KLASIFIKASI HADITS DARI ASPEK KUANTITAS PERAWINYA
Mohamad Afif dan Sulton Bigadaran
Pendidikan Bahasa
Arab Kelas D, UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang
Abstract :This article discusses a bit about qualifying hadith of
its quantitative terms. hadith to mean all the sayings, deeds, statutes, and
all properties are anchored in the Prophet Muhammad. In terms of quantitative
tradition is divided into two parts, namely Mutawatir hadith and hadith Ahad. The core of this discussion is the number of
hadith narrators who narrated a hadith. Mutawatir means a number of hadith
narrators are many and they can not possibly agree to lie. While ahad hadith is
the hadith that has not reached the level of mutawatir. Thus, in terms of
quantity narrators ahad hadith mutawatir quantity below. By because, from the
point it ahad hadith to profit dzanny not qath'i,
and this is what distinguishes the hadith mutawatir.
Keyword : Hadith, Mutawatir, Ahad.
Pendahuluan
Hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan) dan hal ihwal
(sifat atau pribadi).
Hadist ditempatkan sebagai sumber utama ajaran Islam
selain Al-Qur’an, proporsi Al-Qur’an merupakan dasar hukum yang di dalamnya
berisi garis-garis besar syariat Islam, sedangkan hadits merupakan mubayyin (penjelas)
dan memberikan gambaran konkret tentang batas-batas yang dinyatakan dalam
Al-Qur’an.[1]
Menurut klasifikasi klasik, dilihat dari segi jumlah
perawi yang terlibat dalam setiap tingkatan jaringan isnad, hadis dibagi
menjadi dua kategori, yakni mutawatir dan ahad.Hadis Mutawatir
adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi sehingga tidak
mungkin seluruhnya sepakat berdusta. Hadis Ahadadalah hadis yang
diriwayatkan oleh para perawi yang jumlahnya tidak mencapai derajat mutawatir.[2]
Menurut ‘al-Qaththan lebih lanjut hadis mutawatir dibagi
menjadi dua yaitu mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi. Hadis mutawatir
lafdzi adalah hadis mutawatir yang lafadz dan maknanya sama, sedangkan
hadis mutawatir ma’nawi adalah hadis mutawatir yang maknanya sama akan
tetapi redaksinya berbeda.[3]Menurut
klasifikasi klasik, hadis ahad selanjutnya dibagi menjadi hadis masyhur,
aziz, dan gharib. Hadis masyhur dilaporkan oleh lebih dari perawi, hadis aziz dilaporkan oleh dua
perawi dan hadis gharib dilaporkan oleh satu perawi.[4]
HADITS MUTAWATIR
لغة : هو اسم فاعل مشتق من التواتر اي التتابع
اصطلاحا : ما رواه عدد كثير تحيل العادة تواطؤهم
علي الكذب
Secara bahasa, kata mutawatir berbentuk ism
fa’il musytaq dari kata tawatur yang bermakna berturut-turut atau
berurutan.[5]
Sedangkan secara istilah, hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh
sejumlah orang yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka bersepakat untuk
melakukan kebohongan karena banyaknya jumlah mereka atau diriwayatkan oleh
orang banyak dan berakhir pada sebuah perkara yang bisa diindrai seperti bisa
dilihat atau bisa didengar. Kemudian hadits tersebut benar-benar telah didengar
langsung dari Rasulullah SAW, melihat perbuatan beliau atau melihat
ketetapannya.[6]
Berdasarkan defenisi diatas, dapat dipahami bahwa hadis mutawatir
memiliki karekteristik sebagai berikut :
1.
Jumlah perawinya banyak hingga menurut akal dan kebiasaan
mustahil bersepakat untuk berdusta. Mengenai perihal jumlah perawi disini
terdapat perbedaan pendapat, ada yang mengatakan minimal 4 orang, yang
didasarkan pada saksi perzinaan, 5 orang seperti pada masalah mula’anah, 12
orang, 40 orang atau yang lebih banyak dari itu berdasarkan argumentasinya
masing-masing. Pada dasarnya, perdebatan tentang batasan minimal jumlah perawi
hadits mutawatir ini, sebenarnya tidak memiliki arti yang terlalu
signifikan karena argumentasi yang diajukan oleh masing-masing juga tidak ada
kaitannya secara langsung dengan persoalan hadits. Yang terpenting disini bahwa
jumlah tersebut menurut rasio mustahil untuk berdusta, atau dengan jumlah ini
akan memberikan keyakinan terhadap kebenaran berita atau hadits yang mereka
riwayatkan.
2.
Jumlah perawi terdapat pada setiap generasi. Hal ini
berarti bahwa suatu hadits tidak dapat dikatakan mutawatir jika pada
setiap generasi diriwayatkan oleh satu, dua atau tiga orang walaupun pada
generasi berikutnya jumlah perawi mencapai jumlah mutawatir.
3.
Hadits yang diriwayatkan bersifat mahshus, artinya
para perawi tersebut meriwayatkan hadits berdasarkan panca indra atau
pengalaman indrawi mereka.[7]
SYARAT HADITS MUTAWATIR
Terdapat empat syarat yang harus dipenuhi oleh hadits mutawatir,
diantaranya:
1.
Para perawinya harus benar-benar mengetahui isi hadits
yang disampaikan, tidak ragu-ragu ataupun bimbang.
2.
Pengetahuan mereka harus bersumber dari panca indra,
seperti dengan melihat atau mendengar.
3.
Hendaknya jumlah perawinya banyak yang menuntut adat dan
akal akan mustahil sekali mereka akan bersepakat untuk berdusta. Akan tetapi
tergantung kepada prosentase ketsiqahan, kekuatan hafalan dan ketelitian
para perawinya.
4.
Banyaknya jumlah perawi tersebut harus terpenuhi didalam
setiap tingktan. Maksudnya diawal, tengah-tengah dan di akhirnya. Hadits mutawatir
tersebut terkadang bisa secara lafazhnya dan terkadang dari maknanya. Kedua
macam hadits mutawatir tersebut bisa diterima dengan pasti akan
kebenaran dan keshahihan haditsnya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat
diantara para ulama.[8]
Untuk sampai pada kriteria hadits mutawatir maka
hadits tersebut harus terlebih dahulu memenuhi kriteria hadits shahih.
Dapat dikatakan hadits mutawatir merupakan hadits yang paling tinggi
tingkatannya, dari segi kualitas maupun kuantitas, para ulama tidak lagi
menyebut-nyebut hadits mutawatir. Itu pula yang dijadikan dasar
pembahasan ini.[9]
PEMBAGIAN HADITS MUTAWATIR
Menurut
‘al-Qaththan lebih lanjutnya, hadits mutawatir dibagi menjadi dua :
1.
Mutawatir Lafdzi
Hadits Mutawatir Lafdzi adalah hadis mutawatir yang
lafadz dan maknanya sama. Hadits model ini sedikit sekali jumlahnya karena
sangat sulit jumlah perawi yang begitu banyak dapat meriwayatkan sebuah hadits
dalam satu keseragaman redaksi. Contoh hadits mutawatir lafdzi yang populer
meski menurut beberapa informasi bahwa hadits tersebut sebenarnya tidak
benar-benar sama redaksinya adalah hadits tentang ancaman Rasulullah SAW
terhadap orang yang melakukan kebohongan atas nama beliau, sebagai berikut[10]
:
Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارُ
Artinya : Barang siapa berdusta atas (nama)-ku dengan
sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka.
Keterangan:
a.
Hadits ini diriwayatkan oleh seratus sahabat Nabi
b.
Lafazh-lafazh yang orang ceritaka hampir semua bersamaan
dengan contoh tersebut, diantaranya ada yang berbunyi :
مَنْ تَقَوَّلَ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ
النَّارُ (رواه ابن ماجة)
Artinya: Barangsiapa mengada-adakan omongan atas namaku
sesuatu yang aku tidak pernah katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat
duduknya dari neraka. (Ibnu Majah)
Dan ada lagi begini :
وَمَنْ قَالَعَلَيَّمَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارُ
( الحكام )
Artinya: Dan barangsiapa
berkata atas (nama)-ku sesuatu yang aku tidak pernah katakan, maka hendaklah ia
mengambil tempat duduknya dari neraka. (Hakim).
c.
Maknanya semua sama. Kelainan lafadzh itu timbulnya,
boleh jadi karena Nabi mengucapkannya beberapa kali.
d.
Dari tiga contoh diatas, tahulah kita, bahwa yang
dinamakan mutawatir lafdzi tidak mesti lafadznya semua sama.
e.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh berpuluh-puluh imam
ahli hadits, di antaranya : Bukhari, Muslim, Damiri, Abu Dawud, Ibnu Majah,
Tirmidzi, Abu Hanifah, Thabrani dan Hakim.[11]
2.
Mutawatir Ma’nawi
Hadits mutawatir ma’nawi
adalah hadits mutawatir yang maknanya sama akan tetapi redaksinya berbeda.
Perbedaan lahfadz tersebut bisa saja terjadi karena Rasulullah sendiri
menyatakan sabdanya dengan bahasa (dialek) yang berbeda-beda, bisa ditingkat
sahabat karena kemampuan mereka beragam di dalam menerima hadits dari
Rasulullah, juga bisa pada perawi pada tingkat dan tabakat setelah sahabat.[12]Ringkasnya,
beberapa cerita yang tidak sama, tetapi berisi satu makna atau tujuan. Diantara
contoh hadits mutawatir ma’nawi ini adalah :
Contohnya :
-
Seperti shalat Magrib 3 rakaat.
Keterangan :
a.
Satu riwayat menerangkan, bahwa dalam hadlar (negeri
sendiri) Rasulullah sholat Magrib 3 rakaat.
b.
Satu riwayat menunjukkan, bahwa di Makkah Rasulullah
sholat Magrib 3 rakaat.
c.
Satu riwayat menunjukkan, bahwa dalam safar Rasulullah
sholat Magrib 3 rakaat.
d.
Satu riwayat mengatakan, Rasulullah sholat Magrib di
Madinah 3 rakaat.
e.
Satu riwayat menghabarkan, bahwa sahabat-sahabat sholat
Magrib 3 rakaat, diketahui Nabi dan lain-lain.
Menurut pemaparan diatas, ceritanya berlainan, tetapi
maksudnya satu yaitu menunjukkan dan menetapkan bahwa sholat Magrib itu 3
rakaat.[13]
HADITS AHAD
Terdapat definisi etimologis dan terminologi tentang
hadits ahad ini, baik secara bahasa maupun istilah.Pengertian hadits ahad menurut
bahasa dan istilah adalah sebagai berikut:
لغة : الآحاد جمع أحد بمعنني الواحد
اصطلاحا : ما لم يجمع شروط المتواتر
Secara bahasa, kata ahad yand bermakna satu,
sedangkan khabar ahad adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang.
Adapun pengertian hadist ahad menurut istilah adalah semua hadits yang
tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir. Terkadang hanya
diriwayatkan oleh seorang perawi sehingga disebut hadits gharib.
Terkadang diriwayatkan oleh dua orang perawi atau lebih sehingga disebut hadits
aziz. Terkadang diriwayatkan oleh banyak perawi tetapi belum memenuhi
derajat hadits mutawatir,sehingga haditsnya disebut dengan hadits masyhur.
Berdasarkan hal ini bahwa jika ada sebuah hadits yang dikatakan hadits ahad
biasanya dikarenakan diriwayatkan oleh soerang perawi.[14]
PEMBAGIAN HADITS AHAD
Hadits Ahad
ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
1.
Hadits Masyhur
لغة : هو اسم
مفعول من "شهر"
واصطلاحا : ما روه
ثلاثة فأكثر-في كل طبقةما لم يبلغ حد التواتر
Secara bahasa, kata masyhur adalah ism maful dari
kata syahara. Sedangkan secara istilah, hadits masyhur adalah
hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih dari setiap generasi, akan
tetapi tidak mencapai jumlah mutawatir. Jika diteliti lebih lanjut, sebenarnya
hadits masyhur ini tidak semuanya berkualitas shahih, karena
jumlah perawi yang demikian belum tentu menjamin keshahihannya kecuali disertai
sifat-sifat yang menjadikan sanad atau matannya shahih. Dengan demikian, hadits
masyhur dapat dikelompokkan kepada yang berkualitas shahih, hasan
dan dha’if.[15]
Perkataan Masyhur sering juga terpakai untuk selain
hadits yang mempunyai 3 sanad yang berlainan, sebagaimana pembicaraan yang
lalu. Maka tiap-tiap hadits yang terkenal dan tersiar, maupun shah atau tidak,
bersanad atau tidak bersanad sama sekali, boleh dinamakan masyhur.
Masyhur terbagi menjadi tiga[16]
:
a)
Masyhur di sisi Ahli Hadits
Maksudnya : Masyhur pada pandangan
ahli hadits saja dan boleh dikatakan tidak ada yang bisa mengetahuinya,
melainkan mereka saja.
Contohnya :
(بخاري) أخبرنا احمد بن يونس قال حدّثنا زائدة عن التيمي عن ابي مجلس
عن انس قال : قنت النبي صلّى الله عليه وسلم شَهْرًا يَدْعُوْ
عَلَىرِعْلٍوَذَكْوَانَ
Keterangan :
·
Hadits ini hanya bisa diketahui oleh ahli hadits saja.
·
Hadits itu derajatnya shahih.
b)
Masyhur di sisi Ahli Hadits dan lainnya
Maksudnya : Masyhur pada pandangan
ahli hadits dan masyhur juga pada pandangan selain ahli hadits, seperti : Ahli fiqh,
ahli ushul, nahwu dan orang umum.
Contohnya :
إِنَّماَ اْلأَعْمالُ بِا لِّنيَّاتِ
Keterangan :
·
Hadits ini bukan saja tersiar di antara ahli hadits saja,
tetapi terkenal juga oleh umum.
·
Hadits itu derajatnya : Shahih.
c)
Masyhur di sisi selain Ahli Hadits
Maksudnya : Tidak masyhur di sisi
ahli hadits, tetapi masyhur antara golongan lain.
Contohnya :
لاَصَلَاةَ للجَارٍ الْمَسَأجِدَ اِلاَّ في المَسْجِد ( رواه
الدارقطنى)
Keterangan :
·
Hadits ini masyhur sekali diantara orang-orang.
·
Hadits itu lemah, karena tidak ada sanadnya yang kuat.
2.
Hadits Aziz
Secara bahasa dan istilah, hadits aziz didefinisikan
sebagai berikut :
لغة : صفة مشبهة من "عز يعز"
اصطلاحا : ان لا يقل روايته عن اثنين في جميع طبقات السند
Secara bahasa, kata aziz merupakan sifat musyabahah
dari kata azza ya izzu, sedangkan menurut istilah hadits aziz adalah
hadits yang diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua perawi pada seluruh
tingkatan atau generasi.[17]Jelasnya
adalah satu hadits yang diriwayatkan dengan dua sanad yang berlainan rawi-rawinya.
Contohnya :
Rasulullah SAW bersabda :
لاَيُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّي اَكُوْنَ اَحَبَّ اِلَيْهِ
مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
Keterangan :
·
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
dengan sanad-sanad yang tidak sama.
·
Orang-orang yang ada dalam sanad Bukhari sama sekali
tidak ada yang sama dengan rawi-rawinya imam muslim.
·
Ini berarti : Hadits tersebut mempunyai dua sanad. Karena
kedua-duanya berlainan maka dinamakan hadits aziz.
·
Contoh yang saya tunjukkan ini derajatnya shahih.[18]
3.
Hadits Gharib
Dalam pengertian bahasa dan istilah, hadis gharib didefinisikan
sebagai berikut :
الغريب لغة : صفة مشبهة بمعني المنفرد او البعيد من اقاربه
اصطلاحا : ما ينفرد بروايته راو واحد
Secara bahasa, kata gharib merupakan sifat musyabbahah
yang bermakna menyendiri. Sedangkan secara istilah, hadits gharib adalah
hadits yang diriwayatkan seorang perawi di manapun hal itu terjadi. Artinya
bahwa hadits gharib ini tidak diisyaratkan harus satu orang perawi pada
setiap tingkatan atau generasi, akan tetapi cukup pada satu tingkatan sanad
dengan satu orang perawi.[19]Tegasnya
ialah satu hadits yang seorang rawi sendiri dalam meriwayatkannya, yaitu tidak
ada orang lain yang menceritakannya melainkan dia. Diantara contohnya adalah
hadits yang diriwayatkan dari ‘Umar ibn Khattab dari Rasulullah SAW tentang
pentingnya niat sebagai berikut :
Contohnya :
حدّثنا عبد الله بن مسلمة بن قعنب حدّثنا مالك عن يحيي بن سعيد عنمحمد بن
ابراهيم عن علقمة بن وقاص عن عمر بن الخطاب قال قال رسول الله عليه وسلم :
اِنَّمَا اللأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى فمن كانت
هجرتهُ الى الله ورسوله فهجرته الى الله ورسوله و من كانت هجرته لدنيا يُصيبها او
امْرَاَةٍ يتزوّجها فهجرته الى ما هاجر اليه.
Artinya : Rasulullah SAW bersabda
: Sesungguhnya perbuatan itu tergantung oleh niat, sesungguhnya niat setiap
perbuatan itu sesuai dengan apa yang diniatkan. Barang siapa yang berhijrah
karena (dimotivasi) dunia atau karena perempuan yang akan dinikahinya maka
demikianlah (nilai) hijrahnya.[20]
Berdasarkan letak terjadinya ke-ghariban, hadis model ini
dapat dipilah menjadi 3 kelompok, yaitu :
a.
Gharib Matnan wa Isnadan ( gharib dari segi matan dan sanadnya ) artinya bahwa
hadis tersebut tidak diriwayatkan melainkan melalui satu sanad.
b.
Gharib isnadan la matnan ( gharib dari segi sanadnya dan tidak matannya ).
Artinya hadits tersebut merupakan hadits yang masyhur kedatangannya melalui
beberapa jalur dari seorang rawi atau seorang sahabat atau dari sejumlah
perawi, lalu ada seorang rawi meriwayatkannya dari jalur lain yang tidak
masyhur.
c.
Gharib matnan la Isnadan yaitu, hadits yang pada mula sanadnya tunggal, akan
tetapi pada tahap selanjutnya masyhur.
Jika ditinjau dari segi ke-ghariban sanadnya, ada
sejumlah ulama yang membaginya pada dua kelompok yaitu :
a.
Hadits Gharib Mutlak
Yaitu hadits yang ke-ghariban sanadnya terjadi pada asal
sanadnya. Contohnya adalah hadis tentang niat yang diriwayatkan secara
menyendiri oleh Umar, kemudian diriwayatkan oleh Alaqamah Yahya bin Sa’ad dan
terakhir oleh banyak perawi.
b.
Hadits Gharib Nisbi
Yaitu hadits yang ke-ghariban sanadnya terjadi pada
tengah sanad, bukan pada asal sanad sebagaimana hadits gharib mutlak. Contohnya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dan al-Zuhri secara menyendiri.[21]
DISTINGSI ( PERBEDAAN ) HADIST MUTAWATIR DAN AHAD
Perbedaan hadits Mutawatir dan hadits Ahad
adalah dari jumlah perawinya, hadist Mutawatir itu di riwayatkan oleh
banyak orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta. Untuk
sampai pada kriteria hadits Mutawatir, maka hadits tersebut harus
memenuhi kriteria hadits Shahih dan memenuhi Syarat-syarat hadits Mutawatir.
Dapat dikatakan hadisMutawatir merupakan hadits yang paling tinggi
tingkatannya, baik dari segi kualitas maupun dari segi kuantitasnya.[22]
Sedangkan yang dimaksud dengan hadits ahad adalah hadits
yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir. Dengan demikian, dari segi
kuantitas perawi hadits ahad dibawah kuantitas hadits mutawatir. Oleh karena
itu dari sudut isinya, hadits ahad memberi faedah dzanny bukan qath’i,
dan inilah yang membedakan hadits mutawatir dengan hadits ahad.[23]
DaftarRujukan
Sumbulah,
Umi, Kholil, Akhmad, Nasrullah. 2014. Studi Al-Qur’an danHadis. Malang:
Uin-Maliki Press (anggota IKAPI).
Qadir Hasan, Ahmad. 1991. Ilmu Mushthalah
Hadits. Bandung: CV. Diponegoro.
Khariri. 2009. Metode Penyelesaian Hadits
Kontradiktif. Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press.
Nashiruddin Al-Albani, Muhammad. 2008. Berhujjah
dengan Hadits Ahad. Jakarta: Darus Sunnah.
Amin, Kamaruddin. 2009. Metode Kritik Hadis.
Jakarta: Penerbit Hikmah.
Assa’idi, Sa’dullah. 1996. Hadis-hadis Sekte. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset.
Revisi:
1. Tidak ditemukan adanya indikasi copy-paste.
2.
Pendahuluan
berisi pengantar untuk memahami materi, bukan kesimpulan. Jadi tolong diperbaiki.
3.
Penulisan
footnote yang perah ditulis sebelumnya memiliki kaidah sendiri, tolong dipelajari.
Ada beberapa cara penulisan footnote yang salah.
4.
Penulis sebanyak
tiga orang atau lebih mennggunakan format dkk., contoh: Umi Sumbulah dkk.
5.
Makalah ini
belum lengkap, belum ada kesimpulannya.
6.
Hadis masyhur
terbagi menjadi dua, ada yang istilahi dan ghoiru istilahi. Yang istilahi adalah
hadis yang diriwayatkan minimal tiga rawi atau lebih dalam setiap tabaqah dalam
setiap tingkatannya, sedangkan yang ghoiru istilahi adalah hadis yang terkenal,
populer baik di lingkungan ahli fikih, ahli kalam, orang awam, dan lain sebagainya.
Contoh yang dipaparkan hanya hadis masyhur ghoru istilahi saja, yang istilahi belum
dipaparkan.
7.
Dalam pembahasan
mutawatir, ada pula hadis mutawatir amali. Ini belum dijelaskan.
8.
Dalam menjelaskan
contoh hadis-hadis, tolong dituliskan struktur sanadnya, agar teman-teman Anda tahu
mengapa hadis itu dinamakan masyhur, aziz, dan gharib.
9. Maksud saya dengan distingsi pengetahuan (ilmu) hadis mutawatir
dan ahad adalah mengenai perbedaan kandungan ilmu yang ada di dalamnya. Hadis mutawatir
mengandung ilmu dharuri (aksiomatis, kepastian), sedangkan hadis ahad mengandung
ilmu nadhari (spekulatif). Memang hal tersebut bisa juga dibahas dengan faedah qath’i
dan dzanni, tapi dalam makalah inipun pembahasan itu masih kurang begitu dijelaskan,
sehingga terkesan masih ngambang. Coba Anda membaca lagi tema mutawatir dan
ahad.
Selamat melakukan revisi makalah.... Semangat!!!!!
[1]Khariri, Metode Penyelesaian Hadits
Kontradiktif. Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press, 2009, hlm 1
[2]Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis.
Bandung: Mizan Media Utama, 2009, hlm 35
[3]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, Nasrullah, Studi
Al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2014, hlm 189
[4]Phil. Kamaruddin Amin, Metode Kritik
Hadis. Bandung: Mizan Media Utama, 2009, hlm 35
[5]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, Nasrullah, Studi
Al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2014, hlm 187
[6]Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Berhujjah
Dengan Hadits Ahad. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2008, hlm 24
[7]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, Nasrullah, Studi
Al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2014, hlm 188
[8]Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Berhujjah
Dengan Hadits Ahad. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2008, hlm 25
[9]Khariri, Metode Penyelesaian Hadits
Kontradiktif. Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press, 2009, hlm 15
[10]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, Nasrullah, Studi
Al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2014, hlm 189
[11]A.Qadir Hasan, Ilmu Mustolahal Hadits.
Bandung: CV. Diponegoro, 1991, hlm 44-45
[12]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, Nasrullah, Studi
Al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2014, hlm 190
[13]A.Qadir Hasan, Ilmu Mustolahal Hadits.
Bandung: CV. Diponegoro, 1991, hlm 48
[14]Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Berhujjah
Dengan Hadits Ahad. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2008, hlm 25
[15]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, Nasrullah, Studi
Al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2014, hlm 192
[16]A.Qadir Hasan, Ilmu Mustolahal Hadits.
Bandung: CV. Diponegoro, 1991, hlm 274-275
[17]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, Nasrullah, Studi
Al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2014, hlm 196
[18]A.Qadir Hasan, Ilmu Mustolahal Hadits.
Bandung: CV. Diponegoro, 1991, hlm 276-277
[19]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, Nasrullah, Studi
Al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2014, hlm 197
[20]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, Nasrullah, Studi
Al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2014, hlm 198
[21]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, Nasrullah, Studi
Al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2014, hlm 200
[22]Khariri, Metode Penyelesaian Hadits
Kontradiktif. Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press, 2009, hlm 14-15
[23]Khariri, Metode Penyelesaian Hadits
Kontradiktif. Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press, 2009, hlm 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar