MAJAZ
AL-QUR’AN
Ahmad Fadilah Khomsah, Asy
Syahrul Ibrahim
PBA-D Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
E-mail : fadilkhomsah@gmail.com
Abstract
This discussion
explains about kind of Majaz in the Al-Qur’an. Qur'an is a guide for people who apply whenever and
wherever. to understand the Qur'an properly, one must master the Arabic
language well. Besides, one should also understand the language of force,
because the Qur'an is the holy book that has the wording and sentences ranging
from amtsal, qasam, Qasas, jadal, khabar, al-insha ', tasybih, isthi'arah,
haqiqah, majaz, etc. In view of literary Qur'an shows just how high the fluency
and beauty of the arrangement of sentences that can not be matched in any
literary works. as one of the stylistic al quran is majaz. majaz is a sentence
in the Qur'an that the expression that does not conform with the original
meaning, but there is a relationship with both the intent of the form. majaz
classified into two: aqli and lughowi.[1]
Keywords: majaz, language
style, al-Qur’an
A. Pendahuluan:
1. Latar
Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci
umat islam yang diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab yang sangat jelas dan
terang. “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa
Arab agar kalian memahaminya” (QS: Yusuf: 2). Untuk memahami al-Qur’an dengan
baik, tentulah seseorang itu harus menguasai bahasa Arab dengan baik pula.
Tanpanya al-Qur’an tak mampu untuk dikuasai.
Al-Qur’an adalah petunjuk
bagi manusia, berlaku sampai kapanpun dan dimanapun sejak Al-Qur’an itu
diturunkan. Untuk memahami Al-Qur’an sebagai kitab suci yang mengandung
nilai-nilai dan petunjuk bagi kehidupan manusia, diperlukan adanya suatu
pendekatan tertentu dan salah satunya adalah dengan memahami gaya bahasa
al-Qur’an seperti majaz. Majaz adalah suatu cara pengungkapan terhadap suatu
gagasan yang bersifat abstrak dan konseptual. Dengan ilmu ini akan diketahui
rahasia bahasa Arab dalam bentuk gaya bahasa serta keindahan sastra Al-Qur’an
dan Hadits. Oleh karena itu, tanpa mengetahui ilmu Majaz, sesorang tidak akan
dapat menilai apalagi memahami isi Al-Qur’an dan Hadits nabi secara mendalam.
Uslub al-Qur’an berarti gaya
bahasa yang unik dalam susunan kalimat-kalimat dan pilihan katanya. Gaya bahasa
yang dimiliki al-Qur’an sangat bervariasi, mulai dari amtsal, qasam, qasas,
jadal, khabar, al-insya’, tasybih, isti’arah, haqiqah, majaz, dll. Keunikan
uslub al-Qur’an dapat dilihat pada: keluwesan lafalnya, menarik, dan
menakjubkan, serta keindahan bahasanya. [2]
2. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang
tersebut maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Dimensi
sastrawi dalam al-Qur’an
2. Pengertian
majaz al-Qur’an[3]
3. Macam-macam
dan contoh majaz al-Qur’an
3. Tujuan
1. Mengetahui
dimensi sastra dalam al-Qur’an
2. Mengerti
dan memahami tentang definisi majaz al-Qur’an
3. Mengetahui
dan memahami macam-macam dan contoh majaz al-Qur’an
B. Dimensi
Sastrawi dalam al-Qur’an
Memang tidak diragukan lagi
bahwasanya keindahan al-Qur’an yang terletak pada susunan kata dan pola-pola
kalimatnya. Syaikh Fakhruddin al-Razi, penulis tafsir al-Qur’an berjudul Mafatif
al-Ghaib, menyatakan bahwa kefasihan bahasa, keindahan susunan kata, dan
pola-pola kalimat al-Qur’an luar biasa. Sementara itu Qadhi Abu Bakar dalam
I’jaz al-Qur’an menyatakan bahwa memahami kemukjizatan al-Qur’an dari segi
keindahan kebahasaannya jika dibandingkan dengan syair dan sastra Arab, amat
sukar ditandingi. Abu Hasan al-Quthajani menyatakan bahwa keluarbiasaan
al-Qur’an itu antara lain terlihat dalam konsistensi, kefasihan bahasanya, dan
keindahan susunan kalimatnya. Bahkan al-Qur’an amat sempurna dilihat dari semua
segi, sehingga tidak mungkin menentukan tingkatan keindahan susunannya itu
karena tidak ada alat untuk mengukurnya.
Kutipan-kutipan di atas memperlihatkan
betapa tinggi kefasihan bahasa dan keindahan susunan kalimat-kalimat al-Qur’an.
Semua ini merupakan bagian dari kemu’jizatannya, sehingga mereka yang menentang
kebenaran al-Qur’an tidak mampu menciptakan karya sastra seperti kitab suci
ini. Bundar ibn Husein al-Farisi, seorang ilmuwan dan sastrawan besar dari
Persia menyatakan bahwa tingkat kefasihan dan keindahan bahasa al-Qur’an berada
di luar jangkuan kemampuan manusia. Kalau mereka mencoba, bisa-bisa mereka
malah sesat.
Walaupun demikian, bukan
mustahil bagi manusia mempelajari dan mendalami sisi-sisi kebahasaan al-Qur’an.
Bagian-bagian kebahasaan yang menjadi pusat gaya bahasa al-Qur’an.[4]
C. Pengertian
Majaz al-Qur’an
Majaz dalam pengertian
bahasa, berasal dari bahasa arab jaza-yajuzu-jauzan dan jawazan artinya
melawati, melebihi atau membolehkan. Selanjutnya majaz berarti metafora dalam
kamus besar bahasa Indonesia artinya adalah suatu ungkapan secara langsung
berupa perbandingan yang logis atau masuk akal. Dalam pengertian ini majaz
adalah suatu ungakapan yang melebihi atau melewati kata asal dengan
perbandingan yang masuk akal untuk menyampaikan makna.
Menurut istilah, majaz
memiliki beberapa pengertian yaitu:
majaz adalah kata atau
ungkapan yang digunakan tidak sesuai dengan asal penggunaanya yang pertama
karena adanya indikasi yang menghalangi dinyatakan makna yang hakiki.
Menurut beberapa ahli, majaz
adalah lafadz yang digunakan bukan pada maknanya karena sebuah hubungan dan
indicator (qorinah). Majaz adalah ungkapan yang digunakan untuk maksud
yang kedua karena sebuah hubungan.
Dari beberapa pengertian
istilah di atas disimpulkna bahwa majaz adalah sebuah kalimat dalam al qur’an
yang pada ungkapannya tidak sesuai dengan makna asalnya, namun terdapat
hubungan dengan maksud kedua dari ungkapan itu.
Jika segi majaz dihilangkan
niscaya dia akan kehilangan segi keindahannya. Bahkan para ulama’ telah sepakat
bahwa majaz lebih baliqh (lebih baik nilai bahasanya) ketimbang hakikat.
Seandainya majaz harus dihilangkan dari al qur’an niscaya harus pula
dibersihkan dari adanya hadzaf (pembuangan kata), taukid (kata penguat),
pengualangan kisah dan lain sebagainya.[5]
D. Macam-macam dan Contoh
Majaz al-Qur’an
Majaz menurut para ahli
balaghah dibagi menjadi dua macam: majaz aqli dan majaz lughowi
1.
Majaz aqli adalah, mempredikatkan suatu
predikat kepada yang buka subjek semestinya karena adanya keterlibatan.
Tujuannya yaitu untuk menunjukan peranan utama yang dimainkan sebagai unsur
penting (Ahmad Badawi, 223) sebagaimana terlihat dalam ayat ini:
اِنَّفِرْعَوْنَعَلَافِىالْاَرْضِوَجَعَلَاَهْلَهَاشِيَـعًايَّسْتَضْعِفُطَآئِفَةًمِّنْهُمْيُذَبِّحُاَبْنَآءَهُمْوَيَسْتَحْيٖنِسَآءَهُمْؕاِنَّهٗكَانَمِنَالْمُفْسِدِيْنَ
"Sungguh, Fir'aun
telah berbuat sewenang-wenang di bumi dan menjadikan penduduknya
berpecah-belah, dia menindas segolongan dari ia. Sungguh, dia (Fir'aun)
termasuk orang yang berbuat kerusakan." (QS. Al-Qasas: Ayat 4)
Tidaklah
masuk akal apabila Fir’aun sendiri yang menyembelih tetapi dialah yang
memerintahkan penyembalihan itu. Seandainya tidak ada perintah maka tidak akan
terjadi tindakan itu. Para prajurit yang melaksanakan hanyalah sekedar sebagai
alat yang menjalankan perintah. Hal seperti ini diketahui dengan akal maka
dinamakan majas aqli.
Demikian
pula ayat yang menggambarkan hari kiamat penuh dengna peristiwa-peristiwa yang
mengerikkan yang membuat jiwa penuh rasa takut dan cemas yang menyebabkan orang
tumbuh uban. Hari kiamat tersebut merupakan wahana terjadinya
peristiwa-peristiwa tersebut. Karena itu patutlah bila beruban tadi diisnadkan
kepada (menjadi predikat) hari kiamat dalam ayat berikut:
فَكَيْفَتَتَّقُوْنَاِنْكَفَرْتُمْيَوْمًايَّجْعَلُالْوِلْدَانَشِيْبَا
"Lalu bagaimanakah
kamu akan dapat menjaga dirimu jika kamu tetap kafir kepada hari yang
menjadikan anak-anak beruban."
(QS. Al-Muzzammil: Ayat 17)
Cara seperti ini boleh
terjadi karena adanya hubungan yang erat antara peristiw adan waktu terjadinya.
Ini juga disebut majaz aqli. Contoh lain majaz aqli yaitu:
اِنَّمَاالْمُؤْمِنُوْنَالَّذِيْنَاِذَاذُكِرَاللّٰهُوَجِلَتْقُلُوْبُهُمْوَاِذَاتُلِيَتْعَلَيْهِمْاٰيٰتُهٗزَادَتْهُمْاِيْمَانًاوَّعَلٰىرَبِّهِمْيَتَوَكَّلُوْنَ
"Sesungguhnya
orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar
hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat)
imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal," (QS. Al-Anfal: Ayat 2).
Pertambahan imannya terebut
dinisbatkan kepada ayat, pedahal sebenarnya merupakan sebeb bagi bertambahnya
keimanan.
Termasuk majaz maenyebutkan
keseluruhan tetapi yang dimaksudkan hanya sebagiannya, seperti firman Alloh:
اَوْكَصَيِّبٍمِّنَالسَّمَآءِفِيْهِظُلُمٰتٌوَّرَعْدٌوَّبَرْقٌۚيَجْعَلُوْنَاَصَابِعَهُمْفِيْۤاٰذَانِهِمْمِّنَالصَّوَاعِقِحَذَرَالْمَوْتِؕوَاللّٰهُمُحِيْطٌۢبِالْكٰفِرِيْنَ
"Atau seperti (orang
yang ditimpa) hujan lebat dari langit, yang disertai kegelapan, petir, dan
kilat. Mereka menyumbat telinga dengan jari-jarinya, (menghindari) suara petir
itu karena takut mati. Allah meliputi orang-orang yang kafir." (QS.
Al-Baqarah: Ayat 19)
Yakni dengan ujung jarinya. Ungkapan
tersebut memberikan isyarat tentang sikap keberpalingan yang amat sangat.
2.
Adapun majaz lughawi ialah pengguanaan kata untuk pengertian
yang bukan semestinya karena ada hubungan antara kedua arti itu, yang bukan
hubungan persamaan. Menurut Ahmad Badawi, banyak para ahli yang giat mengadakan
studi tentang majaz lughawi dalam Al-Qur’an, yang terkadang terlalu rumit
sehingga banya sekali ayat-ayat yang dianggapnya majaz. Tetepi Badawi kurang
menyetujui cara mereka itu, karena kalua kita mengikuti cara mereka itu, maka
semua yang kita katakanhampir menjadi majaz. (224).
Di sini akan dikemukakan
beberpa ayat yang mengandung majaz lughawi antara lain ayat 36 surat yusuf:
وَدَخَلَمَعَهُالسِّجْنَفَتَيٰنِؕقَالَاَحَدُهُمَاۤاِنِّيْۤاَرٰٮنِيْۤاَعْصِرُخَمْرًاۚوَقَالَالْاٰخَرُاِنِّيْۤاَرٰٮنِيْۤاَحْمِلُفَوْقَرَأْسِيْخُبْزًاتَأْكُلُالطَّيْرُمِنْهُؕنَبِّئْنَابِتَأْوِيْلِهٖۚاِنَّانَرٰٮكَمِنَالْمُحْسِنِيْنَ
"Dan bersama dia masuk
pula dua orang pemuda ke dalam penjara. Salah satunya berkata,
"Sesungguhnya aku bermimpi memeras anggur," dan yang lainnya berkata,
"Aku bermimpi, membawa roti di atas kepalaku, sebagiannya dimakan burung.
Berikanlah kepada kami takwilnya. Sesungguhnya kami memandangmu termasuk orang
yang berbuat baik.” (QS. Yusuf: Ayat 36)
Bagaimana khamr bisa
diperas. Maksudnya yang diperas itu anggur dan akan menjadi khamr. Ini sama
dengan kita mengatakan: ibu memeras santan. Yang diperas adalah kelapa yang
akan menjdai santan. Juga seperti: ibu memasak nasi. Yang dimasak adalah beras
yang akan menjadi nasi.[6][7]
Dari Ibn Abbas, Walid bin
MughIrah datang kepada Nabi saw, lalu nabi membacakan Al-Qur’an kepadanya, maka
hati walid menjadi lunak karenanya. Berita ini sampai ke telinga Abu Jahal.
Lalau ia mendatanginya seraya berkata: “Wahai pamanku Walid, sesungguhnya
kaummu hendak mengumpulkan harta benda untuk diberikan kepadamu, tapi kamu
malah datang kepada Muhammad untuk mendapatkan anugerahnya.” Walid menjawab: ”Sungguh
kaum Quraisy telah mengetahui bahwa aku orang yang paling banyak hartanya.” Abu
Jahal berkata: “Kalau begitu katakanlah tentang dia, kata-kata yang akan kau
sampaikan kepada kaummu bahwa kau mengingkari dan membenci Muhammad.” Walid
menjawab: “Apa yang harus ku katakana? Demi Alloh, di antara kamu tidak ada
seorangpun yang lebih tahu dari aku tentang sya’ir, rajaz, dan qosidah-nya
dan tentang sya’ir-sya’ir jin. Demi Allah, apa yang dikatakan Muhammad
tersebut tidak sama dengan sya’ir-sya’ir tersebut. Demi Alloh, kata-kata
yang diucapkannya sungguh manis; bagian atasnya berbuah dan bagian bawahnya
mengalirkan air segar. Ucapannya itu sungguh tinggi, tak dapat diungguli,
bahkan dapat menghancurkan apa yang ada dibawahnya.” Abu Jahal menimpali: “Demi
Allah, kaummu tidak akan senang sampai kamu mengatakan sesuatu tentang dia.”
Walid menjawab. “Biarkan aku berpikir sebentar.” Maka setelah berpikir, ia
berkata: “Ini adalah sihir yang dipelajari. Ia mempalajarinya dari orang lain.”
Lalu turunlah firman Allah: Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku
telah menciptakannya sendirian. (al-Muddasir [74]:11). [8]
Paham sunni meyakini bahwa
gaya bahasa atau uslub AL-Qur’an merupakan salah satu mu’jizat (i’jaz) Al-Qur’an, karena kualitasnya
yang tinggi dan keindahannya. Para ahli bahasa arab telah menekuni bahasa arab
ini dengan segala variasinya sejak bahasa itu tumbuh sampai berkembang pesat
sampai menjadi raksasa perkasa yang tegar saat ini. Mereka mengubah prosa,
puisi, kata-kata bijak dan masal yang tunduk pada aturan bayan dan
diekspresikan dalam uslub-uslubnya yang memukau, dalam gaya
hakiki dan majazi (metafora), itnab dan ijaz, serta tutur dan
ucapnya. Meskipun bahasa telah meningkat dan tinggi dengan berbagai keragaman
variasinya, tapi dihadapan Al-Qur’an, dengan segala kemukjizatan bahasanya, ia
menjadi pecahan-pecahan kecil yang tunduk menghormati dan takut dengan uslub
Al-Qur’an. Sebenarnya UslubAl-Qur’an tidak keluar dari aturan-aturan
mereka, baik lafadz dan huruf-hurufnya maupun susunan an uslubnya. Akan
tetapi Alqur’an jalinan huruf-hurufnya serasi, ungkapannya indah, uslubnya
manis, ayat-ayatnya teratur, serta memperhatikan situasi dan kondisi dalam
berbagai macam bayannya, baik dalam jumlah ismiah dan fi’liah-nya,
dalam nafi dan isbatnya, dalam taqdim dan ta’khirnya, dalam
itnab dan ijaz-nya, dalam fahwa dan nass-nya,
maupun dalam hal lainnya. UslubAl-Qur’an berarti gaya Alquran yang unik
dalam susunan kalimatnya dan pemilihan katanya. Gaya bahasa adalah cara atau
metode yang digunakan oleh pengarang tersebut dalam memilih kosa kata dan
penyusunan kalimat. Keunikan gaya bahasa Al-Qur’an dapat dilihat pada beberapa
aspek antara lain:
a. Keluwesan
lafalnya, menarik, manakjubkan, serta keindahan maknanya.
b. Sentuhan
bahasanya yang mudah dimengerti baik orang awam maupun orang khusus.
c. Sesuai
dengan akal dan emosi atau perasaan.
d. Keindahan
dan kehalusan jalinan antar bagian-bagian dalam Al-Qur’an.
e. Kecermelangannya
dalam memilih kata dan kekayaannya dalam seni kalimat.
f.
Kombinasi antara keindahan dan kejelasan.
g. Kesesuaian
antara lafadz dan makna.
Untuk memberikan kesan yang
mendalam kepada pambaca maupun pendengar, Al-Qur’an menggunakan berbagai macam
gaya bahasa, seperti amtsal dan
sumpah.
E. AMTSAL
Amtsal
merupakan gaya pribahasa dalam Al-Qur’an amtsal
berasal dari kata matsal yang
berarti perumpamaan atau pribahasa, seperti dalam surat al-isra’ :89, al-furqon
:33 al-ankabut :23, dan masih banyak lagi.
Macam-macam amtsal dalam Al-Qur’an:
1. Amtsal zhahirah musharrohah
Gaya pribahasa yang
diungkapkan dengan kata matsal itu sendiri, seperti kalimat matsaluhum kamatsalilladzis tau qodanaaroo, dan
sejenisnya. Dengan pribahasa seperti ini sesuatu yang abstrak dapat di
gambarkan dengan sesuatu yang konkret sehingga lebih berkesan bagi pembaca
maupun pendengar dari pada ungkapan biasa.
2. Amtsal kaminah pribahasa dalam Al-Qur’an
yang mengambil dari pribahasa yang lazim digunakan orang arab, tapi diungkapkan
dengan ungkapan Al-Qur’an sendiri. Contoh dalam tradisi arab ada pepatah yang
berbunyi Khoirul umur awsathuha, terakndung
dalam beberapa ayat AL-Quran seperti laa
taj’al yadaka maghluulatan ‘ala unuuqika wa laa tabshuthha kullal basthi.... dan
lain-lain
3. Amtsal mursalah adalah ayat-ayat Al-Qur’an
yang aslinya bukan pribahasa namun dalam perckapan sehari-hari ayat tersebut
disebut pribahasa.
F. Faedah-faedah
amtsal
Amtsal, jama’
dari matsal. Matsal, mitsi, dan matsil, sama dengan syabah,
syibh dan syabih (semakna).
Matsal dimaknakan dengan keadaan, kisah dan sifat
yang menarik perhatian, menkajubkan, seperti firman Allah swt:
مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ
الْمُتَّقُوْنَ....(الرعد ۳۵)
“Yakni
kisah surga dan sifatnya yang menakjubkan yang dijanjikan kepada orang-orang yang
bertaqwa….” (Q.S,
Ar Ra’d:35).
Di dalam ilmu adab (sastra),
matsal, diartikan dengan:
قَولٌ مَحْكِيٌّ سَائِرُ يُقْصَدُ مِنْهُ
تَشْبِيْهُ حَالِ الَّذِي حُكِيَ فِيْهِ بِحَالِ الَّذِي قِيْلَ لِأَجْلِهِ.
“Suatu
perkataan yang dihikayatkan dan sudah berkembang yang dimaksudkan dari,
menyerupakan keadaan orang yang dihikayatkan padanya dengan keadaan orang yang
matsal itu dibicarakan..”
Seperti:
رُبَّ رَمْيَةٍ مِنْ غَيْرِ رَامٍ
“Yakni
berapa banyak bidikan yang tepat yang terjadi dari sesorang pelempar (lemparan
yang tepat) yang biasanya tidak tepat lemparannya.
Faedah-faedahnya yakni:
a. Melahirkan
sesuatu yang mudah dipahami dengan akal.
b. Mengemukakan
sesuatu yang jauh dari pikiran dengan sesuatu yang dekat dengan pikiran.
c. Mengumpulkan
makna yang indah dalam suatu ibarat yang pendek.
Gaya bahasa Al-Qur’an
selanjutnya yaitu sumpah atau yang biasa disebut dengan aqsaam Al-Qur’an yaitu sumpah-sumpah Allah dalam Al-Quar’an. Aqsamul
Qur’an adalah pembahasan mengenai bagian-bagian Al-Qur’an dari segi cara
penunjukan makna dari lafadz-lafadz Al-Qur’an. Misalnya mengenai manthuq dan
mafhum, ‘am dan khash, mutlaq dan muqoyyad, mujmal
dan mubayan, serta muhkam dan mutasyabbih dari Al-Qur’an.
dalam banyak ayat Alloh bersumpah dengan berbagai sebab mulai dari dzat-Nya
sendiri sampai dengan makhluk-Nya,seperti manusia, matahari waktu duha, dan
sebagainya. Dari segi struktur sumpah biasanya tesusun dari huruf sumpah (qasam), subjek yang dijadikan sumpah (muqsam bih) dan inti pesan yang
dikuatkan dengan inti sumpah tersebut (muqsam
‘alaih atau jawab qasam). Di
dalam Al-Qur’an huruf yang digunakan adalah huruf waw dan ungkapan laa uqsimu.
G.
MANTHUQ
DAN MAFHUM
Manthuq
yaitu apa yang ditunjukkan oleh lafadz pada saat di ucapkan. Contohnya, “maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (ibu
bapak) perkataan ‘ah” (Q.S. Al- Isra :23)
Ayat
ini menunjukan makna pengharaman mengucapkan kepada kedua orang tua. Jadi, Manthuq yaitu makna yang dapat di fahamai dari lafadz
tanpa harus mentransformasikan kepada makna yang telintas dalam benak yang
menjadi tuntutan atau konsekuensi logis dari makna Manthuq-nya.
Sedangkan
dalalah manthuq
dalam Al-Qur’an harus dibawa ke makna syar’i-nya, karena nabi memang
diutus untuk menyampaikan syariat.
Misalnya
pemahaman kata “shiyam” dalam ayat. “wahai orang-orang yang beriman telah
diwajibkan atas kalian ‘shiyam’ sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang
sebelum kalian.” (QS Al-Baqarah: 183)
Kata
‘shiyam di atas harus di bawa kemakna syar’inya dulu yakni, “menahan
diri dari segala sesuatu yang menyebabkan batalnya puasa dari pagi hari sampai
malam hari dengan disertai niat”. Jadi
tidak diartikan dengan makna lughowinya yaitu menahan diri.
Jika
suatu lafadz tidak mempunya makna syar’i, maka ia wajib diberi makna ‘urfi-nya.
Yakni makna yang telah dipakai dalam adat kebiasaan yang ada pada masa Nabi
saw, jika lafadz tersebut tidak mempunyai makna ‘urfi, barulah dibawa
kemakna lughowi-nya.
Mafhum, adalah apa yang ditunjukan oleh suatu lafadz tidak
pada saat diucapkan, tapi pada saat diam. Mafhum
ada dua yaitu mafhum muwafaqah
dan mafhum mukhalafah.
H.
MAFHUM
MUWAFFAQOH
Yaitu
makna yang ditunjukan lafadz pada saat diam sama dengan makna manthuqnya. Mafhum muwafaqah disebut juga fahwa al khitbah atau lahn al khitbah. Misal dalam firman
Allah:
فلا تقلهما أف
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (ibu
bapak) perkataan ‘ah’”
(Q.S,
Al-Isra’ : 23).
Dalam
ayat ini di jelaskan bahawa berkata ‘ah’ kepada orang tua di haramkan (manthuq), secara mafhum
dalam ayat ini tersirat makna di larang memukul, dan menghina keduanya, apalagi sampai membunuh
keduanya tentu lebih haram lagi, inilah
yang disebut mafhum muwafaqah.
Kadang makna mafhum setara atau tidak lebih luas dari makna manthuqnya.
I.
MAFHUM
MUKHALAFAH
Adalah
makna yang ditunjukan lafadz saat diam berbeda dengan makna manthuqnya. Mafhum mukhalafah oleh Ibnu Warak
disebut juga dalilu al khitbah. Mafhum mukhalafah ada 4 macam yaitu:
a.
Mafhum shifat,
yakni pengkaitan status hukum dengan sifat yang dapat dipahami sebagai illat (sebab hukum) (Hasan 1983). Contoh dalam surat
Al-Hujarat: 6
“Wahai orang-orang yang beriman jika dating kepadamu orang fasik
dengan membawa berita, maka periksalah dengan teliti”
Ayat
ini secara manthuq menunjukan kewajiban tabayyun
(memeriksa atau konfirmasi dengan teliti) suatu berita jika yang membawa berita
adalah orang fasik. Mafhummukhalafah-nya
adalah jika yang membawa berita orang adil dan dapat dipercaya maka tidak wajib
melakukan tabayyun.
b.
Mafhum syarat,
adalah pengkaitan hukum dengan syarat. Jadi hukum akan berlaku jika disertai
syarat jika tidak ada syarat maka hukum tidak berlaku. Contoh dalam surat
Ath-thalaq: 6
“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil,
maka berikanlah kepada mereka nafkahnya….”
Ayat
ini menunjukan kewajikan memberi nafkah kepada istri yang di talaq sedang ia
dalam keadaan hamil, jika istri tidak dalam keadaan hamil maka tidak wajib
memberikan nafkah karena tidak terwujudnya syarat pemberian nafkah, yaitu
kehamilan.
c.
Mafhum ghayah,
yaitu pengkaitan hukum dengan suatu tujuan, apabila tujuan sudah tercapai maka
hukum atau maknanya berkebalikan dengan sebelum tercapainya tujuan. Misalnya
dalam surat Al-Baqarah: 187
“Kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam hari”
Manthuq
dari ayat di atas menjelaskan wajibnya puasa sampai permulaan malam (magrib). Mahfuh mukhalafah-nya yaitu tidak
wajib berpuasa setelah masuknya malam.
d.
Mafhum ‘adad
adalah pengkaitan hukum dengan suatu bilangan tertentu, apabila di luar
bilangan tersebut maka berlaku hukum berlawanan. Misalkan dalam surat An-Nuur:
4 yang artinya “Dan orang yang menuduh wanita
baik-baik (berbua zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi maka
deralaah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera (cambukan).”
J.
‘AM
DAN KHASH
‘am atau ‘umum adalah lafadz yang mencakup semua apa yang pantas
baginya dengan satu lafadz. Misalnya al-qauum,
maka hanya dengan sekali lafadz, sudah meliputi semua kaum, seperti kaum arab,
kaum Persia, kaum romawi, dan sebagainya. Sedangkan khas yaitu mengeluarkan
sebagian apa yang dicakup oleh suatu lafadz atau memindahkan lafadz dari makna
umum kemakna khusus. Khas dibagi menjadi dua yaitu:
a.
Khas muttashil
terwujud jika lafadz yang umum dan yang khusus terangkai dalam satu nash. Khas ini terbagi lagi menjadi empat macam yaitu, khas dengan istitsna’, khas dengan shifat, khas dengan ghayab, khas dengan syarat.
b.
Khas munfasil
terwujud jika lafadz yang umum dan yang khusus terangkai dalam nash yang terpisah.
K.
MUTLAQ
DAN MUQAYYAD
Mutlaq yaitu lafadz yang menunjukan makna luas pada
jenisnya. Misalnya kalimat “ro’aitu rojuulan”
kata “rojuulan” bersifat mutlak
tanpa penjelasan sifat-sifat seperti laki-laki arab, laki-laki Indonesia, dan
sebagainya. Adapun muqoyyad
adalah lafadz yang menunjukan makna luas dalam jenisnya disertai dengan
sifat-sifat tertentu. Contoh, ro’aitu rajuulan urduniyyah”
kata rojuulan urduuniyyah
merupakan lafadz muqoyyad,
Karen sudah diberi sifat yaitu Yordania.
Sumpah umunya digunakan untuk
menguatkan sebuah argumen agar orang sebelumnya tidak percaya menjadi percaya,
begitu pula dalam Al-Qur’an, karena pada saat itu kebiasaan orang arab
mengambil keputusan dengan dua cara, dengan saksi dan sumpah.
Mengenai Alloh bersumpah
dengan makhlukNya disini ada beberapa penjelasan yaitu:
1. Yang
ditekankan dalam sumpah tersebut Dzat Alloh sendiri, seperti dalam lafadz wa al-syamsyi yang berarti demi Sang
Pencipta matahari, yaitu dengan membuang mudhofnya pada penulisan di Al-Qur’an.
2. Alloh
bersumpah dengan objek-objek yang dikenali orang arab.
3. Biasanya
orang bersumpah dengan sesuatu yang lebih tinggi dari dirinya.
Gaya bahasa lain yang unik
dalam AL-Qur’an yaitu gaya pengisahan yang biasa disebut qishash Al-Qur’an. Secara bahasa kata qishosh berasal dari kata qishshohyang
berarti tatabbu’u l syay’ (sesuatu
yang berurut-urutan), dikatana unik karena kisah-kisah dalam Al-Qur’an tidak
sama dengan kisah-kisah pada umunya, yang merupakan pengungkapan kembali suatu
peristiwa atau perjalanan hidup seseorang atau bangsa pada masa lalu secara
kronologis mulai dari awal hingga akhir, sesuai dengan makna dasar kata
tersebut. Sedangkan dalam Al-Qur’an mempunyai keunikan tersendiri dalam
manyampaikan kisah-kisah tersebut, diantaranya yaitu:
a. Fragmentasi
atau bersifat penggalan-penggalan yang tidak utuh kecuali kisan Yusuf dalam
surat yusuf yang relatif utuh, hal ini bertujuan agar pesan-pesan moral dapat
ditangkap oleh pembaca maupun pendengarnya.
b. Anonim
yakni tidak menyebutkan nama tokohnya secara jelas kecuali nama tokoh utama
seperti nama nabi.
c. Diulang-ulang,
bahwa kisah dalam Al-Qur’an sering diulang dan tersebar pada beberapa surat
Gaya pengisahan Al-Qur’an
yang demikian itu dimaksudkan sebagai sarana yang efektif untuk menyampaikan
tujuan-tujuan religious. Kisah dalam Al-Qur’an bergaya fragmental agar pesan
yang disampaikan cepat sampai kepada pendengar atau dengan kata lain pendengar
atau pembaca mudag memahami pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an. Kisah-kisah
Al-Qur’an bertujuan menanamkan tauhid, kesatuan agama, kesinambungan ajaran
para rosul, keseragaman langkah dalam berdakwah, dan keterpaduan tujuan akhir
yang hendak dicapai.[9]
L. Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai
berikut:
1. Dimensi
sastrawi dalam al-Qur’an memperlihatkan betapa tinggi kefasihan bahasa dan
keindahan susunan kalimat-kalimatnya yang tidak dapat ditandingi oleh karya
sastra apapun.
2. Majaz adalah sebuah
kalimat di dalam al qur’an yang pada ungkapannya tidak sesuai dengan makna
asalnya, namun terdapat hubungan dengan maksud kedua dari ungkapan itu. Majaz
diklasifikasikan dalam dua bentuk yaitu aqli dan lughowi.
3. Uslub
al-Qur’an berarti gaya bahasa yang unik dalam susunan kalimat-kalimat dan
pilihan katanya. Gaya bahasa yang dimiliki al-Qur’an sangat bervariasi, mulai
dari amtsal, qasam, qasas, jadal, khabar, al-insya’, tasybih, isti’arah,
haqiqah, majaz, dll.
Daftar Pustaka
Hitami,
Munzir. 2012. Pengantar Studi al-Qur’an Teori dan Pendekatan. Yogyakarta:
PT. LKiS Printing Cemerlang
Abidin,
Zainal. Seluk-Beluk al-Qur’an
A. Ghani,
Bustami, Umam, Chatibul. 1994. Beberapa Aspek Ilmiah tentang Qur’an. Jakarta:
P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Shihab,
M. Quraish, dkk. 1999. Sejarah dan ‘ulumul Qur’an. Jakarta: Penerbit
Pustaka Firdaus
Abdurrahman,
Emsoe, Ranoedarsono, Priyanto. 2009. The Amazing Stories of al-Qur’an
Sejarah yang Harus Dibaca. Bandung: PT Karya Kita
Revisi:
1.
Tidak ditemukan adanya indikasi copy-paste.
2. Tidak
terdapat footnote dalam abstrak.
3. Pendahuluan
tidak usah ada rumusan masalah dan tujuan. Perhatikan instruksi saya di awal
perkuliahan.
4. Makalah
ini kurang referensial.
5.
Pembahasan yang tidak masuk dalam kategori
majaz al-Qur’an, hendaknya dihilangkan.
Tolong makalahnya lebih
diperbaiki. Memang tema Majaz al-Qur’an merupakan pembahasan yang cukup sulit
dan saya menghargai usaha Anda dalam membuat makalah ini. Namun tolong
revisi-revisi di atas dan arahan-arahan saya di kelas dilakukan supaya makalah
Anda menjadi makalah yang berkualitas. Semangat!!!!
[1]Abdurrahman, Emsoe, Ranoedarsono, Priyanto. 2009. The Amazing
Stories of al-Qur’an Sejarah yang Harus Dibaca. Bandung: (PT Karya Kita) 69
[2]Hitami, Munzir. 2012. Pengantar Studi al-Qur’an Teori dan
Pendekatan. Yogyakarta: (PT. LKiS Printing Cemerlang)48
[4]Shihab, M. Quraish, dkk. 1999. Sejarah dan
‘ulumul Qur’an. Jakarta:
(Penerbit Pustaka Firdaus)117-118
[5]Abidin, Zainal. Seluk-Beluk al-Qur’an. (128)
[6]A.Ghani, Bustami, Umam, Chatibul. 1994. Beberapa Aspek Ilmiah
tentang Qur’an. Jakarta: (P.T. Pustaka Litera AntarNusa) 50-51
[7]Shihab, M. Quraish, dkk. 1999. Sejarah dan ‘ulumul Qur’an. Jakarta:
(Penerbit Pustaka Firdaus) 122
[8]Hadist dikeluarkan dan dinyatakan sahih oleh
Hakim, dan Baihaqi dalam ad-Dalaa’il
[9]Abidin, Zainal. Seluk-Beluk al-Qur’an(126-136)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar