Jumat, 07 Oktober 2016

Majaz al-Qur'an (PBA D Semester III)




MAJAZ AL-QUR’AN
Ahmad Fadilah Khomsah, Asy Syahrul Ibrahim
PBA-D Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract
This discussion explains about kind of Majaz in the Al-Qur’an. Qur'an is a guide for people who apply whenever and wherever. to understand the Qur'an properly, one must master the Arabic language well. Besides, one should also understand the language of force, because the Qur'an is the holy book that has the wording and sentences ranging from amtsal, qasam, Qasas, jadal, khabar, al-insha ', tasybih, isthi'arah, haqiqah, majaz, etc. In view of literary Qur'an shows just how high the fluency and beauty of the arrangement of sentences that can not be matched in any literary works. as one of the stylistic al quran is majaz. majaz is a sentence in the Qur'an that the expression that does not conform with the original meaning, but there is a relationship with both the intent of the form. majaz classified into two: aqli and lughowi.[1]
Keywords: majaz, language style, al-Qur’an
A.     Pendahuluan:
1.     Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci umat islam yang diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab yang sangat jelas dan terang. “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab agar kalian memahaminya” (QS: Yusuf: 2). Untuk memahami al-Qur’an dengan baik, tentulah seseorang itu harus menguasai bahasa Arab dengan baik pula. Tanpanya al-Qur’an tak mampu untuk dikuasai.
Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia, berlaku sampai kapanpun dan dimanapun sejak Al-Qur’an itu diturunkan. Untuk memahami Al-Qur’an sebagai kitab suci yang mengandung nilai-nilai dan petunjuk bagi kehidupan manusia, diperlukan adanya suatu pendekatan tertentu dan salah satunya adalah dengan memahami gaya bahasa al-Qur’an seperti majaz. Majaz adalah suatu cara pengungkapan terhadap suatu gagasan yang bersifat abstrak dan konseptual. Dengan ilmu ini akan diketahui rahasia bahasa Arab dalam bentuk gaya bahasa serta keindahan sastra Al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, tanpa mengetahui ilmu Majaz, sesorang tidak akan dapat menilai apalagi memahami isi Al-Qur’an dan Hadits nabi secara mendalam.
Uslub al-Qur’an berarti gaya bahasa yang unik dalam susunan kalimat-kalimat dan pilihan katanya. Gaya bahasa yang dimiliki al-Qur’an sangat bervariasi, mulai dari amtsal, qasam, qasas, jadal, khabar, al-insya’, tasybih, isti’arah, haqiqah, majaz, dll. Keunikan uslub al-Qur’an dapat dilihat pada: keluwesan lafalnya, menarik, dan menakjubkan, serta keindahan bahasanya. [2]
2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Dimensi sastrawi dalam al-Qur’an
2.      Pengertian majaz al-Qur’an[3]
3.      Macam-macam dan contoh majaz al-Qur’an

3.      Tujuan
1.      Mengetahui dimensi sastra dalam al-Qur’an
2.      Mengerti dan memahami tentang definisi majaz al-Qur’an
3.      Mengetahui dan memahami macam-macam dan contoh majaz al-Qur’an


B.     Dimensi Sastrawi dalam al-Qur’an
Memang tidak diragukan lagi bahwasanya keindahan al-Qur’an yang terletak pada susunan kata dan pola-pola kalimatnya. Syaikh Fakhruddin al-Razi, penulis tafsir al-Qur’an berjudul Mafatif al-Ghaib, menyatakan bahwa kefasihan bahasa, keindahan susunan kata, dan pola-pola kalimat al-Qur’an luar biasa. Sementara itu Qadhi Abu Bakar dalam I’jaz al-Qur’an menyatakan bahwa memahami kemukjizatan al-Qur’an dari segi keindahan kebahasaannya jika dibandingkan dengan syair dan sastra Arab, amat sukar ditandingi. Abu Hasan al-Quthajani menyatakan bahwa keluarbiasaan al-Qur’an itu antara lain terlihat dalam konsistensi, kefasihan bahasanya, dan keindahan susunan kalimatnya. Bahkan al-Qur’an amat sempurna dilihat dari semua segi, sehingga tidak mungkin menentukan tingkatan keindahan susunannya itu karena tidak ada alat untuk mengukurnya.
Kutipan-kutipan di atas memperlihatkan betapa tinggi kefasihan bahasa dan keindahan susunan kalimat-kalimat al-Qur’an. Semua ini merupakan bagian dari kemu’jizatannya, sehingga mereka yang menentang kebenaran al-Qur’an tidak mampu menciptakan karya sastra seperti kitab suci ini. Bundar ibn Husein al-Farisi, seorang ilmuwan dan sastrawan besar dari Persia menyatakan bahwa tingkat kefasihan dan keindahan bahasa al-Qur’an berada di luar jangkuan kemampuan manusia. Kalau mereka mencoba, bisa-bisa mereka malah sesat.
Walaupun demikian, bukan mustahil bagi manusia mempelajari dan mendalami sisi-sisi kebahasaan al-Qur’an. Bagian-bagian kebahasaan yang menjadi pusat gaya bahasa al-Qur’an.[4]

C.      Pengertian Majaz al-Qur’an
Majaz dalam pengertian bahasa, berasal dari bahasa arab jaza-yajuzu-jauzan dan jawazan artinya melawati, melebihi atau membolehkan. Selanjutnya majaz berarti metafora dalam kamus besar bahasa Indonesia artinya adalah suatu ungkapan secara langsung berupa perbandingan yang logis atau masuk akal. Dalam pengertian ini majaz adalah suatu ungakapan yang melebihi atau melewati kata asal dengan perbandingan yang masuk akal untuk menyampaikan makna.
Menurut istilah, majaz memiliki beberapa pengertian yaitu:
majaz adalah kata atau ungkapan yang digunakan tidak sesuai dengan asal penggunaanya yang pertama karena adanya indikasi yang menghalangi dinyatakan makna yang hakiki.
Menurut beberapa ahli, majaz adalah lafadz yang digunakan bukan pada maknanya karena sebuah hubungan dan indicator (qorinah). Majaz adalah ungkapan yang digunakan untuk maksud yang kedua karena sebuah hubungan.
Dari beberapa pengertian istilah di atas disimpulkna bahwa majaz adalah sebuah kalimat dalam al qur’an yang pada ungkapannya tidak sesuai dengan makna asalnya, namun terdapat hubungan dengan maksud kedua dari ungkapan itu.
Jika segi majaz dihilangkan niscaya dia akan kehilangan segi keindahannya. Bahkan para ulama’ telah sepakat bahwa majaz lebih baliqh (lebih baik nilai bahasanya) ketimbang hakikat. Seandainya majaz harus dihilangkan dari al qur’an niscaya harus pula dibersihkan dari adanya hadzaf (pembuangan kata), taukid (kata penguat), pengualangan kisah dan lain sebagainya.[5]

D. Macam-macam dan Contoh Majaz al-Qur’an
Majaz menurut para ahli balaghah dibagi menjadi dua macam: majaz aqli dan majaz lughowi
1.      Majaz aqli adalah, mempredikatkan suatu predikat kepada yang buka subjek semestinya karena adanya keterlibatan. Tujuannya yaitu untuk menunjukan peranan utama yang dimainkan sebagai unsur penting (Ahmad Badawi, 223) sebagaimana terlihat dalam ayat ini:
اِنَّفِرْعَوْنَعَلَافِىالْاَرْضِوَجَعَلَاَهْلَهَاشِيَـعًايَّسْتَضْعِفُطَآئِفَةًمِّنْهُمْيُذَبِّحُاَبْنَآءَهُمْوَيَسْتَحْيٖنِسَآءَهُمْؕاِنَّهٗكَانَمِنَالْمُفْسِدِيْنَ
"Sungguh, Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di bumi dan menjadikan penduduknya berpecah-belah, dia menindas segolongan dari ia. Sungguh, dia (Fir'aun) termasuk orang yang berbuat kerusakan." (QS. Al-Qasas: Ayat 4)
Tidaklah masuk akal apabila Fir’aun sendiri yang menyembelih tetapi dialah yang memerintahkan penyembalihan itu. Seandainya tidak ada perintah maka tidak akan terjadi tindakan itu. Para prajurit yang melaksanakan hanyalah sekedar sebagai alat yang menjalankan perintah. Hal seperti ini diketahui dengan akal maka dinamakan majas aqli.
Demikian pula ayat yang menggambarkan hari kiamat penuh dengna peristiwa-peristiwa yang mengerikkan yang membuat jiwa penuh rasa takut dan cemas yang menyebabkan orang tumbuh uban. Hari kiamat tersebut merupakan wahana terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut. Karena itu patutlah bila beruban tadi diisnadkan kepada (menjadi predikat) hari kiamat dalam ayat berikut:
فَكَيْفَتَتَّقُوْنَاِنْكَفَرْتُمْيَوْمًايَّجْعَلُالْوِلْدَانَشِيْبَا
"Lalu bagaimanakah kamu akan dapat menjaga dirimu jika kamu tetap kafir kepada hari yang menjadikan anak-anak beruban."
(QS. Al-Muzzammil: Ayat 17)
Cara seperti ini boleh terjadi karena adanya hubungan yang erat antara peristiw adan waktu terjadinya. Ini juga disebut majaz aqli. Contoh lain majaz aqli yaitu:
اِنَّمَاالْمُؤْمِنُوْنَالَّذِيْنَاِذَاذُكِرَاللّٰهُوَجِلَتْقُلُوْبُهُمْوَاِذَاتُلِيَتْعَلَيْهِمْاٰيٰتُهٗزَادَتْهُمْاِيْمَانًاوَّعَلٰىرَبِّهِمْيَتَوَكَّلُوْنَ
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal," (QS. Al-Anfal: Ayat 2).
Pertambahan imannya terebut dinisbatkan kepada ayat, pedahal sebenarnya merupakan sebeb bagi bertambahnya keimanan.          
Termasuk majaz maenyebutkan keseluruhan tetapi yang dimaksudkan hanya sebagiannya, seperti firman Alloh:
اَوْكَصَيِّبٍمِّنَالسَّمَآءِفِيْهِظُلُمٰتٌوَّرَعْدٌوَّبَرْقٌۚيَجْعَلُوْنَاَصَابِعَهُمْفِيْۤاٰذَانِهِمْمِّنَالصَّوَاعِقِحَذَرَالْمَوْتِؕوَاللّٰهُمُحِيْطٌۢبِالْكٰفِرِيْنَ
"Atau seperti (orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit, yang disertai kegelapan, petir, dan kilat. Mereka menyumbat telinga dengan jari-jarinya, (menghindari) suara petir itu karena takut mati. Allah meliputi orang-orang yang kafir." (QS. Al-Baqarah: Ayat 19)
Yakni dengan ujung jarinya. Ungkapan tersebut memberikan isyarat tentang sikap keberpalingan yang amat sangat.
2.      Adapun majaz lughawi ialah pengguanaan kata untuk pengertian yang bukan semestinya karena ada hubungan antara kedua arti itu, yang bukan hubungan persamaan. Menurut Ahmad Badawi, banyak para ahli yang giat mengadakan studi tentang majaz lughawi dalam Al-Qur’an, yang terkadang terlalu rumit sehingga banya sekali ayat-ayat yang dianggapnya majaz. Tetepi Badawi kurang menyetujui cara mereka itu, karena kalua kita mengikuti cara mereka itu, maka semua yang kita katakanhampir menjadi majaz. (224).
Di sini akan dikemukakan beberpa ayat yang mengandung majaz lughawi antara lain ayat 36 surat yusuf:
وَدَخَلَمَعَهُالسِّجْنَفَتَيٰنِؕقَالَاَحَدُهُمَاۤاِنِّيْۤاَرٰٮنِيْۤاَعْصِرُخَمْرًاۚوَقَالَالْاٰخَرُاِنِّيْۤاَرٰٮنِيْۤاَحْمِلُفَوْقَرَأْسِيْخُبْزًاتَأْكُلُالطَّيْرُمِنْهُؕنَبِّئْنَابِتَأْوِيْلِهٖۚاِنَّانَرٰٮكَمِنَالْمُحْسِنِيْنَ
"Dan bersama dia masuk pula dua orang pemuda ke dalam penjara. Salah satunya berkata, "Sesungguhnya aku bermimpi memeras anggur," dan yang lainnya berkata, "Aku bermimpi, membawa roti di atas kepalaku, sebagiannya dimakan burung. Berikanlah kepada kami takwilnya. Sesungguhnya kami memandangmu termasuk orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf: Ayat 36)
Bagaimana khamr bisa diperas. Maksudnya yang diperas itu anggur dan akan menjadi khamr. Ini sama dengan kita mengatakan: ibu memeras santan. Yang diperas adalah kelapa yang akan menjdai santan. Juga seperti: ibu memasak nasi. Yang dimasak adalah beras yang akan menjadi nasi.[6][7]
Dari Ibn Abbas, Walid bin MughIrah datang kepada Nabi saw, lalu nabi membacakan Al-Qur’an kepadanya, maka hati walid menjadi lunak karenanya. Berita ini sampai ke telinga Abu Jahal. Lalau ia mendatanginya seraya berkata: “Wahai pamanku Walid, sesungguhnya kaummu hendak mengumpulkan harta benda untuk diberikan kepadamu, tapi kamu malah datang kepada Muhammad untuk mendapatkan anugerahnya.” Walid menjawab: ”Sungguh kaum Quraisy telah mengetahui bahwa aku orang yang paling banyak hartanya.” Abu Jahal berkata: “Kalau begitu katakanlah tentang dia, kata-kata yang akan kau sampaikan kepada kaummu bahwa kau mengingkari dan membenci Muhammad.” Walid menjawab: “Apa yang harus ku katakana? Demi Alloh, di antara kamu tidak ada seorangpun yang lebih tahu dari aku tentang sya’ir, rajaz, dan qosidah-nya dan tentang sya’ir-sya’ir jin. Demi Allah, apa yang dikatakan Muhammad tersebut tidak sama dengan sya’ir-sya’ir tersebut. Demi Alloh, kata-kata yang diucapkannya sungguh manis; bagian atasnya berbuah dan bagian bawahnya mengalirkan air segar. Ucapannya itu sungguh tinggi, tak dapat diungguli, bahkan dapat menghancurkan apa yang ada dibawahnya.” Abu Jahal menimpali: “Demi Allah, kaummu tidak akan senang sampai kamu mengatakan sesuatu tentang dia.” Walid menjawab. “Biarkan aku berpikir sebentar.” Maka setelah berpikir, ia berkata: “Ini adalah sihir yang dipelajari. Ia mempalajarinya dari orang lain.” Lalu turunlah firman Allah: Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian. (al-Muddasir [74]:11). [8]
Paham sunni meyakini bahwa gaya bahasa atau uslub AL-Qur’an merupakan salah satu mu’jizat (i’jaz) Al-Qur’an, karena kualitasnya yang tinggi dan keindahannya. Para ahli bahasa arab telah menekuni bahasa arab ini dengan segala variasinya sejak bahasa itu tumbuh sampai berkembang pesat sampai menjadi raksasa perkasa yang tegar saat ini. Mereka mengubah prosa, puisi, kata-kata bijak dan masal yang tunduk pada aturan bayan dan diekspresikan dalam uslub-uslubnya yang memukau, dalam gaya hakiki dan majazi (metafora), itnab dan ijaz, serta tutur dan ucapnya. Meskipun bahasa telah meningkat dan tinggi dengan berbagai keragaman variasinya, tapi dihadapan Al-Qur’an, dengan segala kemukjizatan bahasanya, ia menjadi pecahan-pecahan kecil yang tunduk menghormati dan takut dengan uslub Al-Qur’an. Sebenarnya UslubAl-Qur’an tidak keluar dari aturan-aturan mereka, baik lafadz dan huruf-hurufnya maupun susunan an uslubnya. Akan tetapi Alqur’an jalinan huruf-hurufnya serasi, ungkapannya indah, uslubnya manis, ayat-ayatnya teratur, serta memperhatikan situasi dan kondisi dalam berbagai macam bayannya, baik dalam jumlah ismiah dan fi’liah-nya, dalam nafi dan isbatnya, dalam taqdim dan ta’khirnya, dalam itnab dan ijaz-nya, dalam fahwa dan nass-nya, maupun dalam hal lainnya. UslubAl-Qur’an berarti gaya Alquran yang unik dalam susunan kalimatnya dan pemilihan katanya. Gaya bahasa adalah cara atau metode yang digunakan oleh pengarang tersebut dalam memilih kosa kata dan penyusunan kalimat. Keunikan gaya bahasa Al-Qur’an dapat dilihat pada beberapa aspek antara lain:
a.       Keluwesan lafalnya, menarik, manakjubkan, serta keindahan maknanya.
b.      Sentuhan bahasanya yang mudah dimengerti baik orang awam maupun orang khusus.
c.       Sesuai dengan akal dan emosi atau perasaan.
d.      Keindahan dan kehalusan jalinan antar bagian-bagian dalam Al-Qur’an.
e.       Kecermelangannya dalam memilih kata dan kekayaannya dalam seni kalimat.
f.        Kombinasi antara keindahan dan kejelasan.
g.       Kesesuaian antara lafadz dan makna.
Untuk memberikan kesan yang mendalam kepada pambaca maupun pendengar, Al-Qur’an menggunakan berbagai macam gaya bahasa, seperti amtsal dan sumpah.

E.      AMTSAL
Amtsal merupakan gaya pribahasa dalam Al-Qur’an amtsal berasal dari kata matsal yang berarti perumpamaan atau pribahasa, seperti dalam surat al-isra’ :89, al-furqon :33 al-ankabut :23, dan masih banyak lagi.
Macam-macam amtsal dalam Al-Qur’an:
1.      Amtsal zhahirah musharrohah
Gaya pribahasa yang diungkapkan dengan kata matsal itu sendiri, seperti kalimat matsaluhum kamatsalilladzis tau qodanaaroo, dan sejenisnya. Dengan pribahasa seperti ini sesuatu yang abstrak dapat di gambarkan dengan sesuatu yang konkret sehingga lebih berkesan bagi pembaca maupun pendengar dari pada ungkapan biasa.
2.      Amtsal kaminah pribahasa dalam Al-Qur’an yang mengambil dari pribahasa yang lazim digunakan orang arab, tapi diungkapkan dengan ungkapan Al-Qur’an sendiri. Contoh dalam tradisi arab ada pepatah yang berbunyi Khoirul umur awsathuha, terakndung dalam beberapa ayat AL-Quran seperti laa taj’al yadaka maghluulatan ‘ala unuuqika wa laa tabshuthha kullal basthi.... dan lain-lain
3.      Amtsal mursalah adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang aslinya bukan pribahasa namun dalam perckapan sehari-hari ayat tersebut disebut pribahasa.

F.      Faedah-faedah amtsal
            Amtsal, jama’ dari matsal. Matsal, mitsi, dan matsil, sama dengan syabah, syibh dan syabih (semakna).
            Matsal dimaknakan dengan keadaan, kisah dan sifat yang menarik perhatian, menkajubkan, seperti firman Allah swt:
مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُوْنَ....(الرعد ۳۵)
“Yakni kisah surga dan sifatnya yang menakjubkan yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa….” (Q.S, Ar Ra’d:35).
Di dalam ilmu adab (sastra), matsal, diartikan dengan:
قَولٌ مَحْكِيٌّ سَائِرُ يُقْصَدُ مِنْهُ تَشْبِيْهُ حَالِ الَّذِي حُكِيَ فِيْهِ بِحَالِ الَّذِي قِيْلَ لِأَجْلِهِ.
“Suatu perkataan yang dihikayatkan dan sudah berkembang yang dimaksudkan dari, menyerupakan keadaan orang yang dihikayatkan padanya dengan keadaan orang yang matsal itu dibicarakan..”
Seperti:
رُبَّ رَمْيَةٍ مِنْ غَيْرِ رَامٍ
“Yakni berapa banyak bidikan yang tepat yang terjadi dari sesorang pelempar (lemparan yang tepat) yang biasanya tidak tepat lemparannya.
Faedah-faedahnya yakni:
a.       Melahirkan sesuatu yang mudah dipahami dengan akal.
b.      Mengemukakan sesuatu yang jauh dari pikiran dengan sesuatu yang dekat dengan pikiran.
c.       Mengumpulkan makna yang indah dalam suatu ibarat yang pendek.

Gaya bahasa Al-Qur’an selanjutnya yaitu sumpah atau yang biasa disebut dengan aqsaam Al-Qur’an yaitu sumpah-sumpah Allah dalam Al-Quar’an. Aqsamul Qur’an adalah pembahasan mengenai bagian-bagian Al-Qur’an dari segi cara penunjukan makna dari lafadz-lafadz Al-Qur’an. Misalnya mengenai manthuq dan mafhum, ‘am dan khash, mutlaq dan muqoyyad, mujmal dan mubayan, serta muhkam dan mutasyabbih dari Al-Qur’an. dalam banyak ayat Alloh bersumpah dengan berbagai sebab mulai dari dzat-Nya sendiri sampai dengan makhluk-Nya,seperti manusia, matahari waktu duha, dan sebagainya. Dari segi struktur sumpah biasanya tesusun dari huruf sumpah (qasam), subjek yang dijadikan sumpah (muqsam bih) dan inti pesan yang dikuatkan dengan inti sumpah tersebut (muqsam ‘alaih atau jawab qasam). Di dalam Al-Qur’an huruf yang digunakan adalah huruf waw dan ungkapan laa uqsimu.
G.     MANTHUQ DAN MAFHUM
Manthuq yaitu apa yang ditunjukkan oleh lafadz pada saat di ucapkan. Contohnya, “maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (ibu bapak) perkataan ‘ah” (Q.S. Al- Isra :23)
Ayat ini menunjukan makna pengharaman mengucapkan kepada kedua orang tua. Jadi, Manthuq yaitu makna yang dapat di fahamai dari lafadz tanpa harus mentransformasikan kepada makna yang telintas dalam benak yang menjadi tuntutan atau konsekuensi logis dari makna Manthuq-nya.
Sedangkan dalalah manthuq dalam Al-Qur’an harus dibawa ke makna syar’i-nya, karena nabi memang diutus untuk menyampaikan syariat.
Misalnya pemahaman kata “shiyam” dalam ayat. “wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kalian ‘shiyam’ sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian.” (QS Al-Baqarah: 183)
Kata ‘shiyam di atas harus di bawa kemakna syar’inya dulu yakni, “menahan diri dari segala sesuatu yang menyebabkan batalnya puasa dari pagi hari sampai malam  hari dengan disertai niat”. Jadi tidak diartikan dengan makna lughowinya yaitu menahan diri.
Jika suatu lafadz tidak mempunya makna syar’i, maka ia wajib diberi makna ‘urfi-nya. Yakni makna yang telah dipakai dalam adat kebiasaan yang ada pada masa Nabi saw, jika lafadz tersebut tidak mempunyai makna ‘urfi, barulah dibawa kemakna lughowi-nya.
Mafhum, adalah apa yang ditunjukan oleh suatu lafadz tidak pada saat diucapkan, tapi pada saat diam. Mafhum ada dua yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
H.    MAFHUM MUWAFFAQOH
Yaitu makna yang ditunjukan lafadz pada saat diam sama dengan makna manthuqnya. Mafhum muwafaqah disebut juga fahwa al khitbah atau lahn al khitbah. Misal dalam firman Allah:
فلا تقلهما أف
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (ibu bapak) perkataan ‘ah’”
(Q.S, Al-Isra’ : 23).
Dalam ayat ini di jelaskan bahawa berkata ‘ah’ kepada orang tua di haramkan (manthuq), secara mafhum dalam ayat ini tersirat makna di larang memukul, dan  menghina keduanya, apalagi sampai membunuh keduanya tentu lebih  haram lagi, inilah yang disebut mafhum muwafaqah. Kadang makna mafhum setara atau tidak lebih luas dari makna manthuqnya.
I.       MAFHUM MUKHALAFAH
Adalah makna yang ditunjukan lafadz saat diam berbeda dengan makna manthuqnya. Mafhum mukhalafah oleh Ibnu Warak disebut juga dalilu al khitbah. Mafhum mukhalafah ada 4 macam yaitu:
a.       Mafhum shifat, yakni pengkaitan status hukum dengan sifat yang dapat dipahami sebagai illat (sebab hukum) (Hasan 1983). Contoh dalam surat Al-Hujarat: 6
Wahai orang-orang yang beriman jika dating kepadamu orang fasik dengan membawa berita, maka periksalah dengan teliti”
Ayat ini secara manthuq menunjukan kewajiban tabayyun (memeriksa atau konfirmasi dengan teliti) suatu berita jika yang membawa berita adalah orang fasik. Mafhummukhalafah-nya adalah jika yang membawa berita orang adil dan dapat dipercaya maka tidak wajib melakukan tabayyun.
b.      Mafhum syarat, adalah pengkaitan hukum dengan syarat. Jadi hukum akan berlaku jika disertai syarat jika tidak ada syarat maka hukum tidak berlaku. Contoh dalam surat Ath-thalaq: 6
Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya….”
Ayat ini menunjukan kewajikan memberi nafkah kepada istri yang di talaq sedang ia dalam keadaan hamil, jika istri tidak dalam keadaan hamil maka tidak wajib memberikan nafkah karena tidak terwujudnya syarat pemberian nafkah, yaitu kehamilan.
c.       Mafhum ghayah, yaitu pengkaitan hukum dengan suatu tujuan, apabila tujuan sudah tercapai maka hukum atau maknanya berkebalikan dengan sebelum tercapainya tujuan. Misalnya dalam surat Al-Baqarah: 187
Kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam hari”
Manthuq dari ayat di atas menjelaskan wajibnya puasa sampai permulaan malam (magrib). Mahfuh mukhalafah-nya yaitu tidak wajib berpuasa setelah masuknya malam.
d.      Mafhum ‘adad adalah pengkaitan hukum dengan suatu bilangan tertentu, apabila di luar bilangan tersebut maka berlaku hukum berlawanan. Misalkan dalam surat An-Nuur: 4 yang artinya “Dan orang yang menuduh wanita baik-baik (berbua zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi maka deralaah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera (cambukan).

J.        ‘AM DAN KHASH
‘am atau ‘umum adalah lafadz yang mencakup semua apa yang pantas baginya dengan satu lafadz. Misalnya al-qauum, maka hanya dengan sekali lafadz, sudah meliputi semua kaum, seperti kaum arab, kaum Persia, kaum romawi, dan sebagainya. Sedangkan khas yaitu mengeluarkan sebagian apa yang dicakup oleh suatu lafadz atau memindahkan lafadz dari makna umum kemakna khusus. Khas dibagi menjadi dua yaitu:
a.       Khas muttashil terwujud jika lafadz yang umum dan yang khusus terangkai dalam satu nash. Khas ini terbagi lagi menjadi empat macam yaitu, khas dengan istitsna’, khas dengan shifat, khas dengan ghayab, khas dengan syarat.
b.      Khas munfasil terwujud jika lafadz yang umum dan yang khusus terangkai dalam nash yang terpisah.

K.     MUTLAQ DAN MUQAYYAD
Mutlaq yaitu lafadz yang menunjukan makna luas pada jenisnya. Misalnya kalimat “ro’aitu rojuulan” kata “rojuulan” bersifat mutlak tanpa penjelasan sifat-sifat seperti laki-laki arab, laki-laki Indonesia, dan sebagainya. Adapun muqoyyad adalah lafadz yang menunjukan makna luas dalam jenisnya disertai dengan sifat-sifat tertentu. Contoh, ro’aitu rajuulan urduniyyah” kata rojuulan urduuniyyah merupakan lafadz muqoyyad, Karen sudah diberi sifat yaitu Yordania.
Sumpah umunya digunakan untuk menguatkan sebuah argumen agar orang sebelumnya tidak percaya menjadi percaya, begitu pula dalam Al-Qur’an, karena pada saat itu kebiasaan orang arab mengambil keputusan dengan dua cara, dengan saksi dan sumpah.
Mengenai Alloh bersumpah dengan makhlukNya disini ada beberapa penjelasan yaitu:
1.      Yang ditekankan dalam sumpah tersebut Dzat Alloh sendiri, seperti dalam lafadz wa al-syamsyi yang berarti demi Sang Pencipta matahari, yaitu dengan membuang mudhofnya pada penulisan di Al-Qur’an.
2.      Alloh bersumpah dengan objek-objek yang dikenali orang arab.
3.      Biasanya orang bersumpah dengan sesuatu yang lebih tinggi dari dirinya.
Gaya bahasa lain yang unik dalam AL-Qur’an yaitu gaya pengisahan yang biasa disebut qishash Al-Qur’an. Secara bahasa kata qishosh berasal dari kata qishshohyang berarti tatabbu’u l syay’ (sesuatu yang berurut-urutan), dikatana unik karena kisah-kisah dalam Al-Qur’an tidak sama dengan kisah-kisah pada umunya, yang merupakan pengungkapan kembali suatu peristiwa atau perjalanan hidup seseorang atau bangsa pada masa lalu secara kronologis mulai dari awal hingga akhir, sesuai dengan makna dasar kata tersebut. Sedangkan dalam Al-Qur’an mempunyai keunikan tersendiri dalam manyampaikan kisah-kisah tersebut, diantaranya yaitu:
a.       Fragmentasi atau bersifat penggalan-penggalan yang tidak utuh kecuali kisan Yusuf dalam surat yusuf yang relatif utuh, hal ini bertujuan agar pesan-pesan moral dapat ditangkap oleh pembaca maupun pendengarnya.
b.      Anonim yakni tidak menyebutkan nama tokohnya secara jelas kecuali nama tokoh utama seperti nama nabi.
c.       Diulang-ulang, bahwa kisah dalam Al-Qur’an sering diulang dan tersebar pada beberapa surat
Gaya pengisahan Al-Qur’an yang demikian itu dimaksudkan sebagai sarana yang efektif untuk menyampaikan tujuan-tujuan religious. Kisah dalam Al-Qur’an bergaya fragmental agar pesan yang disampaikan cepat sampai kepada pendengar atau dengan kata lain pendengar atau pembaca mudag memahami pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an. Kisah-kisah Al-Qur’an bertujuan menanamkan tauhid, kesatuan agama, kesinambungan ajaran para rosul, keseragaman langkah dalam berdakwah, dan keterpaduan tujuan akhir yang hendak dicapai.[9]

L.      Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut:
1.       Dimensi sastrawi dalam al-Qur’an memperlihatkan betapa tinggi kefasihan bahasa dan keindahan susunan kalimat-kalimatnya yang tidak dapat ditandingi oleh karya sastra apapun.
2.       Majaz adalah sebuah kalimat di dalam al qur’an yang pada ungkapannya tidak sesuai dengan makna asalnya, namun terdapat hubungan dengan maksud kedua dari ungkapan itu. Majaz diklasifikasikan dalam dua bentuk yaitu aqli dan lughowi. 
3.       Uslub al-Qur’an berarti gaya bahasa yang unik dalam susunan kalimat-kalimat dan pilihan katanya. Gaya bahasa yang dimiliki al-Qur’an sangat bervariasi, mulai dari amtsal, qasam, qasas, jadal, khabar, al-insya’, tasybih, isti’arah, haqiqah, majaz, dll.

Daftar Pustaka      
Hitami, Munzir. 2012. Pengantar Studi al-Qur’an Teori dan Pendekatan. Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang
Abidin, Zainal. Seluk-Beluk al-Qur’an
A.      Ghani, Bustami, Umam, Chatibul. 1994. Beberapa Aspek Ilmiah tentang Qur’an. Jakarta: P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Shihab, M. Quraish, dkk. 1999. Sejarah dan ‘ulumul Qur’an. Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus
Abdurrahman, Emsoe, Ranoedarsono, Priyanto. 2009. The Amazing Stories of al-Qur’an Sejarah yang Harus Dibaca. Bandung: PT Karya Kita

Revisi:
1.      Tidak ditemukan adanya indikasi copy-paste.
2.      Tidak terdapat footnote dalam abstrak.
3.      Pendahuluan tidak usah ada rumusan masalah dan tujuan. Perhatikan instruksi saya di awal perkuliahan.
4.      Makalah ini kurang referensial.
5.      Pembahasan yang tidak masuk dalam kategori majaz al-Qur’an, hendaknya dihilangkan.

Tolong makalahnya lebih diperbaiki. Memang tema Majaz al-Qur’an merupakan pembahasan yang cukup sulit dan saya menghargai usaha Anda dalam membuat makalah ini. Namun tolong revisi-revisi di atas dan arahan-arahan saya di kelas dilakukan supaya makalah Anda menjadi makalah yang berkualitas. Semangat!!!!


[1]Abdurrahman, Emsoe, Ranoedarsono, Priyanto. 2009. The Amazing Stories of al-Qur’an Sejarah yang Harus Dibaca. Bandung: (PT Karya Kita) 69
[2]Hitami, Munzir. 2012. Pengantar Studi al-Qur’an Teori dan Pendekatan. Yogyakarta: (PT. LKiS Printing Cemerlang)48


[4]Shihab, M. Quraish, dkk. 1999. Sejarah dan ‘ulumul Qur’an. Jakarta: (Penerbit Pustaka Firdaus)117-118

[5]Abidin, Zainal. Seluk-Beluk al-Qur’an. (128)

[6]A.Ghani, Bustami, Umam, Chatibul. 1994. Beberapa Aspek Ilmiah tentang Qur’an. Jakarta: (P.T. Pustaka Litera AntarNusa) 50-51
[7]Shihab, M. Quraish, dkk. 1999. Sejarah dan ‘ulumul Qur’an. Jakarta: (Penerbit Pustaka Firdaus) 122
[8]Hadist dikeluarkan dan dinyatakan sahih oleh Hakim, dan Baihaqi dalam ad-Dalaa’il
[9]Abidin, Zainal. Seluk-Beluk al-Qur’an(126-136)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar