Jumat, 07 Oktober 2016

Metode-Metode Tafsir (PAI D Semester III)




METODE-METODE TAFSIR

Fadlilatul Ilmillah, Violita Syntiya Silwi
PAI D Semester III
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang

Abstract: This article explain about methods of tafsir. Method is a particular form of procedure for accomplishing or approaching something. While tafsir is the human effort for understanding of Al-Qur’an and explaining the purpose of Al-Qur’an. The function of tafsir is an interpretation the Arabic word, usually of the Qur’an. An author of tafsir is muffasir. In this case, the scholar’s classification about methods of tafsir into four kinds, that is Tahlili, Ijmali, Muqaran, and Maudhu’i. Tahlili is the analysis method, Ijmali is the global method, Muqaran is the comparison method, and Maudhu’i is the thematic method. Every methods of tafsir have the  characteristic, the shortage, and the surplus.

Keywords: Tafsir, method, example

Pendahuluan
Studi mengenai metodologi masih terhitung baru dalam khazanah intelektual umat islam. Metodologi tafsir dijadikan sebagai objek kajian tersendiri jauh setelah tafsir berkembang pesat. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika ia tertinggal jauh dari kajian tafsir itu sendiri.
Secara historis dalam menafsirkan al-Qur'an telah digunakan satu atau lebih metode penafsiran. Pemilihan metode-metode tersebut tergantung kepada kecenderungan dan sudut pandang para mufasir, dan latar belakang keilmuan dan aspek-aspek lain yang melingkupinya. Dapat dengan tegas dikatakan, bahwa metode-metode tafsir tertentu telah digunakan oleh para penafsir secara aplikatif untuk kebutuhan penafsiran yang di maksud. Namun, metode-metode tersebut tidak dosebutkan serta di bahas secara eksplisit. Setelah ilmu pengetahuan islam berkembang secara pesat, barulah metode ini mulai dikaji sehingga melahirkan metodologi tafsir.
Metodologi tafsir dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang cara yang dituju dalam menelaah, membahas serta merefleksikan secara apresiatif kandungan al-Quran berdasarkan kerangka konseptual tertentu sehinga dapat menghasilkan suatu karya tafsir yang bersifat representatif. Metodoogi tafsir adalah alat dalam upaya menggali pesan-pesan yang terkandung al-Qur'an. Hasil dari upaya keras dengan memakai alat yang dimaksud dapat terwujud sebagai tafsir. Maka dari itu, kualitas dari setiap karya tafsir sangat tergantung kepada metodologi penafsiran yang di gunakan dalam melahirkan karya tafsir.
Kitab suci umat islam adalah sumber ajaran islam yang menempati posisi sentral dan menjadi inspirator, serta lebih dari empat belas abad menjadi pemandu gerakan-gerakan umat islam. Hal ini berarti pemahaman terhadap al-Qur'an melalui penafsiran-penafsiran akan sangat menentukan bagi kemajuan serta kemunduran umat. Maksutnya, sejauhmana pesan-pesan tersebut dapat disampaikan serta diimplementasikan dalam kehidupan yang praktis sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan. Dengan demikian, metodologi dalam menafsikan al-Qur'at bukanlah suatu hal yang dapat dianggap tidak penting. Pemahaman mengenai metodologi yang dimaksud harus di upayakan secara berkelanjutan menuju penyempurnaannya.[1]

Macam-Macam Metode Tafsir
            Para ulama Al-Qur’an telah mengklasifikasikan metode tafsir menjadi empat macam, yaitu Tahlili, Ijmali, Muqaran, dan Maudhu’i. Keempat metode ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Metode Tahlili (Metode Analisis)
Metode Tahlili adalah metode untuk menafsirkan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari seluruh aspeknya.[2] Seorang muffasir yang menggunakan metode ini menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara runtut dan berkesinambungan yakni ayat demi ayat dan suroh demi suroh sesuai dengan urutan mushaf ‘Utsmani. Mulai dari suroh Al-Fatihah sampai Surotun Naas. Penafsirannya menyangkut beberapa uraian antara lain pengertian kosa kata (makna mufrodat), keindahan bahasa dan keserasian redaksi (balaghah dan fashohah), keterkaitan makna antara ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat sebelum maupun sesudahnya (munasabah al-Ayat) dan sebab-sebab turunnya ayat (asbab al-Nuzul).[3]
Dalam pembahasannya, penafsir merujuk pada riwayat-riwayat yang pernah diberikan Nabi Muhammad SAW, para sahabat, tabi’in, dan ulama-ulama serta ungkapan-ungkapan Arab pra-Islam dan Kisah isra’iliyyat. Dikarenakan pembahasannya cukup luas maka tidak menutup kemungkinan jika penanfsirannya terdapat subjektivitas penafsir, baik aliran mazhab yang diyakininya maupun latar belakang keilmuannnya. Sehingga, kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini kebanyakan memiliki isi kitab yang sangat besar, dan berjilid-jilid (hampir mencapai 30 jilid).[4]
Pada zaman dahulu para ulama kebanyakan menggunakan metode ini. Beberapa ulama yang menerangkan secara panjang lebar (ithnab), seperti Al-Alusy, Al-Fakhr Al-Razi, Al-Qurthuby, dan Ibn Jarir Al-Thabary. Ada juga ulama yang mengemukakannya dengan singkat (ijaz), seperti Jalal al-Din Al-Suyuthi, Jalal al-Din Al-Mahally, dan Al-Sayyid Muhammad Farid Wajdy. Sera ada pula yang mengambil jalan tengah (musawah) yakni tidak ithnab dan tidak ijaz, seperti Imam Al-Baydlawy, Syaikh Muhammad ‘Abduh, Al-Naysabury, dan lain-lain. Oleh karena itu, gambaran penafsiran para ulama tersebut berbeda  walaupun sama-sama menafsirkan al-Quran dengan metode Tahlili.[5]
Para Ulama membagi wujud tafsir Al-qur’an dengan metode Tahlili menjadi tujuh macam sebagai berikut:
a.       Tafsir bil al-Matsur
Merupakan penafsiran ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain atau bahkan dengan riwayat Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan juga tabi’in[6].
b.      Tafsir bi al-Ra’yi
Merupakan penafsiran Al-Qur’an dengan berijtihad dan penalaran. Metode penafsiran ini tidak hanya didasari oleh  penalaran akal tetapi bersifat lebih selektif terhadap riwayat. Ada dua aspek yang dibuat para ulama sehubungan dengan metode ini yaitu intelektual dan moral. Dari segi intelektualitas, penafsir diwajibkan memahami berbagai cabang ilmu pengetahuan. Mulai dari penguasaan bahasa Arab (gramatika dan satra), ilmu ushuluddin, hukum, hadis, dan ulumul Qur’an yang lainnya. Dari segi akhlak, penafsir harus mempunyai moral yang terpuji, jujur, ikhlas, loyal, bertanggung jawab, serta terhindar dari pengaruh duniawi dan tidak fanatik terhadap mazhab tertentu.[7]
c.       Tafsir Shufy
Merupakan metode penafsiran Al-Qur’an yang menitikberatkan pada persoalan batin daripada masalah zahir atau nyata. Kebanyakan penafsir berasal dari kaum sufi.[8]
d.      Tafsir Fiqhy
Adalah metode tafsir yang pembahasannya berdasarkan pada persoalan-persoalan hukum Islam.[9]
e.       Tafsir Falsafy
Yaitu tafsir yang muncul setelah falsafat berkembang dalam Islam.[10]
f.       Tafsir ‘Ilmy
Yitu tafsir yang berkembang setelah kemajuan peradaban Islam, berkaitan dengan ayat-ayat kawniyyah dalam Al-Qur’an.[11]
g.      Tafsir Adaby
Adalah tafsir yang berhubungan dengan perkembangan kebudayaan, dimana cenderung kepada persoalan sosial kemasyarakatan dan mengutamakan keindahan gaya bahasa (nahwu, balaghah, dll).[12]
2.      Metode Ijmali (Metode Global)
Metode Ijmali adalah metode yang menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara global, mencakup semua secara ringkas, menggunakan bahasa yang umum, mudah dimengerti, dan nikmat untuk dibaca.[13]
Sistematika penulisan metode ini dilakukan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, ayat demi ayat dan suroh demi suroh, sesuai urutan mushaf ‘utsmani dengan bahasa yang mudah dan dapat dipahami oleh orang yang berilmu (‘alim, learned), orang bodoh (jahil, ignorant), dan orang pertengahan (mutawasssith, intermediate).
Muffasir yang meggunakan metode ini menjelaskan ati ayat kepada orang yang mecari ilmu dengan bahasa yang mudah sehinggga mereka dapat memahami kandungan Al-Qur’an yaitu Nur dan Huda.[14] Terkadang mufffasir melafadhkan ayat Al -Qur’an sehingga pembaca merasa uraiannya tidak jauh dari konteks Al-Qur’an yang menunjukkan sebab turunnnya ayat, peristiwa yang dapat menjelaskan arti ayat, disertakan juga hadis Rasulullah dan hikmah-hikmahnya. Berikut beberapa kitab tafsir yang menggunakan metode ijmali:
a.       Tafsir al-Jalalalyn, karya Jalal al-Din Al-Suyuthi dan Jalaluddin al- Mahally
b.      Tafsir Al-Qur’an al-‘Adhim, karya Ustadz Muhammad Faris Wajdy
c.       Shafwan al-Bayan li Ma’any Al-Quran, karya Syaikh Husanain Muhammad Makhlut
d.      Tafsir Al-Qur’an, karya Ibn Abbas yang dihimpun oleh Al-Fayruz Abady.
e.       Al-Tafsir al-Wasith, karya produk lembaga pengkajian Universitas Al-Azhar, Mesir karya suatu Committe Ulama.
3.      Metode Muqaran (Metode Komparasi/Perbandingan)
Metode Muqaran adalah metode manafsirkan Al-Qur’an yang kajiannya menekankan pada aspek perbandingan (komparasi) tafsir Al-Qur’an.[15] Penafsiran menggunakan metode ini dengan cara mengambil sejumlah ayat Al-Qur’an, mengemukakan pendapat kepada para ulama tafsir, baik mereka ulama salaf maupun ulama hadis, kemudian dikaji, diteliti, dan membandingkan kecenderungan para ulama tersebut, setelah itu mengambil kesimpulan dari hasil perbandingannya.[16] Sedangkan menurut Baidan, metode komparatif (muqaran) sebagai berikut:[17]
a.       Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih; dan atau memiliki redaksi yang berbeda tentang satu kasus yang sama
b.      Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadis, yang sepintas terlihat bertentangan
c.       Membandingkan pendapat berbagai ulama tafsir dalam menafsirkan suatu ayat.
Ruang lingkup dari setiap aspek itu berbeda-beda. Ada yang berhubungan dengan kajian redaksi dan kaitannya dengan konotasi kata atau kalimat yang dikandungnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh M. Quraish Shihab tentang wilayah bahasan aspek pertama dan kedua:
“Dalam metode ini khususnya yang membandingkan antara ayat dengan ayat [juga ayat dengan hadis]… biasanya mufasirnya menjelaskan hal-hal yang berkaitab dengan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat atau perbedaan kasus/masalah itu sendiri”.[18]
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kajian perbandingan ayat dengan ayat tidak hanya terbatas pada analisis redaksional (mabahits lafzhiyyah) saja, melainkan mencakup perbandingan antara makna dari masing-masing ayat yang diperbandingkan.
Dalam membahas perbedaan itu, mufasir harus meninjau berbagai aspek yang menyebabkan timbulnya perbedaan tersebut, seperti latar belakang turun ayat tidak sama, pemakaian kata dan susunannya dalam ayat berlainan, konteks masing-masing ayat, serta situasi dan kondidi umat ketika ayat turun, dan lain-lain.
Mufassir dengan menggunakan metode muqaran diharapkan mampu menganalisis pendapat-pendapat para ulama tafsir yang telah dikemukakan untuk selanjutnya akan diambil sikap menerima peenafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang tidak dapat diterima oleh rationya serta menjelaskan kepada para pembaca tentang alasan dari sikap yang diambilnya sehingga pembaca merasa puas.
4.      Metode Maudhu’i (Metode Tematik)
Metode Maudhu’i (tematik) yaitu metode yang membahas ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Dengan pengertian lain, metode maudhu’i  adalah metode yang menjelaskan ayat Al-Qur’an dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang sesuatu masalah /tema (mawdlu’)[19] kemudian masing-masing ayat tersebut dikaji secara komprehensif, mendalam, dan sampai tuntas semua aspeknya. Baik dari segi asbabun nuzulnya, munasabah, dan apa yang dapat diistinbathkan segi i’rabnya, unsure-unsur balaghah, dan lain sebagainya. 
Menurut M. Quraish Shihab dalam tulisannya Tasfir Al-Qur’an Masa Kini ada 8 langkah yang harus ditempuh untuk menggunakan metode maudhu’i:[20]
a.       Menetapkan masalah/judul pembahasan
b.      Menghimpun/ menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah tersebut
c.       Menyususn ayat-ayat tadi sesuai dengan masa turunnya dengan memisahkan perode Mekkah dan Madinah
d.      Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing
e.       Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang menyangkut masalah tersebut
f.       Menyusun pembahasan salah satu kerangka yang sempurna
g.      Studi tentang ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang sama atau mengompromikan ‘am dan khos (umum dan khusus), mutlak dan muqayyad (yang bersyarat dan yang tanpa bersyarat) atau yang kelihatannya bertentangan, sehingga semuanya bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan atau pemaksaan dalam pemberian arti.
h.      Menyusun kesimpulan-kesimpula yang menggambarkan jawaba Al-Qur’an terhadap masalah yang dibahas tersebut.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh muffasir yang menggunakan metode ini:[21]
a.    Hendaklah menyadari bahwa dia (si muffasir) tidak bermaksud menefsirkan Al-Qur’an dalam pengertian biasa; tugas utamanya adalah mencari dan menemukan hubungan ayat antara ayat-ayat untuk mendapatkan kesimpulan sesuai dilalah ayat tersebut.
b.   Penafsir harus menyadari bahwa ia hanya memiliki satu tujuan, dimana tidak boleh menyimpang dari tujuan tersebut. Semua aspek permasalahan harus digali dan dibahas secara tuntas.
c.    Memahami bahwa Al-Qur’an dalam menetapkan hukumnya secara berangsur-angsur. Dengan memperhatikan sebab turunya suatu ayat, maka seorang penafsir akan terhindar dari kekeliruan dibansing dengan melihat lafadznya saja.
d.   Hendaknya mengikuti aturan-aturan (qoidah) dan langkah-langkah sesuai metode yang digunakan.
e.    Syaikh Syaltut memperingatkan bahwa seorang mufasir tidak boleh menolak ayat-ayat yang tidak atau kurang sesuai dengan keinginannya, sebagaimana ia pun tidak boleh mengabaikan Kalam Allah baik dalam isi ataupun susunannya.

Contoh Masing-Masing Metode Tafsir
1.      Metode Tahlili
     Para Ulama berkata: Penafsiran Al-Qur’an yang paling baik adalah penafsiran sebagian ayat Al-Qur’an terhadap sebagian ayat yang lai.







                 Siapa al-Muttaqin (orang yang bertaqwa)[22] ayat berikutnya (ayat 134) menafsirkan sebagai berikut:






2.      Metode Ijmali
Contoh tafsir ijmali dan dibandingkan dengan tafsir tahlili (analitis)



Tafsir ijmali: Dalam surotul Baqarah ayat 2, kalimat (ذلك الكتاب)   ini memberi isyarat akan keagungan kitab suci itu.
Tafsir Tahlili: menafsirkan  (ذلك الكتاب) bahwa al-Kitab ialah nama bagi sesuatu yang tertulis dalam bentuk huruf-huruf dan angka-angka yang mengandung makna. Ynag dimaksud disini ialah sebuah kitab yang sudah populer bagi Nabi SAW, yang Allah telah berjanji (memberikan) kepada Nabi untuk mendukung (kebenaran) risalahnya.  Dan Allah menjamin dengan berpegang teguh kepadanya, maka pencari kebenaran akan mendapatkan petunjuk dan bimbingan demi mencapai cita-cita mereka di dunia dan akhirat.
3.      Metode Muqaran
a.    Menghimpun redaksi yang mirip













b.   Perbandingan redaksi yang mirip
Jika dibandingkan, kedua ayat diatas terlihat jelas redaksinya mirip. Namun di dalam kemiripan itu terdapat perbedaan kecil dari susunan kalimatnya. Misalnya, pada ayat pertama terdapat lafal (لَكُمْ)  sesudah lafal (بُشْرَى) ; sementara pada ayat kedua tidak dijumpai lafal (لَكُمْ)  
c.    Analisis redaksi yang mirip
Dilihat dari sudut historis turunnya ayat, ternyata ayat yang pertama (Surotu Ali Imron ayat 126) diturunkan berkenaan perang Uhud; sedangkan ayat kedua (Surotul Anfal ayat 10) mengenai prang Badar. Adapun ditempatkan kalimat (لَكُمْ)  di dalam redaksi pertama sesuai hasil yang dicapai dalam perang Uhud, dimana para pengikut Nabi SAW akhirnya kalah dalam perang dan jumlah personil yang gugr sebagi syuhada lebih besar dibanding kaum kafir yang terbunuh, bahkan Nabi sendiri nyaris terbunuh. Meskipun begitu, umat Islam secara umum masih boleh bergembira karena Nabi tak jadi terbunuh dan para sahabat terkemuka seperti Abu Bakar, Usman, Ali, dll masih hidup untuk melanjutkan perjuangan. Oleh karena itu, jangan ada anggapan negatif terhadap Allah bahwa batuan yang dikirim-Nya itu memberikan kegembiraan terhadap orang kafir dengan kemenangan yang mereka peroleh, maka Allah sengaja menempatkan kalimat (لَكُمْ)  tersebut secara eksplisit di dalam ayat itu. Dengan demikian jelaslah bahwa kegembiraan tetap berada di pihak umat Islam bukan untuk orang-orang kafir. Sebalinya, dalam ayat kedua tak perlu mencantumkan kalimat (لَكُمْ)  secara eksplisit, karena bantuan Allah sudah jelas berada di pihak umat Islam.
4.      Metode Maudhu’i
Misalnya berkenaan dengan penciptaan “Manusia Pertama”




























                 Dalam ayat-ayat itu jelas terlihat bahwa Allah menciptakan manusia tidak sekaligus, melainkan secara berevolusi (bertahap), mulai dari saripati tanah, nuthfah, darah, daging, akhirnya menjadi manusia yang utuh secara fisik, setelah itu baru ditiupkan ruh. Kesimpulan ini didukung oleh firman Allah ayat di dalam surotun Nuh ayat 14:




Kekurangan dan Kelebihan Masing-Masing Metode
1.      Metode Ijmali
a.    Kelebihan Metode Ijmali
1)      Praktis dan mudah dipahami
Tafsir dengan menggunakan metode ini lebih praktis serta mudah di mengerti. Tidak berbelit-belit, pembaca dapat dengan mudah menyerap pemahaman dalam al-Qur'an. Metode penafsiran ijmali lebih cocok digunakan para pemula seperti siswa SLTA ke bawah, atau oarang yang baru belajar tafsir al-Qur'an dan yang setara dengan mereka. Metode ini juga disarakan bagi mereka yang ingin memperoleh pemahaman ayat-ayat al-Qur'an dalam waktu yang relatif sinkat, tafsir dengan metode ijmali akan banyak membantu mereka daripada tafsir tahlili.
Dengan kondisi yang demikian, rasanya pantas bila tafsir dengan metode ijmali lebih disukai oleh umat dari berbagai kalangan.
2)      Bebas dari penafsiran Israiliyyat
Tafsir ijmali relatif lebih murni serta terbebas dari pemikiran israiliat dikarenakan singkatnya penafsiran yang diberikan. Itu berarti, pemahaman al-Qur'an akan dijaga dari pemikiran pemikiran israiliat yang terkadang tidak sependapat dengan martabat alQur'an sebagai Kalam Allah Yang Maha Suci. Selain membendung dari pemikiran israiliat, dengan metode ini juga dapat membendung pemikiran-pemikiran yang terkadang terlalau jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur'an seperti pemikiran-pemikiran spekulatif yang dikembangkan oleh para teolog, sufi, dll.
Berbeda dengan tafsir yang menggunakan tiga metode yang lain. Di dalam metode yang lain tersebut, para mufasir mempunyai peluang yang sanat luas untuk dapat memasukkan berbagai pemdapat serta pemikiran ke dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur'an, sehingga terkadang penafsiran yang diberikan terasa sangat jauh dari pemahaman ayat tersebut.
3)      Akrab dengan bahasa Al-Qur’an
Pembaca tidak merasakan bahwa ia telah membaca kitab tafsir, karena uraian yang dimuat di dalam tafsir ijmali merasa amat singkat dan padat. Pada dasarnya metode ijmali ini menggunakan bahasa yang singkat dan akrab dengan bahasa kitab suci tersebut. Kondisi seperti ini tidak akan ditemukan pada tafsir dengan menggunakan metode yang lain. Di dalam metode tafsir ijmali, mufassir dengan jelas langsung menjelaskan pengertian kata atau ayat beserta persamaannya dan tidak mengemukakan ide-ide atau pendapatnya secara personal.[23]
b.      Kekuranga Metode Ijmali
1)      Menjadikan petunjuk Al-Qur’an brsifat parsial
Al-Quran merupakan kesatuan yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lainnya membentuk satu pengertian yang utuh atau tidak terpecah-pecah. Artinya, sesuatu yang bersifat umum atau samar-samar di dalam suatu ayat maka pada ayat yang lain ada penjelasan yang lebih terinci. Dengan menggabungkan kedua Ayat tersebut, dapat diperoleh suatu pemahaman yang utuh serta dapat terhindar dari kesalahan. Sebagai contoh, perhatikan al-Qur'an surat ar-Ra'du ayat 11 dan surat al-Anfal ayat 53 sebagai berikut :
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ ۚ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
Surat al-Anfal ayat 53
ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَىٰ قَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۙ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
kedua penafsiran yang diberikan tersebut tampak tidak berhubungan. Di dalam ayat yang pertama Ia (al-Suyuthi) menafsirkan  حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ  itu dengan: "mengubah sifat-sifat yang baik dengan perbuatan maksiat" lain halnya pada ayat yang kedua untuk mengungkapkan hal yang sama dia memberikan penafsiran yang berbeda seperti dikatakannya: "mengganti nikmat itu dengan kufur". Jadi, dapat disimpan atau di dapat diambil pemahaman bahwa penafsiran yang pertama bersifat abstrak dan yang kedua bersifat konkret.
berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa terjadinya perbedaan dapat bermula dari orang diperhatikannya hubungan antara satu ayat dengan ayat ayat yang lain di dalam al-Qur'an, padahal ayat-ayat al-Qur'an tersebut adalah satu kesatuan yang utuh. Maka berdasarkan kondisi ayat-ayat Alquran yang demikian Ibnu Taimiyah mengakui adanya saling melengkapi antara satu ayat dengan ayat yang lain. Jadi jika ingin dapat memahami Alquran secara utuh dan keseluruhan maka metode ijmali kurang dapat membantu.
2)      Pada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai
Jika menginginkan adanya analisis yang rinci maka metode ijmali tidak bisa menjadi sandaran karena jika mufasir memakai metode ijmali tidak sediakan ruangan untuk memberikan pembahasan atau uraian yang jelas serta berkenaan dengan pemahaman suatu ayat seperti terlihat di dalam contoh yang dikutip di atas. Hal ini dapat menjadi pertimbangan oleh mufassir yang akan memakai metode ijmali ini. Namun ,tidak berarti kelemahan dari metode ini bersifat negatif kondisi semacam itu juga memberikan dampak positif sebagai ciri dari tafsir yang menggunakan metode ijmali ini sebagaimana yang telah disebutkan. Atau lebih jelasnya, jika seorang mufassir tidak mengikuti pola yang demikian lalu dia menguraikan tafsirannya secara luas maka dapat dikatakan dia telah keluar dari metode-metode ijmali dan masuk ke metode analitis atau metode yang lainnya.
Para mufassir harus menyadari bahwa memang tidak ada ruangan bagi mereka untuk mengemukakan pembahasan-pembahasan yang memadai sesuai dengan keahlian mereka masing-masing jika mereka menerapkan metode ijmali. Jika mufassir ingin supaya ada ruangan untuk mengemukakan pembahasan mereka, maka mereka bisa menggunakan metode yang lain.[24]
2.      Metode Tahlili
a.       Kelebihan Metode Tahlili
1)      Ruang Lingkup Luas
Metode tahlili memiliki ruang lingkup yang sangat luas. Metode ini dapat digunakan oleh mufasir dalam dua bentuk yakni ma'tsur dan ra'y. Bentuk al-ra'y dapat di kembangkan dalam berbagai macam penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufasir. Misalnya, ahli bahasa mendapat peluang yang luas untuk penafsirkan al-Qur'an dari pemahaman kebahasaan, seperti Tafsir al-Nasafi karangan Abu al-Su'ud. Mereka yang suka dengan hal yang berhubungan dengan sains dan tekhnologi dapat menafsirkan al-Qur'an dari sudut teori-teori ilmiah atau sains seperti Kitab TafsirnAl-Jawahir karangan al-Thanthawir.
Itulah merupakan kelebihan yang mungkin tidak dijumpai pada metode lain diluar metode tahlili ini. Metode ini dapat menampung berbagai ide serta gagasan dalam upaya menafsirkan al-Quran.
2)      Menuat berbagai Ide
Telah dijelaskan di atas bahwa tafsir dengan metode ini relatif memberikan kesempatan yang luas kpada mufasir untuk mengemukakan ide serta gagasan mereka dalam menafsirkan al-Qur'an. Artinya, pola penafsiran yang dianut metode ini dapat menampung berbagai ide yang terpendam di dalam benak mufasir, bahkan ide yang ekstrem serta jahat pun dapat di tampungnya. Melihat latar belakang tersebut, maka lahirlah berbagai kitab tafsir yang berjilid-jilid seperti Kitab Tafsir al-Thabari (15jilid), Tafsir Ruh al-Ma'ani (16jilid), dll.
Jadi, di dalam tafsir tahlili ini mufasir relatif memiliki kebebasan dalam memajukan ide-ide serta gagasan-gagasan baru dalam hal penafsiran al-Qur'an daripada tafsir dengan menggunakan metode ijmali. Kemungkinan kondisi seperti inilah yang membuat tafsir tahlili dapat berkembang lebih pesat.[25]
b.      Kekurangan Metode Tahlili
1)      Menjadikan petunjuka al-Qur'an parsial
Seperti halnya metode ijmali, metode tahlili jug dapat membuat pentunjuk al-Qur'an bersifat parsial atau terpecah-pecah, sehingga terasa seakan-akan al-Qur'an memberikan pedoman secara tidak konsisten dan tidak utuh karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang berikan pada ayat yang lain yang secara kontekstual sama. Perbedaan tersebut terjadi karena kurang diperhatikannya ayat-ayat lain yang mirip atau sama. Keengganan mufasir untuk memerhatikan ayat lain boleh di katakan salah satu konsekuensi logis dari penafsiran yang menggunakan metode tahlili, karena di dalam metode ini memang tidak ada keharusan bagi mufasir untuk membandingkan penafsiran suatu ayat dengan ayat yang lain.
2)      Melahiran penafsiran subjektif
Metode tahlili memberikan peluang yang sangat luas kepada mufasir untuk mencurahkan ide-ide dan pemikirannya. Sehingga, terkadang mufasir tidak sadar bahwa dia menafsirkan al-Qur'an secara subjektif dan tidak di pungkiri pula ada di antara mereka yang menafsirkan al-Qur'an sesuai dengan kemauan hawa nafsunya tanpa memerdulikan kaidah-kaidah serta norma-norma yang berlaku. Hal itu di mungkinkan karena metode tahlili membebaskan untuk hal demikian.
Sikap subjektif awalnya timbul dari fanatisme mazhab yang terlalu mendalam. Karena telah dirasuki oleh sikap ashabiyah semacam itu maka mereka tidak peduli tentang salah atau benar penafsiran yang mereka berikan, karena yang terpenting bagi mereka mencari legitimasi kepada al-Qur'an untuk membenarkan pemikiran dan tindakan, sekaligus untuk meyakinkan para pengikut mereka bahwa ajaran yang mereka kembangkan adalah benar. Kondisi yang seperti ini membuat metode tahlili terasa kurang representatif bila dilihat dari sudut objektifitas dan signifikansi keilmuan.
3)      Masuk pemikiran israiliat
Dikarenakan metode tahlili membebaskan mufasir dalam mengemukakan pendapat tafsirannya, maka berbagai pemikiran dapat masuk ke dalamnya, termasuk pemikiran israilat. Awalnya, kisah-kisah israilat tidak menimbulkan persoalan, selama tidak dikaitkan dengan pemahaman al-Qur'an. Tetapi bila di sangkutkan dengan pemahaman kitab suci, timbul masalah karena akan terbentuk opini bahwa apa yang dikisahkan di dalam kisah tersebut merupakan maksud dari firman Allah, atau di pertegas itu adalah perintah Allah, padahal belum tentu cocok dengan yang di maksudkan Allah di dalam firman-Nya tersebut.[26]
3.      Metode Muqaran
a.       Kelebihan Metode Muqaran
1)      Metode muqaran memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada para pembaca. Di dalam penafsiran tersebut dapat terlihat bahwa satu ayat al-Quran dapat di tinjau dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian mufasirnya. Dengan demikian, al-Quran tidak terasa sempit, melainkan sangat luas dan dapat menampung berbagai ide dan gagasan. Semua tafsiran atau pendapat yang di berikan itu dapat diterima selama proses penafsirannya melalui kaidah yang baik dan benar.
2)      Bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang terkadang berbeda dari pendapat kita dan tidak menutup kemungkinan ada yang kontradiktif. Dengan demikian, fanatisme pada aliran atau mazhab tertentu dapat terkurangi sehingga umat, terutama mereka yang membaca tafsir muqaran terhindar dari sikap ekstrimistis yang dapat merusak persatuan dan kesatuan umat. Hal tersebut dimungkinkan karena penafsiran tersebut memberikan banyak pilihan.
3)      Tafsir dengan metode muqaran sangat membantu bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat. Maka dari itu, penafsiran seperti ini cocok untuk mereka yang ingin memperluas dan mendalami penafsiran al-Qur'an dan bukan untuk para pemula.
4)      Dengan menggunakan metode muqaran, maka mufasir didorong untuk mengkaji berbagai ayat serta hadist dan pendapat para musafir yang lain. Dengan demikian, dapat membuat lebih berhati-hati dalam proses penafsiran satu ayat. Maka penafsiran yang diberikannya relatif lebih terjamin kebenarannya dan lebih dapat dipercaya.[27]
b.      Kekurangan Metode Muqaran
1)      Penafsiran yang menggunakan metode muqaran tidak dapat digunakan oleh para pemula karena pembahasan yang di sampaikan didalamnya terlalu luas dan terkadang bisa ekstrem.
2)      Metode muqaran kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang hadir di tengah masyarakat karena metode ini mengutamakan perbandingan darpada pemecahan masalah.
3)      Metode muqaran terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama dibanding mengemukakan penafsiran-penafsiran baru. Sebenarnya kesan seperti itu tidak timbul jika mufasirnya kreatif. Mufasir tidak hanya sekadar mengemukakan penafsiran-penafsiran orang lain, tetapi harus menghubungka dengan kondisi yang di hadapinya. Dengan demikian, mufasir dapat menghasilkan sintesi-sintesis baru yang belum ada sebelumnya.[28]
4.      Metode Maudhu’i
a.       Kelebihan Metode Maudhu’i
1)      Menjawab tantangan zaman
Permasalahan dalam kehidupan selau tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan. Semakin modern kehidupan maka masalah yang dihadapi pun semakin rumit dan kompleks, dan memiliki dampak yang luas. Hal itu dapat terjadi karena apa yang terjadi pada suatu tempat dan pada saat yang bersamaan, dapat disaksikan oleh orang lain ditempat lain pula, bahkan kini peristiwa yang terjadi di luar angkasa pun dapat di pantau dari bumi. Kondisi seperti inilah yang membuat suatu permasalahan segera tersebar luas ke seluruh masyarakat dalam waktu yang relatif singkat.
Untuk menanggapi permasalahan yang serupa, dilihat dari sudut tafsir al-Qur'an, tidak dapat di tangani dengan metode-metode penafsiran selain maudhu'i. Karena ranah kajian metode maudhu'i di tujukan untuk menyelesaikan masalah. Itulah sebabnya metode maudhu'i mengkaji seluruh ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan kasus yang sedang di bahas secara tuntas dari berbagai aspeknya. Pola serupa itu tidak di pakai pada tiga metode lainnya.
2)      Praktis dan dinamis
Tafsir dengan metode maudhu'i disusun secara sistematis dan praktis dalam memecahkan permasalahan yang timbul. Kondisi seperti ini sangat cocok dengan kehidupan umat yang semakin modern dengan mobilitas yang tinggi sehingga meeka seakan-akan tak punya waktu untuk membaca kitab-kitab tafsir yang besar, padahal seharusnya untuk mendapatkan petunjuk al-Qur'an mereka harus membacanya.
3)      Dinamis
Metode maudhu'i membuat tafsir al-Qur'an selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan gambaran di benak pembaca dan pendengarnya bahwa al-Qur'an senantiasa membimbing dan mengayomi kehidupan pada semua lapisan dan strata sosial. Dengan demikian, sangat terasa bahwa al-Qur'an selalu aktual, mengikuti perkembangan zaman. Maka, dengan tumbuhnya kondisi semacam itu umat akan tertarik mengamalkan ajaran-ajaran al-Qur'an karena mereka merasakan al-Qur'an benar-benar dapat membimbing mereka ke jalan yang lurus.
4)      Membuat pemahaman menjadi utuh
Dengan ditetapkan judul-judul yang akan dibahas, maka pemahaman mengenai ayat al-Qur'an dapat di olah secara utuh. Pemahaman seperti ini sulit di temui dalam ketiga metode tafsir di atas. Oleh sebab itu metode maudhu'i ini dapat diandalkan utnuk pemecahan permasalahan secara lebih baik dan tuntas.[29]
b.      Kekurangan Metode Maudhu’i
1)      Memenggal ayat al-Qur'an
Menggal ayat al-Qur'an yang di maksut adalah mengambil satu kasus yang terdapat di dalam satu ayat atau lebih yang mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Cara serupa ini terkadang di anggap kurang sopan terhadap ayat-ayat suci sebagaimana seperti anggapan kaum tekstualis. Namun, selama tidak merusak pemahaman cara tersebut tak perlu dipermasalahkan. Ditambah lagi para ulama dulu sering melakukan pemenggalan ayat-ayat al-Qur'an sesuai dengan keperluan kajian yang sedang mereka bahas.
2)      Membatasi pemahaman ayat
Dengan adanya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang sedang di bahas. Akibatnya, para mufasir menjadi terikat akan judul tersebut. Padahal dimungkinkan satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek. Jadi, dengan adanya judul pembahasan, berarti hanya dapat mengkaji dari satu sudut. Dengan demikian, dapat menimbulkan perspektif kurang luas pemahamannya. Kondisi seperti ini memang konsekuensi logis dari metode maudhu'i. Namun hal tersebut tidak perlu dirisaukan karena tidak akan mengurangi pesan-pesan al-Qur'an.[30]
Kesimpulan
              Setelah memaparkan penjelasan tentang metode tafsir, kami dapat menyimpulkan bahwa para ulama telah mengklasifikasikan metode tafsir menjadi 4 macam, yaitu: Tahlili, Ijmali, Muqaran, dan Maudhu’i.  Dimana antara satu metode dengan metode yang lain memiliki karakteristik berbeda, memiliki kelebihan, dan kekurangan masing-masing. Akan tetapi fungsi metode itu sama untuk mempermudah seseorang mempelajari, mengkaji, dan menafsirkan ayat Al-Qur’an untuk kemudian diamalkan dlam kehidupan sehari-hari.

Daftar Rujukan
Al-Aridl, Ali Hasan. 1994. Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Baidan, Nashruddin. 2005. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baidan, Nashruddin. 2005. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hermawan, Acep. 2011. ‘Ulumul Quran Ilmu untuk Memahami Wahyu. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.  
H. Muhammad, Su’aib. 2013. Tafsir Tematik Konsep, Alat Bantu, dan Contoh Penerapannya. Malang: UIN-MALIKI Press (Anggota IKAPI).
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk.2005. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Penerbit Teras.
Syafe’i, Rachmat. 2006. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia.

Revisi:
1.      Tidak ditemukan indikasi copy-paste.
2.      Penulisan rujukan yang telah ditulis sebelumnya        tidak ditulis semuanya, hanya ditulis nama penulis, judul buku (tiga kata), halaman.

Makalah ini cukup bagus. Selamat!!!!


























[1] M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta : Teras, 2005),  hlm 37-39
[2] M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Penerbit TERAS, 2005), hlm 42
[3] Ibid
[4] Acep Hermawan, Ulumul Qur’an Ilmu untuk Memahami Wahyu, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), hlm 117
[5] Ali Hasan Al-‘Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Cet. II (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm 42
[6] Sebagian ulama menggolongkan qoul tabi’in ini sebagai bagian dari riwayat, sedangkan yang lainnya mengkategorikannya kepada al-ra’y saja.
[7] M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Penerbit TERAS, 2005), hlm 44
[8] Ibid, hlm 44
[9] Ibid
[10] Ibid, hlm 45
[11] Ibid
[12] Ali Hasan Al-‘Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Cet. II (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm 68
[13] Nasruddin Baidan, Metodologi Peanafsiran Al-Qur’an, Cet. III (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm 13
[14] Ali Hasan Al-‘Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Cet. II (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm 73
[15] M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Penerbit TERAS, 2005), hlm 46
[16] Acep Hermawan, Ulumul Qur’an Ilmu untuk Memahami Wahyu, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), hlm 118
[17] Ibid
[18] Nasruddin Baidan, Metodologi Peanafsiran Al-Qur’an, Cet. III (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm 66
[19] Ali Hasan Al-‘Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Cet. II (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm 78
[20] Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm 295
[21] Ibid, hlm 296
[22] Al-Qur’an, Surotu Ali Imrom ayat 133
[23] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur'an, Cet.3, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), 22-24
[24] Ibid., 24-28
[25] Ibid., 53-54
[26] Ibid., 55-62
[27] Ibid., 142-143
[28] Ibid., 143-144
[29] Ibid., 165-167
[30] Ibid., 167-169

Tidak ada komentar:

Posting Komentar