Senin, 03 Oktober 2016

Nasikh-Mansukh dalam al-Qur'an (PAI B Semester III)




NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QUR’AN

Nafla Mahdhiyah M, Muhibbatul Ilmi M.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam
naflamahdhiyahm@gmail.com

Abstrack
This journal talks about nasikh and mansukh of Al-qur’an. Naskh is erase or displace. It can happen besides of Al-Qur’an. This opinion from ulama’ to prove the probability of naskh according from reason, it can be described to the importance of citizen is different according of situation, time and ambience, an action probably suitable with the time but the other way in the same time that action is forbidden the in other time that action is commanded. The contradiction opinion from ulama in determine there is not ayat mansukh in Al-Qur’an, because there ayat-ayat is contradiction if you observe from the material. Ulama opine if that ayat can be compromised. So they give the nasikh theory in Al-Qur’an and other ulama opinion if that ayat in totally can be compromised and not recognize erasing theory.
Keywords
Meaning of nasikh and mansukh, the basics of nasikh and mansukh, disagreements about mansukh in Al-qur’an, the type of Nasakh in Al-Qur’an, condition Nasikh and Mansukh, and benefit from nasikh and mansukh in life.

Pendahuluan
Nasakh adalah membatalkan pelaksanaan hukum syara’ dengan dalil yang datang setelanya.Nasikh mansukh berasal dari nasakh yang menurut istilah ulama ushul adalah membatalkan pelaksananaan hukum syara’ dengan dalil yang datang kemudian yang pembatalan itu secara jelas (eksplisit) atau terkandung (implisit), keseluruhan atau sebagian, sesuai dengan tuntutan kemaslahatan atau berarti menampakan dalil yang datang kemudian yang secara implisit menghapus pelaksanaan dalil yang lebih dulu. Ulama’ klasik yang menerima penghapusan dalam Al quran ternyata tidak sepakat dalam menentukan mana ayat yang menghapus (nasikh) dan mana ayat yang di hapus (mansukh).
Dalam beberapa laporan yang sampai kepada kita, disebutkan bahwa terdapat kecenderungan di kalangagn ulam’ klasik untuk menekankan jumlahayat yang dihapus hingga mencapai bilangan yang fantastis. Nasikh atau dalil yang menghapus hukum yang pertama itu hanya al quran dan as sunnah, sedangkan ijma’ dan qiyas tidak dapat mnejadi nasikh.sebab nasakh itu hanya dapat di terima yang terjadi pada masa nabi saw masih hidup, sedang ijma’dan qiyas itu tidak dapat dijadikan hujjah pada waktu beliau masih hidup. Nasakh yang tegas (eksplisit) dan yang terkandung (implisit). Nasakh yang tegas adalah jika syari’ menetapkan nash yang tegas dalam penetapan hukum yang datang kemudian untuk membatalkan hukum sebelumnya.untuk membuktikan kemunkinan terjadinya nasak menurut akal, dapat diuraikan sebaai berikut: kepentingan sesuatu umat dapat berbeda beda menurut keadaan waktu dan suasana , sesuatu perbuatan munkin sesuai pada waktu tetapi sebaliknya pada waktu yang lain.karena itu perbuatan tersebut mula mula dilarang , kemudian pada waktu yang lain di perintahkan.

Pengertian Nasikh dan Mansukh
            Secara etimologis, kata “nasakh” dalam bahasa arab digunakan dalam arti al-ijalah, artinya menghilangkan atau meniadakan. Nasikh mansukh berasal dari nasakh yang menurut istilah ulama ushul adalah membatalkan pelaksananaan hukum syara’ dengan dalil yang datang kemudian yang pembatalan itu secara jelas (eksplisit) atau terkandung (implisit), keseluruhan atau sebagian, sesuai dengan tuntutan kemaslahatan atau berarti menampakan dalil yang datang kemudian yang secara implisit menghapus pelaksanaan dalil yang lebih dulu.[1] Dalam al-qur’an surat al-hajj ayat 52:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ إِلَّا إِذَا تَمَنَّىٰ أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آيَاتِهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ


Artinya :
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Adapun nasakh juga berarti mengganti atau menukar sesuatu dengan yang lainnya. Dilihat pada surat An-Nahl ayat 101:
وَإِذَا بَدَّلْنَا آَيَةً مَكَانَ آَيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
 Artinya:
“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang mengada-adakan saja." Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.”
Dan nasakh menurut bahasa artinya” menghapus”  dan sering diartikan “memindahkan”.
Menurut istilah,nasakh ialah
رفع حكم شرعي بد ليل شرعي متاخر           
Artinya :”menghapus hukum syara’ dengan dalil yang datang kemudian”.
Mansukh : yang di batalkan, sedangkan nasikh: yang membatalkan.[2]

Dasar-dasar Nasikh dan Mansukh
Manna’Al-qaththan menetapkan 3 dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan nasikh dan ayat lain dikatan mansukh, yaitu :
1.      Melalui pentransmisian jelas dari Nabi atau sahabat, seperti hadits: “Kuntu naihaitukum ‘an ziyarat ala fa zuruha” (artinya: aku(dulu) melarang kalian berziarah kubur,(sekarang) berziarahlah).
2.      Melalui kesepakatan umat.
3.      Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun,  disebut nasikh, dan mana yang duluan turun, disebut mansukh. 
Ditambahkan oleh Al-Qaththan bahwa nasikh tidak bisa ditetapkan melalui ijtihad karena adanya kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau belakang keislaman seseorang dari pembawa riwayat tersebut.
Dan ditambahkan juga oleh Ibnu Al-Hisar yaitu : persoalan naskh hanya dikembalikan pada penukilan yang jelas dari Rasulullah SAW. atau dari seorang sahabat yang mengatakan ayat ini di naskh oleh yang ini. Para ulama’, berada pada 2 kutub kontradiksi; ada yang mengatakan naskh hadits ahad yang adil, para parawinya tidak diterima, dan ada pula yang bersikap toleran. Yang jelas adalah yang bertentangan dengan kedua pendapat tersebut.[3]

Perbedaan Pendapat tentang Adanya Ayat-Ayat Mansukh dalam Al-Qur’an

Sebagaimana perbedaan pendapat dikalangan ulama’ tentang eksistensi naskh dalam Al-qur’an,
Menerima keberadaan naskh dalam Al-qur’an. Untuk memperkuat pendapat tersebut mereka mengemukakan argumentasi naqliah dan aqliah. Diantara argumentasi naqliah yang dikemukakan antara lain :
Al-Baqarah ayat 106:
o   مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ  
Artinya :
“ Untuk ayat apa saja Kami tunda, atau Kami sebabkan(rasul) melupakannya, maka Kami akan datangkan yang lebih baik atau yang semisal dengannya.”

Ar-Ra’ad ayat 39:
o   يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
Artinya :
“ Tuhan akan menghapus atau menetapkan apa-apa yang dikehendaki-Nya dan di sisi-Nya terdapat ‘induk’ Al- Kitabin.”

An-Nahl ayat 101:
o   وَإِذَا بَدَّلْنَا آَيَةً مَكَانَ آَيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya :
“ Dan ketika Kami pertukarkan ayat satu dengan ayat lainnya dan tuhan Maha Mengetahui apa-apa yang diturunkan-Nya mereka berkata; “Kamu (Muhammad) hanya seorang yang mengada-ada”; bukanlah demikian, tetapi kebanyakan dari mereka tidak mengetahui.”

Adapun dalil-dalil yang mereka kemukakan , yaitu:
1.      Naskh tidak merupakan hal yang terlarang menurut akal pikiran, dan setiap yang tidak dilarang berarti boleh.
2.      Seandainya naskh tidak dibolehkan akal dan tidak terjadi dalam naskh, syar’I tidak boleh memerintahkan sesuatu kepada hamba-Nya dengan perintah sementara. Akan tetapi, pendapat ini ditolak oleh para penentang naskh dan mereka berkata bahwa perintah dan larangan itu dapat terjadi.
3.      Seandainya naskh itu tidak boleh menurut akal dan terjadi menurut sam’iyat, tidak akan ditetapkan risalah Muhammad SAW kepada seluruh alam, sedangkan semuanya mengakui bahwa risalah itu semua berlaku untuk seluruh alam dengan dalil yang pasti.
4.      Terdapat dalil yang menunjukkan naskh terjadi menurut nash. Oleh karena itu, keadaan ‘terjadi’membawa pengertian boleh bertambah (al-jawaz wa ziyadah).

Menolak keberadaan naskh dalam Al-qur’an. Diantara ulama’ yang masuk ke dalam kelompok ini adalah Abu Muslim Al-Ashfahani. Khudori Beik menjelaskan bahwa Imam Ar-Razi juga sependapat dengan Al-Ashfahani. Masuk ke dalam kelompok yang bersebrangan dengan pendapat mayoritas diatas adalah Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Taufiq Sidqy dan ustadz Al-Khudri. Khusus mengenai Abduh, Quraish Shihab tampaknya tidak setuju sepenuhnya untuk menetapkannya sebagai kelompok penentang naskh. Sebab, bagi Abduh, naskh diberi pengertian bukan sebagai pembatalan, tetapi sebagai pergantian, pengalihan, dari pemindahan ayat hukum di satu tempat kepada ayat hukum di tempat lain.
Terhadap argumentasi mayoritas ulama yang didukung oleh surat An-Nahl ayat 101, Al-Ashfahani membantahnya dengan mengajukan ayat 42 surat Al-Fushilat:
o   لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ ۖتَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
Artinya:
“ Tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya,(karena) ia diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”
            Bertolak dari ayat diatas, Al-Qur’an tidak mungkin disentuh pembatalan. Sudah tentu, mayoritas ulama merasa keberatan terhadap pendapat Al-Ashfahani sebab bagi mereka, ayat tersebut tidak bicara tentang pembatalan, tetapi tentang kebatilan yang berarti lawan dari kebenaran. Quraish Shihab menyimpulkan, bahwa semua ayat Al-Qur’an pada dasarnya berlaku. Ayat hukum yang tidak kondusif pada suatu waktu, dan pada waktu yang lain tetap berlaku bagi orang-orang yang memiliki kesesuaian kondisi dengan apa yang ditunjuk oleh ayat yang bersangkutan. Ini mengandung arti bahwa Islam diterapkan secara hierarkis, sebagaimana Al-Qur’an pun diturunkan secara bertahap.[4]

Macam-Macam Nasakh Dalam AL-Qur’an

Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, naskh dalam Al-Qur’an dibagi 4 macam, yaitu:

1.      Naskh sharih adalah ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu. Misalnya ayat tentang perang pada ayat 65 surat al-anfal yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh orang kafir:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَفْقَهُونَ 

Artinya:
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.”
Menurut jumhur ulama di naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama :
الآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
Artinya:
Sekarang Allah telah meringankan kamu karena Dia mengetahui bahwa ada kelemahan padamu. Maka jika ada di antara kamu ada seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang (musuh); dan jika di antara kamu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah[9]. Allah beserta orang-orang yang sabar.”

2.      Naskh dhimmy adalah jika terdapat dua naskh yang bertentangan dan tidak dikompromikan dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta diketahui waktu turunnya, ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang sebelumnya. Contohnya, ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 180 :
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Artinya :
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Ayat ini, menurut pendukung teori naskh di naskh oleh hadits la washiyyah li waris(tidak ada wasiat bagi ahli waris).

3.      Naskh kully adalah menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan.contohnya ketentuan iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah ayat 234 :
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ  بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya :
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
Yang di naskh oleh ketentuan iddah satu tahun pada ayat 240 dalam surat Al-Baqarah :
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya :
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

4.    Naskh juz’iy adalah menghapus hukum umum yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu atau menghapus hukum yang bersifat mutlak dengan hukum yang muqayyad. Contohnya : hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa saksi pada surat An-Nur ayat 4 :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Dihapus oleh ketentuan li’an yang bersumpah empat kali dengan nama Allah, jika si penuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 surat Al-Baqarah:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ ۙإِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ
Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.”
Dilihat dari bacaan dan hukumnya , yaitu:
1.      Penghapusan terhadaphukum dan bacaan secara bersamaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan. Misalnya sebuah riwa  rfryat al-Bukhari dan muslim yotu hadis ‘Aisyah r.a :”dahulu termasuk yang diturunkan (ayat al-qur’an) adalah sepuluh radaha’at(isapan menyusu) yang diketahui, kemudian dinaskh oleh lima(isapan menyusu) yang diketahui. Setelah Rasulullah wafat, bukan yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian Al-Qur’an.”

2.      Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. Contohnya , ajakan para penyembah berhala dari kalangan musyrikin kepada umat islam untuk saling bergantian dalam beribadah , telah dihapus oleh ketentuan ayat qital, tetapi bunyi teks nya masih dapat ditemukan dalam surat Al-Kafirun ayat 6:
o   لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ
Artinya :
“Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.”
3.      Penghapusan terhadap bacaan nya saja , sedangkan hukumnya tetap berlaku.[5]

Adapun persoalan yang patut mendapat perhatian kita adalah tentang perbedaan pendapat ada atau tidaknya nasakh dalam alquran. Memang dalam hal ini ada dua pendapat di kalangan ulama ushul.
1.      Pendapat pertama dari golongan ulama’ yang menyatakan bahwa di dalam alquran ada nasikh mansukh, golonan ini di pelopori oleh :
1) asy- syafi’i,
2) an- nash
3) as-suyuti ,
4) asy- syaukani.
Alasan golonan ini berdasarkan firman allah dalam surat Al-Baqarah ayat 106:
ما ننسخ من اية او ننسها نات بخير منها او مثلها
Artinya: “apa apa yang kami hapuskan dari sesuatu ayat atau kami lupakan, maka kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sepertinya”.
2.      Golongan ke dua berpendapat bahwa dalam alquran tidak ada nasikh mansukh. golongan ini dipelopori :
1) abu muslim isfhaani,
2) Al –fakrur rozi,
3) Rasyid Ridha dan
4) muhammad abdu.
Alasan golonan ini sebagaimana firman allah dalam surat Al-Kahfi ayat 27:
واتل مااوحى اليك من كتاب ربك لامبدل لكالماته
Artinya:
“dan bacakanlah apa yang di wahyukan kepadamu, yaitu kitab tuhanmu (al quran), tidak ada seseorang yang dapat mengubah kalimat kalimatnya”.         
Menurut ayat ini nyata tidak seorangpun yang dapat mengubah firman firman allah [6]

Syarat-Syarat Nasakh
Golongan ulama yang membolehkan adanya nasakh menemukakan beberapa persyaratan yang mereka sepakati bersama,di samping ada beberapa syarat tambahan yang diajukan ulama tertentu dan tidak dipandang sebagai syarat oleh ulama lainnya.syarat syarat yang di sepakati adalah
  1. Yang di nasakh itu adaala hukum syar’i, yaitu hukum yang bersifat amaliah, bukan hukum aqliyah dan bukan yang menyangkut aqidah
  2. Dalil yang menunjukan berakhirnya masa berlaku hukum yang lama itu, datang secara terpisah kemudian dari dalil yang di nasakhkan. Kekuatan kedua dalil itu adalah sama, serta tidak munkin di kompromikan.
  3. Dalil dari hukum yang di nasakhkan tidak menunjukan berlakunya hukum untuk selamanya, karena memperlakukan secara tetap dan berketerusan menutup kemunkinan pembatalan berlaakunya hukum dalam suatu waktu.
Petunjuk yang meyakinkan tentang nasikh mansukh adalah sebagai berikut;
  1. Nash yang secara lahirnya menunjukan yang satu menjadi nasikh teradap yang lain umpamanya dalam firman Allah dalam surat al-anfal (8):66
  2. Ijma’ ulama yang menetapkan bahwa suatu dalil yang menetapkan hukum menasakh dalil lain yang menetapkan hukum yang berbeda dengan itu.
  3. Tarikh yaitu keteranan waktu yang menjelaskan berlakunya dua nash yang bebeda.



Hikmah adanya Nasikh dan Mansukh

Nasakh ini dapat terjadi pada UU Allah dan UU manusia. Karena tujuan dari setiap perundangan: baik tuhan maupun manusia, adalah merealisir kemaslahatan manusia. Sedangkan kemaslahatan manusia itu dapat berubah menurut perubahan keadaan mereka. Hukum terkadang diundankan demi kemaslahatan  yang di tuntut oleh sebab sebab tertentu. Jika sebab tidak ada, maka tidak ada kemaslahatan dalam ketetapan hukum itu.seperti pernah diterangkan bahwa sekelompok umat islam datang ke kota madinah pada hari raya korban, kemudian rosulullah menghendaki mereka berbuat kemakmuran diantara sesama muslim. Maka rosulullah melarang kaum muslimin menyimpan dagin korban mereka sampai kelompok itumenerima bagian bagian daging korban. Ketika kelompok itu  telah meninggalkan kota madinah, maka beliau membolekan kaum muslimin untuk menyimpan daging korban mereka.beliau bersabda
كنت نهيتكم عن زيارة القبور الا فزوروها فانهاتذكر كم الحيوة الاخرة
Artinya:
 “Aku hanya melarang kalian untuk menyimpan daging korban itu demi sekelompok orang yang menuju kota ini. Ingat, sekarang simpanlah daging daging korban itu”.
Juga karena keadilan penetapan hukum itu menuntut secara bertahap dan tidak mengejutkan orang yang menerima syariat sehinga berat untuk melaksanakannya,atau berat untuk meninggalkannya. Tahapan ini menuntut adanya keadilan dan bergantian, seperti terjadi pada hukum khamer. Allah SWT pada permulaannya tidak mengharamkannya, tetapi menjelaskan bawa didalamnya terkandung bahaya yang besar dan manfaat bagi manusia, dan bahayanya lebih besar dari manfaatnya. Ini adalah persiapan dan pendahuluan menuju pengharaman , karena sesuatu yang bahayanya lebih besar dari manfaatnya mendorong akal untuk meninggalkannya. Kemudian allah melarang manusia untuk mendekati shalat dalam keadaan mabuk. Ini adalah pendahuluan kedua untuk pengharaman dan pelarangannya, karena waktu shalat itu banyak dan terpisah pisah. Maka umat islam tidak mungkin selamat jika meminumnya karena mereka punya kewajiban menjaga waktu shalat padahal mereka dalam keadaan mabuk. Kemudian datang naskh yang tegas meneragnkan bahwa khamer adalah kotoran dari perbuatan setan dan perintah untuk menjahuinya.
Demikian juga dalam urutan pewarisan, prosesitu pada permulaan islam tetap sebagaimana yang berlaku dikalangan arab jahiliya. Kemudian islam mulai membuat keadilan secara bertahap, pertama adalah menghapus hak waris bagi anak angkat , kemudian hak waris bagi orang menurut  perjanjian dan saudara angkat. Kemudian di undangkan hukum waris secara rinci yang menghancurkan sendi sendi kedzaliman yang menjadi kebiasaan orang orang jahiliya dalam mengatur pewarisan harta pusaka.[7]



Hikmah yang lainnya ,yaitu:
1.      Menjaga kemaslahatan hamba.
2.      Pengembangan persyariatan hukum sampai kepada tingkat kesempurnaan seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3.      Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah yang kemudian dihapus.
4.      Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat manusia.


Revisi:
1.      Tidak ditemukan indikasi copy-paste.
2.      Tolong diperbaiki keywordsnya
3.      Pendahuluan berisi pengantar untuk memahami isi makalah, jadi toong dirubah.
4.      Perujukannya tidak jelas, tidak lengkap.
5.      Makalah ini kurang referensial.
6.      Makalah ini tolong diperbaiki dari aspek sistematikanya, kesimpulan belum dicantumkan.






[1] Ilmu Ushul Fiqh, hal 324.
[2] Drs.moh.Rifa’I, Ushul Fiqh, hal 98
[3] Prof.dr. Rohison Anwar, M.Ag, Ulum Al-Qur’an ,hal 168-169
[4] Prof.dr. Rohison Anwar, M.Ag,Ulum Al-Qur’an, hal 170-172
[5] Prof.dr. Rohison Anwar, M.Ag ,Ulum Al-Qur’an, hal 173-177.
[6] Drs.Moh Rifa’I, ushul fiqh, hal 106-107.
[7] Abdul Wahab khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 324-326

Tidak ada komentar:

Posting Komentar