NASIKH DAN MANSUKH
DALAM AL-QUR’AN
Nafla Mahdhiyah M, Muhibbatul
Ilmi M.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam
naflamahdhiyahm@gmail.com
Abstrack
This journal talks about nasikh
and mansukh of Al-qur’an. Naskh is erase or displace. It can happen besides of
Al-Qur’an. This opinion from ulama’ to prove the probability of naskh according
from reason, it can be described to the importance of citizen is different
according of situation, time and ambience, an action probably suitable with the
time but the other way in the same time that action is forbidden the in other
time that action is commanded. The contradiction opinion from ulama in
determine there is not ayat mansukh in Al-Qur’an, because there ayat-ayat is
contradiction if you observe from the material. Ulama opine if that ayat can be
compromised. So they give the nasikh theory in Al-Qur’an and other ulama
opinion if that ayat in totally can be compromised and not recognize
erasing theory.
Keywords
Meaning of nasikh and
mansukh, the basics of nasikh and mansukh, disagreements about mansukh in
Al-qur’an, the type of Nasakh in Al-Qur’an, condition Nasikh and Mansukh, and
benefit from nasikh and mansukh in life.
Pendahuluan
Nasakh adalah membatalkan
pelaksanaan hukum syara’ dengan dalil yang datang setelanya.Nasikh mansukh
berasal dari nasakh yang menurut istilah ulama ushul adalah membatalkan
pelaksananaan hukum syara’ dengan dalil yang datang kemudian yang pembatalan
itu secara jelas (eksplisit) atau terkandung (implisit), keseluruhan atau
sebagian, sesuai dengan tuntutan kemaslahatan atau berarti menampakan dalil
yang datang kemudian yang secara implisit menghapus pelaksanaan dalil yang
lebih dulu. Ulama’ klasik yang menerima penghapusan dalam Al quran ternyata
tidak sepakat dalam menentukan mana ayat yang menghapus (nasikh) dan mana ayat
yang di hapus (mansukh).
Dalam beberapa laporan yang
sampai kepada kita, disebutkan bahwa terdapat kecenderungan di kalangagn ulam’
klasik untuk menekankan jumlahayat yang dihapus hingga mencapai bilangan yang
fantastis. Nasikh atau dalil yang menghapus hukum yang pertama itu hanya al
quran dan as sunnah, sedangkan ijma’ dan qiyas tidak dapat mnejadi nasikh.sebab
nasakh itu hanya dapat di terima yang terjadi pada masa nabi saw masih hidup,
sedang ijma’dan qiyas itu tidak dapat dijadikan hujjah pada waktu beliau masih
hidup. Nasakh yang tegas (eksplisit) dan yang terkandung (implisit). Nasakh
yang tegas adalah jika syari’ menetapkan nash yang tegas dalam penetapan hukum
yang datang kemudian untuk membatalkan hukum sebelumnya.untuk membuktikan
kemunkinan terjadinya nasak menurut akal, dapat diuraikan sebaai berikut:
kepentingan sesuatu umat dapat berbeda beda menurut keadaan waktu dan suasana ,
sesuatu perbuatan munkin sesuai pada waktu tetapi sebaliknya pada waktu yang
lain.karena itu perbuatan tersebut mula mula dilarang , kemudian pada waktu
yang lain di perintahkan.
Pengertian Nasikh dan Mansukh
Secara etimologis, kata “nasakh” dalam bahasa arab
digunakan dalam arti al-ijalah, artinya menghilangkan atau meniadakan. Nasikh
mansukh berasal dari nasakh yang menurut istilah ulama ushul adalah membatalkan
pelaksananaan hukum syara’ dengan dalil yang datang kemudian yang pembatalan itu
secara jelas (eksplisit) atau terkandung (implisit), keseluruhan atau sebagian,
sesuai dengan tuntutan kemaslahatan atau berarti menampakan dalil yang datang
kemudian yang secara implisit menghapus pelaksanaan dalil yang lebih dulu.[1] Dalam al-qur’an surat
al-hajj ayat 52:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ
وَلَا نَبِيٍّ إِلَّا إِذَا تَمَنَّىٰ أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنْسَخُ
اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آيَاتِهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ
حَكِيمٌ
Artinya :
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu
seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai
sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu,
Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan
ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Adapun
nasakh juga berarti mengganti atau menukar sesuatu dengan yang lainnya. Dilihat
pada surat An-Nahl ayat 101:
وَإِذَا بَدَّلْنَا
آَيَةً مَكَانَ آَيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ
مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya:
“Dan
apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya
padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata:
"Sesungguhnya kamu adalah orang mengada-adakan saja." Bahkan
kebanyakan mereka tiada mengetahui.”
Dan nasakh
menurut bahasa artinya” menghapus” dan
sering diartikan “memindahkan”.
Menurut istilah,nasakh ialah
رفع حكم شرعي بد ليل
شرعي متاخر
Artinya :”menghapus hukum
syara’ dengan dalil yang datang kemudian”.
Mansukh : yang di batalkan,
sedangkan nasikh: yang membatalkan.[2]
Dasar-dasar Nasikh dan
Mansukh
Manna’Al-qaththan menetapkan
3 dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan nasikh dan ayat lain
dikatan mansukh, yaitu :
1. Melalui
pentransmisian jelas dari Nabi atau sahabat, seperti hadits: “Kuntu naihaitukum
‘an ziyarat ala fa zuruha” (artinya: aku(dulu) melarang kalian berziarah
kubur,(sekarang) berziarahlah).
2. Melalui
kesepakatan umat.
3. Melalui
studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, disebut nasikh, dan mana yang duluan turun,
disebut mansukh.
Ditambahkan oleh Al-Qaththan
bahwa nasikh tidak bisa ditetapkan melalui ijtihad karena adanya kontradiksi
antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau belakang keislaman
seseorang dari pembawa riwayat tersebut.
Dan ditambahkan juga oleh
Ibnu Al-Hisar yaitu : persoalan naskh hanya dikembalikan pada penukilan yang
jelas dari Rasulullah SAW. atau dari seorang sahabat yang mengatakan ayat ini
di naskh oleh yang ini. Para ulama’, berada pada 2 kutub kontradiksi; ada yang
mengatakan naskh hadits ahad yang adil, para parawinya tidak diterima, dan ada
pula yang bersikap toleran. Yang jelas adalah yang bertentangan dengan kedua
pendapat tersebut.[3]
Perbedaan Pendapat tentang
Adanya Ayat-Ayat Mansukh dalam Al-Qur’an
Sebagaimana perbedaan
pendapat dikalangan ulama’ tentang eksistensi naskh dalam Al-qur’an,
Menerima keberadaan naskh
dalam Al-qur’an. Untuk memperkuat pendapat tersebut mereka mengemukakan
argumentasi naqliah dan aqliah. Diantara argumentasi naqliah yang dikemukakan
antara lain :
Al-Baqarah ayat 106:
o
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ
بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
قَدِيرٌ
Artinya
:
“ Untuk
ayat apa saja Kami tunda, atau Kami sebabkan(rasul) melupakannya, maka Kami
akan datangkan yang lebih baik atau yang semisal dengannya.”
Ar-Ra’ad
ayat 39:
o
يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ
أُمُّ الْكِتَابِ
Artinya
:
“ Tuhan
akan menghapus atau menetapkan apa-apa yang dikehendaki-Nya dan di sisi-Nya
terdapat ‘induk’ Al- Kitabin.”
An-Nahl
ayat 101:
o
وَإِذَا بَدَّلْنَا آَيَةً مَكَانَ آَيَةٍ
وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ
لَا يَعْلَمُونَ
Artinya
:
“ Dan
ketika Kami pertukarkan ayat satu dengan ayat lainnya dan tuhan Maha Mengetahui
apa-apa yang diturunkan-Nya mereka berkata; “Kamu (Muhammad) hanya seorang yang
mengada-ada”; bukanlah demikian, tetapi kebanyakan dari mereka tidak mengetahui.”
Adapun
dalil-dalil yang mereka kemukakan , yaitu:
1. Naskh
tidak merupakan hal yang terlarang menurut akal pikiran, dan setiap yang tidak
dilarang berarti boleh.
2. Seandainya
naskh tidak dibolehkan akal dan tidak terjadi dalam naskh, syar’I tidak boleh
memerintahkan sesuatu kepada hamba-Nya dengan perintah sementara. Akan tetapi,
pendapat ini ditolak oleh para penentang naskh dan mereka berkata bahwa
perintah dan larangan itu dapat terjadi.
3. Seandainya
naskh itu tidak boleh menurut akal dan terjadi menurut sam’iyat, tidak akan
ditetapkan risalah Muhammad SAW kepada seluruh alam, sedangkan semuanya
mengakui bahwa risalah itu semua berlaku untuk seluruh alam dengan dalil yang
pasti.
4. Terdapat
dalil yang menunjukkan naskh terjadi menurut nash. Oleh karena itu, keadaan
‘terjadi’membawa pengertian boleh bertambah (al-jawaz wa ziyadah).
Menolak keberadaan naskh dalam Al-qur’an.
Diantara ulama’ yang masuk ke dalam kelompok ini adalah Abu Muslim
Al-Ashfahani. Khudori Beik menjelaskan bahwa Imam Ar-Razi juga sependapat
dengan Al-Ashfahani. Masuk ke dalam kelompok yang bersebrangan dengan pendapat
mayoritas diatas adalah Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Taufiq Sidqy dan ustadz
Al-Khudri. Khusus mengenai Abduh, Quraish Shihab tampaknya tidak setuju sepenuhnya
untuk menetapkannya sebagai kelompok penentang naskh. Sebab, bagi Abduh, naskh
diberi pengertian bukan sebagai pembatalan, tetapi sebagai pergantian,
pengalihan, dari pemindahan ayat hukum di satu tempat kepada ayat hukum di
tempat lain.
Terhadap argumentasi mayoritas ulama yang
didukung oleh surat An-Nahl ayat 101, Al-Ashfahani membantahnya dengan
mengajukan ayat 42 surat Al-Fushilat:
o
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ
وَلَا مِنْ خَلْفِهِ ۖتَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
Artinya:
“ Tidak
datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari
belakangnya,(karena) ia diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha
Terpuji.”
Bertolak dari ayat diatas, Al-Qur’an
tidak mungkin disentuh pembatalan. Sudah tentu, mayoritas ulama merasa
keberatan terhadap pendapat Al-Ashfahani sebab bagi mereka, ayat tersebut tidak
bicara tentang pembatalan, tetapi tentang kebatilan yang berarti lawan dari
kebenaran. Quraish Shihab menyimpulkan, bahwa semua ayat Al-Qur’an pada dasarnya
berlaku. Ayat hukum yang tidak kondusif pada suatu waktu, dan pada waktu yang
lain tetap berlaku bagi orang-orang yang memiliki kesesuaian kondisi dengan apa
yang ditunjuk oleh ayat yang bersangkutan. Ini mengandung arti bahwa Islam
diterapkan secara hierarkis, sebagaimana Al-Qur’an pun diturunkan secara
bertahap.[4]
Macam-Macam
Nasakh Dalam AL-Qur’an
Berdasarkan
kejelasan dan cakupannya, naskh dalam Al-Qur’an dibagi 4 macam, yaitu:
1. Naskh sharih
adalah ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat
terdahulu. Misalnya ayat tentang perang pada ayat 65 surat al-anfal yang
mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh orang kafir:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ
مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ
يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَفْقَهُونَ
Artinya:
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin
untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka
akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang
sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang
kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.”
Menurut jumhur ulama di naskh oleh ayat yang
mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat
yang sama :
الآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ
ضَعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ
مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
Artinya:
“Sekarang
Allah telah meringankan kamu karena Dia mengetahui bahwa ada kelemahan padamu.
Maka jika ada di antara kamu ada seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang (musuh); dan jika di antara kamu ada seribu orang
(yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin
Allah[9]. Allah beserta orang-orang yang sabar.”
2. Naskh dhimmy adalah jika terdapat dua
naskh yang bertentangan dan tidak dikompromikan dan keduanya turun untuk sebuah
masalah yang sama, serta diketahui waktu turunnya, ayat yang datang kemudian
menghapus ayat yang sebelumnya. Contohnya, ketetapan Allah yang mewajibkan
berwasiat bagi orang-orang yang akan mati terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat
180 :
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ
الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ
ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Artinya :
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di
antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Ayat ini, menurut pendukung teori naskh di
naskh oleh hadits la washiyyah li waris(tidak ada wasiat bagi ahli waris).
3. Naskh
kully adalah menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan.contohnya
ketentuan iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah ayat 234 :
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ
أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ
أَجَلَهُنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya :
Artinya :
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu
dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya
(beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis idahnya, maka
tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka
menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
Yang di naskh oleh ketentuan iddah satu tahun
pada ayat 240 dalam surat Al-Baqarah :
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ
أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ
خَرَجْنَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ
وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya :
Artinya :
“Dan
orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri,
hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun
lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka
pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang
meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
4. Naskh juz’iy adalah menghapus hukum
umum yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi
sebagian individu atau menghapus hukum yang bersifat mutlak dengan hukum yang
muqayyad. Contohnya : hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita
tanpa saksi pada surat An-Nur ayat 4 :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ
الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ
جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya:
“Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Dihapus
oleh ketentuan li’an yang bersumpah empat kali dengan nama Allah, jika si
penuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 surat Al-Baqarah:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ
أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ
أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ ۙإِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ
Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.”
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.”
Dilihat dari bacaan dan
hukumnya , yaitu:
1. Penghapusan
terhadaphukum dan bacaan secara bersamaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori
ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan. Misalnya sebuah
riwa rfryat al-Bukhari dan muslim yotu
hadis ‘Aisyah r.a :”dahulu termasuk yang diturunkan (ayat al-qur’an) adalah
sepuluh radaha’at(isapan menyusu) yang diketahui, kemudian dinaskh oleh lima(isapan
menyusu) yang diketahui. Setelah Rasulullah wafat, bukan yang terakhir tetap
dibaca sebagai bagian Al-Qur’an.”
2. Penghapusan
terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. Contohnya , ajakan para
penyembah berhala dari kalangan musyrikin kepada umat islam untuk saling
bergantian dalam beribadah , telah dihapus oleh ketentuan ayat qital, tetapi
bunyi teks nya masih dapat ditemukan dalam surat Al-Kafirun ayat 6:
o
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ
Artinya :
“Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.”
3. Penghapusan terhadap bacaan nya saja ,
sedangkan hukumnya tetap berlaku.[5]
Adapun persoalan yang patut
mendapat perhatian kita adalah tentang perbedaan pendapat ada atau tidaknya
nasakh dalam alquran. Memang dalam hal ini ada dua pendapat di kalangan ulama
ushul.
1. Pendapat
pertama dari golongan ulama’ yang menyatakan bahwa di dalam alquran ada nasikh
mansukh, golonan ini di pelopori oleh :
1) asy- syafi’i,
2) an- nash
3) as-suyuti ,
4) asy- syaukani.
Alasan golonan ini
berdasarkan firman allah dalam surat Al-Baqarah ayat 106:
ما ننسخ من اية او ننسها نات بخير منها او مثلها
Artinya: “apa apa yang kami
hapuskan dari sesuatu ayat atau kami lupakan, maka kami datangkan yang lebih
baik dari padanya atau yang sepertinya”.
2. Golongan
ke dua berpendapat bahwa dalam alquran tidak ada nasikh mansukh. golongan ini
dipelopori :
1) abu muslim isfhaani,
2) Al –fakrur rozi,
3) Rasyid Ridha dan
4) muhammad abdu.
Alasan golonan ini
sebagaimana firman allah dalam surat Al-Kahfi ayat 27:
واتل مااوحى اليك من كتاب ربك لامبدل لكالماته
Artinya:
“dan bacakanlah apa yang di
wahyukan kepadamu, yaitu kitab tuhanmu (al quran), tidak ada seseorang yang
dapat mengubah kalimat kalimatnya”.
Menurut ayat ini nyata tidak
seorangpun yang dapat mengubah firman firman allah [6]
Syarat-Syarat Nasakh
Golongan ulama yang
membolehkan adanya nasakh menemukakan beberapa persyaratan yang mereka sepakati
bersama,di samping ada beberapa syarat tambahan yang diajukan ulama tertentu
dan tidak dipandang sebagai syarat oleh ulama lainnya.syarat syarat yang di
sepakati adalah
- Yang di nasakh itu adaala hukum syar’i, yaitu hukum yang bersifat amaliah, bukan hukum aqliyah dan bukan yang menyangkut aqidah
- Dalil yang menunjukan berakhirnya masa berlaku hukum yang lama itu, datang secara terpisah kemudian dari dalil yang di nasakhkan. Kekuatan kedua dalil itu adalah sama, serta tidak munkin di kompromikan.
- Dalil dari hukum yang di nasakhkan tidak menunjukan berlakunya hukum untuk selamanya, karena memperlakukan secara tetap dan berketerusan menutup kemunkinan pembatalan berlaakunya hukum dalam suatu waktu.
Petunjuk yang meyakinkan
tentang nasikh mansukh adalah sebagai berikut;
- Nash yang secara lahirnya menunjukan yang satu menjadi nasikh teradap yang lain umpamanya dalam firman Allah dalam surat al-anfal (8):66
- Ijma’ ulama yang menetapkan bahwa suatu dalil yang menetapkan hukum menasakh dalil lain yang menetapkan hukum yang berbeda dengan itu.
- Tarikh yaitu keteranan waktu yang menjelaskan berlakunya dua nash yang bebeda.
Hikmah adanya Nasikh dan
Mansukh
Nasakh ini dapat terjadi pada
UU Allah dan UU manusia. Karena tujuan dari setiap perundangan: baik tuhan
maupun manusia, adalah merealisir kemaslahatan manusia. Sedangkan kemaslahatan
manusia itu dapat berubah menurut perubahan keadaan mereka. Hukum terkadang
diundankan demi kemaslahatan yang di
tuntut oleh sebab sebab tertentu. Jika sebab tidak ada, maka tidak ada
kemaslahatan dalam ketetapan hukum itu.seperti pernah diterangkan bahwa
sekelompok umat islam datang ke kota madinah pada hari raya korban, kemudian
rosulullah menghendaki mereka berbuat kemakmuran diantara sesama muslim. Maka
rosulullah melarang kaum muslimin menyimpan dagin korban mereka sampai kelompok
itumenerima bagian bagian daging korban. Ketika kelompok itu telah meninggalkan kota madinah, maka beliau
membolekan kaum muslimin untuk menyimpan daging korban mereka.beliau bersabda
كنت نهيتكم عن زيارة القبور الا فزوروها فانهاتذكر كم الحيوة الاخرة
Artinya:
“Aku hanya melarang kalian untuk menyimpan
daging korban itu demi sekelompok orang yang menuju kota ini. Ingat, sekarang
simpanlah daging daging korban itu”.
Juga karena keadilan
penetapan hukum itu menuntut secara bertahap dan tidak mengejutkan orang yang
menerima syariat sehinga berat untuk melaksanakannya,atau berat untuk
meninggalkannya. Tahapan ini menuntut adanya keadilan dan bergantian, seperti
terjadi pada hukum khamer. Allah SWT pada permulaannya tidak mengharamkannya,
tetapi menjelaskan bawa didalamnya terkandung bahaya yang besar dan manfaat
bagi manusia, dan bahayanya lebih besar dari manfaatnya. Ini adalah persiapan
dan pendahuluan menuju pengharaman , karena sesuatu yang bahayanya lebih besar
dari manfaatnya mendorong akal untuk meninggalkannya. Kemudian allah melarang manusia
untuk mendekati shalat dalam keadaan mabuk. Ini adalah pendahuluan kedua untuk
pengharaman dan pelarangannya, karena waktu shalat itu banyak dan terpisah
pisah. Maka umat islam tidak mungkin selamat jika meminumnya karena mereka
punya kewajiban menjaga waktu shalat padahal mereka dalam keadaan mabuk.
Kemudian datang naskh yang tegas meneragnkan bahwa khamer adalah kotoran dari
perbuatan setan dan perintah untuk menjahuinya.
Demikian juga dalam urutan
pewarisan, prosesitu pada permulaan islam tetap sebagaimana yang berlaku
dikalangan arab jahiliya. Kemudian islam mulai membuat keadilan secara
bertahap, pertama adalah menghapus hak waris bagi anak angkat , kemudian hak
waris bagi orang menurut perjanjian dan
saudara angkat. Kemudian di undangkan hukum waris secara rinci yang
menghancurkan sendi sendi kedzaliman yang menjadi kebiasaan orang orang
jahiliya dalam mengatur pewarisan harta pusaka.[7]
Hikmah yang lainnya ,yaitu:
1. Menjaga kemaslahatan hamba.
2.
Pengembangan
persyariatan hukum sampai kepada tingkat kesempurnaan seiring dengan
perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3.
Menguji
kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah yang kemudian dihapus.
4. Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi
umat manusia.
Revisi:
1.
Tidak ditemukan indikasi copy-paste.
2.
Tolong diperbaiki keywordsnya
3. Pendahuluan berisi
pengantar untuk memahami isi makalah, jadi toong dirubah.
4. Perujukannya tidak
jelas, tidak lengkap.
5. Makalah ini kurang
referensial.
6.
Makalah ini tolong diperbaiki dari
aspek sistematikanya, kesimpulan belum dicantumkan.
[1]
Ilmu Ushul Fiqh, hal 324.
[2]
Drs.moh.Rifa’I, Ushul Fiqh, hal 98
[3]
Prof.dr. Rohison Anwar, M.Ag, Ulum Al-Qur’an ,hal 168-169
[4]
Prof.dr. Rohison Anwar, M.Ag,Ulum Al-Qur’an, hal 170-172
[5]
Prof.dr. Rohison Anwar, M.Ag ,Ulum Al-Qur’an, hal 173-177.
[6]
Drs.Moh Rifa’I, ushul fiqh, hal 106-107.
[7]
Abdul Wahab khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 324-326
Tidak ada komentar:
Posting Komentar