Fadlilatul
Ilmillah, Violita Syntiya Silwi
PAI D Semester III
Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim, Malang
Abstract: This article explain about methods
of tafsir. Method is a particular form of procedure for accomplishing or
approaching something. While tafsir is the human effort for understanding of
Al-Qur’an and explaining the purpose of Al-Qur’an. The function of tafsir is an
interpretation the Arabic word, usually of the Qur’an. An author of tafsir is
muffasir. In this case, the scholar’s classification about methods of tafsir into
four kinds, that is Tahlili, Ijmali, Muqaran, and Maudhu’i. Tahlili is
the analysis method, Ijmali is the global method, Muqaran is the
comparison method, and Maudhu’i is the thematic method. Every
methods of tafsir have the
characteristic, the shortage, and the surplus.
Keywords:
Tafsir, method, example
Pendahuluan
Studi mengenai metodologi masih terhitung baru
dalam khazanah intelektual umat islam. Metodologi tafsir dijadikan sebagai
objek kajian tersendiri jauh setelah tafsir berkembang pesat. Oleh karena itu
tidaklah mengherankan jika ia tertinggal jauh dari kajian tafsir itu sendiri.
Secara historis dalam menafsirkan al-Qur'an
telah digunakan satu atau lebih metode penafsiran. Pemilihan metode-metode
tersebut tergantung kepada kecenderungan dan sudut pandang para mufasir, dan
latar belakang keilmuan dan aspek-aspek lain yang melingkupinya. Dapat dengan
tegas dikatakan, bahwa metode-metode tafsir tertentu telah digunakan oleh para
penafsir secara aplikatif untuk kebutuhan penafsiran yang di maksud. Namun,
metode-metode tersebut tidak dosebutkan serta di bahas secara eksplisit.
Setelah ilmu pengetahuan islam berkembang secara pesat, barulah metode ini
mulai dikaji sehingga melahirkan metodologi tafsir.
Metodologi tafsir dapat diartikan sebagai
pengetahuan tentang cara yang dituju dalam menelaah, membahas serta merefleksikan
secara apresiatif kandungan al-Quran berdasarkan kerangka konseptual tertentu
sehinga dapat menghasilkan suatu karya tafsir yang bersifat representatif.
Metodoogi tafsir adalah alat dalam upaya menggali pesan-pesan yang
terkandung al-Qur'an. Hasil dari upaya keras dengan memakai alat yang dimaksud
dapat terwujud sebagai tafsir. Maka dari itu, kualitas dari setiap karya tafsir
sangat tergantung kepada metodologi penafsiran yang di gunakan dalam melahirkan
karya tafsir.
Kitab suci umat islam adalah sumber ajaran
islam yang menempati posisi sentral dan menjadi inspirator, serta lebih dari
empat belas abad menjadi pemandu gerakan-gerakan umat islam. Hal ini berarti
pemahaman terhadap al-Qur'an melalui penafsiran-penafsiran akan sangat
menentukan bagi kemajuan serta kemunduran umat. Maksutnya, sejauhmana
pesan-pesan tersebut dapat disampaikan serta diimplementasikan dalam kehidupan
yang praktis sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan. Dengan demikian,
metodologi dalam menafsikan al-Qur'at bukanlah suatu hal yang dapat dianggap
tidak penting. Pemahaman mengenai metodologi yang dimaksud harus di upayakan
secara berkelanjutan menuju penyempurnaannya.[1]
Macam-Macam Metode Tafsir
Para
ulama Al-Qur’an telah mengklasifikasikan metode tafsir menjadi empat macam, yaitu
Tahlili, Ijmali, Muqaran, dan Maudhu’i. Keempat metode ini dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1.
Metode Tahlili (Metode Analisis)
Metode Tahlili adalah metode untuk menafsirkan kandungan ayat-ayat
Al-Qur’an dari seluruh aspeknya.[2]
Seorang muffasir yang menggunakan metode ini menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
secara runtut dan berkesinambungan yakni ayat demi ayat dan suroh demi suroh
sesuai dengan urutan mushaf ‘Utsmani. Mulai dari suroh Al-Fatihah sampai
Surotun Naas. Penafsirannya menyangkut beberapa uraian antara lain pengertian
kosa kata (makna mufrodat), keindahan bahasa dan keserasian redaksi (balaghah
dan fashohah), keterkaitan makna antara ayat yang sedang ditafsirkan dengan
ayat sebelum maupun sesudahnya (munasabah al-Ayat) dan sebab-sebab
turunnya ayat (asbab al-Nuzul).[3]
Dalam pembahasannya, penafsir merujuk pada riwayat-riwayat yang
pernah diberikan Nabi Muhammad SAW, para sahabat, tabi’in, dan ulama-ulama
serta ungkapan-ungkapan Arab pra-Islam dan Kisah isra’iliyyat. Dikarenakan
pembahasannya cukup luas maka tidak menutup kemungkinan jika penanfsirannya terdapat
subjektivitas penafsir, baik aliran mazhab yang diyakininya maupun latar
belakang keilmuannnya. Sehingga, kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini
kebanyakan memiliki isi kitab yang sangat besar, dan berjilid-jilid (hampir
mencapai 30 jilid).[4]
Pada zaman dahulu para ulama kebanyakan menggunakan metode ini.
Beberapa ulama yang menerangkan secara panjang lebar (ithnab), seperti
Al-Alusy, Al-Fakhr Al-Razi, Al-Qurthuby, dan Ibn Jarir Al-Thabary. Ada juga
ulama yang mengemukakannya dengan singkat (ijaz), seperti Jalal al-Din
Al-Suyuthi, Jalal al-Din Al-Mahally, dan Al-Sayyid Muhammad Farid Wajdy. Sera
ada pula yang mengambil jalan tengah (musawah) yakni tidak ithnab dan
tidak ijaz, seperti Imam Al-Baydlawy, Syaikh Muhammad ‘Abduh,
Al-Naysabury, dan lain-lain. Oleh karena itu, gambaran penafsiran para ulama
tersebut berbeda walaupun sama-sama
menafsirkan al-Quran dengan metode Tahlili.[5]
Para Ulama membagi wujud tafsir Al-qur’an dengan metode Tahlili menjadi
tujuh macam sebagai berikut:
a.
Tafsir bil
al-Matsur
Merupakan
penafsiran ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain atau bahkan dengan
riwayat Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan juga tabi’in[6].
b.
Tafsir bi al-Ra’yi
Merupakan
penafsiran Al-Qur’an dengan berijtihad dan penalaran. Metode penafsiran ini
tidak hanya didasari oleh penalaran akal
tetapi bersifat lebih selektif terhadap riwayat. Ada dua aspek yang dibuat para
ulama sehubungan dengan metode ini yaitu intelektual dan moral. Dari segi
intelektualitas, penafsir diwajibkan memahami berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Mulai dari penguasaan bahasa Arab (gramatika dan satra), ilmu ushuluddin,
hukum, hadis, dan ulumul Qur’an yang lainnya. Dari segi akhlak, penafsir harus
mempunyai moral yang terpuji, jujur, ikhlas, loyal, bertanggung jawab, serta
terhindar dari pengaruh duniawi dan tidak fanatik terhadap mazhab tertentu.[7]
c.
Tafsir Shufy
Merupakan
metode penafsiran Al-Qur’an yang menitikberatkan pada persoalan batin daripada
masalah zahir atau nyata. Kebanyakan penafsir berasal dari kaum sufi.[8]
d.
Tafsir Fiqhy
Adalah metode
tafsir yang pembahasannya berdasarkan pada persoalan-persoalan hukum Islam.[9]
e.
Tafsir Falsafy
Yaitu tafsir
yang muncul setelah falsafat berkembang dalam Islam.[10]
f.
Tafsir ‘Ilmy
Yitu tafsir
yang berkembang setelah kemajuan peradaban Islam, berkaitan dengan ayat-ayat
kawniyyah dalam Al-Qur’an.[11]
g.
Tafsir Adaby
Adalah tafsir
yang berhubungan dengan perkembangan kebudayaan, dimana cenderung kepada
persoalan sosial kemasyarakatan dan mengutamakan keindahan gaya bahasa (nahwu,
balaghah, dll).[12]
2.
Metode Ijmali (Metode Global)
Metode Ijmali adalah metode yang menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara
global, mencakup semua secara ringkas, menggunakan bahasa yang umum, mudah
dimengerti, dan nikmat untuk dibaca.[13]
Sistematika penulisan metode ini dilakukan terhadap ayat-ayat
Al-Qur’an, ayat demi ayat dan suroh demi suroh, sesuai urutan mushaf ‘utsmani
dengan bahasa yang mudah dan dapat dipahami oleh orang yang berilmu (‘alim,
learned), orang bodoh (jahil, ignorant), dan orang
pertengahan (mutawasssith, intermediate).
Muffasir yang meggunakan metode ini menjelaskan ati ayat kepada
orang yang mecari ilmu dengan bahasa yang mudah sehinggga mereka dapat memahami
kandungan Al-Qur’an yaitu Nur dan Huda.[14]
Terkadang mufffasir melafadhkan ayat Al -Qur’an sehingga pembaca merasa uraiannya
tidak jauh dari konteks Al-Qur’an yang menunjukkan sebab turunnnya ayat,
peristiwa yang dapat menjelaskan arti ayat, disertakan juga hadis Rasulullah
dan hikmah-hikmahnya. Berikut beberapa kitab tafsir yang menggunakan metode
ijmali:
a.
Tafsir al-Jalalalyn,
karya Jalal al-Din Al-Suyuthi dan Jalaluddin al- Mahally
b.
Tafsir
Al-Qur’an al-‘Adhim, karya Ustadz Muhammad Faris Wajdy
c.
Shafwan
al-Bayan li Ma’any Al-Quran, karya Syaikh
Husanain Muhammad Makhlut
d.
Tafsir
Al-Qur’an, karya Ibn Abbas yang dihimpun oleh Al-Fayruz Abady.
e.
Al-Tafsir
al-Wasith, karya produk lembaga pengkajian Universitas Al-Azhar, Mesir karya
suatu Committe Ulama.
3.
Metode Muqaran (Metode Komparasi/Perbandingan)
Metode Muqaran adalah metode manafsirkan Al-Qur’an yang kajiannya
menekankan pada aspek perbandingan (komparasi) tafsir Al-Qur’an.[15]
Penafsiran menggunakan metode ini dengan cara mengambil sejumlah ayat
Al-Qur’an, mengemukakan pendapat kepada para ulama tafsir, baik mereka ulama salaf
maupun ulama hadis, kemudian dikaji, diteliti, dan membandingkan kecenderungan
para ulama tersebut, setelah itu mengambil kesimpulan dari hasil
perbandingannya.[16]
Sedangkan menurut Baidan, metode komparatif (muqaran) sebagai berikut:[17]
a.
Membandingkan
teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan
redaksi dalam dua kasus atau lebih; dan atau memiliki redaksi yang berbeda
tentang satu kasus yang sama
b.
Membandingkan
ayat Al-Qur’an dengan Hadis, yang sepintas terlihat bertentangan
c.
Membandingkan
pendapat berbagai ulama tafsir dalam menafsirkan suatu ayat.
Ruang lingkup dari setiap aspek itu berbeda-beda. Ada yang
berhubungan dengan kajian redaksi dan kaitannya dengan konotasi kata atau
kalimat yang dikandungnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh M. Quraish
Shihab tentang wilayah bahasan aspek pertama dan kedua:
“Dalam metode ini khususnya yang membandingkan antara ayat dengan
ayat [juga ayat dengan hadis]… biasanya mufasirnya menjelaskan hal-hal yang
berkaitab dengan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat atau
perbedaan kasus/masalah itu sendiri”.[18]
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kajian perbandingan
ayat dengan ayat tidak hanya terbatas pada analisis redaksional (mabahits
lafzhiyyah) saja, melainkan mencakup perbandingan antara makna dari
masing-masing ayat yang diperbandingkan.
Dalam membahas perbedaan itu, mufasir harus meninjau berbagai aspek
yang menyebabkan timbulnya perbedaan tersebut, seperti latar belakang turun
ayat tidak sama, pemakaian kata dan susunannya dalam ayat berlainan, konteks
masing-masing ayat, serta situasi dan kondidi umat ketika ayat turun, dan
lain-lain.
Mufassir dengan menggunakan metode muqaran diharapkan mampu
menganalisis pendapat-pendapat para ulama tafsir yang telah dikemukakan untuk
selanjutnya akan diambil sikap menerima peenafsiran yang dinilai benar dan
menolak penafsiran yang tidak dapat diterima oleh rationya serta menjelaskan
kepada para pembaca tentang alasan dari sikap yang diambilnya sehingga pembaca
merasa puas.
4.
Metode Maudhu’i
(Metode Tematik)
Metode Maudhu’i (tematik) yaitu metode yang membahas ayat-ayat
Al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Dengan
pengertian lain, metode maudhu’i adalah metode
yang menjelaskan ayat Al-Qur’an dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat
Al-Qur’an yang berbicara tentang sesuatu masalah /tema (mawdlu’)[19]
kemudian masing-masing ayat tersebut dikaji secara komprehensif, mendalam, dan
sampai tuntas semua aspeknya. Baik dari segi asbabun nuzulnya, munasabah, dan
apa yang dapat diistinbathkan segi i’rabnya, unsure-unsur balaghah,
dan lain sebagainya.
Menurut M. Quraish Shihab dalam tulisannya Tasfir Al-Qur’an Masa
Kini ada 8 langkah yang harus ditempuh untuk menggunakan metode maudhu’i:[20]
a.
Menetapkan
masalah/judul pembahasan
b.
Menghimpun/
menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah tersebut
c.
Menyususn
ayat-ayat tadi sesuai dengan masa turunnya dengan memisahkan perode Mekkah dan
Madinah
d.
Memahami
korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing
e.
Melengkapi
pembahasan dengan hadis-hadis yang menyangkut masalah tersebut
f.
Menyusun
pembahasan salah satu kerangka yang sempurna
g.
Studi tentang
ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang
mempunyai pengertian yang sama atau mengompromikan ‘am dan khos
(umum dan khusus), mutlak dan muqayyad (yang bersyarat dan yang
tanpa bersyarat) atau yang kelihatannya bertentangan, sehingga semuanya bertemu
dalam satu muara tanpa perbedaan atau pemaksaan dalam pemberian arti.
h.
Menyusun
kesimpulan-kesimpula yang menggambarkan jawaba Al-Qur’an terhadap masalah yang
dibahas tersebut.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh muffasir yang menggunakan
metode ini:[21]
a.
Hendaklah
menyadari bahwa dia (si muffasir) tidak bermaksud menefsirkan Al-Qur’an dalam
pengertian biasa; tugas utamanya adalah mencari dan menemukan hubungan ayat
antara ayat-ayat untuk mendapatkan kesimpulan sesuai dilalah ayat
tersebut.
b.
Penafsir harus
menyadari bahwa ia hanya memiliki satu tujuan, dimana tidak boleh menyimpang
dari tujuan tersebut. Semua aspek permasalahan harus digali dan dibahas secara
tuntas.
c.
Memahami bahwa
Al-Qur’an dalam menetapkan hukumnya secara berangsur-angsur. Dengan
memperhatikan sebab turunya suatu ayat, maka seorang penafsir akan terhindar
dari kekeliruan dibansing dengan melihat lafadznya saja.
d.
Hendaknya
mengikuti aturan-aturan (qoidah) dan langkah-langkah sesuai metode yang
digunakan.
e.
Syaikh Syaltut
memperingatkan bahwa seorang mufasir tidak boleh menolak ayat-ayat yang tidak
atau kurang sesuai dengan keinginannya, sebagaimana ia pun tidak boleh
mengabaikan Kalam Allah baik dalam isi ataupun susunannya.
Contoh
Masing-Masing Metode Tafsir
1.
Metode Tahlili
Para Ulama berkata: Penafsiran Al-Qur’an
yang paling baik adalah penafsiran sebagian ayat Al-Qur’an terhadap sebagian
ayat yang lai.
Siapa
al-Muttaqin (orang yang bertaqwa)[22]
ayat berikutnya (ayat 134) menafsirkan sebagai berikut:
2.
Metode Ijmali
Contoh tafsir ijmali dan dibandingkan dengan tafsir tahlili
(analitis)
Tafsir
ijmali: Dalam surotul Baqarah ayat 2, kalimat (ذلك الكتاب) ini memberi isyarat akan keagungan kitab suci
itu.
Tafsir Tahlili: menafsirkan (ذلك
الكتاب) bahwa al-Kitab ialah nama bagi sesuatu yang
tertulis dalam bentuk huruf-huruf dan angka-angka yang mengandung makna. Ynag
dimaksud disini ialah sebuah kitab yang sudah populer bagi Nabi SAW, yang Allah
telah berjanji (memberikan) kepada Nabi untuk mendukung (kebenaran)
risalahnya. Dan Allah menjamin dengan
berpegang teguh kepadanya, maka pencari kebenaran akan mendapatkan petunjuk dan
bimbingan demi mencapai cita-cita mereka di dunia dan akhirat.
3.
Metode Muqaran
a.
Menghimpun redaksi yang mirip
b.
Perbandingan redaksi yang mirip
Jika dibandingkan, kedua ayat diatas terlihat jelas
redaksinya mirip. Namun di dalam kemiripan itu terdapat perbedaan kecil dari
susunan kalimatnya. Misalnya, pada ayat pertama terdapat lafal (لَكُمْ) sesudah lafal (بُشْرَى) ;
sementara pada ayat kedua tidak dijumpai lafal (لَكُمْ)
c.
Analisis redaksi yang mirip
Dilihat dari sudut historis turunnya ayat, ternyata ayat
yang pertama (Surotu Ali Imron ayat 126) diturunkan berkenaan perang Uhud;
sedangkan ayat kedua (Surotul Anfal ayat 10) mengenai prang Badar. Adapun
ditempatkan kalimat (لَكُمْ)
di dalam redaksi pertama sesuai hasil yang
dicapai dalam perang Uhud, dimana para pengikut Nabi SAW akhirnya kalah dalam
perang dan jumlah personil yang gugr sebagi syuhada lebih besar dibanding kaum
kafir yang terbunuh, bahkan Nabi sendiri nyaris terbunuh. Meskipun begitu, umat
Islam secara umum masih boleh bergembira karena Nabi tak jadi terbunuh dan para
sahabat terkemuka seperti Abu Bakar, Usman, Ali, dll masih hidup untuk
melanjutkan perjuangan. Oleh karena itu, jangan ada anggapan negatif terhadap
Allah bahwa batuan yang dikirim-Nya itu memberikan kegembiraan terhadap orang
kafir dengan kemenangan yang mereka peroleh, maka Allah sengaja menempatkan
kalimat (لَكُمْ) tersebut secara eksplisit di dalam ayat itu.
Dengan demikian jelaslah bahwa kegembiraan tetap berada di pihak umat Islam
bukan untuk orang-orang kafir. Sebalinya, dalam ayat kedua tak perlu
mencantumkan kalimat (لَكُمْ)
secara eksplisit, karena bantuan Allah sudah
jelas berada di pihak umat Islam.
4. Metode Maudhu’i
Misalnya berkenaan dengan penciptaan “Manusia Pertama”
Dalam ayat-ayat itu jelas
terlihat bahwa Allah menciptakan manusia tidak sekaligus, melainkan secara
berevolusi (bertahap), mulai dari saripati tanah, nuthfah, darah, daging,
akhirnya menjadi manusia yang utuh secara fisik, setelah itu baru ditiupkan ruh.
Kesimpulan ini didukung oleh firman Allah ayat di dalam surotun Nuh ayat 14:
Kekurangan dan Kelebihan Masing-Masing Metode
1. Metode Ijmali
a.
Kelebihan Metode Ijmali
1)
Praktis dan mudah dipahami
Tafsir dengan menggunakan metode ini lebih praktis serta mudah
di mengerti. Tidak berbelit-belit, pembaca dapat dengan mudah menyerap
pemahaman dalam al-Qur'an. Metode penafsiran ijmali lebih cocok digunakan para
pemula seperti siswa SLTA ke bawah, atau oarang yang baru belajar tafsir
al-Qur'an dan yang setara dengan mereka. Metode ini juga disarakan bagi mereka
yang ingin memperoleh pemahaman ayat-ayat al-Qur'an dalam waktu yang relatif
sinkat, tafsir dengan metode ijmali akan banyak membantu mereka daripada tafsir
tahlili.
Dengan kondisi yang demikian, rasanya pantas bila tafsir
dengan metode ijmali lebih disukai oleh umat dari berbagai kalangan.
2)
Bebas dari
penafsiran Israiliyyat
Tafsir ijmali relatif lebih murni serta terbebas dari
pemikiran israiliat dikarenakan singkatnya penafsiran yang diberikan. Itu berarti,
pemahaman al-Qur'an akan dijaga dari pemikiran pemikiran israiliat yang
terkadang tidak sependapat dengan martabat alQur'an sebagai Kalam Allah Yang
Maha Suci. Selain membendung dari pemikiran israiliat, dengan metode ini juga
dapat membendung pemikiran-pemikiran yang terkadang terlalau jauh dari
pemahaman ayat-ayat al-Qur'an seperti pemikiran-pemikiran spekulatif yang
dikembangkan oleh para teolog, sufi, dll.
Berbeda dengan tafsir yang menggunakan tiga metode yang
lain. Di dalam metode yang lain tersebut, para mufasir mempunyai peluang yang
sanat luas untuk dapat memasukkan berbagai pemdapat serta pemikiran ke dalam
penafsiran ayat-ayat al-Qur'an, sehingga terkadang penafsiran yang diberikan
terasa sangat jauh dari pemahaman ayat tersebut.
3)
Akrab dengan
bahasa Al-Qur’an
Pembaca tidak merasakan bahwa ia telah membaca
kitab tafsir, karena uraian yang dimuat di dalam tafsir ijmali merasa amat singkat
dan padat. Pada dasarnya metode ijmali ini menggunakan bahasa yang singkat dan
akrab dengan bahasa kitab suci tersebut. Kondisi seperti ini tidak akan ditemukan pada tafsir dengan menggunakan
metode yang lain. Di dalam metode tafsir ijmali, mufassir dengan jelas langsung menjelaskan
pengertian kata atau ayat beserta persamaannya dan tidak mengemukakan ide-ide
atau pendapatnya secara personal.[23]
b.
Kekuranga
Metode Ijmali
1)
Menjadikan
petunjuk Al-Qur’an brsifat parsial
Al-Quran merupakan kesatuan yang utuh, sehingga satu ayat
dengan ayat yang lainnya membentuk satu pengertian yang utuh atau tidak
terpecah-pecah. Artinya, sesuatu yang bersifat umum atau samar-samar di dalam suatu ayat maka
pada ayat yang lain ada penjelasan yang lebih terinci. Dengan menggabungkan kedua Ayat tersebut, dapat diperoleh
suatu pemahaman yang utuh serta dapat terhindar dari kesalahan. Sebagai contoh,
perhatikan al-Qur'an surat
ar-Ra'du ayat 11 dan surat al-Anfal ayat 53 sebagai berikut :
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ
يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ
اللَّهِ ۗ إِنَّ
اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ
يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا
فَلَا مَرَدَّ لَهُ ۚ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ
مِنْ وَالٍ
Surat al-Anfal ayat 53
ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ
يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَىٰ قَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا
بِأَنْفُسِهِمْ ۙ وَأَنَّ
اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
kedua penafsiran yang diberikan tersebut tampak
tidak berhubungan. Di dalam ayat yang
pertama Ia (al-Suyuthi) menafsirkan حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ itu dengan: "mengubah sifat-sifat
yang baik dengan perbuatan maksiat" lain halnya pada ayat yang kedua
untuk mengungkapkan hal yang sama dia memberikan penafsiran yang berbeda
seperti dikatakannya: "mengganti nikmat itu dengan kufur". Jadi, dapat disimpan atau di dapat diambil pemahaman bahwa penafsiran yang pertama
bersifat abstrak dan yang kedua bersifat konkret.
berdasarkan hal tersebut
dapat diketahui bahwa terjadinya perbedaan dapat bermula dari orang
diperhatikannya hubungan antara satu ayat dengan ayat ayat yang lain di dalam
al-Qur'an, padahal ayat-ayat al-Qur'an tersebut adalah satu kesatuan yang utuh.
Maka berdasarkan kondisi ayat-ayat Alquran yang
demikian Ibnu Taimiyah mengakui adanya saling melengkapi antara satu ayat
dengan ayat yang lain. Jadi jika ingin dapat memahami Alquran secara
utuh dan keseluruhan maka metode ijmali kurang dapat membantu.
2)
Pada ruangan untuk
mengemukakan analisis yang memadai
Jika
menginginkan adanya analisis yang rinci maka metode ijmali tidak bisa menjadi sandaran karena jika mufasir memakai
metode ijmali tidak sediakan ruangan untuk memberikan pembahasan
atau uraian yang jelas serta berkenaan dengan pemahaman suatu ayat
seperti terlihat di dalam contoh yang dikutip di atas. Hal ini dapat menjadi pertimbangan oleh mufassir yang akan memakai
metode ijmali ini. Namun ,tidak berarti
kelemahan dari metode ini bersifat negatif kondisi semacam itu juga memberikan
dampak positif sebagai ciri dari tafsir yang menggunakan metode ijmali ini
sebagaimana yang telah disebutkan. Atau lebih jelasnya, jika seorang mufassir
tidak mengikuti pola yang demikian lalu dia menguraikan tafsirannya secara luas
maka dapat dikatakan dia telah keluar dari metode-metode ijmali dan masuk ke
metode analitis atau metode yang lainnya.
Para mufassir harus menyadari bahwa memang tidak ada
ruangan bagi mereka untuk mengemukakan pembahasan-pembahasan yang memadai
sesuai dengan keahlian mereka masing-masing jika mereka menerapkan metode
ijmali. Jika mufassir ingin supaya ada ruangan
untuk mengemukakan pembahasan mereka, maka mereka bisa menggunakan metode yang lain.[24]
2.
Metode Tahlili
a.
Kelebihan
Metode Tahlili
1)
Ruang Lingkup
Luas
Metode tahlili memiliki ruang lingkup yang sangat luas.
Metode ini dapat digunakan oleh mufasir dalam dua bentuk yakni ma'tsur dan
ra'y. Bentuk al-ra'y dapat di kembangkan dalam berbagai macam penafsiran sesuai
dengan keahlian masing-masing mufasir. Misalnya, ahli bahasa mendapat peluang
yang luas untuk penafsirkan al-Qur'an dari pemahaman kebahasaan, seperti Tafsir
al-Nasafi karangan Abu al-Su'ud. Mereka yang suka dengan hal yang berhubungan dengan
sains dan tekhnologi dapat menafsirkan al-Qur'an dari sudut teori-teori ilmiah
atau sains seperti Kitab TafsirnAl-Jawahir karangan al-Thanthawir.
Itulah merupakan kelebihan yang mungkin tidak dijumpai
pada metode lain diluar metode tahlili ini. Metode ini dapat menampung berbagai
ide serta gagasan dalam upaya menafsirkan al-Quran.
2)
Menuat berbagai
Ide
Telah dijelaskan di atas bahwa tafsir dengan metode ini
relatif memberikan kesempatan yang luas kpada mufasir untuk mengemukakan ide
serta gagasan mereka dalam menafsirkan al-Qur'an. Artinya, pola penafsiran yang
dianut metode ini dapat menampung berbagai ide yang terpendam di dalam benak
mufasir, bahkan ide yang ekstrem serta jahat pun dapat di tampungnya. Melihat
latar belakang tersebut, maka lahirlah berbagai kitab tafsir yang
berjilid-jilid seperti Kitab Tafsir al-Thabari (15jilid), Tafsir Ruh al-Ma'ani
(16jilid), dll.
Jadi, di dalam tafsir tahlili ini mufasir relatif
memiliki kebebasan dalam memajukan ide-ide serta gagasan-gagasan baru dalam hal
penafsiran al-Qur'an daripada tafsir dengan menggunakan metode ijmali.
Kemungkinan kondisi seperti inilah yang membuat tafsir tahlili dapat berkembang
lebih pesat.[25]
b.
Kekurangan
Metode Tahlili
1)
Menjadikan petunjuka al-Qur'an parsial
Seperti halnya metode ijmali, metode tahlili jug dapat
membuat pentunjuk al-Qur'an bersifat parsial atau terpecah-pecah, sehingga
terasa seakan-akan al-Qur'an memberikan pedoman secara tidak konsisten dan
tidak utuh karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari
penafsiran yang berikan pada ayat yang lain yang secara kontekstual sama.
Perbedaan tersebut terjadi karena kurang diperhatikannya ayat-ayat lain yang
mirip atau sama. Keengganan mufasir untuk memerhatikan ayat lain boleh di
katakan salah satu konsekuensi logis dari penafsiran yang menggunakan metode
tahlili, karena di dalam metode ini memang tidak ada keharusan bagi mufasir
untuk membandingkan penafsiran suatu ayat dengan ayat yang lain.
2)
Melahiran penafsiran subjektif
Metode tahlili memberikan peluang yang sangat luas kepada
mufasir untuk mencurahkan ide-ide dan pemikirannya. Sehingga, terkadang mufasir
tidak sadar bahwa dia menafsirkan al-Qur'an secara subjektif dan tidak di
pungkiri pula ada di antara mereka yang menafsirkan al-Qur'an sesuai dengan
kemauan hawa nafsunya tanpa memerdulikan kaidah-kaidah serta norma-norma yang
berlaku. Hal itu di mungkinkan karena metode tahlili membebaskan untuk hal
demikian.
Sikap subjektif awalnya timbul dari fanatisme mazhab yang
terlalu mendalam. Karena telah dirasuki oleh sikap ashabiyah semacam itu maka
mereka tidak peduli tentang salah atau benar penafsiran yang mereka berikan,
karena yang terpenting bagi mereka mencari legitimasi kepada al-Qur'an untuk
membenarkan pemikiran dan tindakan, sekaligus untuk meyakinkan para pengikut
mereka bahwa ajaran yang mereka kembangkan adalah benar. Kondisi yang seperti
ini membuat metode tahlili terasa kurang representatif bila dilihat dari sudut
objektifitas dan signifikansi keilmuan.
3)
Masuk pemikiran israiliat
Dikarenakan metode tahlili membebaskan mufasir dalam
mengemukakan pendapat tafsirannya, maka berbagai pemikiran dapat masuk ke
dalamnya, termasuk pemikiran israilat. Awalnya, kisah-kisah israilat tidak
menimbulkan persoalan, selama tidak dikaitkan dengan pemahaman al-Qur'an.
Tetapi bila di sangkutkan dengan pemahaman kitab suci, timbul masalah karena
akan terbentuk opini bahwa apa yang dikisahkan di dalam kisah tersebut
merupakan maksud dari firman Allah, atau di pertegas itu adalah perintah Allah,
padahal belum tentu cocok dengan yang di maksudkan Allah di dalam firman-Nya
tersebut.[26]
3.
Metode Muqaran
a. Kelebihan Metode Muqaran
1)
Metode muqaran memberikan wawasan penafsiran yang
relatif lebih luas kepada para pembaca. Di dalam penafsiran tersebut dapat
terlihat bahwa satu ayat al-Quran dapat di tinjau dari berbagai disiplin ilmu
pengetahuan sesuai dengan keahlian mufasirnya. Dengan demikian, al-Quran tidak
terasa sempit, melainkan sangat luas dan dapat menampung berbagai ide dan
gagasan. Semua tafsiran atau pendapat yang di berikan itu dapat diterima selama
proses penafsirannya melalui kaidah yang baik dan benar.
2)
Bersikap toleran terhadap pendapat orang lain
yang terkadang berbeda dari pendapat kita dan tidak menutup kemungkinan ada
yang kontradiktif. Dengan demikian, fanatisme pada aliran atau mazhab tertentu
dapat terkurangi sehingga umat, terutama mereka yang membaca tafsir muqaran
terhindar dari sikap ekstrimistis yang dapat merusak persatuan dan kesatuan
umat. Hal tersebut dimungkinkan karena penafsiran tersebut memberikan banyak
pilihan.
3)
Tafsir dengan metode muqaran sangat membantu bagi
mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat. Maka dari
itu, penafsiran seperti ini cocok untuk mereka yang ingin memperluas dan
mendalami penafsiran al-Qur'an dan bukan untuk para pemula.
4)
Dengan menggunakan metode muqaran, maka mufasir
didorong untuk mengkaji berbagai ayat serta hadist dan pendapat para musafir
yang lain. Dengan demikian, dapat membuat lebih berhati-hati dalam proses
penafsiran satu ayat. Maka penafsiran yang diberikannya relatif lebih terjamin
kebenarannya dan lebih dapat dipercaya.[27]
b.
Kekurangan
Metode Muqaran
1)
Penafsiran yang menggunakan metode muqaran tidak
dapat digunakan oleh para pemula karena pembahasan yang di sampaikan didalamnya
terlalu luas dan terkadang bisa ekstrem.
2)
Metode muqaran kurang dapat diandalkan untuk
menjawab permasalahan sosial yang hadir di tengah masyarakat karena metode ini
mengutamakan perbandingan darpada pemecahan masalah.
3)
Metode muqaran terkesan lebih banyak menelusuri
penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama dibanding mengemukakan
penafsiran-penafsiran baru. Sebenarnya kesan seperti itu tidak timbul jika
mufasirnya kreatif. Mufasir tidak hanya sekadar mengemukakan
penafsiran-penafsiran orang lain, tetapi harus menghubungka dengan kondisi yang
di hadapinya. Dengan demikian, mufasir dapat menghasilkan sintesi-sintesis baru
yang belum ada sebelumnya.[28]
4.
Metode Maudhu’i
a.
Kelebihan
Metode Maudhu’i
1)
Menjawab tantangan zaman
Permasalahan dalam
kehidupan selau tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan.
Semakin modern kehidupan maka masalah yang dihadapi pun semakin rumit dan
kompleks, dan memiliki dampak yang luas. Hal itu dapat terjadi karena apa yang
terjadi pada suatu tempat dan pada saat yang bersamaan, dapat disaksikan oleh
orang lain ditempat lain pula, bahkan kini peristiwa yang terjadi di luar
angkasa pun dapat di pantau dari bumi. Kondisi seperti inilah yang membuat
suatu permasalahan segera tersebar luas ke seluruh masyarakat dalam waktu yang
relatif singkat.
Untuk menanggapi
permasalahan yang serupa, dilihat dari sudut tafsir al-Qur'an, tidak dapat di
tangani dengan metode-metode penafsiran selain maudhu'i. Karena ranah kajian
metode maudhu'i di tujukan untuk menyelesaikan masalah. Itulah sebabnya metode
maudhu'i mengkaji seluruh ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan kasus yang
sedang di bahas secara tuntas dari berbagai aspeknya. Pola serupa itu tidak di
pakai pada tiga metode lainnya.
2)
Praktis dan dinamis
Tafsir dengan metode maudhu'i disusun secara sistematis
dan praktis dalam memecahkan permasalahan yang timbul. Kondisi seperti ini
sangat cocok dengan kehidupan umat yang semakin modern dengan mobilitas yang
tinggi sehingga meeka seakan-akan tak punya waktu untuk membaca kitab-kitab
tafsir yang besar, padahal seharusnya untuk mendapatkan petunjuk al-Qur'an
mereka harus membacanya.
3)
Dinamis
Metode maudhu'i membuat tafsir al-Qur'an selalu dinamis
sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan gambaran di benak pembaca dan
pendengarnya bahwa al-Qur'an senantiasa membimbing dan mengayomi kehidupan pada
semua lapisan dan strata sosial. Dengan demikian, sangat terasa bahwa al-Qur'an
selalu aktual, mengikuti perkembangan zaman. Maka, dengan tumbuhnya kondisi
semacam itu umat akan tertarik mengamalkan ajaran-ajaran al-Qur'an karena
mereka merasakan al-Qur'an benar-benar dapat membimbing mereka ke jalan yang
lurus.
4)
Membuat pemahaman menjadi utuh
Dengan ditetapkan judul-judul yang akan dibahas, maka
pemahaman mengenai ayat al-Qur'an dapat di olah secara utuh. Pemahaman seperti
ini sulit di temui dalam ketiga metode tafsir di atas. Oleh sebab itu metode
maudhu'i ini dapat diandalkan utnuk pemecahan permasalahan secara lebih baik
dan tuntas.[29]
b.
Kekurangan
Metode Maudhu’i
1)
Memenggal ayat al-Qur'an
Menggal ayat al-Qur'an
yang di maksut adalah mengambil satu kasus yang terdapat di dalam satu ayat
atau lebih yang mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Cara serupa ini
terkadang di anggap kurang sopan terhadap ayat-ayat suci sebagaimana seperti
anggapan kaum tekstualis. Namun, selama tidak merusak pemahaman cara tersebut
tak perlu dipermasalahkan. Ditambah lagi para ulama dulu sering melakukan
pemenggalan ayat-ayat al-Qur'an sesuai dengan keperluan kajian yang sedang
mereka bahas.
2) Membatasi pemahaman ayat
Dengan adanya judul penafsiran,
maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang sedang di
bahas. Akibatnya, para mufasir menjadi terikat akan judul tersebut. Padahal
dimungkinkan satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek. Jadi, dengan
adanya judul pembahasan, berarti hanya dapat mengkaji dari satu sudut. Dengan
demikian, dapat menimbulkan perspektif kurang luas pemahamannya. Kondisi
seperti ini memang konsekuensi logis dari metode maudhu'i. Namun hal tersebut
tidak perlu dirisaukan karena tidak akan mengurangi pesan-pesan al-Qur'an.[30]
Kesimpulan
Setelah memaparkan penjelasan tentang metode tafsir, kami
dapat menyimpulkan bahwa para ulama telah mengklasifikasikan metode tafsir
menjadi 4 macam, yaitu: Tahlili, Ijmali, Muqaran, dan Maudhu’i. Dimana
antara satu metode dengan metode yang lain memiliki karakteristik berbeda,
memiliki kelebihan, dan kekurangan masing-masing. Akan tetapi fungsi metode itu
sama untuk mempermudah seseorang mempelajari, mengkaji, dan menafsirkan ayat
Al-Qur’an untuk kemudian diamalkan dlam kehidupan sehari-hari.
Daftar Rujukan
Al-Aridl, Ali Hasan. 1994. Sejarah dan
Metodologi Tafsir. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Baidan, Nashruddin. 2005.
Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baidan, Nashruddin. 2005. Metodologi
Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hermawan, Acep. 2011. ‘Ulumul Quran Ilmu untuk
Memahami Wahyu. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
H. Muhammad, Su’aib. 2013. Tafsir Tematik
Konsep, Alat Bantu, dan Contoh Penerapannya. Malang: UIN-MALIKI Press
(Anggota IKAPI).
Suryadilaga, M. Alfatih,
dkk.2005. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Penerbit Teras.
Syafe’i, Rachmat. 2006. Pengantar
Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia.
Revisi:
1.
Tidak
ditemukan indikasi copy-paste.
2.
Penulisan
rujukan yang telah ditulis sebelumnya tidak ditulis semuanya, hanya ditulis nama penulis, judul buku (tiga
kata), halaman.
Makalah ini cukup bagus. Selamat!!!!
[2] M. Alfatih
Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Penerbit TERAS,
2005), hlm 42
[3] Ibid
[4] Acep Hermawan, Ulumul
Qur’an Ilmu untuk Memahami Wahyu, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011),
hlm 117
[5] Ali Hasan
Al-‘Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Cet. II (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1994), hlm 42
[6] Sebagian ulama
menggolongkan qoul tabi’in ini sebagai bagian dari riwayat, sedangkan
yang lainnya mengkategorikannya kepada al-ra’y saja.
[7] M. Alfatih
Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Penerbit TERAS,
2005), hlm 44
[8] Ibid, hlm 44
[9] Ibid
[10] Ibid, hlm 45
[11] Ibid
[12] Ali Hasan
Al-‘Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Cet. II (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1994), hlm 68
[13] Nasruddin
Baidan, Metodologi Peanafsiran Al-Qur’an, Cet. III (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), hlm 13
[14] Ali Hasan
Al-‘Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Cet. II (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1994), hlm 73
[15] M. Alfatih
Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Penerbit TERAS,
2005), hlm 46
[16] Acep Hermawan, Ulumul
Qur’an Ilmu untuk Memahami Wahyu, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011),
hlm 118
[17] Ibid
[18] Nasruddin
Baidan, Metodologi Peanafsiran Al-Qur’an, Cet. III (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), hlm 66
[19] Ali Hasan
Al-‘Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Cet. II (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1994), hlm 78
[20] Rachmat
Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm 295
[22]
Al-Qur’an, Surotu Ali Imrom ayat 133
[23] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur'an, Cet.3,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), 22-24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar