Senin, 03 Oktober 2016

Asbab al-Nuzul (PBA D Semester III)




ASBABUN NUZUL
Dina Risti. N, Diah Kholilurrahman, dan Shinta Dwi Rahayu
Pendidikan Bahasa Arab Kelas D, UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang
dinaristinovitasari@gmail.com

Abstract: This article discusses asbab al-nuzul Qur’an, which we have seen that asbab al-nuzul often understood as the science to collaborate between the verses of the Qur’an to the events surrounding it (asbab al-nuzul macro). Asbab al-nuuzul understanding developed by the scholars of the salaf (asbab al-nuzul micro) has implications necessity asbab al-nuzul depicted in the Qur’an. Which is not mentioned in the Qur’an means can not be called with asbab al-nuzul.
Abab al-Nuzul macro introduced or proposed by Asy-Syatibi in the book of al-Muwafaqat fi ushul ash-Sharia, which was developed by Syaikh ad-Dahlawi Waliyullah. Which are detailed concept macro Asbab al-Nuzul can collaborate on ideas Fazlur Rahman. Knowledge Asbab al-Nuzul these macro can be known through the narration of hadis and ijma’. Asbab al-Nuzul macro is the historical background, anthropological, and sociological Arabic society as a whole (pre-Islamic and when it comes to Islam). This macro method not only discusses the individual parts of the Qur’an, but also discusses the Qur’an as a whole against the background of the state of Makkah.
Asbab al-Nuzul discussion is very important to understand and know the Qur’an in depth. The lack of Asbab al-Nuzul role in the interpretation of the Qur’an caused ASbab al-Nuzul better understood in the context of micro-only, so the scope of the discussion is very limited. In addition, because the clerics adhering to the words that are commonly not a special reason.
Keyword: Asbab An-Nuzul, Macro and Micro

Pendahuluan
Telah kita ketahui bahwasannya Al-Qur’an merupakan kitab suci yang di turunkan kepada Nabi Muhammad sallahu ‘alaihi wasallam sebagai mu’jizat kenabiannya. Al-Qur’an tidak hanya unuk dikaji saja. Namun, Al- Qur’an sebagai pemberi petunjuk dan bimbingan kepada umat islam ke arah kebaikan , dan menyuruh mereka beribadah hanya kepada Allah, serta kandungan Al-Qur’n juga berisi khabar gembira dan khabar yang memberi peringatan kepada mereka.
Secara global,  ayat-ayat Al-Qur’an dapat dikategorikan dalam dua macam: pertama, ayat-ayat yang turun sebagai prtunjuk dan tuntunan bagi manusia tanpa didahului oleh sebab-sebab tertentu, dan kedua, ayat-ayat yang turun sebagai respon atas peristiwa dan realitas yang terjadi dikalangan masyarakat di mana Al- Qur’an diturunkan. Imam Burhanuddin bin ‘umar al-Ja’bari (w.732 H) menegaskan, “Al-Qur’an diturunkan dalam dua kategori: sebagian turun tanpa sebab tertentu, dan sebagian yang lain turun setelah adanya pertanyaan dan peristiwa tertentu.” Dari segi kuantitas, ayat-ayat yang termasuk kategori pertama lebih banyak dari pada ayat-ayat yang termasuk kategori kedua. Dengan ini sangat jelas menunjukkan bahwa pada dasarnya Al-Qur’an memang diturunkan sebagai petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia tanpa menunggu terjadinya sebuah peristiwa atau adanya pertanyaan kepada Nabi Muhammad Sallahu “alaihi wasallam. Sedangkan adnya sebuah peristawa atau pertanyaan yang menjadi sebab turunnya sebagian ayat Al-Qur’an harus dipandang sebagai penegasan bahwa Al-Qur’an diturunkan sebagai tuntunan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan hidup manusia. Meskipun secara kuantitas ayat-ayat yang turun karena sebab tertentu tidak terlalu banyak, namun para ulama memberikan perhatian khusush terhadapa ayat-ayat tersebut melalui pembahsan tentang asbabun nuzul Al-Qur’an.[1]
Seiring berkembangnya zaman, asbābun-nuzūl ini kemudian berkembang menjadi salah satu cabang ilmu-ilmu Al-Qur’an yang mendapat perhatian besar dari para ulama pengkaji Al-Qur’an dan tafsirnya. Hal itu karena asbābun-nuzūl sebagai bagian yang sangat penting bagi siapapun yang ingin menggali dan mengkaji makna-makna Al-Qur’an. Yang mana dalam menggali dan mengkaji makna-makna Al-Qur’an membutuhkan sebuah yang dikenal dengan tafsir, dan proses tafsir atau penafsiran Al-Qur’an tersebut memerlukan pengetahuan tentang asbābun-nuzūl agar dapat diperoleh makna yang sesuai dengan konteks dan maksud dari sebuah ayat Al-Qur’an. Untuk itu, para ulama menempatkan pengetahuan tentang asbābun-nuzūl sebagai salah satu syarat keilmuan bagi siapapun yang ingin menafsirkan Al-Qur’an.[2]
Diantara manfaat pokok dari pengetahuan tentang asbābun-nuzūl yang dijelaskan oleh para ulama adalah sebagai berikut:
1.        Mengetahui hikmah dibalik penetapan sebuah hukum syar’i;
2.        Memperjelas sebuah makna ayat;
3.        Menyelesaikan persoalan dan pertentangan tentang makna suatu ayat;
4.        Menjelaskan kekhususan suatu hukum;
5.        Menghindari dugaan pembatasan sutu hukum, dan lain sebagainya.
Selain itu asbābun-nuzūl memiliki posisi yang urgen dalam sebuah proses penafsiran Al-Qur’an. Urgensi tersebut dapat dilihat dari beberapa segi sebagai berikut:
Pertama, riwayat asbābun-nuzūl sebagian besar terdiri dari kisah, baik yang pendek maupun yang panjang.
Kedua, riwayat-riwayat asbābun-nuzūl menjelaskan kepada mufasir tentang tempat dan waktu penurunan ayat-ayat Al-Qur’an.
Ketiga, kisah-kisah dalam asbābun-nuzūl juga menjelaskan kepada penafsir kondisi kejiwaan, pemikiran, dan kondisi masyarakat yang menjadi tujuan Al-Qur’an.[3]

DEFINISI DAN FUNGSI
Asbabun Nuzul tersiri dari dua kata, yaitu asbab dan an-nuzul. Kata ashab merupakan jam’ dari sabab dan kata an-nuzul adalah mashdar dari nazala. Secara bahasa, sabab berarti sebab atau latar belakang, maka ashab berarti sebab-sebab atau beberapa sebab atau beberapa latar belakan. Sedangkan an-nuzul bermakna turun. Sehingga, kata asbab an-nuzul secara bahasa adalah sebab-sebab turun atau beberapa latar belakang yang membuat turun. Apabila hal inidikaitkan dengan al-Qur’an maka asbab an-nuzul itu bermakna beberapa latar belakang atau sebab yang membuat ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan.[4]
Asbab an-Nuzul merupakan situasi, kondisi, kejadian atau peristiwa turunnya ayat atau surat dalam al-Qur’an. Para ulama Islam menggunakan metode penimbangan dalam menafsirkan makna-makna al-Qur’an dengan kondisi atau peristiwa tertentu yang berhubungan dengan kronologi penurunan wahyu. Jadi, fungsi Asbab an-Nuzul adalah untuk membantu usaha penafsiran dan pemahaman teks-teks al-Qur’an dengan latar kesejarahannya.[5]
Tidak semua ayat al-Qur’an memiliki Asbab an-Nuzul dan sebagian besar ayat al-Qur’an diturunkan Allah secara langsung, tanpa ada sebab-sebab tertentu. Sebab dalam penurunan ayat-ayat tersebut tidak ada riwayat shahih yang menceritakannya. Banyak ayat-ayat yang turun secara langsung seperti berbicara tentang surga dan neraka, hari akhir, cerita nabi-nabi, umat-umat masa silam dan lain-lain.[6]
Ada beberapa ulama yang memberikan pengertian Asbab an-Nuzul , diantaranya:
1.      Jalaluddin as-Suyutiy, mengatakan bahwa asbab an-nuzul ialah sesuatu yang terjadi pada waktu atau masa tertentu dan menjadi penyebab turun satu atau beberapa ayat Al-Qur’an.
2.      Abdul Aziz az-Zarqaniy, mengatakan bahwa asbab an-nuzul ialah sesuatu yang terjadi pada waktu atau masa tertentu dan menjadi penyebab turun satu atau beberapa ayat Al-Qur’an sebagai penjelasan kandungan dan penjelasan hukum terkait sesuatu tersebut. Muhammad Abu Syuhbah juga mengemukakan pengertian yang serupa.
3.      Manna Khalil al-Qattan, mengatakan bahwa asbab an-nuzul ialah sesuatu, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan yang terjadi pada waktu atau masa tertentu, dan menjadi sebab turunnya Al-Qur’an.[7]
Baik klasik maupun kontemporer, beberapa ulama mengungkapkan pengertian yang serupa. Secara umum, pengertian asbab an-nuzul bermuara pada substansi yang sama, yaitu adanya suatu peristiwa, atau perbuatan yang terjadi pada masa tertentu dan melatarbelakangi penyebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an.
Ada dua hal penting yang berkaitan tentang pengertian asbab an-nuzul yang perlu diperhatikan:
1.      Sebab dan ayat muncul pada waktu dan masa yang sama. Suatu peristiwa yang menjadi sebab nuzul suatu ayat adalah peristiwa yang terjadi pada waktu kehidupan dan kenabian Rasulullah SAW. Jarak waktu dengan peristiwa antara penurunan suatu ayat dapat terjadi secara langsung dalam waktu yang berdekatan atau dalam waktu yang relatif lama. Jadi, peristiwa yang terjadi pada umat terdahului atau cerita yang mengiringi perjalanan kehidupan nabi sebelum beliau tidak bisa dianggap sebagai penyebab turunnya Al-Qur’an.
2.      Ada dua bentuk hal yang dapat terjadi dalam asbab an-nuzul, yaitu:
a.       Pertama, sebuah peristiwa yang dapat menjelaskan langsung yang termasuk dalam hukumnya
b.      Kedua, berupa sebuah pertanyaan yang diajukan sahabat kepada Nabi sallallahu “alaihi wasallam.[8]

Manfaat Asbabun Nuzul
Ada beberapa manfaat yang dapat dipetik dari Asbab an-Nuzul, yaitu:
1.      Pengetahuan tentang hikmah dalam suatu hukum tertentu. Bahwa setiap keputusan dan ketentuan Tuhan selalu ada hikmah didalamnya, baik kita mengetahuinya atau tidak.
2.      Membantu penafsiran al-Qur’an secara objektif.
3.      Asbab an-Nuzul dapat dijadikan sebagai penafsiran ayat secara langsung.[9]

Fungsi-fungsi Asbabun Nuzul
      Terdapat beberapafungsi Asbabun Nuzul sebagai berikut:
1.      Membantu para penafsir untuk memahami kandungan dan maksud ayat- ayat Al- Qur’an
2.      Menjelaskan maksud ayat- ayat yang mudah disalah pahami dan rawan memunculkan perselisihan pendapat
3.      Menjelaskan hikmah dari perintah atau ketentuan hukum yang diturunkan Allah subhānahū wata’ālā
4.      Memberikan makna khusus (takhsīs) pada konteks ayat yang umum.
5.      Membanta dugaan adanya pembatasan sesuatu hal atau hukum
6.      Menjelaskan posisi suatu sebab nuzul sebagai variabel utama dalam memaknai suatu ayat
7.      Mengngkap peristiwa dan pelaku sejarah dari kalangan generasi awal Islam yang menjadi sebab turunnya ayat-ayat Al- Qur’an
8.      Memberi informasi sejarah suatu ketentuan hukum melalui sebab nuzulnya
9.      Memperluas cakrawala pengetahuan ilmu syariah dengan mendalami sebab-sebab kemunculan berbagai ketentuan hukum yang tercakup dalam ilmu syariah tersebut
10.  Mengetahui, meneladani, atau belajar dari pengalaman dan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh orang-orang terdahulu
11.  Memudahkan hafalan dan pemahan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.[10]
Pedoman mengetahui Asbabun Nuzul
Pedoman yang menjadi dasar para ulama dalam megetahui asbabun nuzul ialah riwayat sahih yang berasal dari Rasulullah atau dari sahabat. Hal itu disebabkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti inp, bila jelas, maka hal itu bukan sekedar pendapat ( ra’y), tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah). Al- Wahidi mengatakan: “Tidak halal bberpendapat mengenai asbabun nuzul Kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan memahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya”.[11]
Inilah cara yang digunakan oleh ulama salaf. Mereka amat berhati-hati untuk mengatakan sesuatu mengenai asbabun nuzul tanpa pengetahuan yang jelas. Muhammad bin Sirrin mengatakan: “ Ketika ku tanyakan kepada ‘Ubaidah mengenai satu ayat Qur’an, dijawabnya: Bertakwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar. Orang-orang yang mengetahui  mengenai apa Qur’an itu diturunkan telah meninggal”.[12]
Maksudnya adalah para sahabat. Apabila seorang tokoh ulama semacam Ibnu Sirin, yang termasuk tokoh tabi’in terkenuka sudah sedemikian berhati-hati dan cermat mengenai riwayat dan kata-kata yang menentukan, maka hal itu menunjukkan, orang harus mengetahui dengan benar asbabun nuzul. Oleh karena itu, yang dapat dijadikan pedoman asbabun nuzul adalah riwayat ucapan- ucapan sahabat yang bentuknya seperti musnad, yang secara pasti menunjukkan asbabun nuzul. As- suyuti berpendapat bahwa ucapan seorang tabi’in secara jelas menunjukkan asbabun nuzul, maka ucapan itu dapat di terima. Dan mempunyai kedudukan mursal bila penyandaran kepada tabi’in benar dn ia termasuk salah seorang imam tafsir yang mengambililmunya dari para sahabat, seperti mujahid, ‘Ikrimah dan Sa’id bin Jubair serta didukung oleh hadits mursal lain.
Al –Wahidi telah menentang ulama- ulama zamannya atas kecerobohan mereka terhadap riwayat asbaun nuzul.bahkan ia menuduh mereka pendusta dan mengingtkan mereka akan ancaman berat, dengan mengatakan: “Sekarang setiap orang suka mengada- ada dan berbuat dusta; ia menempatkan kedudukannya dalam kebodohan, tanpa memikirkan ancaman berat bagi orang yang tidak mengetahui sebab turunnya ayat.”[13]

Sumber- sumber Asbābun-Nuzūl
1.      Hadits Nabi sallāhu ‘alaihi wasallam
Menerut para ulama bahwa cara terbaik untuk mengetahui asbābun-nuzūl adalah melalui sebuah periwayatan. Maksudnya adalah bahwa asbābun-nuzūl tidak dapat diketahui mealalui sebuah proses ijtihad, karena suatu peristiwa yang melatarbelakangi urunnya ayat sangat erat kaitannya dengan peristiwa sejarah yang nyata dan bukan berasal dari praduga. Untuk itu, sumber yang pokok untuk memperoleh informasi  asbābun-nuzūl adalah buku- buku yang memuat hadis-hadis Nabi sallāhu ‘alaihi wasallam.

2.      Tafsir Al- Qur’an
Salah satu sumber pokok yang memuat informasi terkait asbābun-nuzūl adalah buku-buku tafsir Al- Qur’an. Secara umum kitab-kitab tafsir yang tersedia di kalangan umat islam sampai saat ini memuat informasi asbābun-nuzūl.

3.      Sejarah
Sumber-sumber penting lainnya yang digunakan untuk mengetahui informasi- informasi terkait asbābun-nuzūl adalah buku-buku sejarah khususnya yang didalamnya menbahas sejarah Nabi sallāhu ‘alaihi wasallam (as-sīrah an-nabawiyyah).

4.      Khusus Asbābun-Nuzūl
Sumber yang khusus mengkaji asbabun- nuzul ini dapat dikategorikan menjadi dua macam: material-subtansial dan konseptual-metodologis.[14]
Level Asbābun-Nuzūl
Asbābun-nuzūl dapat dikelompokkan dalam dua macam: asbābun-nuzūl pada satu surah Al-Qur’an, dan asbābun-nuzūl pada ayat atau beberapa ayat Al-Qur’an.[15]
Pertama, asbābun-nuzūl pada satu surah, adalah riwayat yang berisi peristiwa-peristiwa sebab turunnya satu surah Al-Qur’an secara utuh. Para ulama menyebutkan beberapa surah Al-Qur’an dengan latar belakang peristiwa-peristiwa tertentu. Diantara beberapa surah tersebut adalah:
1.      Surah al-Anfāl/8. Ulama menyebutkan bahwa surah ini turun saat peristiwa Perang Badar yang terjadi pada tahun ke-2 H. ibnu Ishāq (w.151 H), setelah tokoh-tokoh menjelaskan tentang peristiwa Perang Badar, kemudian menyatakan, “Setelah Perang Badar usai, Allah menurunkan Surah Al-Anfāl secara lengkap.” Pernyataan Ibnu Abbas diperkuat dalam penjelasan ini yang menjelaskan surah tersebut turun dalam peristiwa Perang Badar.
2.      Surat al-Fath/48. Ulama berpendapat bahwa surah ini turun saat terjadinya peristiwa Hudaibiyah. Menurut Miswar bin Makhramah dan Marwan bin Hakam, “Surah al-Fath dari ayat pertama hingga akhir turun dalam peristiwa Hudaibiyah, tepatnya terjadi di kota yang terletak antara Mekah dan Madinah.”
3.      Surah al-Hasyr/59. Menurut ahli tafsir, surah ini turun berkaitan dengan suku Bani Nadir. Sa’id bin Jubair bertanya kepada Ibnu Abbas tentang surah tersebut, dan Ibnu Abbas menjawab, “Surah al-Hasyr turun berkaitan dengan Bani Nadir.”
Kedua, yaitu asbābun-nuzūl yang khusus, adalah riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi latar belakang diturunkannya satu ayat atau beberapa ayat Al-Qur’an.[16] Berikut beberapa contoh terkait pembahasan ini:
1.      Surah al-Ahzab/33: 35
إنّ المسلمينَ والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات والقنتين والقانتات والصدقين والصدقات والصبرين والصبرات والخشعين والخشعات والمتصدّقين والمتصدِّقات والصائمين والصائمات والحفظين فروجهم والحفظات والذّاكرين الله كثيرًا والذّاكرات اعدَّ الله لهم مغفرةً واَجرًا عظيمًا .

“Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki  dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (al-Ahzab/33: 35)

            Ayat ini turun berkaitan dengan keluhan yang disampaikan Ummu Salamah kepada Nabi bahwa kaum wanita itu tidak pernah disebut-sebut dalam Al-Qur’an, yang disebut hanya kaum lelaki. Ayat ini turun untuk menanggapi keluhan Ummu Salamah itu.

عَن أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللّهِ, يُذْكَرُ الرِّجَالُ وَلَا يُذْكَرُ النِّسَاءُ. فَأَنْزَلَ اللّهُ عَزَّ وَجَلَّ (إِنَّ المُسْلِمِينَ وَالمُسلِمَاتِ وَالمُؤمِنِينَ وَالمُؤمِنَاتِ ... الْاّيَةَ). وَأَنزَلَ: (أَنِّيْ لَا أُضِيْعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُم مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى).

Ummu Salamah berkata, “Aku berkata kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah! Mengapa hanya kaum lelaki yang selalu disebut-sebut (oleh Allah dalam Al-Qur’an), sedangkan kaum wanita tidak?’ Allah ‘azza wajalla lalu menurunkan ayat, innal-muslimīna wal-muslimāti wul-mu’minīna wal-mu’mināt ... hingga akhir ayat. Allah juga menurunkan ayat, annī lā uī’u ‘amala ‘āmilin minkum min żakarin au unā.”

2.      Surah at-Taubah/9: 84
ولاَ تصلِّ على اَحدٍ منهُم مّاتَ اَبدًا وَّلا تَقم على قبرِه قلى اِنّهم كفَرُوْا باللهِ ورسولِهِ وماتُوْا وَهمْ فسقُوْنَ.
                                                              
"Dan janganlah engkau (Muhammad) melaksanakan salat untuk seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik), selama-lamanya dan janganlah engkau berdiri (mendoakan) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik." (at-Taubah/9: 84)

عَنْ عَبْدِ اللّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: لَمَّا تُوَفِّيَ عَبْدُ اللّهِ بْنُ أُبَيٍّ جَاءَ ابْنُهُ إِلَى رَسُولِ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللّهِ أَعْطِنِيْ قَمِيْصَكَ أُكَفِّنْهُ فِيْهِ وَصَلِّ عَلَيْهِ وَاسْتَغْفِرْ لَهُ. فَأَعْطَاهُ قَمِيصَهُ, وَقَالَ: إِذَا فَرَغْتَ مِنْهُ فَآذِنَّا. فَلَمَّا فَرَغَ آذَنَهُ بِهِ فَجَاءَ لِيُصَلِّيَ عَلَيهِ, فَجَذَبَهُ عُمَرُ فَقَالَ: أَلَيْسَ قَدْ نَهَاكَ اللّهُ أَنْ تُصَلِّيَ عَلَى المُنَافِقِينَ؟ فَقَالَ: (اِسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُم سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللّهُ لَهُم) فَنَزَلَتْ: (وَلَا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدَا وَلَا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ) فَتَرَكَ الصَّلَاةَ عَلَيهِمْ.

‘Abdullah bin ‘Umar berkata, “Ketika ‘Abdullah bin Ubay meninggal, putranya (‘Abdullah bin ‘Abdullah bin Ubay) datang menemui Nabi SAW. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah! Perkenankanlah aku meminta bajumu untuk mengafani ayahku. Salatilah dia dan mintakanlah ampunan untuknya.’ Rasulullah pun memberikan bajunya sambil berpesan, ‘Bila engkau sudah selesai mengafaninya, beritahu aku.’ Usai mengafani ayahnya, ‘Abdullah pun memberitahu Nabi. Ketika beliau beranjak untuk menyalatinya, ‘Umar menarik beliau dan berkata, ‘Bukankah Allah telah melarangmu menyalati orang-orang munafik?’ Rasulullah menjawab, ‘(Aku diberi dua pilihan oleh Allah, yakni memintakan ampun bagi mereka atau tidak, melalui firman-Nya), istagfir lahum au lā tastagfir lahum in tastagfir lahum sab’īna marratan falan yagfirallāhu lahum. Pada peristiwa ini turunlah firman Allah. Walā tualli ‘alā ahadin minhum māta abadan wala taqum ‘ala qabrih. Setelah itu Rasulullah tidak lagi mau menyalati jenazah orang-orang munafik.”

Bentuk Relasi Sebab Nuzul dan Ayat Al-Qur’an
Salah satu bentuk hubungan antara sebab nuzul dan ayat Al-Qur’an yaitu dengan perbedaan kuantitas sebab nuzul dan ayat yang meresponnya. Asbābun-nuzūl dan ayat-ayat Al-Qur’an dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu, sebab berbilang dan ayat tunggal, dan sebab tunggal dan ayat berbilang.[17]
1.      Sebab berbilang dan ayat tunggal
Sebab berbilang dan ayat tunggal merupakan adalah adanya beberapa riwayat asbābun-nuzūl yang berbeda-beda, dapat diidentifikasikan menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat Al-Qur’an. Ulama berpendapat, ada beberapa bentuk asbābun-nuzūl yang terdiri dari beberapa riwayat berbeda dan dikaitkan dengan satu atau beberapa ayat saja.
a.       Bentuk ungkapan yang terdapat dalam riwayat-riwayat yang tersedia tidak menggunakan ungkapan yang jelas dan tegas, sehingga memungkinkan dapat berupa asbābun-nuzūl, serta berupa penjelasan dan tafsir ayat. Sebagai contoh adalah Surah al-Baqarah/2: 274:

الَّذِيْنَ يُنْفِقُونَ اَموَالَهُمْ بِالَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّاوَّعَلاَنِيَةً فَلَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَرَبِّهِمْ ج وَلاَخَوفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُونَ

Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (al-Baqarah/2: 274)

      Terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan sebab nuzul ayat ini, yaitu riwayat Ibnu ‘Abbās dan Qatādah. Ibnu Abbās berpendapat bahwa ayat ini turun berkaitan dengan orang-orang yang memberi makan kuda  dalam peperangan di jalan Allah. Dan Qatādah berpendapat, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah dengan tidak berlebih-lebihan dan mubazir. Pernyataan Ibnu Abbās dan Qatādah bukan termasuk sebab nuzul ayat tersebut. Karena, kemungkinan salah satu atau keduanya benar-benar sebab nuzul, dan boleh jadi keduanya hanya penjelasan dari kandungan ayat tersebut.

b.      Bentuk ungkapan dari salah satu riwayat asbābun-nuzūl yang bersifat jelas dan tegas, sementara yang lainnya tidak jelas dan juga tidak tegas. Sebagaimana dalam Surah al-Baqarah/2: 197:


 الحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمَتٌج فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الحَجَّ فَلاَرَفَثَ وَلاَفُسُوقَ وَلاَجِدَالَ فِى الحَجِّقلى وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيرٍ يَّعْلَمْهُ اللّهُقلى وَتَزَوَّدُوا فَاِنَّ  خَيرَ الزَّادِ التَّقْوىصلى وَاتَّقُوْنِ ياُولِى الاَلْبَابِ

(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barang siapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafa), berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat! (al-Baqarah/2: 197)

      Menurut Ibnu Abbas, ayat di atas turun yang berkenaan dengan penduduk Yaman yang suka tidak membawa bekal jika bepergian.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُمَا قَلَ: كَانَ أَهْلُ اليَمَنِ يَحُجُّوْنَ وَلَا يَتَزَوَّدُونَ وَيَقُولُونَ: نَحنُ المُتَوَكِّلُونَ, فَإِذَا قَدِمُوا مَكَّةَ سَأَلُوا النَّاسَ, فَأَنْزَلَ اللّهُ تَعَالَى: (وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيرَ الزَّادِ التَّقْوَى).

Ibnu ‘Abbās ra. berkata, “Dulu penduduk Yaman biasa berangkat haji tanpa membawa bekal. ‘Kami adalah orang-orang yang bertawakal,’ begitu kata mereka. Sampai di Mekah, mereka pun terpaksa meminta-minta kepada jamaah haji yang lain. Berkaitan dengan hal ini Allah menurunkan firman-Nya, watazawwadū fa’inna khairaz-zādit-taqwā.”
Terdapat riwayat lain dari az-Zajjāj, yang menyatakan ayat ini berkaitan dengan perintah untuk orang-orang yang bepergian agar menyiapkan bekal dan mengabarkan kepada orang banyak bahwa bekal yang terbaik adalah ketakwaan kepada Allah.

c.       Terdapat dua riwayat yang jelas dan tegas yang menunjukkan asbābun-nuzūl, namun yang satu berkualitas sahih, dan yang lain tidak sahih. Misalnya pada Surah a-uā/93: 1-3:
 وَضُّحىلا(1) وَالَّيْلِ اِذَا سَجىلا(2) مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلىقى(3)

Demi waktu uā (ketika matahari naik sepenggalah), dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu. (a-uā/93: 1-3)

d.      Terdapat dua riwayat asbābun-nuzūl yang sahih, dengan menggunakan ungkapan yang tegas dan jelas, namun untuk menjadi sebab nuzul ayat, ada salah satu yang dinilai lebih kuat daripada yang lain. Seperti dalam Surah al-Isrā’/17: 85:
وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِقلى قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَا اُوتِيْتُمْ مِّنَ العِلْمِ اِلاَّقَلِيْلاً

Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang roh. Katakanlah, “Roh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.” (al-Isrā’/17: 85)

      Sebab nuzul ayat ini adalah sebagaimana riwayat berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَتْ قُرَيْشٌ لِيَهُودَ: أَعْطُونَا شَيئًا نَسْأَلُ هَذَا الرَّجُلَ. فَقَالَ: سَلُوهُ عَنِ الرُّوحِ. فَسَأَلُوْهُ عَنِ الرُّوْحِ، فَأَنْزَلَ اللّهُ تَعَالَى: (وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّيْ وَمَا أُوْتِيْتُمْ مِنَ العِلمِ إِلاَّ قَلِيْلاً) قَالُوْا: أُوْتِينَا عِلْمًا كَثِيْرًا أُوْتِيْنَا التَّورَاةَ، وَمَنْ أُوْتِيَ التَّورَاةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا. فَأُنْزِلَتْ: (قُلْ لَوْ كَانَ البَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّيْ لَنَفِدَ البَحْرُ ... إِلَى آخِرِ الآيَةَ).
Ibnu ‘Abbās ra. berkata, “Suatu saat kaum Quraisy menanyai orang-orang Yahudi, ‘Usulkanlah kepada kami suatu pertanyaan untuk kami ajukan kepada pria ini (yakni: Nabi Muhammad)!’ Mereka menjawab, ‘Tanyailah dia tentang roh!’ Mereka lantas bertanya tentang roh kepada beliau. Terkait hal itu Allah lalu menurunkan ayat, wa yas’alūnaka ‘anir-rūi qulir-rūu min amri rabbī wamā ūtītum minal-‘ilmi illā qalīlā. Merasa tersindir oleh ayat tersebut, orang-orang Yahudi berkata, ‘Kami telah diberi ilmu yang banyak. Kami telah diberi Taurat, dan siapa saja yang telah diberi Taurat maka ia benar-benar telah mendapat kebaikan yang banyak.’ Terkait peristiwa ini diturunkanlah ayat, qul lau kānal-baru midādan likalimāti rabbī lanafidal-bahru ... hingga akhir ayat.”
e.       Terdapat dua riwayat asbābun-nuzūl yang sahih, dengan menggunakan ungkapan yang tegas dan jelas, namun sulit untuk mengetahui mana yang lebih kuat di antara kedua riwayat tersebut. Ada kemungkinan keduanya dapat dikompromikan dengan mengingat dua peristiwa tersebut yang terjadi dalam waktu yang berdekatan. Dengan demikian, dua sebab nuzul tersebut dapat menjadi latar belakang turunnya ayat Al-Qur’an. Sebagai contoh adalah Surah an-Nūr/24: 6:

وَالَّذِيْنَ يَرْمُونَ اَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَّهُمْ شُهَدَآءُ اِلَّآ اَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ اَحَدِهِمْ اَرْبَعُ شَهدتٍمبِاللّهِلااِنَّهُ لَمِنَ الصّدِقِيْنَ

Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian masing-masing orang itu ialah empat kali bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang yang berkata benar. (an-Nūr/24: 6)

      Ayat ini turun berkenaan dengan ‘Uwaimir yang memergoki istrinya di dalam kamar bersama pria lain. Allah memerintahkan kedua orang tersebut untuk bersumpah li’ān, yaitu sumpah yang dilakukan ketika suami menuduh istrinya telah melakukan perbuatan zina, namun sang suami tidak mampu menghadirkan saksi.
      Sebagaimana yang terdapat dalam sebuah hadis, yaitu:
Sahl bin Sa’ad bercerita bahwa suatu hari ‘Uwaimir datang menemui ‘Āim bin ‘Adiy, pemuka Bani ‘Ajlān. Ia berkata, “Apa pendapatmu jika seorang pria memergoki pria lain sedang berduaan bersama istrinya; apakah pria itu boleh membunuhnya lalu kalian menerapkan hukuman qisas kepadanya, atau ia harus bagaimana? Tolong tanyakan hal ini kepada Rasulullah SAW. ‘Āim pun lantas bergegas menemui Nabi dan bertanya, “Wahai Rasulullah...” Ternyata Rasulullah tidak menyukai pertanyaan itu (karena kejadian seperti itu belum pernah terjadi dan berpotensi menjadi bahan olok-olok kaum Yahudi dan munafik kepada umat Islam). Ketika ‘Uwaimir menanyai ‘Āim perihal jawaban Nabi atas persoalan itu, ia menjawab, “Rasulullah tidak menyukai pertanyaan tersebut dan menganggapnya sangat memalukan.” ‘Uwaimir lalu berkata, “Demi Allah, aku tidak akan berhenti bertanya sampai Rasulullah memberi jawaban untuk persoalan ini.” ‘Uwaimir lantas menemui Nabi dan berkata, “Wahai Rasulullah, ada seorang pria mendapati istrinya sedang berduaan bersama pria lain; apakah pria itu boleh membunuhnya lalu kalian menerapkan hukuman qisas kepadanya, atau ia harus bagaimana?” Rasulullah menjawab, “Allah telah menurunkan ayat yang berkaitan dengan persoalan yang sedang engkau alami bersama istrimu.” Rasulullah lalu memerintahkan mereka berdua melakukan sumpah li’ān sesuai ketentuan yang telah Allah jelaskan dalam kitab-Nya. ‘Uwaimir pun melakukan sumpah li’ān kepada istrinya. Setelah itu ‘Uwaimir berkata, “Wahai Rasulullah, jika aku menahan istriku (yakni: tidak menceraikannya dan membiarkannya begitu saja) maka itu berarti aku menzaliminya.” Ia pada akhirnya menceraikan istrinya itu. Begitulah, setelah kejadian ini perceraian kemudian menjadi hal yang lazim bagi suami-istri yang melakukan sumpah li’ān. Beberapa lama kemudian Rasulullah bersanda, “Mari kita tunggu! Jika nanti istri ‘Uwaimir melahirkan bayi berkulit hitam, mempunyai bola mata yang hitam, lebar, dan cekung; serta berpantat lebar dan berbetis kekar, maka aku yakin tuduhan ‘Uwaimir kepada istrinya itu benar adanya. Sebaliknya, jika wanita itu nanti melahirkan bayi berkulit (putih) kemerahan seperti tokek maka aku yakin tuduhan ‘Uwaimir kepada istrinya itu mengada-ada.” Dikemudian hari wanita itu ternyata melahirkan bayi yang ciri-cirinya persis seperti yang disebutkan oleh Rasulullah yang membuktikan kebenaran tuduhan ‘Uwaimir. Karena itulah anak itu kemudian dinisbatkan kepada ibunya.

f.        Terdapat dua riwayat asbābun-nuzūl yang sahih, dengan menggunakan ungkapan yang tegas dan jelas, namun sulit untuk mengetahui mana yang lebih kuat di antara keduanya, dan sulit untuk dikompromikan karena keduanya terjadi dalam waktu yang berbeda. Maka para ulama mengetengahkan teori “pengulangan turunnya ayat” (takarrurun-nuzūl).

2.      Sebab tunggal dan ayat berbilang
Maksud dari pembahasan ini adalah ayat Al-Qur’an yang turun, baik dalam satu surah maupun yang berbeda, dilatarbelakangi oleh sebab yang sama.
Bentuk dan Pola Redaksi Asbābun-Nuzūl
Dalam pembahasan yang terkait susunan kalimat atau redaksi asbābun-nuzūl menjadi pembahasan yang penting yang mana sangat diperhatikan oleh para ulama. Mengingat persoalan redaksi ini dapat menjadi pertimbangan yang penting dalam menetapkan validitas asbābun-nuzūl ayat.
Menurut para ulama bentuk dan pola redaksi dalam riwayat-riwayat asbābun-nuzūl itu dibagi menjadi dua macam:
Pertama, berdasarkan ungkapan yang jelas dan tegas bahwa peristiwa yang disebutkan dalam suatu riwayat merupakan sebab nuzul ayat Al- Qur’an. Apabila, suatu riwayat mencakup hal yang demikian, maka dapat dipastikan riwayat tersebut merupakan sebab nuzul ayat. Dalam beberapa riwayat asbābun-nuzūl, bentuk ungkapan jelas dan tegas ini biasanya dinyatakan sahabat dengan ungkapan, “Sebab nuzul ayat ini adalah peristiwa ini.”
Ungkapan yang  jelas dan tegas tersebut  juga dapat  berbentuk kalimat yang menceritakan sebuah peristiwa, kemudian di akhir cerita, disebutkan kata sambung “fa” yang  peristiwa ini dan itu, lalu Allah menurunkan ayat ini dan itu.” Selain itu, ungkapan yang jelas dan tegas juga dapat ditemukan pada riwayat yang mengisahkan pernyataan seseorang kepada Nabi sallāhu ‘alaihi wasallam, lalu Allah menurunkan ayat Al- Qur’an untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Bentuk jelas dan tegas dari  asbābun-nuzūl dapat dilihat secara lebih singkat melalui beberapa bentuk berikut:
1.    Peristiwa hadist menyatakan, “sebab nuzul ayat ini adalah ini.” Maksudnya adalah suatu peristiwa yang terjadi pada masa Nabi sallāhu ‘alaihi wasallam, kemudian al- Qur’an turun, menjelaskan hukum-hukum dalam peristiwa tersebut. Contohnya adalah riwayat Anas bin Malik yang menceritakan tentang pernikahan Rasulllah SAW dengan Zainab binti Jahsy ra, bahwa pada saat itu, para sahabat diundang makan di rumah beliau. Namun tatkala selesai makan, para Sahabat asyik berbincang-bincang, tidak segera beranjak pamit dari rumah Rasul. Kemudian turun ayat (QS. Al- Ahzab:53).( buku Ahmad syam hitam biru).
2.    Perowi hadist menceritakan sebuah peristiwa yang ujungnya ditutup dengan pernyataan, “Lalu turunlah ayat ini.”
3.    Adanya pertanyaan kepada Nabi sallāhu ‘alaihi wasallam yang kemudian dijawab oleh Allah dengan turunnya Al- Qur’an.

Berikut ayat-ayat yang memiliki sebab nuzul yang mengandung ungkapan jelas dan tegas:
1.    Surah Maryam/ 19: 77-80
افرايت الَّذين كفَر بايتنا و قال لاُوْتينَّ مالاً وَوَلدًا (77) اَطَّلَعَ الْغَيْبَ اَمِ اتَّخَذَ عِندَ الرَّحْمن عهدًا (78) كلاَّ قلى سنكتبُ ما يَقَوْلُ وَ نَمُدُّ لهُ منَ العذَابِ مَدًّا (79) و نرِثُهُ ما يَقولُ وَيأْتِيْنا فَرْدًا (80)
Turunnya ayat diatas berkaitan dengan seorang pria kafir bernama al- ‘Ās bin Wā’il yang enggan membayar utangnya kepada seorang muslim bernama Khabbāh. Ia dengan tegas mengatakan hanya akan membayar utang tersebut setelah dibangkitkan dari kubur.
عن خبّاب رضي الله عنه قال: كُنتُ رجُلاً قينا، وكان لي على العاص بن وائل دينٌ فأتيته أتقاضاه. فقال لي: لا أقْديك حتّى تكفر بمحمد. قال: قلت: لن أكفرَ به حتّى تموت ثم تبعثَز قال: وإنّي لمبعوثٌ من بعد الموت؟ فسوف أقديك إذا رجعت إلى مالٍ وولدٍز قال:فنزلتْ: (أفرأيت الّذي كفر بآياتنا وَقال لأوْتينَّ مالاً ووَلدًا. أطّلعَ الغيبَ أم اتخذَ عندَ الرّحْمَنِ عَهدًا، كلَّا سنكتبُ ما يَقولُ وَنمدُّ لهُ منَ العَذَابِ مدًّا، وَنرثهُ ما يقولُ وَيأتينا فَرْدًا).
Khabbā raiyallāhu ‘anhu bercerita, “Aku adalah seorang pekerja (yang bekerja kepada al- ‘Ā bin Wā’il). Dia berutang kepadaku (yakni: belum membayar upahku), lalu aku pun datang untuk menagihnya. Ia mengatakan, “Aku tidak akan melunasi utangku, kecuali bila engkau mau mengingkari Muhammad.” “Aku tidak akan melakukan hal itu bahkan hingga engkau meninggal dan dibangkitkan,” jawabku. “Benarkah aku akan dibangkitkan setelah mati? Bila benar, akan aku lunasi utangku andaikata aku mendapatkan kembali harta dan anakku,” kata al-‘Ā dengan nada mengejek. Setelah itu turunlah ayat, afara’aital-lażi kafara bi ayatinā waqāla la’ūtayanna mālan wawaladan aṭṭala’al-Gaiba amit-takhaża ‘indar-ramāni ‘ahdan kallā sanaktubu mā yaqūlu wanamuddu lahū minal- ‘ażābi maddan wanariuhū mā yaqūlu waya’tīna fardā.”

2.    Surah Al- Baqarah/ 2: 222
وَيًسْأَلوْنَكَ عَنِ المَحِيضِ قلى قُلْ هوَ اَذًى لا فَاعْتَزِلُوْا النِّساءَ فى المَحيضِ لا وَلاَ تَقْرَبُهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ مِنْ حَيثُ اَمَرَكُمُ اللهٌ قلى اِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوْبينَ وَ يُحِبُّ المُتَطَهِّرِينَ (222)
Turunnya ayat ini untuk mengoreksi sikap orang Yahudi terhadap istri mereka yang sedang haid.
عن أنسٍ أنّ اليهودَ كانوْا إذا حاضتِ المَرْأةُ فيهمْ لمْ يُؤَاكلوْها ولمْ يُجامِعوْهنَّ في البيوتِ، فسألَ أصحاب النبيِّ صلّى الله عليه وسلّم النبيَّ صلّى الله عليه و سلّم، فأنزل الله تعالى: (ويسألونك عن المحيض قل هو أذًى فاعتزِلُوْا النِّساءَ في المحيض ... إلى آخر الآية)، فقال رسول الله صلّى الله عليه و سلّم: اصْنعوْا كُلَّ شيئٍ إلاَّ النِّكاحز فبلغ ذلك اليهود، فقالوا: ما يريد هذا الرجل أن يدع مِن أمْرِنا شيئًا إلاَّ خالفنا فيه. فجاء أسيدُ بنُ حضَيرٍ وَ عبَّادُ بْنُ بشرٍ فقالا: يا رسول الله، إنّ اليهُود تقولُ كذا و كذا فلا نجامعهُنَّ؟ فتغيَّر وجْه رسول الله صلّى الله عليه و سلّم حتَّى ظننّا أن قد وَجَهَ عليهما، فخرجا فاستقبلهما هديَّةٌمنْ لبنٍ إلى النبيِّ صلّى الله عليه و سلّم، فأرسلَ في آثارهما، فعرفَا أن ام يجِد عليهما.

Anas mengatakan, “Sudah menjadi kebiasaan kaum Yahudi, jika para istri mereka haid, para suami enggan makan bersama dan bercengkrama dengan mereka dalam satu rumah. Para sahabat menyakan hal ini kepada Nabi sallāhu ‘alaihi wasallam, lalu Allah menurunkan firman-Nya, wayas ‘alūnaka ‘anil-maīi qul huwa ażan fa’tazilun-nisā’a fil-māī. Rasulalah bersabda, “(Bila istri-istri kalian sedang haid), kalian boleh melakukan apa saja dengan mereka kecuali hubungan badan.” Mendengar keputusan Rasulullah yang demikian ini, kaum Yahudi berkata, “Pria ini (muhammad) tidak mau membiarkan satu pun dari urusan kia, kecuali ia menyatakan pendapat yang berbeda dari kita tentang persoalan itu.” Usaid bin Huair dan ‘Abbād bin Bisyr datang (menemui Nabi) seraya berkata, “Wahai Rasulullah, ksum Yahudi mengatakan begini dan begitu, jadi kami pun tidak membiarkan para istri tinggal serumah dengan kami dinsaad haid.” Raut wajah Rasulullah tiba-tiba berubah hingga kami menyangka beliau marah kepada keduanya. Mereka lantas undur diri dan tak lama kemudian datang kembali sembari mempersembahkan hadiah berupa susu kepada Rasulullah. Setelah itu Rasulullah mengajak keduanya minum bersama, hingga mereka tahu bahwa Rasulullah tidak memarahi mereka.

Kedua, contoh ungkapan yang tidak secara jelas dan tegas menyatakan suatu peristiwa sebagai sebab nuzul Al-Qur’an.  Bentuk ungkapan yang seperti ini “juga tidak memuat kisah yang diakhiri dengan kalimat “lalu tunlah ayat ini ”, sebagaimana bentuknya juga tidak berupa jawaban terhadap sebuah pertanyaan yang diajukan kepada Nabi sallāhu ‘alaihi wasallam. Ungkapan yang seperti ini bisa jadi menyiratkan sebua riwayat sebagai asbābun-nuzūl, dan juga bukan termasuk asbābun-nuzūl, melainkan hnaya penjelasan (tafsir)terhadap maksud serta kandungan ayat Al- Qur’an. Seorang penafsir perlu meneliti variabel-variabel dan indikasi-indikasi (qarīnah) untuk mengetahui mana yang lebih kuat di antara dua kemungkinan tersebut: sebab nuzul atau tafsir.
Ibnu Taimiyah menyatakan, “Perkataan perawi hadist bahwa suatu ayat turun dalam suatu persoalan tertentu kadang-kadang dimaksudkan untuk menunjukkan asbābun-nuzūl, dan terkadang juga dimaksudkan untuk menjelaskan kandungan ayat tersebut meskipun itu bukan sebab nuzulnya.” Hal yang sama juga diunkapkan az-Zarkasyiy bahwa salah satu kebiasaan para sahabat dan tabiin yang sudah terkenal adalah apabila mereka mengatakan, “Ayat ini turun dalam kaitan peristiwa ini,” maka maksudnya ayat tersebut mengandung makna sebagaimana yang disebutkan dalam peristiwa itu, tidak selalu berarti mereka menyebutkan sebagai sebab nuzul ayat.
Contoh pernyataan sahabat yang menunjukkan sebab nuzul terdapat pada Surah An-Nisa’/ 4:59:
يايها الَّذِين امَنُوْا اطِيعُوْا الرَّسولَ وَ اُولىِ الأمْرِ مِنْكُمْ ج فَاِنْتَنا زَعْتُمْ فِي شَيءٍ فَرُدُّوْهُ اِلى اللهِ وَ الرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَ اليَوْمِ الْاخِرِ قلى ذلكَ خَيْرٌ وَ احْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
Turunnya ayat ini berkenaan dengan berikut ini:
عن ابن عبَّاس أنَّه قال: نزلتْ: (يا أيُّها الَّذين آمنُوْا أطيعُوا الرَّسول وأُولي الأمرِ مِنكُم) في عبْدِ اللهِ بنِ حذافةَ بْنِ قيسِ بْنِ عَدِيِّ السَّميِّ إذْ بعثهُ رسول الله صلّى الله عليه و سلّم في السريَّةِ.

Ibnu ‘Abbās berkata, “Firman Allah, yā ayyuhal-lażīna āmanū aī’ullāha wa ‘aī ‘urrasūla wa ulil-amri minkum turun berkaitan dngan “Abdullāh bin użāfah bin Qais bin ‘Adiy as-Sahmiy ketika Rasulullah allāhū ‘alaihinwasallam mengatakannya sebagai komandan sebuah ekspedisi (pasukan kecil).                                                                                                       

Sedangkan contoh ungkapan sahabat yang dimaksudkan menjelaskan kandungan ayat terdapat pada Surah al-Hajj/ 22:19:
هذانِ خَصْمنِ اخْتَصَموْا فِي رَبِّهِمْ فَالَّذِينَ كَفَرُوْا قُطِّعَتْ لَهُمْ ثِيَابٌ مِنَ النَّارٍ قلى يُصَبُّ مِنْ فَوْقِ رُءُوْسِهِمُ (19)

Abū Żarr bersumpah bahwa ayat ini turun terkait dengan orang-orang yang ikut serta dalam Perang Badar, seperti Hamzah, ‘Aly, ‘Ubaidah bin al-Hāris, ‘Atabah, Syaibah, dan Wālid bin ‘Atabah.
Meskipun bentuk secara umum dari ungkapan kalimat/ redaksi asbābun-nuzūl mencakup dua bentuk ini, namun berdasarkan beberapa hasil penelitian, kedua bentuk ini tidak berlaku secara kaku. Maksudnya, bahwa sesungguhnya  asbābun-nuzūl tidak memiliki bentuk ungkapan yang pasti, baik melalui ungkapan yang jelas dan tegas maupun ungkapan yang tidak jelas dan tidak tegas. Hal tersebut karena riwayat-riwayat yang mengandung dua bentuk ungkapan tersebut dapat menunjukkan asbābun-nuzūl dan dapat pula mnunjukkan penjelasan terhadap ayat saja.
Selain itu, kedua bentuk ungkapan diatas, terdapat ungkapan-ungkapan lain yang juga digunakan dalam beberapa riwayat asbābun-nuzūl, seperti: wa nazalat, hattā anzalallāhu, falammā anzalallāhu, fiyya nazalat, finā nazalat, hattā nazalai-Qur’an, hattā nazalat, nazala fīhim al-Qur’an, fa anzalallāhu tasdīq żālika, fa balaganā annahā nazalat, mā ahsibu hāżihil-āyah unzilat illā fī żalika, dan sebagainya.
ASBABUN NUZUL MAKRO
Konsep Rahman tentang al-Qur’an, dapat disimpulkan dalam bukunya islam, adalah:
Al-Qur’an secara keseluruhan adalah kata-kata (kalam) Allah dalampengertian biasa, keseluruhannya juga merupakan kata-kata Muhammad. Jadi, Al-Qur’an murni kata-kata Illah, namun tentu saja, ia sama-sama secara intim berkaitan dengan personalitas paling dalam Nabi Muhammad yang hubungannya dengan kata-kata (kalam) Illahi itu tidak dapat dipahami secara mekanis seperti hubungan sebuah rekaman. Kata-kata (kalam) Illahi mengalir melalui hati Nabi.[18]
Definisi tersebut mengandung pola hubungan atau model pewahyuan yang dibangun anatara Al-Qur’an (sebagai sebuah teks; The teks), Allah adalah pengarang (The author) dan Muhammad (The Reader and the author). Oleh karenya, Al-Qur’an harus dipahami dalam konteks yang tepat yakni perjuangan Nabi dan latar belakang dari perjuangan tersebut.[19]
Dalam hal ini Fazlur Rahman menggunakan metode hermeneutika double movement yang digunakan dlam menginterpretasi Al-Qur’an:
1.      Ditinjau dari masa sekarang ke masa Al-Qur’an diturunkan, terdiri dari duatahap:
Pertama, tahap pemahaman arti atau makana dari suatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem histories dimana pernyataan Al-Qur’an tersebut merupakan jawabannya.
Kedua, menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik itu dan menyatakan sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat “disaring” dari teks-teks spesifik dalam sinaran latarbelakang sosio histories dan ratio legis (ilat hokum) yang sering dinyatakan.
2.      Proses yang berangkat daripandangna umum ke pandangan khusus yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang. Maksudnya adalah yng umum harus diwujudkan dalam konteks sosio histories konkret sekarang.
Dengan ini lahirlah teori double movement, yang mana jika ditelaah teori ini merupakan perpaduan anatara tradisionalisme muslim dengan meneutika Barat kontemporer. Halini menunjukkan, bahwa Fazlur Rahman dalam membangun teori double movement tidak terlepas dari pengaruh atau minimal memiliki horizon yang sama dengan kedua pemikiran-pemikiran tersebut.[20]
Pada langka tersebut Rahman menyebutkan “dalam memahami suatu pernyataan, terlebih dahulu memperhatikan konteks mikro dan makro ketika Al-Qur’an diturunkan”.[21] Ide konteks mikro dan makro ini sebenarnya sudah pernah digunakan oleh Syah Waliyullah Al-Dahlawi dalam karyanya “Fauzul al-Kabir fi Ushul al-Tafsir”. Dalam karyanya, sebagaimana dikutipoleh Hamim Ilyas, disebutkan kedua konteks tersebut dengan asbab al-nuzul al-khassah dan asbab al-nuzul al-‘ammah. Selain itu, kesamaannya adalah pernyataan Al-Dahlawi bahwa Al-Qur’an turun untuk merespon kehidupan masyarakat Arab denganmendidik jiwa manusia dan memberantas kepercayaan yang sesat dan perbuatan jahat lainnya. Sama halnya dengan pernyataan tersebut, Rahman juga mengatakan Al-Qur’an merupakan respon ilahi melalui ingatan dan pikiran Nabi Muhammad, kepada situasi moral-masyarakat dangang Makkah dari segi kepercayaan dan kehidupan sosialnya.[22]
Teori ini juga pernah dikemukakan oleh seorang ahli usul al-Fiqih yang terkenal jauh sebelum dikemukakan oleh al-dahlawi dengan teori “maqasid al-syariah” yakni Syatibi. Sehubungan dengan masalah konteks tersebut, syatibi mengatakan: untuk mengetahuiAl-Qur’an pelu memahami situasi dan kondisi dimana Al-Qur’an itu diturunkan. Menurut Rahman untuk mengkaji al-Qur’an, kajian mengenai situasi masyarakat, agama, adat istiadat,  lembaga-lemabaga, bahkankehidupan secara menyeluruh bangsa Arab ketika Al-Qur’an diturunkan sangat dipentingkan.
DAFTAR PUSTAKA

Mudzakir. 2013. Studi Ilmu-ilmu Qur’an “Manna’ Khalil al-Qattan”. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa
Madyan, Ahmad Shams. 2008. Peta Pembelajaran al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Hanafi, Muchlis M. 2015. Asbabun Nuzul “Kronologi dan Sebab Turun Wahyu Al-Qur’an”. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an 
Yusuf, Kadar M. 2012. Studi Al-Qur’an. Jakarta: AMZAH
Syamsuddin, Sahiron. 2010. Hermeneutika Al-Qur’an & Hadis. Yogyakarta: eLSAQ Press

Revisi:
1.      Tidak ditemukan indikasi copy-paste.
2.      Abstrak lebih diringkas lagi, jadikan satu paragraf saja.
3.      Tidak usah menggunakan opcit, lopcit, dll.
4.      Penulisan footnote tolong lebih diperbaiki.
5.      Sahiron Syamsuddin bukan penulis buku Hermeneutika Al-Qur’an & Hadis. Beliau hanya editor dan pemberi kata pengantar. Buku tersebut adalah kumpulan tulisan dari penulis-penulis yang berbeda, jadi tolong diperbaiki cara perujukannya.
6.      Pendahuluan tidak berisi inti pembahasan, tetapi hanya pengantar untuk sampai pada pembahasan.
7.      Kesimpulan belum dicantumkan.
8.      Makalah ini ada beberapa bagian yang kurang referensial, terutama pada bagian pertengahan hingga akhir.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     


[1]Muchlis M.Hanafi, ASBABUN-NUZUL: Kronologi dan Sebab Turun Wahyu Al-Qur’an (Jakarta: Lajnah Pentashihan Musaf Al-Qur’an, 2015),hlm.1.
[2]Ibid. at 2.
[3]Ibid, hlm 3.
[4] Kadar M.Yusuf, Studi Al-Qur’an (Jakarta: AMZAH, 2012). hlm 85-86.
[5] Ahmad Syams Madyan, Peta Pembelajaran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm 178.
[6] Ibid, hlm 179.
        [7] Muchlis, Op.cit. Asbabun Nuzul, hlm 6.                                                                 
[8] Muchlis, Op.cit. Asbabun Nuzul, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al- Qur’an, 2015, hlm 7.
[9] Madyan, Op.cit. Peta Pembelajaran Al-Qur’an, hlm 183.
[10] Muchlis, Op.cit. , 2015, hlm 15-30.
[11] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Surabaya: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2014), hlm 104.
[12] Ibid.,
[13] Ibid. Hlm 105.
[14] Muchlis, Op.cit. Asbabun Nuzul, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al- Qur’an, 2015, hlm 33.
[15] Muchlis, Op.cit. 2015, hlm 47.
[16] Muchlis, Op.cit. 2015, hlm 48.
[17] Muchlis, Op.cit. 2015, hlm 50.
[18] Sahiron Syamsuddin, Hermeuneutika Al-Qur’an dan Hadits (Yogyakarta: SUKSES Offset, 2010), hlm 68-69.
[19] Fazlur Rhaman lahir di Pakistan pada hari Minggu, 21 september 1919 disubuah daerah bernama Hazara, terletak di Barat Laut Pakistan. Suatu tempat yang telah banyak memunculkan para pemikir-pemikir handal, seperti syah waliyullah al-Dahlawi, Sayyid Khan, Amir Alidan M. Iqbal. Keadaantersebut turut diwarisi oleh sosok Fazrul Rahman sebagai seorang pemikir yang kritis dan neo-modernis. Rahman lahir dan dibesarkan dari kalangan keluarga yang sangat mementingkn pendidikan. Ayahnya, Maulana Syahab al-Din adalah seorang ulam tradisional yang bermadzab Hanafi, sebuah madzab sunni yang lebih rasionalis disbanding dengan madzab lain (Syafi’I, Maliki, dan Hambali).
[20] Ibid., hlm 74-75.
[21] Asbabun nuzul mikcro adalah ilmu yang mengolabirasi hubungan antara suatu ayat Al-qur’an dengan peistiwa yang melatarbelakanginya, yang tercantum dlam berbagai kitab ulumul qur’an.Sedangkan Asbabun Nuzul makro adalah latar belakang historis, antropologis, dan sosiologis masyarakat Arab secara keseluruhan (pra islam dan ketika dating islam). Metode makro ini tidak hanya membahas bagian-bagian individual Al-Qur’an saja, tetapi juga membahas Al-Qur’an secara keseluruhan dengan latar belakang keadaan Mekkah.
[22] Ibid., hlm 75.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar