IJTIHAD DAN FATWA DALAM ISLAM
Muhammad Bahauddin dan Zuan Ashifana
Pendidikan Agama Islam E UIN Maulana
Malik Ibrahim Malang
e-mail: zuansangar@gmail.com
Abstract:
Talks about ijtihad, the
mufti of muslim have a different opinion. Beginning from definition of ijtihad,
the terminology of ijtihad is use the logical power’s human to produce and
explain islamic law. Then, the foundation of ijtihad: the first is
Al-Qur’an,and the second is Al-Hadist. Ijtihad have three kinds, that is Ijtihad
Al-Batani, Ijtihad Al-Qiyasi, Ijtihad al-ishtishlah. But according to
Muhammad Taqiyu al-Hakim, Ijtihad have two kinds, that is Ijtihad al-aqli, and
Ijtihad syari’.
According to Al-Ghazali,
Ijtihad objects is every syara’ law who didn’t have dalil qathi’.
Ijtihad have five laws about the law of apply ijtihad, that is fardhu ‘ain,
fardhu kifayah, sunah, and haram.
According to ulama muslims,
Ijtihad have five level, that is Mujtahid mustaqil, Mujtahid mutlaq ghairu
mustaqil, Mujtahid muqayyad atau Mujtahid Takhrij, Mujtahid Tarjih, Mujtahid Fatwa.
The next is talks about fatwa.
The devinition about fatwa, explain syara’ laws in something of problems
as answer from something question, who knows the identity of questioner is
explicit or not. The questioner individual or collektive. Fatwa is one of
methodes in alquran al-karim dan As-sunnah Al-Muthahharah to explain laws of
Islam, lessons, and directions.
Keywords: Ijtihad, fatwa, and syara’ or
Islam law.
IJTIHAD
Pengertian Ijtihad
Secara bahasa, ijtihad
berasal dari kata al-jahd dan al-juhd, yang berarti al-thaaqah
(tenaga, kuasa, dan daya), sementara al-ijtihad dan al-tahajud
berarti penumpahan segala kesempatan dan tenaga (bazl al-wus’I wa al-majhud).
Sedangkan, Luwis Ma’luf menulis bahwa kata Ijtihad berasal dari kata
dasar jahada yang berarti mencurahkan segala kemampuan atau menanggung
beban. Oleh karena itu, ijtihad menurut ahli bahasa ialah usaha yang optimal
dan menanggung beban berat. Dengan demikian, tidak dapat dinamakan ijtihad
apabila tidak ada unsur kesulitan dalam sebuah pekerjaan. Berdasarkan
peninjauan makna dari sudut bahasa ini, para ulama merumuskan pengertian
ijtihad dengan konsep yang berbeda-beda.
Ulama ushuliyyin mengartikan
ijtihad dengan usaha mencurahkan segenap kemampuan dan kesanggupan intelektual
dalam mengistinbathkan hukum praktis yang diambil dari dalil-dalil yang
terperinci. Atau seperti yang dirumuskan oleh Abd Al-Wahab Al-Khallaf, yaitu
mencurahkan kesanggupan yang prima untuk menghasilkan hukum syar’i yang amali
dan berpedoman dari dalil yang terperinci (tafshili).[1]
Al-Amidi merumuskan ijtihad sebagai mencurahkan segenap
kemampuan dalam mencari hukum-hukum syar’i yang bersifat zhanni, dalam
batas sampai dirinya meresa tidak mampu melebihi usahanya itu. Menurut
pengertian yang disampaikan oleh al-Amidi tersebut, terkandung pengertian bahwa
lapangan ijtihad terbatas pada mengeluarkan hukum syar’i yang bersifat praktis
dalam peringkat yang bersifat zhanni. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa hasil ijtihad dari seorang mujtahid adalah relatif, tidak mutlaq benar,
atau meminjam istilah ushul fiqh, diartikan sebagai sesuatu yang mendekati
kebenaran dalam pandangan mujtahid.
Di tempat lain, Al-Ghazali merumuskan pengertian ijtihad
dalam arti bahasa sebagai pencurahan segala daya usaha dan penumpahan segala
kekuatan untuk menghasilkan sesuatu yang berat atau sulit.
Usaha dengan sungguh yang dalam bahasa Al-Qur’an, disebut
dengan mujahadah yang sebenarnya merupakan perwujudan dari dari
ketidakmungkinan seseorang menguasai keseluruhan paradigma secara final. Akan
tetapi, orang yang menyediakan dirinya untuk berusaha sungguh-sungguh.
Al-Qur’an memuat janji Allah bahwa berbagai jalan Allah, akan ditunjukkan
kepada mereka yang mau bermujahadah itu, meskipun yang terjadi pada seseorang
ialah pengalaman mendekati kebenaran.
Sedangkan, Al-Syaukani memberi pengertian ijtihad adalah
pencurahan kemampuan untuk mendapatkan hukum syar’i yang bersifat operasional, ‘amali
melalui upaya istinbath (penggalian) hukum.[2]
Dalam pengertian yang luas, Ijtihad berarti menggunakan
daya nalar manusia untuk menghasilkan dan menjelaskan hukum syari’ah. Ijtihad
ini mengalami berbagai proses pikir dan kejiwaan yang berkisar dari penafsiran
nash al-Qur’an serta penilaian atas keshahihan hadist. Dari sini, maka al-Qiyas
atau nalar analogis merupakan suatu bentuk ijtihad. Dengan metode ini
prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh al-Qur’an, al-Sunnah, dan ijma’, diperluas
dan diterapkan untuk memecahkan berbagai masalah baru yang timbul dan belum
dijelaskan dan diatur sebelumnya.[3]
Dasar Hukum Ijtihad
Yang menjadi landasan
dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas
maupun berdasarkan isyarat, diantaranya:
1. Firman Allah SWT.
انّا انزلنا اليك الكتاب با لحقّ لتحكم بين
النّاس بما اراك الله ـ ( النساء : ۱۰۵)
“Sesungguhnya
Kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi di antara
manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu.”
Dalam ayat tersebut penetapan
ijtihad berdasarkan qiyas
انّ فى ذالك لأ يا ت لقوم يتفكّرون ـ
“Sesungguhnya pada hal itu
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.”
2. Adanya keterangan dari
sunnah, yang membolehkan berijtihad, diantaranya:
Hadist
yang diriwayatkan oleh Umar:
“Jika
seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua, dan bila
salah maka ia mendapat satu pahala.”
Dan
hadist Mu’adz Ibnu Jabal ketika Rasulullah SAW. mengutusnya ke Yaman untuk
menjadi hakim di Yaman.
“Rasulullah
SAW. bertanya, “Dengan apa kamu menghukumi? Ia menjawab,” Dengan apa yang ada
dalam kitab Allah. Bertanya Rasulullah, “Jika kamu tidak mendapatkan dalam
kitab Allah?” Dia menjawab: “Aku memutuskan dengan apa yang diputuskan
Rasulullah”. Rasul bertanya lagi, “”Jika tidak mendapatkan dalam ketetapan
Rasulullah?” Berkata Mu’adz, “Aku berijtihad dengan pendapatku.” Rasulullah
bersabda, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah menyepakati utusan dari
Rasul-Nya.”
Dan hal
itu telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi wafat. Mereka selalu berijtihad
jika menemukan suatu masalah baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul.[4]
Macam-macam Ijtihad
Dr.
Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga bagian, yang sebagiannya sesuai
dengan pendapat Asy-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat, yaitu:
a. Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan
hukum-hukum syara’ dari nash.
b. Ijtihad Al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap
permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan
menggunakan metode qiyas.
c. Ijtihad al-ishtishlah, yaitu ijtihad terhadap
permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan
menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah ishtishlah.
Pembagian di atas masih
belum sempurna, seperti yang diungkap-kan oleh Muhammad Taqiyu al-Hakimdengan
mengemukakan beberapa alasan, di antaranya jami’ wal mani. Menurutnya, ijtihad
itu dapat dibagi menjadi dua bagian saja, yaitu:
1. Ijtihad al-aqli, yaitu
ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak menggunakan dalil syara’.
Mujtahid dibebaskan untuk berpikir, dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti.
Misalnya, menjaga kemadharatan, hukuman itu jelek bila tidak disertai
penjelasan, dan lain-lain.
2. Ijtihad syari’,
yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk dalam pembagian ini
adalah ijma’, qiyas, istihsan. Ishtishlah,‘urf, ishtishhab, dan
lain-lain.[5]
Objek Ijtihad
Menurut Al-Ghazali, objek ijtihad
adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qathi’.
Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan
objek ijtihad.
Dengan demikian, syari’at
Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian:
1. Syari’at yang tidak boleh
dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah dimaklumi
sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil yang qathi’,
seperti kewajiban malaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji, atau haramnya
melakukan zina, mencuri, dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya di
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kewajiban shalat dan zakat
berdasarkan firman Allah SWT.
“Dan dirikanlah shalat dan
tunaikanlah zakat ... ” (QS. An-Nuur: 56)
Ayat tersebut tidak boleh
dijadikan lapangan ijtihad untuk mengetahui maksud shalat.
2. Syari’at yang bisa
dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil
yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya, ataupun eksistensinya
(tsubut), serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma’
para ulama.
Apabila ada nash yang
keberadaannya masih zhanni, hadist ahad misalnya, maka yang menjadi
lapangan ijtihad di antaranya adalah peneliti bagaimana sanadnya,
derajat para perawinya, dan lain-lain.
Dan nash yang
petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi lapangan ijtihad,
antara lain bagaimana maksud dari nash tersebu, misalnya dengan memakai kaidah
‘am, khas, mutlaq muqayyad, dan lain-lain.
Sedangkan terhadap
permasalahan yang tidak ada nash-nya, maka yang menjadi lapangan ijtihad
adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas,
istihsan, maslahah mursalah, dan lain-lain. Namun, permasalahan ini banyak
diperdebatkan di kalangan para ulama.[6]
Hukum Melakukan Ijtihad
Menurut para ulama, bagi
seseorang yang sudah memenuhi persyaratan ijtihad di atas, ada lima
hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut berkenaan dengan ijtihad, yaitu:
a. Orang tersebut
dihukumi fardhu ‘ain untuk berijtihad apabila ada permasalahan
yang menimpa dirinya, dan harus mengamalkan hasil dari ijtihad-nya dan
tidak boleh taqlid kepada orang lain. Karena hukum ijtihad itu sama
dengan hukum Allah terhadap permasalahan yang ia yakini bahwa hal itu termasuk
hukum Allah.
b. Juga dihukumi fardhu
‘ain jika ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya.
Karena jika tidak segera dijawab, dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam
melaksanakan hukum tersebut atau habis waktunya dalam mengetahui kejadian
tersebut.
c. Dihumi fardhu
kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan
habis waktunya, atau ada orang lain selain dirinya yang sama-sama memenuhi
syarat sebagai seorang mujtahid.
d. Dihukumi sunah
apabila berijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya maupun
tidak.
e. Dihukumi haram
apabila berijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara qathi’,sehingga
hasil ijtihad-nya itu bertentangan dengan dalil syara’.[7]
Syarat-syarat Mujtahid (Orang
yang Melakukan Ijtihad)
Secara
umum, ulama ushul menyimpulkan
persyaratan seorang mujtahid sebagai
berikut:
a. Menguasai dan mengetahui arti
ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, baik menurut bahasa maupun
syaria’ah. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghapalnya, melainkan cukup
mengetahui letak-letaknya saja, sehingga memudahkan baginya apabila ia
membutuhkan. Imam Ghazali, Ibnu Arabi, dan Ar-Razi membatasi ayat-ayat hukum
tersebut sebanyak lima ratus ayat.
b. Menguasai dan mengetahui
hadist-hadist tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syari’at. Akan tetapi,
tidak disyaratkan harus menghapalnya, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya
secara pasti, untuk memudahkannya jika ia membutuhkannya.
c. Mengetahui nasakh dan mansukh dari
Al-Qur’an dan As-Sunah, supaya tidak salah dalam menetapkan hukum, namun tidak
disyaratkan harus menghapalnya.
d. Mengetahui permasalahan yang sudah
ditetapkan melalui ijma’ ulama,
sehingga ijtihad-nya
tidak bertentangan dengan ijma’.
e. Mengetahui qiyasdan berbagai
persyaratannya serta meng-istinbat-nya,
karena qiyasmerupakan
kaidah dalam berijtihad.
f. Mengetahui bahasa Arab dan berbagai
disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta berbagai problematikanya. Hal
ini antara lain karena Al-Qur’an dan As-Sunah ditulis dengan bahasa Arab.
Namun, tidak disyaratkan untuk betul-betul menguasainya atau menjadi ahlinya,
melainkan sekurang-kurangnya mengetahui maksud yang dikandung dalam Al-Qur’an
atau As-Hadist.
g. Mengetahui Ilmu Ushul Fiqih
yang merupakan fondasi dari ijtihad. Bahkan,
menurut Fakhru Ar-Razi, ilmu yang paling penting dalam ber-ijtihad
adalah ilmu Ushul Fiqih.
h. Mengetahui maqashidu Asy-Syari’ah
(tujuan syari’at) secara umum, karena bagaimanapun juga syari’at itu berkaitan
dengan maqashidu Asy-Syari’ah
atau rahasia disyari’atkannya suatu hukum. Sebaiknya, mengambil rujukan pada istihsan, maslahahmursalah, urf, dan
sebagainya yang menggunakan maqashidu Asy-Syari’ahsebagai
standarnya.[8]
Tingkatan Mujtahid
Menurut As-Suyuthi “Umat
sekarang (pada zamannya) telah terjebak pada pemikiran bahwa mujtahid mutlaq
itu sudah tidak ada lagidan yang ada sekarang hanyalah mujtahid muqayyad.”
Pernyataan seperti itu adalah salah besar dan tidak sesuai dengan pendapat para
ulama. Mereka tidak mengetahui apa sebenarnya perbedaan antara mujtahid
mutlaq, mujtahid muqayyad, dan mujtahid muntasib yang semuanya
berbeda.
Adapun tingkatan para mujtahid,
menurut para ulama, diantaranya menurut Imam Nawawi Ibnu Shalah dan
lain-lain, terbagi dalam lima tingkatan:
1. Mujtahid mustaqil
Adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan
kaidah-kaidah yang ia buat sendiri, dia menyusun fiqih-nya sendiri yang
berbeda dengan madzhab yang ada. Menurut As-Suyuthi, tingkatan ini sudah
tidak ada lagi.
2. Mujtahid mutlaq
ghairu mustaqil
Adalah
orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqil, namun dia tidak
menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya, tetapi mengikuti metode salah satu iamam madzhab.
Dia bisa disebut juga sebagai mutlaq muntasib, tidak mutaqil, tetapi
juga tidak terikat, karena dia tidak dikategorikan taqlid kepada
imamnya, melainkan mengikuti jalan yang ditempuh imamnya. Di antaranya Abu
Yusuf dan Muhammad Jafar dari Hanafiyah.
3. Mujtahid muqayyad atau
Mujtahid Takhrij
Adalah mujtahid
yang terikat oleh madzhab imamnya. Memang dia diberi kebebasan dalam
menentukan berbagai landasannya berdasarkan dalil, tetapi tidak boleh keluar
dari kaidah-kaidah yang telah dipakai imamnya. Di antaranya Hasan bin Ziyad
dari golongan hanafi, Ibnu Qayyim dan Asyhab dari golongan Maliki, serta
Al-Buwaiti dan Majani dari golongan Syafi’i.
4. Mujtahid Tarjih
Adalah mujtahid
yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij, tetapi menurut
Imam Nawawi dalam kitab Majmu’, mujtahid ini sangat faqih, hapal
kaidah-kaidah imamnya, mengetahui
dalil-dalilnya, cara memutuskan hukumnya, dia juga mengetahui bagaimana cara
mencari dalil yang lebih kuat, dan lain-lain. Tetapi kalau dibandingkan dengan
tingkatan mujtahid di atas, dalam mengetahui kaidah-kaidah
imamnya, ia tergolong masih kurang. Diantaranya, Al-Qaduri dan pengarang kitab
Al-Hidayah dalam madzhab Hanafi.
5.
Mujtahid Fatwa
Adalah
orang yang hapal dan paham terhadap kaidah-kaidah imam madzhab,
mampu menguasai permasalahan yang sudah jelas atau yang sulit, namun dia masih
lemah dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam
menetapkan qiyas.
Menururut
Imam Nawawi, “Tingkatan ini adalah fatwanya sangat bergantung kepada
fatwa-fatwa yang telah disusun oleh imam madzhab,
serta berbagai cabang yang ada dalam madzhab
tersebut”.
FATWA
Definisi Fatwa
Fatwa menurut bahasa bearti
jawaban mengenai suatu kejadian (peristiwa), yang merupakan bentukan
sebagaimana dikatakan Zamakhsyari dalam al-kasysyaf dari kata (al-fatta/pemuda)
dalam usianya, dan sebagai kata kiasan (metafora) atau (isti’arah).
Sedangkan pengertian fatwa menurut syara’ ialah
menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban dari suatu
pertanyaan, baik si penanya itu jelas identitasnya ataupun tidak, baik
perseorangan maupun kolektif[9].
Telah di
jelaskan bahwa yang di fatwakan atau materi fatwa adalah hukum syara’ yang di
peroleh melalui ijtihad. Dalam hal ini mufti sama kedudukannya dengan hakim,
yaitu menyampaikan hukum kepada umat. Fatwa di sampaikan mufti dengan ucapannya
setelah menerima pertanyaan dan umat. Sedangkan qadhi menyampaikan hukum
melalui putusan hukum atau dalam proses persidangan setelah perkaranya di
sampaikan oleh umat. Keduanya meerupakan hasil ijtihad.
Seandainya mufti itu adalah seorang mujtahid, maka hukum
yang di sampaikannya itu adalah hasil ijtihadnya sendiri. Seandainya mufti itu
adalah seorang muqallid (bertaqlid), yang menurut ulama sebagaian di
perbolehkan maka hukum yang di fatwakannya adalah hukum yang di hasilkan
melalui ijtihad hasil temuan seorang imam yang dia ikuti pendapat (mazhab)-nya.[10]
Metode Al-qur’an dan
As-Sunnah dalam menjelaskan Hukum
Fatwa merupakan salah satu metode dalam alquran
al-karim dan As-sunnah Al-Muthahharah dalam menerangkan hukum-hukum syara’,
ajaran-ajarannya, dan arahan-arahannya.
Kadang-kadang penjelasan itu diberikan tanpa adanya
pertanyaan atau perintah fatwa, dan cara inilah yang dominan terdapat dalam
alquran baik mengenai persoalan hukum maupun nasihat dan pengajaran. Namun
demikian kadang penjelasan itu dating setelah adanya pertanyaan dan permintaan
fatwa terlebih dahulu.
Sementara itu di dalam as-sunnah ada kalanya Rasulullah
SAW, menerangkan suatu hukum suatu masalah secara langsung tanpa didahului
pertanyaan dari seseorang. Biasanya hal seperti ini beliau lakukan untuk
menghilangkan kesalahpahaman, untuk membetulkan pengertian, mengajarkan kepada
yang tidak tahu, memantapkan hati seseorang yang sedang menuntut ilmu, untuk
menghususkan yang umum atau memberi qayid (ketetapan) bagi yang mutlak (tidak
terikat),sebagai penjelasan Nabi saw. Terhadap alkitab (alQuran), atau untuk
tujuan lainnya.
Ada kalanya juga sebagai jawaban bagi suatu pertanyaan,
dan yang demikian ini banyak sekali jumlahnya. Misalnya Abu musa Al-asyari:
wahai rasulullah, berilah fatwa kepada kami tentang minuman yang kami buat di
Yaman yang di sebut al-biq’u, yang berasal dari madu yang dijadikan minuman
keras, dan almizru yang terbuat dari jagung dan gandum hingga menjadi minuman
keras. Dan Fatwa-fatwa rasulullah saw terhadap para penanya dalam sebagaian
besar persoalan syariat dan berbagai persoalan hidup sangatlah luas, banyak
daan beraneka ragam yang tidak menimbulkan keraguan bagi orang yang mau
mengkaji sunnah beliau[11].
Kitab-kitab fatwa
Para fuqaha muslimin dari berbagai mazhab ,
Negara, dan zaman telah banyak menulis kitab fatwa dalam ukuran besar, sedang ,
dan kecil, yang pada umumnya mereka susun berdasarkan urutan bab-bab
fikih.Namun begitu, mereka belum menganggap cukup dengan adanya kitab-kitab
fikih yang biasa itu, meskipun kitab-kitab fatwa tersebut memuat berbagai
persoalan praktis yang di alami manusia dan yang mereka butuhkan dalam
menghadapi kenyataan hidup yang mereka arungi. Karena yang mereka inginkan
adalah adanya unsur pemikat dan daya tarik yang berupa Tanya jawab.
Kitab-kitab
fatwa dalam mazhab hanafi antara lain kitab Fatawa Qadikhan, al-fatawa
al-kubra,al-fatawa ash-suhgro (karya ash-shadr asy-Syahid), al-Bazaziyah,
ath-Thuhriyyah, az-Zainiyyah, al-Hamidiyyah, dan al-fatawa al-Hindiyyah
wal-Mahdiyyah.[12]
Fatwa-fatwa dalam mazhab syafi’I terkumpul dalam
kitab-kitab fatwa karya ibnush-Shalah, an-Nawawi, as-Subki, asy-Syekh
Zakaria, Ibnu Hajar al-Haistami,dan lainnya.
Kitab-kitab fatwa dalam mazhab Maliki antara lain Fatwa ibnu
Rusyd, Fatawa asy-Syatibi, dan Mausu’ah karya al-Wansyarisi yang diterbitkan
dalam 12 jilid.
Keluhuran Kedudukan Fatwa
Fatwa menempati kedudukan yang strategis dan sangat
penting, karena mufti atau pemberi fatwa sebagaimana dikatakan oleh Imam
Asya-Syathibi merupakan pelanjut tugas Nabi saw. Sehingga ia berkedudukan
sebagai khalifah dan ahli waris beliau.
Seorang mufti menggantikan kedudukan nabi saw. Dalam
menyampaikan hukum-hukum syariat, mengajar manusia, dan memberi peringatan
kepada mereka agar sadar dan berhati-hati di samping menyampaikan apa yang
diriwayatkan dari shahibusy-syari’ah (Nabi saw), mufti juga menggantikan
kedudukan beliau dalam memutuskan hukum-hukumyang di gali dari dalil-dalil
hukum melalui analisis dan ijtihadnya, sehingga jika dilihat dari sisi ini
seorang mufti, sebagai mana dikatakan Imam Asy-syatibi, juga sebagai pencetus hukum yang wajib di
ikuti dan dilaksanakan keputusannya. Inilah khalifah (penggantian tugas) yang
sebenarnya.
Imam Abu abdillah Ibnu Qayyim menganggap serorang mufti
sebagai menerima mandate dari Allah Ta’ala mengenai apa yang ia fatwakan.
Para Ulama salaf r.a, telah mengetahui betapa mulia,
agung, dan berpengaruhnya fatwa di dalam agama Allah dan kehidupan manusia Oleh
sebab itu, mereka mengemukakan beberapa hal :
1. Takut memberi Fatwa
2. Mengingkari orang yang
berfatwa tanpa berdasarkan ilmu
3. Ilmu dan pengetahuan
Mufti.[13]
Di antara kondisi mufti yang paling jelek dan membahayakn
ialah hidup bergelimang dengan kitab, tetapi terlepas dari realitas. Karena itu
amat bagus gagasan al-Khatib r.a. ketika menuntut seorang mufti untuk
mengetahui perkara yang serius dan yang tidak, yang bermanfaat dan yang madarat
bagi kehidupan.
Imam ahmad berkata: “Tidak seyogianya seseorang
menerjunkan dari untuk memberi fatwa sehingga ia memiliki lima kriteria seperti
berikut ini :
1. Dilakukan dengan niat dan
tekad yang benar,sebab jika ia tidak berniat seperti itu, dia tidak akan
menapatkan nur (cahaya), demikian pula perkataanya.
2. penyantun, berwibawa dan
tenang
3. teguh pendirian dan kuat
pengetahuannya.
4. cukup ekonominya, karena
jika tidak begitu akan diremehkan orang.
5. mengenal orang-orang.
Mufti yang basir (jeli) harus mengetahui kenyataan dan
tidak melalaikannya sehingga fatwanya memiliki keterkaitan dengan kehidupan
manusia. Dan tidak hanya menulis teori-teori, dan tidak pula melontarkan
fatwanya ke dalam ruang hampa. Memperhatikan realitas menjadikan mufti mampu
mengamati kasus-kasustertentu secara jelas, meletakkan ikatan-ikatan
(ketentuan) tertentu pada tempatnya, dan teringat akan ungkapan-ungkapan
penting.
Korelasi Fatwa Dengan Ijtihad
Berbicara tentang fatwa tidak akan terlepas
dengan dari bahasan mengenai masalah ijtihad dengan segala perangkatnya. Sebab
fatwa itu di keluarkan kepada masyarakat umum setelah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Fatwa dikeluarkan oleh para Ulama/ahli fikih islam yang mampu mengangkat
permasalahan keagamaan maupun nonkeagamaan seperti kedokteran, dan
penemuan-penemuan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Fatwa
keagamaan dalam fikih islam tentu sangat berkaitan erat dengan ijtihad yang
telah di hasilkan oleh para ulama/ahli fikih islam. Fatwa merupakan kumpulan
nasihat /wejangan yang berharga untuk kemaslahatan umat itu bearti sangat tepat
sebagaimana termaktub dalam penghujung akhir ayat surat al-ashr, yang artinya “
Kita hendaknya saling berwasiat dalam hal kebenaran dan saling berwasiat dalam
kesabaran.
Ayat tersebut memberikan pengertian yang amat luas,
betapa pentingnya fatwa dalam kehidupan masyarakat muslim sejati. Korelasi
antara fatwa dengan ijtihad memberikan gambaran konkret bahwa persyaratan untuk
mengeluarkan fatwa juga sama dengan persyaratan melakukan ijtihad. Sebab
seorang mufti (ahli memberikan fatwa)
persyaratan juga tidak jauh berbeda dengan persyaratan seorang mujtahid.
Seorang mufti harus memiliki pengetahuan yang luas dan mempunyai pola pikir
yanhg integral dalam memahami dan mengupas ajaran-ajaran islam secara
mendetail. Syariat islam tidak akan mengalamai perkembangan yang pesat manakala
tidak di topang oleh fatwa-fatwa keagamaan yang mantap dan valid.
Persyaratan seseorang dapat mengeluarkan fatwa apabila
telah di penuhi empat syarat mutlak, yakni :
1. Orang tersebut harus
mengetahui dan memahami bahasa arab dengan sempurna dari segala seginya.
2. Orang tersebut mengetahui
ilmu alquran dengan sempurna dari segala seginya, yakni berkaitan dengan
hukum-hukum yang di bawa oleh alquran dan mengetahui secara persis cara-cara
pengambilan hukum (istinbathul hukmi) dari ayat-ayat tersebut.
3. Mengetahui As-Sunnah
dengan sempurna dari segala seginya, yakni hal hal yang berkaitan dengan
hukum-hukum syara’.
4. Mengetahui ilmu ushul
fiqih terutama yang berkaitan dengan macam-macam illat dan hikmah penetapan
hukum yang di dasarkan untuk kepentingan syariat islam.[14]
REFERENSI
Koto, Alaiddin. 2006.Ilmu
Fiqih dan Ushul Fiqih (Sebuah Pengantar).Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Suyatno, 2011.Dasar-Dasar
Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh.Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Rahman. 2002.Penjelasan
Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah).Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Syafe’i, Rachmat. 2010.Ilmu
Ushul Fiqih.Bandung: CV Pustaka Setia
Qardhawi, Yusuf. 1997.
FATWA antara ketelitian & kecerobohan. Jakarta: Gema Insani Press
Revisi:
1. Tidak ditemukan
indikasi copy-paste.
2. Abstrak hanya
ditulis satu paragraf saja
3. Belum ada
pendahuluan dan kesimpulan
4. Penulisan
pembahasan makalah ini perlu diperbaiki. Seharusnya pembahasan dibuat menjadi:
Pendahuluan
Sekilas Mengenai Ijtihad
1. Bla bla bla
2. Bla bla bla
3. Bla bla
Sekilas Mengenai Fatwa
1. Bla bla
2. Bla bla
Kolerasi antara Ijtihad dan Fatwa
Kedudukan Ijtihad dan Fatwa dalam
Islam
Kesimpulan
Daftar Pustaka
4. Penulisan footnote perlu diperbaiki, pelajari cara penulisan foootnote
yang baik dan benar, contoh: Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana,
2008), hlm. 2.
5. Tolong diperbaiki lagi perujukannya. Banyak tulisan yang tidak diberikan
rujukan: apakah itu gagasan Anda sendiri atau berdasarkan karya orang lain.
[1] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih
(Sebuah Pengantar), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 127-128
[2] Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh & Ushul
Fiqh, Ar-Ruzz Media, Jogjakarta, 2011, hlm. 173
[3] A. Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum
Allah (Syariah), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 106
[4] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, CV
Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm. 103
[5]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, CV
Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm. 104
[6] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, CV
Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm. 107
[7]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, CV
Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm. 108
[8] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, CV
Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm. 106
[9]Yusuf Qardhawi, FATWA antara ketelitian & kecerobohan,
Gema Insani Press,Jakarta,1997, hlm. 5.
[10] Amir Syarifuddin, USHUL FIQIH, Kencana,
Jakarta, 2008, hlm. 488.
[11]Yusuf Qardhawi, FATWA antara ketelitian & kecerobohan,
Gema Insani Press,Jakarta, 1997, hlm. 5.
[12]Yusuf Qardhawi, FATWA antara ketelitian & kecerobohan,
Gema Insani Press,Jakarta, 1997, hlm. 9
[13]Yusuf Qardhawi, FATWA antara ketelitian & kecerobohan,
Gema Insani Press,Jakarta, 1997, hlm. 24
[14] DR Yusuf Qardhawi, 1997, FATWA antara ketelitian & kecerobohan,
Jakarta, GAMA INSANI PRESS, hlm. 76-77.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar