Rabu, 26 Oktober 2016

Klasifikasi Hadis dari Aspek Kuantitas Perawinya (PBA D Semester III)



KLASIFIKASI HADITS DARI ASPEK KUANTITAS PERAWINYA

Mohamad Afif dan Sulton Bigadaran
Pendidikan Bahasa Arab Kelas D, UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang

Abstract :This article discusses a bit about qualifying hadith of its quantitative terms. hadith to mean all the sayings, deeds, statutes, and all properties are anchored in the Prophet Muhammad. In terms of quantitative tradition is divided into two parts, namely Mutawatir hadith and hadith Ahad. The core of this discussion is the number of hadith narrators who narrated a hadith. Mutawatir means a number of hadith narrators are many and they can not possibly agree to lie. While ahad hadith is the hadith that has not reached the level of mutawatir. Thus, in terms of quantity narrators ahad hadith mutawatir quantity below. By because, from the point it ahad hadith to profit dzanny not qath'i, and this is what distinguishes the hadith mutawatir.
Keyword : Hadith, Mutawatir, Ahad.

Pendahuluan
Hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan) dan hal ihwal (sifat atau pribadi).
Hadist ditempatkan sebagai sumber utama ajaran Islam selain Al-Qur’an, proporsi Al-Qur’an merupakan dasar hukum yang di dalamnya berisi garis-garis besar syariat Islam, sedangkan hadits merupakan mubayyin (penjelas) dan memberikan gambaran konkret tentang batas-batas yang dinyatakan dalam Al-Qur’an.[1]
Menurut klasifikasi klasik, dilihat dari segi jumlah perawi yang terlibat dalam setiap tingkatan jaringan isnad, hadis dibagi menjadi dua kategori, yakni mutawatir dan ahad.Hadis Mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi sehingga tidak mungkin seluruhnya sepakat berdusta. Hadis Ahadadalah hadis yang diriwayatkan oleh para perawi yang jumlahnya tidak mencapai derajat mutawatir.[2]
Menurut ‘al-Qaththan lebih lanjut hadis mutawatir dibagi menjadi dua yaitu mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi. Hadis mutawatir lafdzi adalah hadis mutawatir yang lafadz dan maknanya sama, sedangkan hadis mutawatir ma’nawi adalah hadis mutawatir yang maknanya sama akan tetapi redaksinya berbeda.[3]Menurut klasifikasi klasik, hadis ahad selanjutnya dibagi menjadi hadis masyhur, aziz, dan gharib. Hadis masyhur dilaporkan oleh lebih dari  perawi, hadis aziz dilaporkan oleh dua perawi dan hadis gharib dilaporkan oleh satu perawi.[4]

HADITS MUTAWATIR
لغة : هو اسم فاعل مشتق من التواتر اي التتابع
اصطلاحا : ما رواه عدد كثير تحيل العادة تواطؤهم علي الكذب
Secara bahasa, kata mutawatir berbentuk ism fa’il musytaq dari kata tawatur yang bermakna berturut-turut atau berurutan.[5] Sedangkan secara istilah, hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka bersepakat untuk melakukan kebohongan karena banyaknya jumlah mereka atau diriwayatkan oleh orang banyak dan berakhir pada sebuah perkara yang bisa diindrai seperti bisa dilihat atau bisa didengar. Kemudian hadits tersebut benar-benar telah didengar langsung dari Rasulullah SAW, melihat perbuatan beliau atau melihat ketetapannya.[6]
Berdasarkan defenisi diatas, dapat dipahami bahwa hadis mutawatir memiliki karekteristik sebagai berikut :
1.      Jumlah perawinya banyak hingga menurut akal dan kebiasaan mustahil bersepakat untuk berdusta. Mengenai perihal jumlah perawi disini terdapat perbedaan pendapat, ada yang mengatakan minimal 4 orang, yang didasarkan pada saksi perzinaan, 5 orang seperti pada masalah mula’anah, 12 orang, 40 orang atau yang lebih banyak dari itu berdasarkan argumentasinya masing-masing. Pada dasarnya, perdebatan tentang batasan minimal jumlah perawi hadits mutawatir ini, sebenarnya tidak memiliki arti yang terlalu signifikan karena argumentasi yang diajukan oleh masing-masing juga tidak ada kaitannya secara langsung dengan persoalan hadits. Yang terpenting disini bahwa jumlah tersebut menurut rasio mustahil untuk berdusta, atau dengan jumlah ini akan memberikan keyakinan terhadap kebenaran berita atau hadits yang mereka riwayatkan.
2.      Jumlah perawi terdapat pada setiap generasi. Hal ini berarti bahwa suatu hadits tidak dapat dikatakan mutawatir jika pada setiap generasi diriwayatkan oleh satu, dua atau tiga orang walaupun pada generasi berikutnya jumlah perawi mencapai jumlah mutawatir.
3.      Hadits yang diriwayatkan bersifat mahshus, artinya para perawi tersebut meriwayatkan hadits berdasarkan panca indra atau pengalaman indrawi mereka.[7]



SYARAT HADITS MUTAWATIR

Terdapat empat syarat yang harus dipenuhi oleh hadits mutawatir, diantaranya:
1.      Para perawinya harus benar-benar mengetahui isi hadits yang disampaikan, tidak ragu-ragu ataupun bimbang.
2.      Pengetahuan mereka harus bersumber dari panca indra, seperti dengan melihat atau mendengar.
3.      Hendaknya jumlah perawinya banyak yang menuntut adat dan akal akan mustahil sekali mereka akan bersepakat untuk berdusta. Akan tetapi tergantung kepada prosentase ketsiqahan, kekuatan hafalan dan ketelitian para perawinya.
4.      Banyaknya jumlah perawi tersebut harus terpenuhi didalam setiap tingktan. Maksudnya diawal, tengah-tengah dan di akhirnya. Hadits mutawatir tersebut terkadang bisa secara lafazhnya dan terkadang dari maknanya. Kedua macam hadits mutawatir tersebut bisa diterima dengan pasti akan kebenaran dan keshahihan haditsnya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama.[8]
Untuk sampai pada kriteria hadits mutawatir maka hadits tersebut harus terlebih dahulu memenuhi kriteria hadits shahih. Dapat dikatakan hadits mutawatir merupakan hadits yang paling tinggi tingkatannya, dari segi kualitas maupun kuantitas, para ulama tidak lagi menyebut-nyebut hadits mutawatir. Itu pula yang dijadikan dasar pembahasan ini.[9]
PEMBAGIAN HADITS MUTAWATIR
Menurut ‘al-Qaththan lebih lanjutnya, hadits mutawatir dibagi menjadi dua :
1.     Mutawatir Lafdzi
Hadits Mutawatir Lafdzi adalah hadis mutawatir yang lafadz dan maknanya sama. Hadits model ini sedikit sekali jumlahnya karena sangat sulit jumlah perawi yang begitu banyak dapat meriwayatkan sebuah hadits dalam satu keseragaman redaksi. Contoh hadits mutawatir lafdzi yang populer meski menurut beberapa informasi bahwa hadits tersebut sebenarnya tidak benar-benar sama redaksinya adalah hadits tentang ancaman Rasulullah SAW terhadap orang yang melakukan kebohongan atas nama beliau, sebagai berikut[10] :
Rasulullah SAW bersabda :

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارُ
Artinya : Barang siapa berdusta atas (nama)-ku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka.




Keterangan:
a.       Hadits ini diriwayatkan oleh seratus sahabat Nabi
b.      Lafazh-lafazh yang orang ceritaka hampir semua bersamaan dengan contoh tersebut, diantaranya ada yang berbunyi :

مَنْ تَقَوَّلَ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارُ (رواه ابن ماجة)
Artinya: Barangsiapa mengada-adakan omongan atas namaku sesuatu yang aku tidak pernah katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka. (Ibnu Majah)

Dan ada lagi begini :
وَمَنْ قَالَعَلَيَّمَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارُ ( الحكام )
Artinya: Dan barangsiapa berkata atas (nama)-ku sesuatu yang aku tidak pernah katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka. (Hakim).

c.       Maknanya semua sama. Kelainan lafadzh itu timbulnya, boleh jadi karena Nabi mengucapkannya beberapa kali.
d.      Dari tiga contoh diatas, tahulah kita, bahwa yang dinamakan mutawatir lafdzi tidak mesti lafadznya semua sama.
e.       Hadits tersebut diriwayatkan oleh berpuluh-puluh imam ahli hadits, di antaranya : Bukhari, Muslim, Damiri, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi, Abu Hanifah, Thabrani dan Hakim.[11]

2.     Mutawatir Ma’nawi
Hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits mutawatir yang maknanya sama akan tetapi redaksinya berbeda. Perbedaan lahfadz tersebut bisa saja terjadi karena Rasulullah sendiri menyatakan sabdanya dengan bahasa (dialek) yang berbeda-beda, bisa ditingkat sahabat karena kemampuan mereka beragam di dalam menerima hadits dari Rasulullah, juga bisa pada perawi pada tingkat dan tabakat setelah sahabat.[12]Ringkasnya, beberapa cerita yang tidak sama, tetapi berisi satu makna atau tujuan. Diantara contoh hadits mutawatir ma’nawi ini adalah :
Contohnya :
-          Seperti shalat Magrib 3 rakaat.
Keterangan :
a.       Satu riwayat menerangkan, bahwa dalam hadlar (negeri sendiri) Rasulullah sholat Magrib 3 rakaat.
b.      Satu riwayat menunjukkan, bahwa di Makkah Rasulullah sholat Magrib 3 rakaat.
c.       Satu riwayat menunjukkan, bahwa dalam safar Rasulullah sholat Magrib 3 rakaat.
d.      Satu riwayat mengatakan, Rasulullah sholat Magrib di Madinah 3 rakaat.
e.       Satu riwayat menghabarkan, bahwa sahabat-sahabat sholat Magrib 3 rakaat, diketahui Nabi dan lain-lain.

Menurut pemaparan diatas, ceritanya berlainan, tetapi maksudnya satu yaitu menunjukkan dan menetapkan bahwa sholat Magrib itu 3 rakaat.[13]
HADITS AHAD
Terdapat definisi etimologis dan terminologi tentang hadits ahad ini, baik secara bahasa maupun istilah.Pengertian hadits ahad menurut bahasa dan istilah adalah sebagai berikut:
لغة : الآحاد جمع أحد بمعنني الواحد
اصطلاحا : ما لم يجمع شروط المتواتر
Secara bahasa, kata ahad yand bermakna satu, sedangkan khabar ahad adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Adapun pengertian hadist ahad menurut istilah adalah semua hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir. Terkadang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi sehingga disebut hadits gharib. Terkadang diriwayatkan oleh dua orang perawi atau lebih sehingga disebut hadits aziz. Terkadang diriwayatkan oleh banyak perawi tetapi belum memenuhi derajat hadits mutawatir,sehingga haditsnya disebut dengan hadits masyhur. Berdasarkan hal ini bahwa jika ada sebuah hadits yang dikatakan hadits ahad biasanya dikarenakan diriwayatkan oleh soerang perawi.[14]
PEMBAGIAN HADITS AHAD
Hadits Ahad ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
1.     Hadits Masyhur

لغة : هو اسم مفعول من "شهر"
واصطلاحا : ما روه ثلاثة فأكثر-في كل طبقةما لم يبلغ حد التواتر
Secara bahasa, kata masyhur adalah ism maful dari kata syahara. Sedangkan secara istilah, hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih dari setiap generasi, akan tetapi tidak mencapai jumlah mutawatir. Jika diteliti lebih lanjut, sebenarnya hadits masyhur ini tidak semuanya berkualitas shahih, karena jumlah perawi yang demikian belum tentu menjamin keshahihannya kecuali disertai sifat-sifat yang menjadikan sanad atau matannya shahih. Dengan demikian, hadits masyhur dapat dikelompokkan kepada yang berkualitas shahih, hasan dan dha’if.[15]
Perkataan Masyhur sering juga terpakai untuk selain hadits yang mempunyai 3 sanad yang berlainan, sebagaimana pembicaraan yang lalu. Maka tiap-tiap hadits yang terkenal dan tersiar, maupun shah atau tidak, bersanad atau tidak bersanad sama sekali, boleh dinamakan masyhur.
Masyhur terbagi menjadi tiga[16] :
a)     Masyhur di sisi Ahli Hadits
Maksudnya : Masyhur pada pandangan ahli hadits saja dan boleh dikatakan tidak ada yang bisa mengetahuinya, melainkan mereka saja.
Contohnya :
(بخاري) أخبرنا احمد بن يونس قال حدّثنا زائدة عن التيمي عن ابي مجلس عن انس قال : قنت النبي صلّى الله عليه وسلم شَهْرًا يَدْعُوْ عَلَىرِعْلٍوَذَكْوَانَ
Keterangan :
·         Hadits ini hanya bisa diketahui oleh ahli hadits saja.
·         Hadits itu derajatnya shahih.

b)     Masyhur di sisi Ahli Hadits dan lainnya
Maksudnya : Masyhur pada pandangan ahli hadits dan masyhur juga pada pandangan selain ahli hadits, seperti : Ahli fiqh, ahli ushul, nahwu dan orang umum.
Contohnya :

إِنَّماَ اْلأَعْمالُ بِا لِّنيَّاتِ
Keterangan :
·         Hadits ini bukan saja tersiar di antara ahli hadits saja, tetapi terkenal juga oleh umum.
·         Hadits itu derajatnya : Shahih.

c)      Masyhur di sisi selain Ahli Hadits
Maksudnya : Tidak masyhur di sisi ahli hadits, tetapi masyhur antara golongan lain.
Contohnya :

لاَصَلَاةَ للجَارٍ الْمَسَأجِدَ اِلاَّ في المَسْجِد ( رواه الدارقطنى)


Keterangan :
·         Hadits ini masyhur sekali diantara orang-orang.
·         Hadits itu lemah, karena tidak ada sanadnya yang kuat.

2.     Hadits Aziz
Secara bahasa dan istilah, hadits aziz didefinisikan sebagai berikut :

لغة : صفة مشبهة من "عز يعز"
اصطلاحا : ان لا يقل روايته عن اثنين في جميع طبقات السند

Secara bahasa, kata aziz merupakan sifat musyabahah dari kata azza ya izzu, sedangkan menurut istilah hadits aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua perawi pada seluruh tingkatan atau generasi.[17]Jelasnya adalah satu hadits yang diriwayatkan dengan dua sanad yang berlainan rawi-rawinya.
Contohnya :
Rasulullah SAW bersabda :

لاَيُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّي اَكُوْنَ اَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ

Keterangan :
·         Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dengan sanad-sanad yang tidak sama.
·         Orang-orang yang ada dalam sanad Bukhari sama sekali tidak ada yang sama dengan rawi-rawinya imam muslim.
·         Ini berarti : Hadits tersebut mempunyai dua sanad. Karena kedua-duanya berlainan maka dinamakan hadits aziz.
·         Contoh yang saya tunjukkan ini derajatnya shahih.[18]

3.     Hadits Gharib
Dalam pengertian bahasa dan istilah, hadis gharib didefinisikan sebagai berikut :

الغريب لغة : صفة مشبهة بمعني المنفرد او البعيد من اقاربه
اصطلاحا : ما ينفرد بروايته راو واحد

Secara bahasa, kata gharib merupakan sifat musyabbahah yang bermakna menyendiri. Sedangkan secara istilah, hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan seorang perawi di manapun hal itu terjadi. Artinya bahwa hadits gharib ini tidak diisyaratkan harus satu orang perawi pada setiap tingkatan atau generasi, akan tetapi cukup pada satu tingkatan sanad dengan satu orang perawi.[19]Tegasnya ialah satu hadits yang seorang rawi sendiri dalam meriwayatkannya, yaitu tidak ada orang lain yang menceritakannya melainkan dia. Diantara contohnya adalah hadits yang diriwayatkan dari ‘Umar ibn Khattab dari Rasulullah SAW tentang pentingnya niat sebagai berikut :

Contohnya :
حدّثنا عبد الله بن مسلمة بن قعنب حدّثنا مالك عن يحيي بن سعيد عنمحمد بن ابراهيم عن علقمة بن وقاص عن عمر بن الخطاب قال قال رسول الله عليه وسلم : اِنَّمَا اللأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى فمن كانت هجرتهُ الى الله ورسوله فهجرته الى الله ورسوله و من كانت هجرته لدنيا يُصيبها او امْرَاَةٍ يتزوّجها فهجرته الى ما هاجر اليه.


Artinya : Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya perbuatan itu tergantung oleh niat, sesungguhnya niat setiap perbuatan itu sesuai dengan apa yang diniatkan. Barang siapa yang berhijrah karena (dimotivasi) dunia atau karena perempuan yang akan dinikahinya maka demikianlah (nilai) hijrahnya.[20]

Berdasarkan letak terjadinya ke-ghariban, hadis model ini dapat dipilah menjadi 3 kelompok, yaitu :

a.       Gharib Matnan wa Isnadan ( gharib dari segi matan dan sanadnya ) artinya bahwa hadis tersebut tidak diriwayatkan melainkan melalui satu sanad.
b.      Gharib isnadan la matnan ( gharib dari segi sanadnya dan tidak matannya ). Artinya hadits tersebut merupakan hadits yang masyhur kedatangannya melalui beberapa jalur dari seorang rawi atau seorang sahabat atau dari sejumlah perawi, lalu ada seorang rawi meriwayatkannya dari jalur lain yang tidak masyhur.
c.       Gharib matnan la Isnadan yaitu, hadits yang pada mula sanadnya tunggal, akan tetapi pada tahap selanjutnya masyhur.




Jika ditinjau dari segi ke-ghariban sanadnya, ada sejumlah ulama yang membaginya pada dua kelompok yaitu :

a.       Hadits Gharib Mutlak
Yaitu hadits yang ke-ghariban sanadnya terjadi pada asal sanadnya. Contohnya adalah hadis tentang niat yang diriwayatkan secara menyendiri oleh Umar, kemudian diriwayatkan oleh Alaqamah Yahya bin Sa’ad dan terakhir oleh banyak perawi.
b.      Hadits Gharib Nisbi
Yaitu hadits yang ke-ghariban sanadnya terjadi pada tengah sanad, bukan pada asal sanad sebagaimana hadits gharib mutlak. Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dan al-Zuhri secara menyendiri.[21]

DISTINGSI ( PERBEDAAN ) HADIST MUTAWATIR DAN AHAD

Perbedaan hadits Mutawatir dan hadits Ahad adalah dari jumlah perawinya, hadist Mutawatir itu di riwayatkan oleh banyak orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta. Untuk sampai pada kriteria hadits Mutawatir, maka hadits tersebut harus memenuhi kriteria hadits Shahih dan memenuhi Syarat-syarat hadits Mutawatir. Dapat dikatakan hadisMutawatir merupakan hadits yang paling tinggi tingkatannya, baik dari segi kualitas maupun dari segi kuantitasnya.[22]
Sedangkan yang dimaksud dengan hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir. Dengan demikian, dari segi kuantitas perawi hadits ahad dibawah kuantitas hadits mutawatir. Oleh karena itu dari sudut isinya, hadits ahad memberi faedah dzanny bukan qath’i, dan inilah yang membedakan hadits mutawatir dengan hadits ahad.[23]










DaftarRujukan
Sumbulah, Umi, Kholil, Akhmad, Nasrullah. 2014. Studi Al-Qur’an danHadis. Malang: Uin-Maliki Press (anggota IKAPI).
Qadir Hasan, Ahmad. 1991. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung: CV. Diponegoro.
Khariri. 2009. Metode Penyelesaian Hadits Kontradiktif. Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press.
Nashiruddin Al-Albani, Muhammad. 2008. Berhujjah dengan Hadits Ahad. Jakarta: Darus Sunnah.
Amin, Kamaruddin. 2009. Metode Kritik Hadis. Jakarta: Penerbit Hikmah.
Assa’idi, Sa’dullah. 1996. Hadis-hadis Sekte. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Revisi:
1.      Tidak ditemukan adanya indikasi copy-paste.
2.      Pendahuluan berisi pengantar untuk memahami materi, bukan kesimpulan. Jadi tolong diperbaiki.
3.      Penulisan footnote yang perah ditulis sebelumnya memiliki kaidah sendiri, tolong dipelajari. Ada beberapa cara penulisan footnote yang salah.
4.      Penulis sebanyak tiga orang atau lebih mennggunakan format dkk., contoh: Umi Sumbulah dkk.
5.      Makalah ini belum lengkap, belum ada kesimpulannya.
6.      Hadis masyhur terbagi menjadi dua, ada yang istilahi dan ghoiru istilahi. Yang istilahi adalah hadis yang diriwayatkan minimal tiga rawi atau lebih dalam setiap tabaqah dalam setiap tingkatannya, sedangkan yang ghoiru istilahi adalah hadis yang terkenal, populer baik di lingkungan ahli fikih, ahli kalam, orang awam, dan lain sebagainya. Contoh yang dipaparkan hanya hadis masyhur ghoru istilahi saja, yang istilahi belum dipaparkan.
7.      Dalam pembahasan mutawatir, ada pula hadis mutawatir amali. Ini belum dijelaskan.
8.      Dalam menjelaskan contoh hadis-hadis, tolong dituliskan struktur sanadnya, agar teman-teman Anda tahu mengapa hadis itu dinamakan masyhur, aziz, dan gharib.
9.      Maksud saya dengan distingsi pengetahuan (ilmu) hadis mutawatir dan ahad adalah mengenai perbedaan kandungan ilmu yang ada di dalamnya. Hadis mutawatir mengandung ilmu dharuri (aksiomatis, kepastian), sedangkan hadis ahad mengandung ilmu nadhari (spekulatif). Memang hal tersebut bisa juga dibahas dengan faedah qath’i dan dzanni, tapi dalam makalah inipun pembahasan itu masih kurang begitu dijelaskan, sehingga terkesan masih ngambang. Coba Anda membaca lagi tema mutawatir dan ahad.

Selamat melakukan revisi makalah.... Semangat!!!!!


[1]Khariri, Metode Penyelesaian Hadits Kontradiktif. Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press, 2009, hlm 1
[2]Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis. Bandung: Mizan Media Utama, 2009, hlm 35
[3]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, Nasrullah, Studi Al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2014, hlm 189
[4]Phil. Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis. Bandung: Mizan Media Utama, 2009, hlm 35
[5]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, Nasrullah, Studi Al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2014, hlm 187
[6]Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Berhujjah Dengan Hadits Ahad. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2008, hlm 24
[7]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, Nasrullah, Studi Al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2014, hlm 188
[8]Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Berhujjah Dengan Hadits Ahad. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2008, hlm 25
[9]Khariri, Metode Penyelesaian Hadits Kontradiktif. Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press, 2009, hlm 15
[10]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, Nasrullah, Studi Al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2014, hlm 189
[11]A.Qadir Hasan, Ilmu Mustolahal Hadits. Bandung: CV. Diponegoro, 1991, hlm 44-45
[12]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, Nasrullah, Studi Al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2014, hlm 190
[13]A.Qadir Hasan, Ilmu Mustolahal Hadits. Bandung: CV. Diponegoro, 1991, hlm 48
[14]Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Berhujjah Dengan Hadits Ahad. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2008, hlm 25
[15]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, Nasrullah, Studi Al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2014, hlm 192
[16]A.Qadir Hasan, Ilmu Mustolahal Hadits. Bandung: CV. Diponegoro, 1991, hlm 274-275
[17]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, Nasrullah, Studi Al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2014, hlm 196
[18]A.Qadir Hasan, Ilmu Mustolahal Hadits. Bandung: CV. Diponegoro, 1991, hlm 276-277
[19]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, Nasrullah, Studi Al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2014, hlm 197
[20]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, Nasrullah, Studi Al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2014, hlm 198
[21]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, Nasrullah, Studi Al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2014, hlm 200
[22]Khariri, Metode Penyelesaian Hadits Kontradiktif. Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press, 2009, hlm 14-15
[23]Khariri, Metode Penyelesaian Hadits Kontradiktif. Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press, 2009, hlm 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar