)
            Dan adapun Asbabun Nuzul dari ayat di atas adalah riwayat yang disampaikan oleh Imam Ahmad yang bersumber dari Abu Hurairah, ia menanyakan kepada Nabi tentang nasib orang-orang yang gugur di jalan Allah, dan yang mati di atas kasur padahal mereka peminum arak dan makan dari hasil judi, dan Allah telah menetapkan bahwa kedua hal tersebut termasuk perbuatan syaitan yang keji. Lalu Allah menurunkan ayat 93 dari Surah Al-Maidah ini yang menjawab pertanyaan mereka, dan ayat itu disampaikan oleh Nabi kepada mereka.[6] 
Asbabun An-nuzul secara Makro:
Terdapat sebagian pendapat bahwa kesejarahan Arabia pra-Qur’an pada masa turunnya Al-Qur’an merupakan latar belakang makro. Misalnya:
Q.S Al-Midah ayat ke-4 :
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ (٤
Artinya:
mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesunggunya Allah amat cepat hisab-Nya.”
Asbabun-Nuzul
(HR. Thabrani, Hakim, Baihaqi dan yang lain dari Abi Rafi’).
Pada suatu waktu Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah SAW dan meminta izin untuk masuk ke rumah. Rasulullah SAW memberikan izin. Tetapi Malaikat Jibril lambat sekali memasuki rumah beliau, sehingga beliau menanti-nanti, sehingga beliau keluar. Ketika itu didapati Malaikat berdiri tegak di depan pintu. Rasulullah SAW menyapanya, dan berkatalah Malaikat Jibril: “Aku telah meminta izin kepadamu untuk masuk ke rumah.” Rasulullah SAW membenarkan Malaikat Jibril. Kemudian Jibril berkata: “Aku tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada gambar makhluk hidup yang utuh (mungkin hidup) dan ada anjingnya.” Sesudah itu Rasulullah SAW meneliti rumah-rumah para sahabat. Ternyata sebagian dari rumah mereka terdapat anjing. Oleh karena itu Rasulullah SAW memerintahkan kepada Abi Rafi’ untuk membunuh anjing-anjing yang ada di kota Madinah. Setelah anjing-anjing yang ada di kota Madinah dibunuh, maka para sahabat datang menghadap Rasulullah SAW seraya mengajukan pertanyaan: “wahai Rasulullah, apakah yang dihalalkan bagi kami dari hewan-hewan yang engkau perintahkan untuk membunuhnya?” sehubungan dengan itu maka Allah menurunkan ayat ke-4 dari surat Al-Maidah sebagai penjelasan tentang makanan yang halal dimakan, yaitu yang baik menurut ketentuan ajaran syariat Islam.

Q.S Al-Maidah ayat ke-6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (٦

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilh, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
Asbabun-Nuzul
(HR. Bukhari dari Amrin bin Harits dari Abdirrahman bin Qasim dari ayahnya dari aisyah binti Abu Bakar)
Pada suatu waktu kalung milik Dewi Aisyah jatuh dan hilang di Baida ketika mengadakan perjalanan pulang ke Madinah. Rasulullah SAW menghentikan kendaraannya, kemudian ikut turun untuk ikut mencari kalung tersebut. Sesaat kemudian Rasulullah SAW beristirahat, dan tertidur dipangkuan Aisyah. Abu Bakar datang kepada Aisyah dan menampar keras-keras seraya berkata: “kamu yang menahan ummat manusia yang sedang kehabisan air hanya karena sebuah kalung!. Kemudian Rasulullah SAW terbangun, dan waktu melakukan sholat shubuh telah tiba. Kemudian beliau mencari air untuk berwudhu, tetapi tidak didapati. Sehubugan dengan itu Allah SWT. Menurunkan QS.Al-Maidah ayat ke-6, yang dengan tegas memberikan keterangan tentang wajibnya berwudhu atau bertayamum sebagai ganti wudhu apabila akan mendirikan sholat. Selanjutnya Usaid Bin Hudhair berkata: “semoga Allah SWT mencurahkan rahmat kepada seluruh ummat manusia lantaran keluarga Abu Bakar.”

QS.Al-Maidah ayat ke-19  
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ عَلَىٰ فَتْرَةٍ مِنَ الرُّسُلِ أَنْ تَقُولُوا مَا جَاءَنَا مِنْ بَشِيرٍ وَلَا نَذِيرٍ ۖ فَقَدْ جَاءَكُمْ بَشِيرٌ وَنَذِيرٌ ۗ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya:
“Hai para ahli kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul kami, menjelaskan (syari’at kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) Rasul-rasul, agar kamu tidak mengatakan: “tidak akan datang kepada kami baik seorang membawa berita gembira maupun berita tentang peringatan.” Sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah maha kuasa atas segala sesuatu.
Asbabun-Nuzul
(HR. Ibnu Ishak dari Ibnu Abbas).
Pada suatu waktu Rasulullah SAW mengadakan bahwa kepada orang-orang Yahudi agar mereka memeluk agama islam. Tetapi mereka menolak ajakan Rasulullah SAW. Dalam kesempatan itu Mu’adz bin Jabal dan Sa’ad bin Ubadah dari kalangan sahabat Anshar berkata kepada orang-orang Yahudi: “wahai orang-orang Yahudi, bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Muhammad adalah seorang utusan Allah. Sebab kamu pada zaman dahulu pernah menerangkan tentang sifat-sifat beliau sebelum diutus menjadi seorang utusan. Dan sifat-sifat itupun kini cocok dengan apa yang dimiliki oleh Muhammad SAW. Rafi’ bin Huraimalah dan wahab bin Yahudza berkata: kami tidak pernah menerangkan  seperti apa yang kamu kemukakan itu. Allah tidak akan menurunkan kitab lagi setelah nabi Mus, dan tidak lagi mengutus seorang utusanpun yang bertugas untuk memberi kabar gembira dan peringatan sesudah Musa.” Sehubungan dengan jawaban orang-orang Yahudi itu Allah SWT menurunkan QS.Al-Maidah ayat ke-19 sebagai ketegasan terhadap mereka, dan memberikan teguran terhadap mereka yang tidak mengakui adanya rasul terakhir, yaitu Muhammad bin Abdillah, dan memungkiri ayat-ayat yang dibawah olehnya. [7]



Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa yang disebut asbab an-nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat Al-Qur’an, dalam rangka menjawab, menjelaskan, dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian tersebut. Asbab an-nuzul merupakan bahan sejarah yang dapat dipakai untuk memberikan keterangan terhadap turunnya ayat Al-Qur’an dan membinya konteks dalam memahami perintah-perintahnya. Sudah tentu bahan-bahan sejarah ini hanya melingkupi peristiwa pada masa Al-Qur’an masih turun (‘ashr at-tanzil). Dan bentuk-bentuk peristiwa yang melatarbelakangi turunnya Al-Qur’an itu sangat beragam, diantaranya berupa konflik sosial.

DAFTAR RUJUKAN
Rashion Anwar.2000,Ulumul Qur’an, Bandung,CV PUSTAKA SETIA.
Sumbulah Umi DKK, 2014 , Studi Al-qur’an dan hadist, Malang, UIN MALIKI PRESS.
Anwar Abu, 2002 ulumul Qur’an, Jakarta, AMZAH.
Menteri agama dan menteri P dan K, 2008, Mukadimah Al-qur’an dan Tafsirnya, DEPARTEMEN AGAMA.
Mahili A.Mujab, 1989, asbabun nuzul studi pendalaman al-qur’an, Jakarta, CV.Rajawali.

Revisi:
1.      Tidak ditemukan indikasi copy-paste.
2.      Abstrak tolong diperbaiki dan diberikan keywords.
3.      Dalam tulisan ilmiah, penulisan gelar (Prof., Dr., Ustadz, dll) tidak perlu dicantumkan.
4.      Tolong dipelajari lagi cara penulisan footnote.
5.      Anda belum paham mengenai asbab al-nuzul makro, jadi tolong dipelajari lagi dan tuliskan dalam makalah.
6.      Makalah ini kurang diberikan analisis dan sepertinya hanya sekedar dicantumkan begitu saja. Tolong berikan keterangan lebih atas apa yang telah ditulis.




    







             






[1]  Drs. Rasihon Anwar, M.Ag. Ulumul Qur’an, Bandung, 2000, CV PUSTAKA SETIA, hlm.59
[2] Drs. Rasihon Anwar, M.Ag. Ulumul Qur’an, Bandung, 2000, CV PUSTAKA SETIA, hlm.60
[3] Dr. Hj. Umi Sumbulah, M.Ag, Ahmad Kholil, M. Fil.I, dan Dr. H. Nasrullah, M.Th.I, Studi Al-qur’an dan hadist, Malang, 2014, UIN MALIKI PRESS, hlm. 163-164
[4] Drs. Abu Anwar, M.ag, ulumul Qur’an, Jakarta, 2002, AMZAH, hlm.29-31
[5] Menteri agama dan menteri P dan K, Mukadimah Al-qur’an dan Tafsirnya, 2008, DEPARTEMEN AGAMA, hlm.234-237
[6] Drs. Abu Anwar, M.ag, ulumul Qur’an, Jakarta, 2002, AMZAH, hlm.36-37

[7] A.Mudjab Mahali, asbabun nuzul studi pendalaman al-qur’an, Jakarta, 1989, CV.Rajawali. hlm.6-17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar