ASBABUN NUZUL
Dina Risti. N, Diah Kholilurrahman, dan Shinta
Dwi Rahayu
Pendidikan Bahasa Arab Kelas D, UIN Maulana
Malik Ibrahim, Malang
dinaristinovitasari@gmail.com
Abstract:
This article discusses asbab al-nuzul Qur’an, which we have seen that asbab al-nuzul
often understood as the science to collaborate between the verses of the Qur’an
to the events surrounding it (asbab al-nuzul macro). Asbab al-nuuzul
understanding developed by the scholars of the salaf (asbab al-nuzul micro) has
implications necessity asbab al-nuzul depicted in the Qur’an. Which is not
mentioned in the Qur’an means can not be called with asbab al-nuzul.
Abab al-Nuzul macro introduced or proposed by
Asy-Syatibi in the book of al-Muwafaqat fi ushul ash-Sharia, which was
developed by Syaikh ad-Dahlawi Waliyullah. Which are detailed concept macro
Asbab al-Nuzul can collaborate on ideas Fazlur Rahman. Knowledge Asbab al-Nuzul
these macro can be known through the narration of hadis and ijma’. Asbab
al-Nuzul macro is the historical background, anthropological, and sociological
Arabic society as a whole (pre-Islamic and when it comes to Islam). This macro
method not only discusses the individual parts of the Qur’an, but also
discusses the Qur’an as a whole against the background of the state of Makkah.
Asbab al-Nuzul discussion is very important to
understand and know the Qur’an in depth. The lack of Asbab al-Nuzul role in the
interpretation of the Qur’an caused ASbab al-Nuzul better understood in the
context of micro-only, so the scope of the discussion is very limited. In
addition, because the clerics adhering to the words that are commonly not a
special reason.
Keyword: Asbab An-Nuzul, Macro and Micro
Pendahuluan
Telah kita ketahui bahwasannya Al-Qur’an merupakan kitab
suci yang di turunkan kepada Nabi Muhammad sallahu ‘alaihi wasallam sebagai
mu’jizat kenabiannya. Al-Qur’an tidak hanya unuk dikaji saja. Namun, Al- Qur’an
sebagai pemberi petunjuk dan bimbingan kepada umat islam ke arah kebaikan , dan
menyuruh mereka beribadah hanya kepada Allah, serta kandungan Al-Qur’n juga
berisi khabar gembira dan khabar yang memberi peringatan kepada mereka.
Secara global,
ayat-ayat Al-Qur’an dapat dikategorikan dalam dua macam: pertama,
ayat-ayat yang turun sebagai prtunjuk dan tuntunan bagi manusia tanpa didahului
oleh sebab-sebab tertentu, dan kedua, ayat-ayat yang turun sebagai
respon atas peristiwa dan realitas yang terjadi dikalangan masyarakat di mana
Al- Qur’an diturunkan. Imam Burhanuddin bin ‘umar al-Ja’bari (w.732 H)
menegaskan, “Al-Qur’an diturunkan dalam dua kategori: sebagian turun tanpa
sebab tertentu, dan sebagian yang lain turun setelah adanya pertanyaan dan
peristiwa tertentu.” Dari segi kuantitas, ayat-ayat yang termasuk kategori
pertama lebih banyak dari pada ayat-ayat yang termasuk kategori kedua. Dengan
ini sangat jelas menunjukkan bahwa pada dasarnya Al-Qur’an memang diturunkan sebagai petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia tanpa
menunggu terjadinya sebuah peristiwa atau adanya pertanyaan kepada Nabi
Muhammad Sallahu “alaihi wasallam. Sedangkan adnya sebuah peristawa atau
pertanyaan yang menjadi sebab turunnya sebagian ayat Al-Qur’an harus dipandang
sebagai penegasan bahwa Al-Qur’an diturunkan sebagai tuntunan yang sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan hidup manusia. Meskipun secara kuantitas
ayat-ayat yang turun karena sebab tertentu tidak terlalu banyak, namun para
ulama memberikan perhatian khusush terhadapa ayat-ayat tersebut melalui
pembahsan tentang asbabun nuzul Al-Qur’an.[1]
Seiring berkembangnya zaman, asbābun-nuzūl ini kemudian
berkembang menjadi salah satu cabang ilmu-ilmu Al-Qur’an yang mendapat perhatian
besar dari para ulama pengkaji Al-Qur’an dan tafsirnya. Hal itu karena
asbābun-nuzūl sebagai bagian yang sangat penting bagi siapapun yang ingin
menggali dan mengkaji makna-makna Al-Qur’an. Yang mana dalam menggali dan
mengkaji makna-makna Al-Qur’an membutuhkan sebuah yang dikenal dengan tafsir,
dan proses tafsir atau penafsiran Al-Qur’an tersebut memerlukan pengetahuan
tentang asbābun-nuzūl agar dapat diperoleh makna yang sesuai dengan konteks dan
maksud dari sebuah ayat Al-Qur’an. Untuk itu, para ulama menempatkan
pengetahuan tentang asbābun-nuzūl sebagai salah satu syarat keilmuan bagi
siapapun yang ingin menafsirkan Al-Qur’an.[2]
Diantara manfaat pokok dari pengetahuan tentang
asbābun-nuzūl yang dijelaskan oleh para ulama adalah sebagai berikut:
1.
Mengetahui hikmah dibalik
penetapan sebuah hukum syar’i;
2.
Memperjelas sebuah makna
ayat;
3.
Menyelesaikan persoalan dan
pertentangan tentang makna suatu ayat;
4.
Menjelaskan kekhususan
suatu hukum;
5.
Menghindari dugaan
pembatasan sutu hukum, dan lain sebagainya.
Selain itu asbābun-nuzūl
memiliki posisi yang urgen dalam sebuah proses penafsiran Al-Qur’an. Urgensi
tersebut dapat dilihat dari beberapa segi sebagai berikut:
Pertama, riwayat asbābun-nuzūl
sebagian besar terdiri dari kisah, baik yang pendek maupun yang panjang.
Kedua, riwayat-riwayat
asbābun-nuzūl menjelaskan kepada mufasir tentang tempat dan waktu penurunan ayat-ayat
Al-Qur’an.
Ketiga, kisah-kisah dalam
asbābun-nuzūl juga menjelaskan kepada penafsir kondisi kejiwaan, pemikiran, dan
kondisi masyarakat yang menjadi tujuan Al-Qur’an.[3]
DEFINISI DAN FUNGSI
Asbabun
Nuzul tersiri dari dua kata, yaitu asbab dan an-nuzul. Kata ashab merupakan
jam’ dari sabab dan kata an-nuzul adalah mashdar dari nazala. Secara bahasa, sabab
berarti sebab atau latar belakang, maka ashab berarti sebab-sebab atau
beberapa sebab atau beberapa latar belakan. Sedangkan an-nuzul bermakna turun.
Sehingga, kata asbab an-nuzul secara bahasa adalah sebab-sebab turun atau
beberapa latar belakang yang membuat turun. Apabila hal inidikaitkan dengan
al-Qur’an maka asbab an-nuzul itu bermakna beberapa latar belakang atau sebab
yang membuat ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan.[4]
Asbab an-Nuzul merupakan situasi, kondisi,
kejadian atau peristiwa turunnya ayat atau surat dalam al-Qur’an. Para ulama
Islam menggunakan metode penimbangan dalam menafsirkan makna-makna al-Qur’an
dengan kondisi atau peristiwa tertentu yang berhubungan dengan kronologi
penurunan wahyu. Jadi, fungsi Asbab an-Nuzul adalah untuk membantu usaha
penafsiran dan pemahaman teks-teks al-Qur’an dengan latar kesejarahannya.[5]
Tidak semua ayat al-Qur’an memiliki Asbab
an-Nuzul dan sebagian besar ayat al-Qur’an diturunkan Allah
secara langsung, tanpa ada sebab-sebab tertentu. Sebab dalam penurunan
ayat-ayat tersebut tidak ada riwayat shahih yang menceritakannya. Banyak
ayat-ayat yang turun secara langsung seperti berbicara tentang surga dan
neraka, hari akhir, cerita nabi-nabi, umat-umat masa silam dan lain-lain.[6]
Ada
beberapa ulama yang memberikan pengertian Asbab an-Nuzul , diantaranya:
1.
Jalaluddin as-Suyutiy, mengatakan bahwa asbab
an-nuzul ialah sesuatu yang terjadi pada waktu atau masa tertentu dan menjadi
penyebab turun satu atau beberapa ayat Al-Qur’an.
2.
Abdul Aziz az-Zarqaniy, mengatakan bahwa asbab
an-nuzul ialah sesuatu yang terjadi pada waktu atau masa tertentu dan menjadi
penyebab turun satu atau beberapa ayat Al-Qur’an sebagai penjelasan kandungan
dan penjelasan hukum terkait sesuatu tersebut. Muhammad Abu Syuhbah juga
mengemukakan pengertian yang serupa.
3.
Manna Khalil al-Qattan, mengatakan bahwa asbab
an-nuzul ialah sesuatu, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan yang terjadi
pada waktu atau masa tertentu, dan menjadi sebab turunnya Al-Qur’an.[7]
Baik klasik maupun kontemporer, beberapa ulama
mengungkapkan pengertian yang serupa. Secara umum, pengertian asbab an-nuzul
bermuara pada substansi yang sama, yaitu adanya suatu peristiwa, atau perbuatan
yang terjadi pada masa tertentu dan melatarbelakangi penyebab turunnya
ayat-ayat Al-Qur’an.
Ada
dua hal penting yang berkaitan tentang pengertian asbab an-nuzul yang perlu
diperhatikan:
1.
Sebab dan ayat muncul pada waktu dan masa yang
sama. Suatu peristiwa yang menjadi sebab nuzul suatu ayat adalah peristiwa yang
terjadi pada waktu kehidupan dan kenabian Rasulullah SAW. Jarak waktu dengan
peristiwa antara penurunan suatu ayat dapat terjadi secara langsung dalam waktu
yang berdekatan atau dalam waktu yang relatif lama. Jadi, peristiwa yang
terjadi pada umat terdahului atau cerita yang mengiringi perjalanan kehidupan
nabi sebelum beliau tidak bisa dianggap sebagai penyebab turunnya Al-Qur’an.
2.
Ada dua bentuk hal yang dapat terjadi dalam
asbab an-nuzul, yaitu:
a.
Pertama, sebuah peristiwa yang dapat
menjelaskan langsung yang termasuk dalam hukumnya
b.
Kedua, berupa sebuah
pertanyaan yang diajukan sahabat kepada Nabi sallallahu “alaihi wasallam.[8]
Manfaat
Asbabun
Nuzul
Ada
beberapa manfaat yang dapat dipetik dari Asbab an-Nuzul, yaitu:
1.
Pengetahuan tentang hikmah dalam suatu hukum
tertentu. Bahwa setiap keputusan dan ketentuan Tuhan selalu ada hikmah
didalamnya, baik kita mengetahuinya atau tidak.
2.
Membantu penafsiran al-Qur’an secara objektif.
3.
Asbab an-Nuzul dapat dijadikan sebagai
penafsiran ayat secara langsung.[9]
Fungsi-fungsi Asbabun
Nuzul
Terdapat beberapafungsi Asbabun Nuzul sebagai berikut:
1. Membantu
para penafsir untuk memahami kandungan dan maksud ayat- ayat Al- Qur’an
2. Menjelaskan
maksud ayat- ayat yang mudah disalah pahami dan rawan memunculkan perselisihan
pendapat
3. Menjelaskan
hikmah dari perintah atau ketentuan hukum yang diturunkan Allah subhānahū
wata’ālā
4. Memberikan
makna khusus (takhsīs) pada konteks ayat yang umum.
5. Membanta
dugaan adanya pembatasan sesuatu hal atau hukum
6. Menjelaskan
posisi suatu sebab nuzul sebagai variabel utama dalam memaknai suatu ayat
7. Mengngkap
peristiwa dan pelaku sejarah dari kalangan generasi awal Islam yang menjadi sebab
turunnya ayat-ayat Al- Qur’an
8. Memberi
informasi sejarah suatu ketentuan hukum melalui sebab nuzulnya
9. Memperluas
cakrawala pengetahuan ilmu syariah dengan mendalami sebab-sebab kemunculan
berbagai ketentuan hukum yang tercakup dalam ilmu syariah tersebut
10. Mengetahui,
meneladani, atau belajar dari pengalaman dan peristiwa-peristiwa yang dialami
oleh orang-orang terdahulu
11. Memudahkan
hafalan dan pemahan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.[10]
Pedoman mengetahui Asbabun
Nuzul
Pedoman yang menjadi dasar
para ulama dalam megetahui asbabun nuzul ialah riwayat sahih yang berasal dari
Rasulullah atau dari sahabat. Hal itu disebabkan pemberitahuan seorang sahabat
mengenai hal seperti inp, bila jelas, maka hal itu bukan sekedar pendapat (
ra’y), tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah).
Al- Wahidi mengatakan: “Tidak halal bberpendapat mengenai asbabun nuzul Kitab
kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari
orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan memahas
tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya”.[11]
Inilah cara yang digunakan
oleh ulama salaf. Mereka amat berhati-hati untuk mengatakan sesuatu
mengenai asbabun nuzul tanpa pengetahuan yang jelas. Muhammad bin Sirrin
mengatakan: “ Ketika ku tanyakan kepada ‘Ubaidah mengenai satu ayat Qur’an,
dijawabnya: Bertakwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar. Orang-orang
yang mengetahui mengenai apa Qur’an itu
diturunkan telah meninggal”.[12]
Maksudnya adalah para
sahabat. Apabila seorang tokoh ulama semacam Ibnu Sirin, yang termasuk tokoh
tabi’in terkenuka sudah sedemikian berhati-hati dan cermat mengenai riwayat dan
kata-kata yang menentukan, maka hal itu menunjukkan, orang harus mengetahui
dengan benar asbabun nuzul. Oleh karena itu, yang dapat dijadikan pedoman
asbabun nuzul adalah riwayat ucapan- ucapan sahabat yang bentuknya seperti
musnad, yang secara pasti menunjukkan asbabun nuzul. As- suyuti berpendapat
bahwa ucapan seorang tabi’in secara jelas menunjukkan asbabun nuzul, maka ucapan
itu dapat di terima. Dan mempunyai kedudukan mursal bila penyandaran
kepada tabi’in benar dn ia termasuk salah seorang imam tafsir yang
mengambililmunya dari para sahabat, seperti mujahid, ‘Ikrimah dan Sa’id bin
Jubair serta didukung oleh hadits mursal lain.
Al –Wahidi telah menentang
ulama- ulama zamannya atas kecerobohan mereka terhadap riwayat asbaun
nuzul.bahkan ia menuduh mereka pendusta dan mengingtkan mereka akan ancaman
berat, dengan mengatakan: “Sekarang setiap orang suka mengada- ada dan berbuat
dusta; ia menempatkan kedudukannya dalam kebodohan, tanpa memikirkan ancaman
berat bagi orang yang tidak mengetahui sebab turunnya ayat.”[13]
Sumber- sumber
Asbābun-Nuzūl
1. Hadits
Nabi sallāhu ‘alaihi wasallam
Menerut para ulama bahwa cara terbaik untuk mengetahui
asbābun-nuzūl adalah melalui sebuah periwayatan. Maksudnya adalah bahwa
asbābun-nuzūl tidak dapat diketahui mealalui sebuah proses ijtihad, karena
suatu peristiwa yang melatarbelakangi urunnya ayat sangat erat kaitannya dengan
peristiwa sejarah yang nyata dan bukan berasal dari praduga. Untuk itu, sumber
yang pokok untuk memperoleh informasi
asbābun-nuzūl adalah buku- buku yang memuat hadis-hadis Nabi sallāhu
‘alaihi wasallam.
2. Tafsir
Al- Qur’an
Salah satu sumber pokok yang memuat informasi terkait
asbābun-nuzūl adalah buku-buku tafsir Al- Qur’an. Secara umum kitab-kitab
tafsir yang tersedia di kalangan umat islam sampai saat ini memuat informasi
asbābun-nuzūl.
3. Sejarah
Sumber-sumber penting lainnya yang digunakan untuk
mengetahui informasi- informasi terkait asbābun-nuzūl adalah buku-buku sejarah
khususnya yang didalamnya menbahas sejarah Nabi sallāhu ‘alaihi wasallam
(as-sīrah an-nabawiyyah).
4. Khusus
Asbābun-Nuzūl
Sumber yang khusus mengkaji asbabun- nuzul ini dapat
dikategorikan menjadi dua macam: material-subtansial dan
konseptual-metodologis.[14]
Level Asbābun-Nuzūl
Asbābun-nuzūl dapat
dikelompokkan dalam dua macam: asbābun-nuzūl pada satu surah Al-Qur’an, dan
asbābun-nuzūl pada ayat atau beberapa ayat Al-Qur’an.[15]
Pertama, asbābun-nuzūl
pada satu surah, adalah riwayat yang berisi peristiwa-peristiwa sebab turunnya
satu surah Al-Qur’an secara utuh. Para
ulama menyebutkan beberapa surah Al-Qur’an dengan latar belakang
peristiwa-peristiwa tertentu. Diantara beberapa surah tersebut adalah:
1.
Surah al-Anfāl/8. Ulama menyebutkan bahwa surah
ini turun saat peristiwa Perang Badar yang terjadi pada tahun ke-2 H. ibnu
Ishāq (w.151 H), setelah tokoh-tokoh menjelaskan tentang peristiwa Perang
Badar, kemudian menyatakan, “Setelah Perang Badar usai, Allah menurunkan Surah
Al-Anfāl secara lengkap.” Pernyataan Ibnu Abbas diperkuat dalam penjelasan ini
yang menjelaskan surah tersebut turun dalam peristiwa Perang Badar.
2.
Surat al-Fath/48. Ulama berpendapat bahwa surah
ini turun saat terjadinya peristiwa Hudaibiyah. Menurut Miswar bin Makhramah
dan Marwan bin Hakam, “Surah al-Fath dari ayat pertama hingga akhir turun dalam
peristiwa Hudaibiyah, tepatnya terjadi di kota yang terletak antara Mekah dan
Madinah.”
3.
Surah al-Hasyr/59. Menurut ahli tafsir, surah
ini turun berkaitan dengan suku Bani Nadir. Sa’id bin Jubair bertanya kepada
Ibnu Abbas tentang surah tersebut, dan Ibnu Abbas menjawab, “Surah al-Hasyr
turun berkaitan dengan Bani Nadir.”
Kedua, yaitu asbābun-nuzūl
yang khusus, adalah riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang
peristiwa-peristiwa yang menjadi latar belakang diturunkannya satu ayat atau
beberapa ayat Al-Qur’an.[16]
Berikut beberapa contoh terkait pembahasan ini:
1.
Surah al-Ahzab/33: 35
إنّ المسلمينَ والمسلمات والمؤمنين
والمؤمنات والقنتين والقانتات والصدقين والصدقات والصبرين والصبرات والخشعين
والخشعات والمتصدّقين والمتصدِّقات والصائمين والصائمات والحفظين فروجهم والحفظات
والذّاكرين الله كثيرًا والذّاكرات اعدَّ الله لهم مغفرةً واَجرًا عظيمًا .
“Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim,
laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang
sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar.” (al-Ahzab/33: 35)
Ayat ini turun berkaitan dengan keluhan yang disampaikan
Ummu Salamah kepada Nabi bahwa kaum wanita itu tidak pernah disebut-sebut dalam
Al-Qur’an, yang disebut hanya kaum lelaki. Ayat ini turun untuk menanggapi
keluhan Ummu Salamah itu.
عَن أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ
اللّهِ, يُذْكَرُ الرِّجَالُ وَلَا يُذْكَرُ النِّسَاءُ. فَأَنْزَلَ اللّهُ عَزَّ
وَجَلَّ (إِنَّ المُسْلِمِينَ وَالمُسلِمَاتِ وَالمُؤمِنِينَ وَالمُؤمِنَاتِ ...
الْاّيَةَ). وَأَنزَلَ: (أَنِّيْ لَا أُضِيْعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُم مِنْ ذَكَرٍ
أَوْ أُنْثَى).
Ummu Salamah berkata, “Aku
berkata kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah! Mengapa hanya kaum lelaki yang
selalu disebut-sebut (oleh Allah dalam Al-Qur’an), sedangkan kaum wanita
tidak?’ Allah ‘azza wajalla lalu menurunkan ayat, innal-muslimīna wal-muslimāti
wul-mu’minīna wal-mu’mināt ... hingga akhir ayat. Allah juga menurunkan ayat,
annī lā uḍī’u ‘amala ‘āmilin minkum
min żakarin au unṡā.”
2.
Surah at-Taubah/9: 84
ولاَ تصلِّ على اَحدٍ منهُم مّاتَ
اَبدًا وَّلا تَقم على قبرِه قلى اِنّهم كفَرُوْا باللهِ ورسولِهِ
وماتُوْا وَهمْ فسقُوْنَ.
"Dan janganlah engkau
(Muhammad) melaksanakan salat untuk seseorang yang mati di antara mereka
(orang-orang munafik), selama-lamanya dan janganlah engkau berdiri (mendoakan)
di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar
kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik."
(at-Taubah/9: 84)
عَنْ عَبْدِ اللّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: لَمَّا
تُوَفِّيَ عَبْدُ اللّهِ بْنُ أُبَيٍّ جَاءَ ابْنُهُ إِلَى رَسُولِ اللّهِ صَلَّى
اللّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللّهِ أَعْطِنِيْ قَمِيْصَكَ
أُكَفِّنْهُ فِيْهِ وَصَلِّ عَلَيْهِ وَاسْتَغْفِرْ لَهُ. فَأَعْطَاهُ قَمِيصَهُ,
وَقَالَ: إِذَا فَرَغْتَ مِنْهُ فَآذِنَّا. فَلَمَّا فَرَغَ آذَنَهُ بِهِ فَجَاءَ
لِيُصَلِّيَ عَلَيهِ, فَجَذَبَهُ عُمَرُ فَقَالَ: أَلَيْسَ قَدْ نَهَاكَ اللّهُ
أَنْ تُصَلِّيَ عَلَى المُنَافِقِينَ؟ فَقَالَ: (اِسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ
تَسْتَغْفِرْ لَهُم سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللّهُ لَهُم) فَنَزَلَتْ:
(وَلَا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدَا وَلَا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ)
فَتَرَكَ الصَّلَاةَ عَلَيهِمْ.
‘Abdullah
bin ‘Umar berkata, “Ketika ‘Abdullah bin Ubay meninggal, putranya (‘Abdullah
bin ‘Abdullah bin Ubay) datang menemui Nabi SAW. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah!
Perkenankanlah aku meminta bajumu untuk mengafani ayahku. Salatilah dia dan
mintakanlah ampunan untuknya.’ Rasulullah pun memberikan bajunya sambil
berpesan, ‘Bila engkau sudah selesai mengafaninya, beritahu aku.’ Usai
mengafani ayahnya, ‘Abdullah pun memberitahu Nabi. Ketika beliau beranjak untuk
menyalatinya, ‘Umar menarik beliau dan berkata, ‘Bukankah Allah telah
melarangmu menyalati orang-orang munafik?’ Rasulullah menjawab, ‘(Aku diberi
dua pilihan oleh Allah, yakni memintakan ampun bagi mereka atau tidak, melalui
firman-Nya), istagfir lahum au lā tastagfir lahum in tastagfir lahum sab’īna
marratan falan yagfirallāhu lahum. Pada peristiwa ini turunlah firman Allah.
Walā tuṣalli ‘alā ahadin minhum māta abadan wala taqum ‘ala
qabrih. Setelah itu Rasulullah tidak lagi mau menyalati jenazah orang-orang
munafik.”
Bentuk Relasi Sebab Nuzul
dan Ayat Al-Qur’an
Salah satu bentuk hubungan
antara sebab nuzul dan ayat Al-Qur’an yaitu dengan perbedaan kuantitas sebab nuzul dan ayat yang
meresponnya. Asbābun-nuzūl dan ayat-ayat Al-Qur’an dapat dibedakan menjadi dua
macam yaitu, sebab berbilang dan ayat tunggal, dan sebab tunggal dan ayat
berbilang.[17]
1.
Sebab berbilang dan ayat tunggal
Sebab berbilang dan ayat tunggal merupakan
adalah adanya beberapa riwayat asbābun-nuzūl yang berbeda-beda, dapat
diidentifikasikan menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat Al-Qur’an.
Ulama berpendapat, ada beberapa bentuk asbābun-nuzūl yang terdiri dari beberapa
riwayat berbeda dan dikaitkan dengan satu atau beberapa ayat saja.
a.
Bentuk ungkapan yang terdapat dalam
riwayat-riwayat yang tersedia tidak menggunakan ungkapan yang jelas dan tegas, sehingga
memungkinkan dapat berupa asbābun-nuzūl, serta berupa penjelasan dan tafsir
ayat. Sebagai contoh adalah Surah al-Baqarah/2: 274:
الَّذِيْنَ يُنْفِقُونَ اَموَالَهُمْ بِالَّيْلِ وَالنَّهَارِ
سِرًّاوَّعَلاَنِيَةً فَلَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَرَبِّهِمْ ج وَلاَخَوفٌ
عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُونَ
Orang-orang
yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi
maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa
takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (al-Baqarah/2: 274)
Terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan
sebab nuzul ayat ini, yaitu riwayat Ibnu ‘Abbās dan Qatādah. Ibnu Abbās
berpendapat bahwa ayat ini turun berkaitan dengan orang-orang yang memberi
makan kuda dalam peperangan di jalan
Allah. Dan Qatādah berpendapat, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan
orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah dengan tidak
berlebih-lebihan dan mubazir. Pernyataan Ibnu Abbās dan Qatādah bukan termasuk
sebab nuzul ayat tersebut. Karena, kemungkinan salah satu atau keduanya
benar-benar sebab nuzul, dan boleh jadi keduanya hanya penjelasan dari
kandungan ayat tersebut.
b.
Bentuk ungkapan dari salah satu riwayat
asbābun-nuzūl yang bersifat jelas dan tegas, sementara yang lainnya tidak jelas
dan juga tidak tegas. Sebagaimana dalam Surah al-Baqarah/2: 197:
الحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمَتٌج
فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الحَجَّ فَلاَرَفَثَ وَلاَفُسُوقَ وَلاَجِدَالَ فِى
الحَجِّقلى وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيرٍ يَّعْلَمْهُ اللّهُقلى
وَتَزَوَّدُوا فَاِنَّ خَيرَ الزَّادِ
التَّقْوىصلى وَاتَّقُوْنِ ياُولِى الاَلْبَابِ
(Musim)
haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barang siapa mengerjakan
(ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafaṡ),
berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik
yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya
sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang
yang mempunyai akal sehat! (al-Baqarah/2: 197)
Menurut Ibnu Abbas, ayat di atas turun
yang berkenaan dengan penduduk Yaman yang suka tidak membawa bekal jika
bepergian.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللّهُ
عَنْهُمَا قَلَ: كَانَ أَهْلُ اليَمَنِ يَحُجُّوْنَ وَلَا يَتَزَوَّدُونَ
وَيَقُولُونَ: نَحنُ المُتَوَكِّلُونَ, فَإِذَا قَدِمُوا مَكَّةَ سَأَلُوا
النَّاسَ, فَأَنْزَلَ اللّهُ تَعَالَى: (وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيرَ الزَّادِ
التَّقْوَى).
Ibnu ‘Abbās ra. berkata, “Dulu
penduduk Yaman biasa berangkat haji tanpa membawa bekal. ‘Kami adalah
orang-orang yang bertawakal,’ begitu kata mereka. Sampai di Mekah, mereka pun
terpaksa meminta-minta kepada jamaah haji yang lain. Berkaitan dengan hal ini
Allah menurunkan firman-Nya, watazawwadū fa’inna khairaz-zādit-taqwā.”
Terdapat
riwayat lain dari az-Zajjāj, yang menyatakan ayat ini berkaitan dengan perintah
untuk orang-orang yang bepergian agar menyiapkan bekal dan mengabarkan kepada
orang banyak bahwa bekal yang terbaik adalah ketakwaan kepada Allah.
c.
Terdapat dua riwayat yang jelas dan tegas yang
menunjukkan asbābun-nuzūl, namun yang satu berkualitas sahih, dan yang lain
tidak sahih. Misalnya pada Surah aḍ-Ḍuḥā/93: 1-3:
وَضُّحىلا(1)
وَالَّيْلِ اِذَا سَجىلا(2) مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلىقى(3)
Demi
waktu Ḍuḥā
(ketika matahari naik sepenggalah), dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu
tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu. (aḍ-Ḍuḥā/93:
1-3)
d.
Terdapat dua riwayat asbābun-nuzūl yang sahih,
dengan menggunakan ungkapan yang tegas dan jelas, namun untuk menjadi sebab
nuzul ayat, ada salah satu yang dinilai lebih kuat daripada yang lain. Seperti
dalam Surah al-Isrā’/17: 85:
وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِقلى قُلِ الرُّوْحُ مِنْ
اَمْرِ رَبِّيْ وَمَا اُوتِيْتُمْ مِّنَ العِلْمِ اِلاَّقَلِيْلاً
Dan
mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang roh. Katakanlah, “Roh itu termasuk
urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.” (al-Isrā’/17:
85)
Sebab nuzul ayat ini adalah sebagaimana
riwayat berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَتْ قُرَيْشٌ
لِيَهُودَ: أَعْطُونَا شَيئًا نَسْأَلُ هَذَا الرَّجُلَ. فَقَالَ: سَلُوهُ عَنِ
الرُّوحِ. فَسَأَلُوْهُ عَنِ الرُّوْحِ، فَأَنْزَلَ اللّهُ تَعَالَى:
(وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّيْ وَمَا
أُوْتِيْتُمْ مِنَ العِلمِ إِلاَّ قَلِيْلاً) قَالُوْا: أُوْتِينَا عِلْمًا
كَثِيْرًا أُوْتِيْنَا التَّورَاةَ، وَمَنْ أُوْتِيَ التَّورَاةَ فَقَدْ أُوتِيَ
خَيْرًا كَثِيْرًا. فَأُنْزِلَتْ: (قُلْ لَوْ كَانَ البَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ
رَبِّيْ لَنَفِدَ البَحْرُ ... إِلَى آخِرِ الآيَةَ).
Ibnu
‘Abbās ra. berkata, “Suatu saat kaum Quraisy menanyai orang-orang Yahudi,
‘Usulkanlah kepada kami suatu pertanyaan untuk kami ajukan kepada pria ini
(yakni: Nabi Muhammad)!’ Mereka menjawab, ‘Tanyailah dia tentang roh!’ Mereka
lantas bertanya tentang roh kepada beliau. Terkait hal itu Allah lalu
menurunkan ayat, wa yas’alūnaka ‘anir-rūḥi qulir-rūḥu
min amri rabbī wamā ūtītum minal-‘ilmi illā qalīlā. Merasa tersindir oleh ayat
tersebut, orang-orang Yahudi berkata, ‘Kami telah diberi ilmu yang banyak. Kami
telah diberi Taurat, dan siapa saja yang telah diberi Taurat maka ia
benar-benar telah mendapat kebaikan yang banyak.’ Terkait peristiwa ini
diturunkanlah ayat, qul lau kānal-baḥru midādan likalimāti rabbī lanafidal-bahru ... hingga akhir ayat.”
e.
Terdapat dua riwayat
asbābun-nuzūl yang sahih, dengan menggunakan ungkapan yang tegas dan jelas,
namun sulit untuk mengetahui mana yang lebih kuat di antara kedua riwayat
tersebut. Ada kemungkinan keduanya
dapat dikompromikan dengan mengingat dua peristiwa tersebut yang terjadi dalam
waktu yang berdekatan. Dengan demikian, dua sebab nuzul tersebut dapat menjadi
latar belakang turunnya ayat Al-Qur’an. Sebagai contoh adalah Surah an-Nūr/24:
6:
وَالَّذِيْنَ يَرْمُونَ اَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَّهُمْ
شُهَدَآءُ اِلَّآ اَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ اَحَدِهِمْ اَرْبَعُ شَهدتٍمبِاللّهِلااِنَّهُ
لَمِنَ الصّدِقِيْنَ
Dan
orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai
saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian masing-masing orang itu
ialah empat kali bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk
orang yang berkata benar. (an-Nūr/24: 6)
Ayat ini turun berkenaan dengan ‘Uwaimir
yang memergoki istrinya di dalam kamar bersama pria lain. Allah memerintahkan
kedua orang tersebut untuk bersumpah li’ān, yaitu sumpah yang dilakukan ketika
suami menuduh istrinya telah melakukan perbuatan zina, namun sang suami tidak
mampu menghadirkan saksi.
Sebagaimana yang terdapat dalam sebuah
hadis, yaitu:
Sahl
bin Sa’ad bercerita bahwa suatu hari ‘Uwaimir datang menemui ‘Āṣim bin ‘Adiy, pemuka Bani ‘Ajlān. Ia berkata, “Apa
pendapatmu jika seorang pria memergoki pria lain sedang berduaan bersama
istrinya; apakah pria itu boleh membunuhnya lalu kalian menerapkan hukuman
qisas kepadanya, atau ia harus bagaimana? Tolong tanyakan hal ini kepada
Rasulullah SAW. ‘Āṣim pun lantas bergegas menemui Nabi dan bertanya, “Wahai
Rasulullah...” Ternyata Rasulullah tidak menyukai pertanyaan itu (karena
kejadian seperti itu belum pernah terjadi dan berpotensi menjadi bahan
olok-olok kaum Yahudi dan munafik kepada umat Islam). Ketika ‘Uwaimir menanyai
‘Āṣim perihal jawaban Nabi
atas persoalan itu, ia menjawab, “Rasulullah tidak menyukai pertanyaan tersebut
dan menganggapnya sangat memalukan.” ‘Uwaimir lalu berkata, “Demi Allah, aku
tidak akan berhenti bertanya sampai Rasulullah memberi jawaban untuk persoalan
ini.” ‘Uwaimir lantas menemui Nabi dan berkata, “Wahai Rasulullah, ada seorang
pria mendapati istrinya sedang berduaan bersama pria lain; apakah pria itu
boleh membunuhnya lalu kalian menerapkan hukuman qisas kepadanya, atau ia harus
bagaimana?” Rasulullah menjawab, “Allah telah menurunkan ayat yang berkaitan
dengan persoalan yang sedang engkau alami bersama istrimu.” Rasulullah lalu
memerintahkan mereka berdua melakukan sumpah li’ān sesuai ketentuan yang telah
Allah jelaskan dalam kitab-Nya. ‘Uwaimir pun melakukan sumpah li’ān kepada
istrinya. Setelah itu ‘Uwaimir berkata, “Wahai Rasulullah, jika aku menahan
istriku (yakni: tidak menceraikannya dan membiarkannya begitu saja) maka itu
berarti aku menzaliminya.” Ia pada akhirnya menceraikan istrinya itu.
Begitulah, setelah kejadian ini perceraian kemudian menjadi hal yang lazim bagi
suami-istri yang melakukan sumpah li’ān. Beberapa lama kemudian Rasulullah
bersanda, “Mari kita tunggu! Jika nanti istri ‘Uwaimir melahirkan bayi berkulit
hitam, mempunyai bola mata yang hitam, lebar, dan cekung; serta berpantat lebar
dan berbetis kekar, maka aku yakin tuduhan ‘Uwaimir kepada istrinya itu benar
adanya. Sebaliknya, jika wanita itu nanti melahirkan bayi berkulit (putih)
kemerahan seperti tokek maka aku yakin tuduhan ‘Uwaimir kepada istrinya itu
mengada-ada.” Dikemudian hari wanita itu ternyata melahirkan bayi yang
ciri-cirinya persis seperti yang disebutkan oleh Rasulullah yang membuktikan
kebenaran tuduhan ‘Uwaimir. Karena itulah anak itu kemudian dinisbatkan kepada
ibunya.
f.
Terdapat dua riwayat
asbābun-nuzūl yang sahih, dengan menggunakan ungkapan yang tegas dan jelas,
namun sulit untuk mengetahui mana yang lebih kuat di antara keduanya, dan sulit
untuk dikompromikan karena keduanya terjadi dalam waktu yang berbeda. Maka para
ulama mengetengahkan teori “pengulangan turunnya ayat” (takarrurun-nuzūl).
2. Sebab
tunggal dan ayat berbilang
Maksud dari pembahasan ini adalah ayat Al-Qur’an yang
turun, baik dalam satu surah maupun yang berbeda, dilatarbelakangi oleh sebab
yang sama.
Bentuk dan Pola Redaksi
Asbābun-Nuzūl
Dalam pembahasan yang
terkait susunan kalimat atau redaksi asbābun-nuzūl menjadi pembahasan yang
penting yang mana sangat diperhatikan oleh para ulama. Mengingat persoalan
redaksi ini dapat menjadi pertimbangan yang penting dalam menetapkan validitas
asbābun-nuzūl ayat.
Menurut para ulama bentuk
dan pola redaksi dalam riwayat-riwayat asbābun-nuzūl itu dibagi menjadi dua
macam:
Pertama, berdasarkan ungkapan
yang jelas dan tegas bahwa peristiwa yang disebutkan dalam suatu riwayat
merupakan sebab nuzul ayat Al- Qur’an. Apabila, suatu riwayat mencakup hal yang
demikian, maka dapat dipastikan riwayat tersebut merupakan sebab nuzul ayat.
Dalam beberapa riwayat asbābun-nuzūl, bentuk ungkapan jelas dan tegas ini
biasanya dinyatakan sahabat dengan ungkapan, “Sebab nuzul ayat ini adalah
peristiwa ini.”
Ungkapan yang jelas dan tegas tersebut juga dapat berbentuk kalimat yang menceritakan sebuah peristiwa,
kemudian di akhir cerita, disebutkan kata sambung “fa” yang peristiwa ini dan itu, lalu Allah menurunkan
ayat ini dan itu.” Selain itu, ungkapan yang jelas dan tegas juga dapat
ditemukan pada riwayat yang mengisahkan pernyataan seseorang kepada Nabi
sallāhu ‘alaihi wasallam, lalu Allah menurunkan ayat Al- Qur’an untuk menjawab
pertanyaan tersebut.
Bentuk jelas dan tegas
dari asbābun-nuzūl dapat dilihat secara
lebih singkat melalui beberapa bentuk berikut:
1. Peristiwa
hadist menyatakan, “sebab nuzul ayat ini adalah ini.” Maksudnya adalah suatu
peristiwa yang terjadi pada masa Nabi sallāhu ‘alaihi wasallam, kemudian al-
Qur’an turun, menjelaskan hukum-hukum dalam peristiwa tersebut. Contohnya
adalah riwayat Anas bin Malik yang menceritakan tentang pernikahan Rasulllah
SAW dengan Zainab binti Jahsy ra, bahwa pada saat itu, para sahabat diundang
makan di rumah beliau. Namun tatkala selesai makan, para Sahabat asyik
berbincang-bincang, tidak segera beranjak pamit dari rumah Rasul. Kemudian
turun ayat (QS. Al- Ahzab:53).( buku Ahmad syam hitam biru).
2. Perowi
hadist menceritakan sebuah peristiwa yang ujungnya ditutup dengan pernyataan,
“Lalu turunlah ayat ini.”
3. Adanya
pertanyaan kepada Nabi sallāhu ‘alaihi wasallam yang kemudian dijawab oleh
Allah dengan turunnya Al- Qur’an.
Berikut ayat-ayat yang
memiliki sebab nuzul yang mengandung ungkapan jelas dan tegas:
1. Surah
Maryam/ 19: 77-80
افرايت الَّذين كفَر بايتنا و قال لاُوْتينَّ مالاً
وَوَلدًا (77) اَطَّلَعَ الْغَيْبَ اَمِ اتَّخَذَ عِندَ الرَّحْمن عهدًا (78)
كلاَّ قلى سنكتبُ ما يَقَوْلُ وَ نَمُدُّ لهُ منَ العذَابِ
مَدًّا (79) و نرِثُهُ ما يَقولُ وَيأْتِيْنا فَرْدًا (80)
Turunnya ayat diatas berkaitan dengan seorang pria kafir
bernama al- ‘Ās bin Wā’il yang enggan membayar utangnya kepada seorang muslim
bernama Khabbāh. Ia dengan tegas mengatakan hanya akan membayar utang tersebut
setelah dibangkitkan dari kubur.
عن خبّاب رضي الله عنه قال: كُنتُ رجُلاً قينا، وكان لي على العاص بن وائل
دينٌ فأتيته أتقاضاه. فقال لي: لا أقْديك حتّى تكفر بمحمد. قال: قلت: لن أكفرَ به
حتّى تموت ثم تبعثَز قال: وإنّي لمبعوثٌ من بعد الموت؟ فسوف أقديك إذا رجعت إلى
مالٍ وولدٍز قال:فنزلتْ: (أفرأيت الّذي كفر بآياتنا وَقال لأوْتينَّ مالاً
ووَلدًا. أطّلعَ الغيبَ أم اتخذَ عندَ الرّحْمَنِ عَهدًا، كلَّا سنكتبُ ما يَقولُ
وَنمدُّ لهُ منَ العَذَابِ مدًّا، وَنرثهُ ما يقولُ وَيأتينا فَرْدًا).
Khabbā raḍiyallāhu ‘anhu bercerita,
“Aku adalah seorang pekerja (yang bekerja kepada al- ‘Āṣ bin Wā’il). Dia berutang
kepadaku (yakni: belum membayar upahku), lalu aku pun datang untuk menagihnya.
Ia mengatakan, “Aku tidak akan melunasi utangku, kecuali bila engkau mau
mengingkari Muhammad.” “Aku tidak akan melakukan hal itu bahkan hingga engkau
meninggal dan dibangkitkan,” jawabku. “Benarkah aku akan dibangkitkan setelah
mati? Bila benar, akan aku lunasi utangku andaikata aku mendapatkan kembali
harta dan anakku,” kata al-‘Āṣ dengan nada mengejek. Setelah itu turunlah ayat,
afara’aital-lażi kafara bi ayatinā waqāla la’ūtayanna mālan wawaladan aṭṭala’al-Gaiba amit-takhaża
‘indar-raḥmāni ‘ahdan kallā
sanaktubu mā yaqūlu wanamuddu lahū minal- ‘ażābi maddan wanariṡuhū mā yaqūlu waya’tīna fardā.”
2. Surah
Al- Baqarah/ 2: 222
وَيًسْأَلوْنَكَ عَنِ المَحِيضِ قلى قُلْ هوَ اَذًى لا
فَاعْتَزِلُوْا النِّساءَ فى المَحيضِ لا وَلاَ تَقْرَبُهُنَّ
حَتَّى يَطْهُرْنَ مِنْ حَيثُ اَمَرَكُمُ اللهٌ قلى اِنَّ اللهَ
يُحِبُّ التَّوْبينَ وَ يُحِبُّ المُتَطَهِّرِينَ (222)
Turunnya
ayat ini untuk mengoreksi sikap orang Yahudi terhadap istri mereka yang sedang
haid.
عن أنسٍ أنّ اليهودَ كانوْا إذا حاضتِ المَرْأةُ فيهمْ
لمْ يُؤَاكلوْها ولمْ يُجامِعوْهنَّ في البيوتِ، فسألَ أصحاب النبيِّ صلّى الله
عليه وسلّم النبيَّ صلّى الله عليه و سلّم، فأنزل الله تعالى: (ويسألونك عن المحيض
قل هو أذًى فاعتزِلُوْا النِّساءَ في المحيض ... إلى آخر الآية)، فقال رسول الله
صلّى الله عليه و سلّم: اصْنعوْا كُلَّ شيئٍ إلاَّ النِّكاحز فبلغ ذلك اليهود،
فقالوا: ما يريد هذا الرجل أن يدع مِن أمْرِنا شيئًا إلاَّ خالفنا فيه. فجاء أسيدُ
بنُ حضَيرٍ وَ عبَّادُ بْنُ بشرٍ فقالا: يا رسول الله، إنّ اليهُود تقولُ كذا و
كذا فلا نجامعهُنَّ؟ فتغيَّر وجْه رسول الله صلّى الله عليه و سلّم حتَّى ظننّا أن
قد وَجَهَ عليهما، فخرجا فاستقبلهما هديَّةٌمنْ لبنٍ إلى النبيِّ صلّى الله عليه و
سلّم، فأرسلَ في آثارهما، فعرفَا أن ام يجِد عليهما.
Anas mengatakan, “Sudah
menjadi kebiasaan kaum Yahudi, jika para istri mereka haid, para suami enggan
makan bersama dan bercengkrama dengan mereka dalam satu rumah. Para sahabat
menyakan hal ini kepada Nabi sallāhu ‘alaihi wasallam, lalu Allah menurunkan
firman-Nya, wayas ‘alūnaka ‘anil-maḥīḍi qul huwa ażan fa’tazilun-nisā’a fil-māḥīḍ. Rasulalah bersabda,
“(Bila istri-istri kalian sedang haid), kalian boleh melakukan apa saja dengan
mereka kecuali hubungan badan.” Mendengar keputusan Rasulullah yang demikian
ini, kaum Yahudi berkata, “Pria ini (muhammad) tidak mau membiarkan satu pun
dari urusan kia, kecuali ia menyatakan pendapat yang berbeda dari kita tentang
persoalan itu.” Usaid bin Huḍair dan ‘Abbād bin Bisyr datang (menemui Nabi) seraya
berkata, “Wahai Rasulullah, ksum Yahudi mengatakan begini dan begitu, jadi kami
pun tidak membiarkan para istri tinggal serumah dengan kami dinsaad haid.” Raut
wajah Rasulullah tiba-tiba berubah hingga kami menyangka beliau marah kepada
keduanya. Mereka lantas undur diri dan tak lama kemudian datang kembali sembari
mempersembahkan hadiah berupa susu kepada Rasulullah. Setelah itu Rasulullah
mengajak keduanya minum bersama, hingga mereka tahu bahwa Rasulullah tidak
memarahi mereka.
Kedua, contoh ungkapan yang tidak
secara jelas dan tegas menyatakan suatu peristiwa sebagai sebab nuzul
Al-Qur’an. Bentuk ungkapan yang seperti
ini “juga tidak memuat kisah yang diakhiri dengan kalimat “lalu tunlah ayat ini
”, sebagaimana bentuknya juga tidak berupa jawaban terhadap sebuah pertanyaan
yang diajukan kepada Nabi sallāhu ‘alaihi wasallam. Ungkapan yang seperti ini
bisa jadi menyiratkan sebua riwayat sebagai asbābun-nuzūl, dan juga bukan
termasuk asbābun-nuzūl, melainkan hnaya penjelasan (tafsir)terhadap maksud
serta kandungan ayat Al- Qur’an. Seorang penafsir perlu meneliti
variabel-variabel dan indikasi-indikasi (qarīnah) untuk mengetahui mana yang lebih
kuat di antara dua kemungkinan tersebut: sebab nuzul atau tafsir.
Ibnu Taimiyah menyatakan,
“Perkataan perawi hadist bahwa suatu ayat turun dalam suatu persoalan tertentu
kadang-kadang dimaksudkan untuk menunjukkan asbābun-nuzūl, dan terkadang juga dimaksudkan
untuk menjelaskan kandungan ayat tersebut meskipun itu bukan sebab nuzulnya.”
Hal yang sama juga diunkapkan az-Zarkasyiy bahwa salah satu kebiasaan para
sahabat dan tabiin yang sudah terkenal adalah apabila mereka mengatakan, “Ayat
ini turun dalam kaitan peristiwa ini,” maka maksudnya ayat tersebut mengandung
makna sebagaimana yang disebutkan dalam peristiwa itu, tidak selalu berarti
mereka menyebutkan sebagai sebab nuzul ayat.
Contoh pernyataan sahabat
yang menunjukkan sebab nuzul terdapat pada Surah An-Nisa’/ 4:59:
يايها الَّذِين امَنُوْا اطِيعُوْا الرَّسولَ وَ اُولىِ
الأمْرِ مِنْكُمْ ج فَاِنْتَنا زَعْتُمْ فِي شَيءٍ فَرُدُّوْهُ
اِلى اللهِ وَ الرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَ اليَوْمِ
الْاخِرِ قلى ذلكَ خَيْرٌ وَ احْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
Turunnya ayat ini
berkenaan dengan berikut ini:
عن ابن عبَّاس أنَّه قال:
نزلتْ: (يا أيُّها الَّذين آمنُوْا أطيعُوا الرَّسول وأُولي الأمرِ مِنكُم) في
عبْدِ اللهِ بنِ حذافةَ بْنِ قيسِ بْنِ عَدِيِّ السَّميِّ إذْ بعثهُ رسول الله صلّى الله عليه و سلّم في السريَّةِ.
Ibnu ‘Abbās berkata,
“Firman Allah, yā ayyuhal-lażīna āmanū aṭī’ullāha wa ‘aṭī ‘urrasūla wa ulil-amri minkum turun berkaitan dngan
“Abdullāh bin Ḥużāfah bin Qais bin ‘Adiy
as-Sahmiy ketika Rasulullah ṣallāhū ‘alaihinwasallam mengatakannya sebagai komandan
sebuah ekspedisi (pasukan kecil).
Sedangkan contoh ungkapan
sahabat yang dimaksudkan menjelaskan kandungan ayat terdapat pada Surah
al-Hajj/ 22:19:
هذانِ خَصْمنِ اخْتَصَموْا فِي رَبِّهِمْ فَالَّذِينَ
كَفَرُوْا قُطِّعَتْ لَهُمْ ثِيَابٌ مِنَ النَّارٍ قلى يُصَبُّ
مِنْ فَوْقِ رُءُوْسِهِمُ (19)
Abū Żarr bersumpah bahwa ayat ini
turun terkait dengan orang-orang yang ikut serta dalam Perang Badar, seperti
Hamzah, ‘Aly, ‘Ubaidah bin al-Hāris, ‘Atabah, Syaibah, dan Wālid bin ‘Atabah.
Meskipun bentuk secara
umum dari ungkapan kalimat/ redaksi asbābun-nuzūl mencakup dua bentuk ini,
namun berdasarkan beberapa hasil penelitian, kedua bentuk ini tidak berlaku
secara kaku. Maksudnya, bahwa sesungguhnya
asbābun-nuzūl tidak memiliki bentuk ungkapan yang pasti, baik melalui
ungkapan yang jelas dan tegas maupun ungkapan yang tidak jelas dan tidak tegas.
Hal tersebut karena riwayat-riwayat yang mengandung dua bentuk ungkapan
tersebut dapat menunjukkan asbābun-nuzūl dan dapat pula mnunjukkan penjelasan
terhadap ayat saja.
Selain itu, kedua bentuk ungkapan diatas, terdapat
ungkapan-ungkapan lain yang juga digunakan dalam beberapa riwayat
asbābun-nuzūl, seperti: wa nazalat, hattā anzalallāhu, falammā anzalallāhu,
fiyya nazalat, finā nazalat, hattā nazalai-Qur’an, hattā nazalat, nazala fīhim
al-Qur’an, fa anzalallāhu tasdīq żālika, fa balaganā annahā nazalat, mā ahsibu
hāżihil-āyah unzilat illā fī żalika, dan sebagainya.
ASBABUN
NUZUL MAKRO
Konsep Rahman tentang al-Qur’an, dapat
disimpulkan dalam bukunya islam, adalah:
Al-Qur’an secara keseluruhan adalah kata-kata
(kalam) Allah dalampengertian biasa, keseluruhannya juga merupakan kata-kata
Muhammad. Jadi, Al-Qur’an murni kata-kata Illah, namun tentu saja, ia sama-sama
secara intim berkaitan dengan personalitas paling dalam Nabi Muhammad yang
hubungannya dengan kata-kata (kalam) Illahi itu tidak dapat dipahami secara
mekanis seperti hubungan sebuah rekaman. Kata-kata (kalam) Illahi mengalir melalui
hati Nabi.[18]
Definisi tersebut mengandung pola hubungan atau
model pewahyuan yang dibangun anatara Al-Qur’an (sebagai sebuah teks; The
teks), Allah adalah pengarang (The author) dan Muhammad (The Reader and the
author). Oleh karenya, Al-Qur’an harus dipahami dalam konteks yang tepat yakni
perjuangan Nabi dan latar belakang dari perjuangan tersebut.[19]
Dalam hal ini Fazlur Rahman menggunakan metode
hermeneutika double movement yang digunakan dlam menginterpretasi Al-Qur’an:
1.
Ditinjau dari masa sekarang ke masa Al-Qur’an
diturunkan, terdiri dari duatahap:
Pertama, tahap pemahaman arti
atau makana dari suatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem
histories dimana pernyataan Al-Qur’an tersebut merupakan jawabannya.
Kedua, menggeneralisasikan jawaban-jawaban
spesifik itu dan menyatakan sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki
tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat “disaring” dari teks-teks spesifik
dalam sinaran latarbelakang sosio histories dan ratio legis (ilat hokum) yang
sering dinyatakan.
2.
Proses yang berangkat daripandangna umum ke
pandangan khusus yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang. Maksudnya
adalah yng umum harus diwujudkan dalam konteks sosio histories konkret
sekarang.
Dengan ini lahirlah teori
double movement, yang mana jika ditelaah teori ini merupakan perpaduan anatara
tradisionalisme muslim dengan meneutika Barat kontemporer. Halini menunjukkan,
bahwa Fazlur Rahman dalam membangun teori double movement tidak terlepas dari
pengaruh atau minimal memiliki horizon yang sama dengan kedua
pemikiran-pemikiran tersebut.[20]
Pada langka tersebut Rahman
menyebutkan “dalam memahami suatu pernyataan, terlebih dahulu memperhatikan
konteks mikro dan makro ketika Al-Qur’an diturunkan”.[21]
Ide konteks mikro dan makro ini sebenarnya sudah pernah digunakan oleh Syah
Waliyullah Al-Dahlawi dalam karyanya “Fauzul al-Kabir fi Ushul al-Tafsir”.
Dalam karyanya, sebagaimana dikutipoleh Hamim Ilyas, disebutkan kedua konteks
tersebut dengan asbab al-nuzul al-khassah dan asbab al-nuzul al-‘ammah. Selain
itu, kesamaannya adalah pernyataan Al-Dahlawi bahwa Al-Qur’an turun untuk
merespon kehidupan masyarakat Arab denganmendidik jiwa manusia dan memberantas
kepercayaan yang sesat dan perbuatan jahat lainnya. Sama halnya dengan
pernyataan tersebut, Rahman juga mengatakan Al-Qur’an merupakan respon ilahi
melalui ingatan dan pikiran Nabi Muhammad, kepada situasi moral-masyarakat
dangang Makkah dari segi kepercayaan dan kehidupan sosialnya.[22]
Teori ini juga pernah
dikemukakan oleh seorang ahli usul al-Fiqih yang terkenal jauh sebelum
dikemukakan oleh al-dahlawi dengan teori “maqasid al-syariah” yakni
Syatibi. Sehubungan dengan masalah konteks tersebut, syatibi mengatakan: untuk
mengetahuiAl-Qur’an pelu memahami situasi dan kondisi dimana Al-Qur’an itu
diturunkan. Menurut Rahman untuk mengkaji al-Qur’an, kajian mengenai situasi
masyarakat, agama, adat istiadat,
lembaga-lemabaga, bahkankehidupan secara menyeluruh bangsa Arab ketika
Al-Qur’an diturunkan sangat dipentingkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Mudzakir. 2013. Studi Ilmu-ilmu Qur’an
“Manna’ Khalil al-Qattan”. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa
Madyan, Ahmad Shams. 2008. Peta Pembelajaran
al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Hanafi, Muchlis M. 2015. Asbabun Nuzul
“Kronologi dan Sebab Turun Wahyu Al-Qur’an”. Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf Al-Qur’an
Yusuf, Kadar M. 2012. Studi Al-Qur’an.
Jakarta: AMZAH
Syamsuddin, Sahiron. 2010. Hermeneutika
Al-Qur’an & Hadis. Yogyakarta: eLSAQ Press
Revisi:
1. Tidak ditemukan
indikasi copy-paste.
2.
Abstrak lebih diringkas
lagi, jadikan satu paragraf saja.
3. Tidak
usah menggunakan opcit, lopcit, dll.
4. Penulisan
footnote tolong lebih diperbaiki.
5. Sahiron
Syamsuddin bukan penulis buku Hermeneutika
Al-Qur’an & Hadis. Beliau hanya editor dan pemberi kata pengantar. Buku
tersebut adalah kumpulan tulisan dari penulis-penulis yang berbeda, jadi tolong
diperbaiki cara perujukannya.
6. Pendahuluan
tidak berisi inti pembahasan, tetapi hanya pengantar untuk sampai pada
pembahasan.
7. Kesimpulan
belum dicantumkan.
8.
Makalah ini ada beberapa
bagian yang kurang referensial, terutama pada bagian pertengahan hingga akhir.
[1]Muchlis M.Hanafi, ASBABUN-NUZUL:
Kronologi dan Sebab Turun Wahyu Al-Qur’an (Jakarta: Lajnah Pentashihan Musaf Al-Qur’an, 2015),hlm.1.
[4]
Kadar M.Yusuf, Studi Al-Qur’an (Jakarta: AMZAH, 2012). hlm 85-86.
[8]
Muchlis, Op.cit. Asbabun
Nuzul, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al- Qur’an, 2015, hlm 7.
[9]
Madyan, Op.cit. Peta
Pembelajaran Al-Qur’an, hlm 183.
[11]
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi
Ilmu-ilmu Qur’an (Surabaya: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2014), hlm 104.
[12]
Ibid.,
[14]
Muchlis, Op.cit. Asbabun
Nuzul, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al- Qur’an, 2015, hlm 33.
[15]
Muchlis, Op.cit. 2015, hlm
47.
[16]
Muchlis, Op.cit. 2015, hlm
48.
[17]
Muchlis, Op.cit. 2015, hlm
50.
[18] Sahiron Syamsuddin, Hermeuneutika
Al-Qur’an dan Hadits (Yogyakarta: SUKSES Offset, 2010), hlm 68-69.
[19]
Fazlur Rhaman lahir di Pakistan pada hari Minggu, 21 september 1919 disubuah
daerah bernama Hazara, terletak di Barat Laut Pakistan. Suatu tempat yang telah
banyak memunculkan para pemikir-pemikir handal, seperti syah waliyullah
al-Dahlawi, Sayyid Khan, Amir Alidan M. Iqbal. Keadaantersebut turut diwarisi
oleh sosok Fazrul Rahman sebagai seorang pemikir yang kritis dan neo-modernis.
Rahman lahir dan dibesarkan dari kalangan keluarga yang sangat mementingkn
pendidikan. Ayahnya, Maulana Syahab al-Din adalah seorang ulam tradisional yang
bermadzab Hanafi, sebuah madzab sunni yang lebih rasionalis disbanding dengan
madzab lain (Syafi’I, Maliki, dan Hambali).
[20]
Ibid., hlm 74-75.
[21] Asbabun nuzul mikcro adalah ilmu yang
mengolabirasi hubungan antara suatu ayat Al-qur’an dengan peistiwa yang
melatarbelakanginya, yang tercantum dlam berbagai kitab ulumul qur’an.Sedangkan
Asbabun Nuzul makro adalah latar belakang historis, antropologis, dan
sosiologis masyarakat Arab secara keseluruhan (pra islam dan ketika dating
islam). Metode makro ini tidak hanya membahas bagian-bagian individual
Al-Qur’an saja, tetapi juga membahas Al-Qur’an secara keseluruhan dengan latar
belakang keadaan Mekkah.
[22] Ibid., hlm 75.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar