Senin, 03 Oktober 2016

Nasikh-Mansukh dalam al-Qur'an (PBA D Semester III)




NASKH DAN MANSUKH

Muhammad Asrori, Mufidatul Amalia
PBA-D Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract : This article discusses a bit about naskh and mansukh. Al-Qur'an since it was first revealed to the Prophet Muhammad SAW till today have the right vision and mission. This means that the basic principles and main objectives of the Qur'an that would be submitted to this people never change.True knowledge of the text nasikh and mansukh, in addition can help one in understanding the context of the Qur'an down gradually. On the other hand this can strengthen our faith in Allah about something deleted or another set that can not be diinterverevsi by any force. In addition, knowledge of this concept is also the greatest proof of the existence dialetika relationship between revelation with the existing reality. For nasikh the cancellation law (al-hukm) and do not apply them, either the cancellation of the proficiency level with regard to the abolition of the law and the release of readings (al-recitations) or allow the text (naskh) is still there as evidence that there are al-laws in mansukh.
Keyword : Change, Upgrade, eliminate, knowledge, relationship.

Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan pembacanya dinilai ibadah[1]Sebuah aturan seiring perkembangan zaman, tentunya akan mendapati sebuah lonjakan ataupun revolusi agar tetap mempunyai tujuan yang baik dan menyempurnakan, begitu pula dengan apa yang Allah perintahkan atau tentukan sebagai hukum yang tersurat maupun tersirat dalam Al-Qur’an sebagai pedoman bagi hamba-Nya, oleh karena itu ada upgrade (perubahan) aturan atau hukum pada Al-Qur’an yang disebut dengan Naskh dan Mansukh, Cara tersebut memang harus difahami oleh orang islam supaya mereka mengetahui maksud Allah untuk merombak beberapa ayat dalam Al-Qur’an, karena segala hal yang Allah tentukan pasti ada tujuan dan manfaatnya, sehingga kita harus mengetahui bagaimana perubahan-perubahan hukum syar’i dalam Agama Allah supaya kita lebih tahu diri dan semangat untuk menjalankan aturan-aturan Allah. Alasan nasakh yang kita terima adalah suatu hukum dikeluarkan untuk suatu kemaslahatan dan untuk dilaksanakan, sampai manusia menyadari kesalahannya, dan kemudian satu hukum lain diberikan, menggantikan hukum sebelumnya.[2]
Dirkursus tentang konsep nasikh dan mansukh masih menjadi polemik yang berkepanjangan. Pernyataan bukan tidak beralasan, sebab menuut Nasrh Hamid Abu Zaid bahwa kajian tentang naskh dalam dataran keagamaan akan dua pertanyaan besar yang harus dijawab, di antaranya:
Pertama, bagaimana mengkompromikan (al- taufiq) antara konsep an-naskh (perubahan konsep) ini dengan keyakinan umum tentang adanya wujud azali dari teks yang berada di lauh al-mahfuzh?.
Kedua, problem pengumpulan Al-Qur’an (jam’ Al-Quran) yang terjadi pada masa khalifah Abu Bakkar al-Shidiq, yang mengaitkan antara naskh dengan problem pengumpulan Al-Qur’an, yaitu yang terkait dengan contoh-contoh yang dikemukakan oleh para ulama yang beranggapan bahwa sebagaian teks(al-naskh) telah terlupakan dari ingatan manusia.[3]

Pengertian Nasikh dan Mansukh
An-naskh merupakan mashdar dari nasakha, yang secara harfiah berarti "menghapus, memindahkan, mengganti, atau mengubah".[4] Dari kata nasakha terbentuk kata an-naskh dan al-mansukh. Yang pertama isim fa’il dan yang trakhir isim maf’ul dari nasakha. Secara etimologi, an-naskh berarti yang menghapus, yang mengganti atau mengubah. Sedangkan al-mansukh berarti yang dihapus, yang diganti atau diubah. Penggunaan an-naskh dala arti tersebut dapat dilihat dalam firman Allah SWT Surat Al-Hajj (22) ayat 52:
                                           فَيَنْسَخُ اللهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللهُ آيتِه
"Maka Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, kemudian dia menguatkan ayat- ayat- Nya".
Kata yansakhu dalam ayat ini menghapus (yazilu) atau membatalkan (yabthilu) was was dan wahm yang dimasukkan setan. Penggunaan istilah at- tabdil (penggantian) dapat dilihat dalam firman Allah SWT, Surat An-Nahl (16) ayat 101:
وَاِذَا بَدَّلْنَا ايَةً مَّكَانَ ايَةٍ وَّاللهُ اَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ
"Dan apabila Kami, letakkan suatu ayat pada tempat ayat yang lain sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan- Nya."
Secara terminology (istilah), an-naskh menurut Subhi Ash-Shalih berarti "mengangkat hukum syara’ degan dalil syara". Qaththan mendefinisikannya pula kepada "Mengangkat hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain". Definisi yang dikemukakan oleh kedua tokoh diatas tidak memperlihatkan perbedaan yang berarti. Maksudnya, suatu hukum yang telah ditetapkan bisa jadi dibatalkan dan kemudian diganti dengan Allah oleh hukum lain. Atau suatu yang telah diturunkan secara makna dan lafal bisa jadi dicabut kembali lafal, makna (hukumnya) atau lafal sekaligus maknanya.[5]
Al-Qur’an berbicara tentang nasakh dalam arti "penggantian". Hal itu seperti yang terdapat dalam firman Allah SWT:
  مَا نَنْسَخْ مِنْ ءَايَةٍ أَيَةٍ أَنُنْسِهَا نَأتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْمِثْلِهَا  أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللهَ عَلىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ (106)
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidaklah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu? (QS. Al-Baqarah (2): 106)
Jadi, Al-Qur’an menyebutkan bahwa nasakh memang menjadi dalam hukum Islam, sesuai dengan ketentuan Allah pertimbangan situasi dan kondisi masyarakat pada masa Alquran itu diturunkan.
An-naskh terjadi karena terdapat dua nash yang saling bertentangan (ta’rudh). Nasakh hukum tidak terjadi jika nash yang mengandung hukum itu tidak bertentangan dengan nash yang lain. Kedua nash itu muncul dalam waktu yang tidak bersamaan, maka nash yang munculnya lebih awal digantikan hukumnya oleh yang muncul kemudian. Nash yang munculnya kemudian disebut awal disebut dengan al- mansukh dan nash yang munculnya kemudian disebut dengan an-nasikh. Berdasarkan analisis ini, maka nasakh secara terminologi dapat didefinisikan kepada ”mengangkat hukum syara’ yang datanglah lebih awal, dan digantikan oleh hukum lain yang munculnya kemudian”. Jadi, ada hukum yang digantikan dan ada pula hukum yang menggantikan, atau ada hukum yang diangkat dan ada pula hukum mengangkat dan banyak ulama’ memandang ayat berikut mengalami proses naskh[6]. Sebagai contoh dapat dilihat dalam firman Allah Surat Al-Anfal (8) ayat 65-66:
                              يَأيُّهَا النَّبِىُّ حَرِّضِ المُؤْمِنِيْنَ عَلىَ القِتاَلٍِآِن يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُوْنَ صَإبِرُوْنَ يَغْلِبُوْا مِاْئَتَيْنِْ وَإِن يَكُنْ مِنْكُمْ مِاْئَةٌ يَغْلِبُوْاْألفاً مِنَ الَّذِيْنَ كفَروا بأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَيَفْقَهُونٍَ الْئَنَ خَفَّفَ اللهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيْكُمْ ضَعْفًاج فَإيَكُن مِنْكُمْ مِّاْئة صاَبِرَةٌ يَغْلِبُوا مِاْئَتَيْنِ وَاِيَكُن مِنْكُمْ اَلْف يَغْلِبُواْ أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللهِقلى وَاللهُ مَعَ الصَا بِرِيْنَ
Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar, diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu daripada orang kafir, disebabkan oleh orang- orang kafir itu tidak mengerti. Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah menngetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beseta orang- orang yang sabar.
Terlihat isi kandungan kedua ayat ini saling bertentangan, ayat pertama mewajibkan satu orang muslim melawan sepuluh orang kafir. Sedangkan ayat kedua mewajibkan satu tentara muslim melawan dua tentara kafir. Maka ayat pertama telah di mansukhkan dengan hukum ayat yang kedua. Artinya, kewajiban setiap individu tentara muslim memerangi sepuluh tentara kafir telah dibatalkan, yang kemudian kemudian diwajibkan dengan satu lawan dua. 

Bentuk- Bentuk Nasakh
Sebagian ahli menganggap nasakh dalam Al-Qur’an itu ada, sebagian lainnya menolak keberadaanya.[7] Nasakh dalam alquran mempunyai tiga bentuk, yaitu sebagai berikut:
a.                   Ayat yang dinasakhkan bacaan dan hukumnya, sehingga ayat tersebut tidak tertulis lagi dalam Alquran, demikian pula hukumnya, iatidak diamalkan lagi. Contohnya ayat mengenai frekuensi menyusu bagi anak yang membuat ia haram menikah dengan ibu yang menyusukannya; yaitu sepuluh kali kemudian di naskh-kan oleh lima kali menyusu, sehingga yang diharamkan adalah lima kali menyusu. Aisyah ra.[8] Berkata:
   كَانَ فِيْمَا أُنْزِل مِنْ اَلْقٌرْأنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيْمَا يُقْرَأُ مِنْ القُرْآن
Pernah diturunkan (kepada Nabi) sepuluh kali menyusu yang dimaklumi yang (menyebabkan) haram (menikahi), kemudian dinasakh-kan dengan lima kali yang dimaklumi. Selanjutnya Rasul wafat, ayat- ayat itu dibaca sebagai bagian dari Al-Qur’an.
b.        Ayat yang dinasakh-kan hukum, tetapi bacaannya masih ada. Hal itu seperti
Firman Allah SWT:
    وَآلَّتِى يَأ تِيْنَ آلفَحِشَةَ مِن منسَاءِكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِى البُيُوتِ حَتَّى يَـتَوَفَّهُنَّ المَوْتُ
“Dan (terhadap) wanita-wanita yang mengerjakan perbuatan keji hendaklah ada orang saksi diantara kamu (yang menyaksikan). Kemudian apabila mereka telah memberikan kesaksikan maka kurunglah mereka (wanita-wanita) itu dalam rumah sampai menemui ajalnya”. (QS. An-Nisa’ (4): 15)
Ketentuan hukum bagi pezina, yaitu ditahan dirumah sampai meninggal                   (فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِى البُيُوتِ حَتَّى يَـتَوَفَّهُنَّ المَوْتُ), yang terdapat dalam ayat ini telah di naskh-kan. Akan tetapi, teksnya masih ada. Ayat yang menasakh-kan nya adalah:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِى فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِاْئَةَ جَلْدَةٍصلى وَلاَ تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِى دِيْنَ اللهِ إِن كُنْتُمْ تُؤمِنُوْنَ بِا لله وَاليَوْمِ الأَخِر
“Perempuan dan laki-laki yang berzina maka deralah setiap orang dari keduanya seratus kali dera. Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir”. (QS. An-Nur (24): 2)
Jadi, hukumnya bagi pezina berubah dari kurungan jambuk seratus kali.
c.          Ayat yang telah dinaskhkan bacaannya, tetapi hukumya masih diamalkan. Al-Munhasabi
Menyebut pembagian ini dengan “ayat yang dinasakhkan tulisannya, tetapi ia masih terpelihara dalam hati“. Hal ini banyak terdapat dalam Al-Qur’an, diantaranya:
1) Aisyah berkata; ”Dahulunya di zaman Nabi SAW, Surah Al-Ahzab dibaca sebanyak 200      ayat. Tatkala Ustman menulis mushaf, ia hanya tinggal 73 ayat saja seperti yang terlihat      sekarang. Diantara ayat yang tidak ditulis karena telah dinasakh-kan adalah ayat yang       mengenai hukum rajam,yaitu
    إِذَا زَنَا الشَّيْخُ وَ الِشَّيْخَةُ فَارْجُمُوْهُمَا اَلبَتَّة نَكالاً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Apabila orangtua laki-laki dan orang tua perempuan berzina, maka rajamlah keduanya, (hal        itu) sebagai pelajaran dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.

2) Abu Musa Asy-Asy’ari juga mengatakan, ”Pernah turun suatu ayat yang termuat dalam      Surah At-Taubah (9), kemudian ayat itu diangkat.” Abu Musa telah menghafal ayat itu, ayat      tersebut adalah
       إنَّ للهُ سَيُؤيِّدُ هَذَا الدِّيْنَ بِأقْوَامِ لأَخْلاَقِهِمْ وَلَوْ أنَّ لإبْنِ آدَمَ وَادِيَيْنِ مِنْ مَالٍ لَتَمَنَّى وَادِيًا ثَالِثًا وَلاَ يَمْلاُ         جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إلاَّ التُّرَابُ وَ يَتُوبُ اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ
Sesungguhnya Allah menguatkan agama ini dengan bangsa-bangsa disebabkan karena akhlaq mereka. Dan seandainya manusia itu memiliki dua buah lembah harta, maka ia berkeinginan mendapat lembah ketiga. Rongga manusia tidak ada yang dapat memenuhinya kecuali tanah. Allah menerima taubat orang-orang yang bertaubat kepada-Nya.
Pengkategorian bentuk naskh diatas didasarkan atas keberadaan teks ayat dan pengalaman hukum yang terkandung didalamnya. Apabila dilihat dari segi keluasan jangkauan nasakh terhadap hukum yang terkandung dalam suatu ayat, maka nasakh itu dapat pula diklasifikasikan kepada dua macam, yaitu nasakh kulli dan nasakh juz’i.
Nasakh kulli adalah nasakh yang mencakupi seluruh hukum yang terkandung dalam suatu ayat, seperti yang terlihat dalam nasakh hukum wajibnya wasiat oleh hukum mawaris dan penghapusan iddah wafat selama satu tahun yang digantikan oleh empat bulan sepuluh hari.
Sedangkan nasakh juz’i adalah suatu ketentuan hukum yang diisyaratkan secara umum dan universal yang mencakupi seluruh individu yang mempunyai kriteria tertentu. Atau dengan kata lain, suatu penasakhan yang tidak mencakupi seluruh individu yang terkandung dalam suatu ayat, tetapi sebagian saja. Seperti firman Allah Surah An-Nur ayat 4:
      وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَتِ ثُمَّ لَمْ يَأتُوا بِأرْبَعَةِ شهَدآْءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَماَنِيْنَ جَلْدَةً
Dan orang yang menuduh wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.
Sebagian hukum yang terkadung dalam ayat ini telah di nasakh-kan oleh surat An-Nur (24) ayat 6 sehingga ayat 4 hanya berlaku atas penuduh yang bukan sebagai suami tertuduh;” ayat itu tidak berlaku atas tuduhan suami terhadap istri”. Bagi yang terakhir ini mempunyai ketentuan khusus, yaitu li’an
Suarat An-Nur (24) ayat 6 yang menasikh-kan seabagai kandungan ayat yang keempat adalah:
     وَالَّذِيْنَ  أَزْواجَهُمْ وَ لَمْ يَكُنْ لَهُمُمْ فَشَهَدَةْ شُهَدَاءُ إِلاَّ أنْفُسُهمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْ بَعُ شَهَادَاتِهِمْ بِا اللهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِيْنَ
Dan orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang tersebut empat kali bersumpah dengan nama Allah sesungguhnya ia termasuk orang yang benar.
Nasakh juz’i diisyaratkan apabila muncul pada suatu ketika ketentuan suatu hukum secara umum, kemudian muncul ketentuan baru yang memberlakukan ketentuan umum itu pada hal-hal atau individu tertentu saja. Atau dengan kata lain, munculnya ketentuan mengenai pemberlakuan suatu hukum pada pada individu tertentu saja, setelah ditetapkan beberapa lama pemberlakuannya secara umum. Inilah yang dimaksud dengan nasakh juz’i. Jika pemberlakuan hukum pada inividu atau hal-hal tertentu itu muncul bersamaan dengan ketentuannya secara umum, maka tidak disebut dengan nasakh juz’i, tetapi ia merupakan takhshidh (pengkhususan).
Nasakh itu dapat pula dibagi menjadi dua macam; pertama, nasakh shari’ (jelas), yaitu penasakh-an suatu hukum yang tergantung dalam ayat disebutkan secara jelas, seperti Surah Al- Anfal (8) ayat 65 yang dinasakh-kan oleh ayat 66 surat yang sama. Awal ayat 66 itu secara tegas menegaskan (آلئَنَ خَفَّف اللهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ) (sekarang Alloh memberi keringanan kepadamu) yang kemudian diikuti oleh ketentuan baru. Ungkapan untuk menunjukkan bahwa hukum yang terkandung dalam ayat 65 tidak diamalkan lagi, ia telah digantikan oleh ketentuan yang terdapat dalam ayat 66. Dan kedua, nasakh dhimni (mengandungi), yaitu secara tegas teks Al-Qur’an tidak menyebutkan terjadinya perubahan atau pergantian suatu hukum. Akan tetapi, suatu ketentuan hukum itu bertentangan, itu tidak dapat dikompromikan (al-jam’u). Nasakh seperti ini banyak terdapat didalam Al-Qur’an, seperti nasakh kewajiban mewasiatkan harta atas orang yang akan meninggal dunia terhadap kedua orangtua dan kaum kerabat oleh ayat mawaris dan perubahan iddah wafat bagi wanita dari satu tahun menjadi emapat bulan sepuluh hari.
Selain dari bentuk dan pembagian nasakh di atas, As-Sayuti mengklasifikasikan pula bentuk-bentuk nasakh itu kepada tiga macam, yaitu penasakhan suatu hukum sebelum diamalkan. Kedua, penasakhan yang diberlakukan terhadap umat terdahulu (syar’u man qablana) seperti penasakhan bentuk hukum qisas dan diyat. Dan ketiga, penasakhan suatu hukum yang diperintahkan karena suatu sebab atau illat, apabila sebabnya sudah hilang maka hukum tidak berlaku lagi. Hal ini seperti perintah bersabar menghadapi tindakan orang-orang kafir yerhadap umat Islam, yang dinasakhkan oleh perintah memerangi mereka. Sebab atau illat diperintahkannya bersabar adalah belum kuatnya agama Islam menghadapi mereka pada masa itu. Akan tetapi, ketika umat Islam sudah kuat maka sebab atau illat sudah tidak ada lagi. Oleh sebab itu, berperang pun diperintahkan, jika kaum kafir mengganggu umat Islam.[9]
Sedangkan untuk kategori yang disebutkan kedua naskh Al-Qur’an dengan al-Sunnah para ulama berbeda pendapat.[10] Perbedaan ini sebagaimana dielaborasi oleh al-Suyuti sebagai berikut:
“Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa Al-Qur’an hanya dapat dinaskh dengan Al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah:”Ayat mana saja yang Kami naskhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding dengan nya”. Mereka mengatakan bahwa sebanding dengan Al-Qur’an hanyalah Al-Qur’an. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa hadist pun dapat menasakhkan Al-Qur’an, sebab hadist pada hakikatnya berasal dari sisi Allah swt. Allah berfirman:”dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya”. Yang termasuk dalam hal ini adalah ayat wasiat. Yang ketiga apabila al-Sunnah itu ditetapkan dengan perintah Allah melalui wahyu, maka ia dapat menasakh. Dan apabila melalui ijtihad, maka tidak bisa di nasakh. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Habib al-Naisaburi dalam tafsirnya. Menurut Imam al-Syafi’i bahwa sekitarnya terjadi naskh Al-Qur’an dengan al-sunnah, maka bersama sunnah ada Al-Qur’an yang menompangnya, dan sekitarnya terjadi naskh al-sunnah dengan Al-Qur’an, maka bersama Al-Qur’an ada sunnah yang menompangnya, agar terjadi kejelasan terhadap kesesuaian antara Al-Qur’an dan Al-sunnnah”.[11]
Dari pernyataan diatas, setidaknya ada dua pendapat yang saling kontradiktif. Pertama, ulama yang membolehkan terjadi naskh Al-Qur’an dengan al-sunnah dan ulama yang menolaknya.
Kelompok yang disebutkan pertama antara lain didukung oleh para ulama fiqh seperti Imam Malik, dan kawan-kawan Abu Hanifah. Demikian juga, pendapat ini dikemukakan oleh mayoritas ahli ilmu kalam (al-mutakillimin) dari golongan al-Asy’ari dan Mu’tazilah. Menurutnya bahwa al-sunnah pada hakikatnya adalah wahyu Tuhan sebagaimana Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana dalam Al-Qur’an:
     “Dan tiadalah yang diucapkan itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (QS. Al- Najm/53: 3-4)
Meskipun mereka sepakat tentang kebolehan al-sunnah menasakh Al-Qur’an, namun mereka berbeda pendapat tentang status al-sunnah yang dijadikan sebagai instrumen naskh. Pertama, menurut golongan Mu’tazilah bahwa al-sunnah yang menaskh haruslah hadist mutawatir. Penatapan al-sunnah mutawatir sebagai syarat untuk menaskh Al-Qur’an lebih disebabkan karena kemutawatiran teks-teks Al-Qur’an. Sehingga, teks yang mutawatir harus di naskh dengan teks mutawatir pula. Konsekuensinya adalah bahwa karena jarangnya ditemukan al-sunnah yang mutawatir mengenai masalah hukum, maka naskh jenis ini tidak banyak terjadi dalam Al-Qur’an.
Kedua, golongan Hanafiyah dan orang-orang yang sefaham dengannya tidak mensyaratkan al-sunnah yang mutawatir. Menurutnya, hadist yang mansyur yang dapat menimbulkan arti yakin, bisa menasakh sebagian teks-teks Al-Qur’an. Dengan demikian, mereka telah memperluas jangkauan naskh, yaitu menggunakan kata naskh untuk semua dalil yang datang kemudian, yang berlainan yang mengubah hukum pertama.
Ketiga, golongan Ibn Hazm yang sefaham dengan ulama salaf, berpandangan bahwa al-sunnah dapat menasakh Al-Qur’an sekalipun hanya hadist ahad. Sebagaimana pada ulasan sebelumnya bahwa para ulama salaf telah memperluas arti naskh mencakup semua bentuk penjelasan (bayan), sedang Rasulluloh saw mempunyai tugas untuk menjelaskan Al-Qur’an baik taskhish terhadap yang ‘am atau taqyid terhadap yang mutlaq.[12]
Sedangkan kelompok yang disebutkan kedua, yaitu mereka yang menolak adanya nasakh Al-Qur’an dengan al-sunnah sekalipun al-sunnah mutawatir adalah imam al-syafi’i, Imam Ahmad dalam salah satu dari dua riwayatnya, dan mayoritas ahl al-Zhahir. Untuk menguatkan argumentasinya, Imam al- Syafi’i mengemukakan beberapa dalil dari teks Al-Qur’an, diantaranya:
 Dan apabila dibacanya kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang- orang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata:” datanglah Al-Qur’an yang lain dari ini atau gantilah dia”. Katakanlah:” tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)” (QS. Yunus/10:15)
Menurut al-Syafi’i bahwa ayat ini sebagai pemberitahuan bahwa Dia mewajibkan pada Nabi untuk mengikuti semua yang diwahyukan kepadanya, dan sebagai larangan untuk mengubah (menggantikan) dari pihak dirinya sendiri bahwa ayat yang berbunyi” tidaklah patuh bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri” sebagai bukti bahwa Al-Qur’an tidak bisa dinaskh kecuali dengan Al-Qur’an.[13]
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding denganya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segalanya sesuatu?” (QS. Al- baqarah/2: 106)
Menurut Imam al- Syafi’i, ayat ini menjelaskan bahwa teks Al-Qur’an yang di naskh atau manusia dijadikan lupa kepadanya, akan diganti dengan teks yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Artinya bahwa yang mendatangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya adalah Allah sendiri. Sebab, dhamir (kata ganti) pada ayat tersebut kembali kepada-Nya. Dengan demikian, Al-Qur’an tidak dapat dinaskh dengan al-sunnah, karena al-sunnah berasal dari Rasullullah saw. Disisi lain, al-sunnah tidak lebih baik dan tidak sebanding dengan Al-Qur’an.
Mayoritas ulama telah melancarkan bantahan terhadap Imam al-Syafi’i dalam beristimbath dengan teks-teks Al-Qur’an tersebut. Berkaitan dengan argumennya yang pertama, Imam al-Ghozali salah seorang murd Imam Syafi’i mengatakan:
“Tidak ada perbedaan paham lagi, bahwa Rasul tidak menasakh dari pihak dirinya sendiri, melainkan dengan wahyu yang diturunkan kepadanya. Hanya, wahyu itu tidak berupa Al-Qur’an. Dan Al-Qur’an. Dan kaulah kita membolehkan naskh dengan ijtihad, maka izin berijtihad itu datang dari Allah SWT”.
Dari pernyataan diatas, jelas bahwa hakikatnya yang menasakh adalah Allah swt melalui lisan Nabi-Nya. Artinya, bahwa teks Al-Qur’an tidak harus dinaskh dengan teks al-sunnah melalui lisan Nabi Muhammad saw dengan wahyu yang bukan Al-Qur’an.
Sementara itu, untuk argumen yang disebutkan kedua (QS. al-baqarah/2:106, Imam al Al-Ghazali juga memberikan bantahannya sebagai berikut:
“Sungguh, kita telah membuktikan bahwa yang menaskh itu adalah Allah swt. Dan Dialah yang manampakkan hal itu melalui lisan Rasulullah, yang menyampaikan pengertian kepada kita. Dengan perantaranya Allah menaskh Kitab-Nya dan tidak bisa dilakukan oleh orang lain. Kemudian, apabila Allah menaskh suatu ayat melalui lisan Rasulullah, lalu mendatangkan ayat lain yang sebanding, maka dengan demikian Allah telah membuktikan janji-Nya. Maka, tidaklah diisyaratkan bahwa ayat yang lain itu adalah ayat yang menasakhkan ayat pertama. Kemudian kita berkata, yang itu bukanlah mendatangkan Al-Qur’an yang lain yang lebih baik daripada yang telah ada karena Al-Qur’an itu tidak bisa dikatakan bahwa sebagiannya lebih baik dari bagian lainnya, baik dipandang sebagai yang qadim atau sebagai makhluk. Akan tetapi, yang dimaksud adalah mendatangkan perbuatan yang lebih baik daripada perbuatan itu, karena perbuatan itu lebih ringan daripadanya atau lebih banyak pahalanya”.
Kategori ketiga adalah naskh al-sunnah dengan Al-Qur’an. Jenis yang ketiga ini juga diperselisihkan, sebagai ulama ada yang memperbolehkan dan sebagai yang lainnya menolak. Bagi uama yang memperblehkan al-sunnah di naskh dengan Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang mustahil. Sebab, antara al-sunnah dan Al-Qur’an adalah sama-sama wahyu yang datandari sisi Tuhan. Sedangkan, bagi mereka yang menolak berargumen dengan firman Allah dalam QS. Al- Nahl/16:44, sebagai berikut:” Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. Ayat ini menjelaskan bahwa al-sunnah tidak lain hanyalah berfungsi sebagai penjelasan (bayan) bagi Al-Qur’an. Sebab, jika al-sunnah dinaskh dengan Al-Qur’an, maka hilang fungsi bayannya.
Sedangkan untuk kategori yang terakhir naskh al-sunnah dapat dibagi menjadi empat macam, diantaranya (1) naskh sunnah mutawatir dengan mutawatir; (2) naskh sunnah ahad dengan ahad; (3) naskh sunnah ahad dengan mutawatir; (4) naskh sunnah muawatir dengan sunnah ahad. Tiga jenis yang disebutkan pertama diperbolehkan, baik menurut akal maupun syara’, sedangkan untuk jenis yang disebutkan terakhir, ulama sepakat bahwa naskh sunnah mutawatir dengan ahad boleh menurut akal, sedangkan menurut syara’ masih diperselisihkan.[14]
Mereka berargumen bahwa hadist mutawatir bersifat qath’i al-tsubut, sedangkan khabar ahad bersifat dhanniy al-tsubut. Yang qath’i tidak dapat dihapus dengan yang danniy, sedang hadist mutawatir mempunyai kedudukan yang lebih kuat dibanding dengan hadist ahad. Oleh karenanya, yang kuat tidak dapat dihapuskan.

Siapa yang Berwenang Melakukan Nasakh?
Pertanyaan diatas tentunya hanya ditujuakan kepada mereka yang mengakui adanya nasakh dalam Al-Qur’an, baik dalam pengertian yang dikemukakan oleh para ulama’ muta’akhir maupun dalam pengertian yang kita kemukakan diatas.
Pengarang buku Manahil Al-‘irfan mengemukakan bahwa para ulama berselisih paham tentang boleh tidaknya Nabi SAW. Menasakhkan ayat-ayat Al-Qur’an. Selanjutnya mereka yang membolehkannya secara teoritis berbeda paham pula tentang apakah dalam kenyataan faktual ada hadist Nabi yang menasakhkan ayat atau tidak?
Menurutnya, Al-Syafi’i, Ahmad (dalam satu riwayat yang dinisbatkan kepadanya), dan Ahli Al-Zhahir, menolak walaupun secara teorotis dapatnya Sunnah menashk Al-Qur’an. Sebaliknya Imam Malik, para pengikut mazhab Abu Hanifah, dan mayoritas para teolog baik dari asy’ariah maupun Mu’tazilah, memandang bahwa tidak ada halangan logis bagi kemungkinan adanya naskh tersebut. Hanya saja mereka kemudian berbeda pendapat tentang ada tidaknya Sunnah Nabi yang menasakhkan Al-Qur’an[15]
Walaupun terjadi perbedaan pendapat diatas, secara umum dapat dikatakan bahwa mereka semua bersepakat menyatakan bahwa yang dapat menasakhkan Al-Qur’an hanyalah wahyu-wahyu Ilahi yang bersifat mutawatir (diyakini kebenaran nisbahnya kepada Nani saw). Walaupun demikian, mereka berselisih tentang cakupan kata “wahyu Ilahi” tersebut, apakah Sunnah termasuk wahyu apa bukan.
Syarat bahwa wahyu tersebut harus brsifat mutawatir, sebagaimana dikatakan oleh Al-Syathibi: ”hukum-hukum apabila telah terbukti secara pasti ketetapannya terhadap mukallaf, maka tidak mungkin menasakhnya kecuali atas pembuktian yang pasti pula.
 Atas dasar tesebutlah, kita dapat berkata bahwa persoalan kini telah beralih dari pemahasan teorotis kepada pembahasan praktis. Pertanyaan yang muncul disini adalah “apakah ada Sunnah Nabi yang mutawatir yang telah membatalkan ayat-ayat Al-Qur’an?”
Dalam hal ini pengarang Manahul ‘Irfan mengemukakan empat hadist yang kesemuanya bersifat ahad (tidak mutawatir), namun nilai dari sebagian Ulama’ telah menasakh ayat-ayat Al-Qur’an. Apakah berarti bahwa tidak ada hadist mutawatir yang menasakh Al-Qur’an? Agaknya memang demikian. Disisi lain, keempat hadist tersebut, setelah diteliti keseluruhan teksnya, menunjukkan bahwa yang menasakh ayat kalau hal-hal tesebut naskh bukannya hadist tadi, melainkan ayat yang ditunjuk oleh hadist tersebut.
Hadis “La washiyyata Li warits” (tidak dibenarkan adanya wasiat untuk menerima warisan), yang oleh sementara para ulama’ dinyatakan sebagai me nasakh ayat “kewajiban berwasiat” (QS. 1: 180), ternyata setelah diteliti secara seluruh teksnya berbunyi:
Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya, dengan demikian tidak ada (tidak dibenarkan) wasiat kepada penerima warisan.
Kata-kata “sesungguhnya Allah telah memberikan“, dan seterusnya menunjuk kepada ayat waris. Dan atas dasar itu, hadis tersebut menyatakan bahwa yang menaskh adalah ayat-ayat waris tersebut, bukan hadis Nabi saw, yang bersifat ahad tersebut. Adapun jika yang dimaksud naskh adalah “pergantian” seperti yang dikemukakan diatas, maka agaknya disini terdapat keterlibatan para ahli untuk menentukan pilihannya dari sekian banyak alternatif ayat hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an menyangkut kasus yang dihadapi. Satu pilihan yang didasarkan atas kodisi sosial atau kenyataan objektif.
Perbedaan ulama’ mengenai nasakh nya Al-Qur’an setengah Ulama’ berpendapat: ”didalam Al-Qur’an tidak ada ayat yang di hapus, faedah ini menurut pendapat Abi bin Ka’ab dari golongan sahabat, Abu Muslim dari golongan imam-imam ahli tafsir dan ulama’ ahli tahqiq, mereka menggunakan hujjah dengan beberapa dalil diantaranya:
1)Firman Allah yang artinya: ”Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an dan Sesungguhnya Kami yang menjaganya”.
2)Firman yang artinya: ”Dan bacakanlah Wahyu yang telah Aku wahyukan kepadamu yaitu kitab dari Tuhanmu yang tidak ada pengganti pada kalimat-kalimat Allah”.
3)Bahwa yang asal tidak adanya naskh, oleh karena itu Ulama’ ahli tahqiq berpendapat: “ Sesungguhnya naskh itu menyalahi yang asal selama memungkinkan adanya tafsir tanpa naskh maka wajib kembali pada tafsir tersebut. Maka bagaimana mengenai ayat Alquran yang tidak mungkin ada tafsir dengan tanpa menggunakan naskh (pertayaan)
4)Bahwa sesungguhnya dalam Al-Qur’an tidak ada nash mengenai ayat- ayat yang mansukh.
5)Dan bahwa tidak ada kebutuhan pada naskh mengenai tafsir dan tidak ada hikmah yang ditimbulkan naskh.
Kesimpulannya adalah: bahwa Al-Qur’an itu adalah kitab yang wajib kita imani dan kita yakini bahwa didalamnya tidak ada naskh. Bahkan seluruh ayat-ayatnya adalah mukhkam (sudah jelas) yang kita wajib amalkan semuanya, dan barang siapa berkehendak untuk menentangnya maka wajib menggunakan dalil.[16]

Metode (Manhaj) mengetahui Naskh
Pengetaha tentang naskh dalam Al-Qur’an merupakan suatu yang sangat urgen sekali yang harus dimiliki oleh ahli ushul, fuqaha, dan juga mufassir. Signifikansi yang diberikan para doktrin naskh dapat dilihat dari banyaknya karya yang ditulis mengenai masalah-masalah ini, baik oleh sarjana klasik maupun sarjana kontemporer. Pengakuan ini antara lain dikemukakan oleh Suyuti dalam dalam al-itqannya.[17]
Disisi lain, dalam beberapa literatur yang membahas mengenai konsep naskh ditemukan sejumlah riwayat yang dinisbahkan kepada sahabat, yang menekankan pentingnya memperoleh pengetahuan tentang ayat-ayat yang naskh dan yang mansukh dalam Alquran. Dalam sebuah riwayat disebutkan Ali pada suatu hari bertanya pada seorang hakim (qadhi): “apakah kamu mengetahui ayat yang di nasikh dan yang mansukh?”, Hakim itu menjawab: ”tidak”, lalu Ali bertanya kepadanya: ”celakah kamu dan mencelakakan orang lain.
Berkaitan dengan pentingnya pengetahuan tentang mengenai masalah ini, Manna Al-Qoththon telah menetapkan tiga metode yang dapat dipakai untuk mengetahui bahwa sesuatu ayat yang dikatakan naskh dan ayat lain sebagai mansukh. Ketiga metode tersebut adalah: pertama, berdasarkan informasi yang jelas (an-naql al-sharih) yang didapat dari Nabi SAW dan sahabat. Seperti hadist: “Kuntu nahaitukum ‘an ziarah al qubr, ala faruzuha” (Aku dulu melarangmu berzirah kubur, maka sekarang beziaralah. Demikian juga, ungkapan Anas tentang kisah sumur maunah, berkenaan dengan mereka turunlah Al-Qur’an yang pernah kami baca yang sampai akhirnya ia hapus.
Kedua, berdasarkan konsessus (ijma’) umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
Ketiga, berdasarkan study sejarah ayat mana yang turun terdahulu (al-mutaqoddam) dan mana yang terkemudian (al-muta’akhir).
Lebih lanjut Qaththan menegaskan bahwa naskh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, atau berdasarkan pendapat para musafassir, ataupun berdasarkan dalil-dalil yang secara dhohir nampak kontradiktif. Demikian juga, naskh tidak dapat ditetapkan terbelakangnya keislaman seseorang dari dua perawi.
Pendapat Manna’ al-Qaththan diatas senada dengan pendapat Ibn al-Hishar sebagaiman dikutip al-Suyuthi dalam Itqannya yang mengatakan sebagai berikut:
“Persoalan naskh harus didasarkan pada informasi yang jelas dari Rasullullah saw, atau dari seorang sahabat yang mengatakan bahwa ini dinaskh oleh ayat ini. Metode ini juga dapat digunakan jika terjadi kontradiksi secara pasti, dengan dibantu ilmu-ilmu sejarah untuk mengetahui mana ayat yang terdahulu dan yang kemudian. Lebih lanjut ia mengatakan: “dalam persoalan naskh tidak diperbolehkan berpegang pada kebanyakan mufassir. Demikian pula tidak diperbolehkan berpegang pada ijtihad para mujtahid tanpa penukilan yang shohih dan jelas dari Nabi atau sahabat, sebab naskh mengandung makna menghapus suatu hukum dan menetapkan hukum yang sudah ditetapkan pada masa Nabi saw. Sedangkan landasannya adalah naql (teks Al-Qur’an dan al-sunnah) dan fakta sejarah, bukan pendapat atau hasil ijtihad.[18]

Syarat Terjadinya Nasakh
Nasakh tidak bisa tentukan oleh seseorang sesuai dengan kehendaknya, seperti yang tergambar dalam definisi diatas. Ia mempunyai syarat-syarat, yaitu sebagai berikut.[19]
1.    Hukum yang dimansukhkan itu adalah hukum syara’. Maksutnya, tidak termasuk dalam kategori kajian ini pembatalan hukum ghair asy-syara’ (yang bukan syara’) atau yang tidak menyangkut dengan hukum.
2.    Hukum yang terkandung pada naskh bertentangan dengan hukum yang terkandung dengan nash al-mansukh. Nasakh tidak pernah ada jika makna-makna nash itu tidak bertentangan.
3.    Dalil yang dinasakhkan harus muncul lebih awal dari dalil yang menasakhkan ayat al-madaniyah. Akan tetapi, ayat al-madaniyah dapat menasakhkan ayat al-makiyyah.
4.    Hukum yang diasakh-kan itu haruslah hal-hal yang menyangkut dengan perintah, larangan, dan hukuman. Nasakh tidak terjadi pada hal-hal yang menyangkut berita. Sebab, jika nasakh terjadi pada ayat-ayat berita, berarti telah terjadi kebohongan pada ayat yang dinasakhkan. Hal ini jelas mustahil.
5.    Hukum yang dinasakhkan tidak terbatas pada waktu tertentu, tetapi harus berlaku di sepanjang masa.
6.    Hukum yang terkandung dalam nash al-mansukh telah ditetapkan sebelum munculnya al-nasikh.
7.    Status nash an-nasikh harus sama dengan an-mansukh. Maka nash yang dzonni al-wurud tidak bisa menasakhkan nash yang qot’i al-wurud. Jika ditemukan pertentangan antara keduanya maka jelas yang dipegang adalah nash qat’i al-wurud.
            Terdapat beberapa kreteria ayat-ayat yang tidak mungkin terjadi padanya nasakh. Hal itu dapat dilihat dari isi kandungan ayat tersebut, yaitu pertama, teks alquran yang mengandung hukum prinsipal, yang tidak berbeda antar semua manusia disebabkan oleh situasi dan kondisi mereka. Seperti ayat-ayat mengenai iman, ibadah, berbuat baik kepada orang tua, berlaku jujur, dan lain sebagainya. Kedua, teks ayat yang mengandung suatu hukum yang dinyatakan keberlakuan tetap, tidak ada berubah. Hal itu dinyatakan dengan menggunakan kata abadan (selama-lamanya), seperti yang terlihat dalam firman Allah:
   وَلاَ تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً آَبَدًاج وَأُوْلَىكَ هُمُ الفَا سِفقُوْنَ
Dan janganlah kamu menerima kesaksian mereka selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasiq.
Kata “Abadan” dalam ayat ini menunjukkan tetapnya berlaku penolakan kesaksian para penuduh perbuatan zina, ia tidak berubah dan tidak boleh dinasakhkan. Dan ciri ketiga adalah ayat-ayat yang mengandung berita, seperti yang telah disinggung dalam syarat nasakh diatas.[20]

Hikmah Naskh dan Mansukh.
Sesuatu yang telah ditentukan Allah pasti akan bermanfa’at bagi hamba-nya, termasuk aturan-aturan yang dibuat oleh Allah, begitu pula hikmah dari adanya naskh dan mansukh, yaitu :
  1. Memelihara kemaslahatan hamba-hambanya.
  2. Upgrade hukum syar’i menuju kesempurnaan seiring perkembangan zaman.
  3. Sebagai ujian terhadap hambanya supaya patuh pada aturan Allah SWT atau melanggar-Nya.
  4. Kehendak Allah SWT untuk memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya, sekaligus memberikan kemudahan dalam menjalankannya.[21]
Allah tidak akan memberatkan hukum tanpa adanya pahala yang lebih besar, jadi pasti akan membawa kebaikan bagi hamba-Nya, namun belum terbiasa dengan hukum syar’i yang baru, dan jikalau Allah mengapus ayat dan meringankan hukum tersebut, berarti Allah memberikan kemurahan terhadap hamba-Nya.

Daftar Rujukan
Noe Ichwan, Memahami Bahasa AI- Qur’an, Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar;2002.
M.H. Thabathabai Allamah, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1987
Dr. Kadar M Yusuf, M. AG., Studi Al Qur’an, Jakarta: PT Amzah, 2014.
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung, PT Mizan Pustaka,2007.
Abdul Hamid Al hakim, Mubadi Auliyyah, Jakarta: Sa’diyah Putra, 1893.
Nizhan Abu, Buku Pintar Al-Qur’an, Jakarta Selatan: Qultum Media, 2008.
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ulum Al-Qur’an. Beirut: Manshuraatul Ashri al-Hadis, 1973.
Rahmat Kurnia Muhammad, Sigit Purnawan Jati Muhammad, Ismail Yusanto Muhammad, Prinsip-prinsip pemahaman Al-Qur’an dan Hadits, Jakarta Selatan: Khairul Bayan, 2002.
Qutb Sayyid, Fi Dilal Al-Qur’an, Jilid II dan X, Beirut: Manshuraat al-Ashri al-Hadis, tt.

Revisi:
1.      Tidak ditemukan indikasi copy-paste.
  1. Dalam tulisan ilmiah, gelar (Prof., Dr., Ustadz, dll) tidak perlu dicntumkan.
  2. Pelajari lagi cara penulisan footnote, misalnya cara penulisan rujukan yang pernah ditulis sebelumnya dan judul buku harus ditulis miring.
  3. Jika perujukan benar-benar dari referensi berbahasa Arab, maka boleh ditulis dari referensi itu. Akan tetapi bila berasal dari referensi sekunder, maka harus ditulis dari buku tersebut.
  4. Makalah ini masih kurang referensial.
  5. Pelajari cara penulisan daftar pustaka.
  6. Kesimpulan belum dituliskan.


[1] Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ulum Al-Qur’an. (Beirut: Manshuraatul Ashri al-Hadis, 1973), hlm 21.
[2] M.H. Thabathabai Allamah, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1987), hlm 60.
[3] Noe Ichwan, Memahami Bahasa AI- Qur’an (Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar, 2002), hlm 277
[4] Dr. Kadar M Yusuf, M. AG., Studi Al Quran (Jakarta: PT Amzah, 2014), hlm 108
[5] Ibid, hlm 109
[6] Sayyid Qutb, Fi Dilal Al-Qur’an Juz X, hlm 52
[7] Rahmat Kurnia Muhammad, Sigit Purnawan Jati Muhammad, Ismail Yusanto Muhammad, Prinsip-prinsip pemahaman Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta Selatan: Khairul Bayan, 2002), hlm 77
[8] Ibid, hal 112
[9] Ibid, hal 115
[10] Noe Ichwan, Memahami Bahasa AI- Qur’an (Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar, 2002), hal 300
[11] Ibid, hal 302

[13] Ibid, hal 303
[14] Ibid, hal 305
[15] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran ( Bandung, PT Mizan Pustaka,2007), hlm. 229
[16] Abdul Hamid Al hakim, Mubadi Auliyyah (Jakarta: Sa’diyah Putra) hlm 12
[17] Noe Ichwan, Memahami Bahasa AI- Qur’an (Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar, 2002) hlm 291
[18] Ibid, hlm 292
[19] Dr. Kadar M Yusuf, M. AG., Studi Al-Quran (Jakarta: PT Amzah, 2014), hlm 111

[20] Ibid, hlm 112
[21] Nizhan Abu, Buku Pintar Al-Qur’an, (Jakarta Selatan: Qultum Media) hlm. 41

Tidak ada komentar:

Posting Komentar