Senin, 24 Oktober 2016

Hadis dan Historisitasnya (PAI D Semester III)




HADITS DAN HISTORISITASNYA

Dinda Mar’atush Sholihah, Febri Kurnianto, Nurul Chairiah
PAI D Semester III Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang

Abstract
Hadith is the source of the news coming from the Prophet in any form either in the form of words, pernuatan, as well as the attitude of approval. There are several terms that are synonyms of the hadith is sunnah, khabar, and atsar. Which of all of the differences between one another. The development of hadith are classified into seven periods, so in her book hadiths based on the quality or a specific topic.
Keywords: hadith, diversity, history

Pendahuluan
Selain al-Qur’an sebagai sumber utama dalam Islam, hadits yang merupaan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan), dan hal ihwalnya, juga merupakan sumber ajaran yang banyak melengkapi kandungan al-Qur’an. Hal ini selaras dengan ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan orang-orang mukmin untuk mematui untusan Allah SWT, mengikuti petunjuk-petunjuk, dan meneladani kehidupannya.
Hadits dengan al-qur’an memiliki kaitan sangat erat karena untuk memahami dan mengamalkan al-Qur’an dan hadits tidak bisa dipisah-pisahkan atau tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Dikarenakan al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama yang didalamnya berisi garis-garis besar syari’at-syari’at Islam, sedangkan Hadits merupakan mubayyin (penjelas) terhadap al-Qur’an dan memberikan gambaran kongkrit tentang batas-batas yang dinyatakan oleh al-Qur’an. Dengan demikian, seseorang tidak akan bisa memahami al-Qur’an, jika tanpa memahami dan menguasai Hadits, begitu pula jika hanya menggunakan Hadits tanpa al-Qur’an.

Pengertian hadits
Kata hadits berasal dari bahasa arab, jama’nya al-hadits, al-hidsan, dan al-hudsan yang berarti al-khobar (kabar atau berita), hadits juga sering dijama’kan menjadi hidas dan hudasa yang berarti al-jadid (yang baru) sebagai lawan dari al-qodim (yang lama).[1]
Hadits menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya. Menurut ulama ahli hadis pengertian hadits disebut juga dengan istilah sunnah adalah segala apa yang didapatkan dari nabi SAW, berupa ucapan, perbuatan, taqrir (ketetapan atau persetujuan), sifat fisik atau budi, serta biografinya, baik pada masa sebelum kenabian seperti tahannusnya di gua Hiro, maupun sesudah masa kenabian. Sebagian juga mendefinisikan hadits sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi, baik berupa ucapan, taqrir, maupun sifatnya.[2]
Dikalangan ulama ahli hadits terdapat perbedaan persepsi antara yang membatasi bahwa apa yang disandarkan kepada Nabi SAW itu setelah beliau sebagai Rosul, dan ada pula yang memperluasnya yakni termasuk juga sebelum beliau menjadi Rosul. Dalam pengertian yang umum hadits adalah apa yang disandarkan kepada Nabi SAW setelah kenabian.[3]
Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa hadits adalah sumber berita yang datang dari Nabi SAW dalam segala bentuk baik berupa perkataan, pernuatan, maupun sikap persetujuan. [4]
Macam-macam Hadits
Membicarakan tentang pembagian hadits atau macam-macamnya para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama membaginya secara global, hanya mencakup pokok-pokoknya saja, sebagian pula membaginya secara rinci. [5]
Ditemukan dari beberapa sumber, diketahui bahwa secara umum hadits yang sampai pada kita itu dapat dibagi menjadi dua, yaitu: Hadits Mutawatir, dan Hadits Ahad. Hadits Mutawatir terbagi menjadi tiga,  yaitu: Mutawatir Lafdzy, Mutawatir ‘Amaly, dan Mutawatir Ma’nawy. Hadits Ahad ditinjau dari segi kualitas dan kuantitasnya.[6]
Hadits Ahad ditinjau dari segi kualitasnya terbagi menjadi tiga yaitu Hadits Maqbul, yakni hadits yang dapat diterima sebagai hujjah, Hadits Marbud (dhaif), yakni hadits yang ditolak dan tidak dapat dijadikan sebgai hujjah, Hadits Musytarak ( bersekutu) yaitu hadits yang mencakup dua kemungkinan antara maqbul dan mardud.[7]
Hadits Maqbul ditinjau dari segi implementasinya dibagi menjadi dua, yaitu Hadits Ma’mul Bih, yang mengikuti Hadits Muhkam, Hadits Mukhtalif, Hadits Rajih, dan Hadits Nasikh. Ghoiru Ma’mul Bih, meliputi Hadits Marjuh, Hadits Mansukh, dan Hadits Manquf fih. Ditinjau dari segi kualitasnya, Hadits Maqbul dibagi menjadi dua, yaitu Hadits Shahih, yang mencakup Hadits Shahih Lidzatih dan Hadits Shahih Lighairih. Dan Hadits Hasan yang mencakup Hadits Hasan Lidzatih dan Hadits Hasan Lighairih.[8]
Hadits Ahad ditinjau dari segi kualitasnya yang kedua adalah Hadits Mardud (dhaif), yaitu hadits yang ditolak dan tidak bisa dijadikan pegangan, serta tidak bisa dijadikan hujjah karena kelemahannya, baik dari segi sanad maupun matannya. Beberapa macam Hadits Dhaif antara lain Hadits Maudhu’, Hadits Matruk, Hadits Munkar, Hadits Ma’ruf, Hadits  Mu’allal (ma’lul), Hadits Maqlub, Hadits Mudhtharib, Hadits Syadz, Hadits Mursal, Hadits Munqothi’, Hadits Mu’dhal, Hadits Mudallas, Hadits Mubham (majhul/mastur), Hadits Muqthalith, Hadits Masruq.[9]
Hadits Ahad ditinjau dari segi kualitasnya yang ketiga adalah Hadits Musytarak (bersekutu), yakni hadits yang mengandung dua kemungkinan, mungkin maqbul jika memenuhi persyaratan untuk diterima sebagai hujjah dilihat dari segi sanad maupun matan, dan mungkin juga masuk kedalam Mardud dalam arti ditolak untuk dijadikan pegangan atau hujjah, apabila tidak memenuhi persyaratan dari segi sanad maupun matannya.[10]
Macam-macam hadits yang termasuk kedalam kelompok hadits ini cukup banyak, antara lain: hadits qudsi, hadits marfu’, hadits mauquf, hadits maqthu’, hadits masyur, hadits ‘aziz, hadits gharib, hadits musnad, hadits musttashil (maushul), hadits muttabi’, hadits syahid, hadits musalsal, hadits mu’an’an, hadits muannam, hadits mu’allaq, hadits muddraj, hadits mudabbaj, hadits mutasyabih, hadits mushahhaf, hadits muharraf, hadits ‘ali, hadits nazil, hadits muttafiq dan muftariq, hadits mu’talif dan mukhtalif, hadits sabiq, dan hadits lahiq.[11]
Adapun pembagian Hadits Ahad yang ditinjau dari segi kuantitasnya ada tiga, yaitu: Hadits Masyur, Hadits Gharib, dan Hadtst ‘Aziz. Dari ketiga hadist tersebut, Hadits Gharib dapat dirinci lagi menjadi (a) Hadits gharib dilihat dari segi penyendirian perawinya, yang terdiri dari hadits gharib mutlak dan nisbi (b) hadits gharib dilihat dari segi keghariban sanad dan matan-nya. Di sini dibagi lagi menjadi, gharib pada sanad dan matan bersama-sama, gharib pada sanad saja, dan gharib pada sebagian matan-nya.[12]
Perbedaan antara hadits, sunnah, atsar, dan khabar
Hadits
Kata hadits berasal dari bahasa arab, jama’nya al-hadits, al-hidsan, dan al-hudsan yang berarti al-khobar (kabar atau berita), hadits juga sering dijama’kan menjadi hidas dan hudasa yang berarti al-jadid (yang baru) sebagai lawan dari al-qodim (yamg lama).[13]
Hadits menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya. Menurut ulama ahli hadis pengertian hadits disebut juga dengan istilah sunnah adalah segala apa yang didapatkan dari nabi SAW, berupa ucapan, perbuatan, taqrir (ketetapan atau persetujuan), sifat fisik atau budi, serta biografinya, baik pada masa sebelum kenabian seperti tahannusnya di gua Hira, maupun sesudah masa kenabian. Sebagian juga mendefinisikan hadits sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi, baik berupa ucapan, taqrir, maupun sifatnya.Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa hadits adalah sumber berita yang datang dari Nabi SAW dalam segala bentuk baik berupa perkataan, pernuatan, maupun sikap persetujuan. [14]
Sunnah
Menurut bahasa Sunnah adalah jalan hidup yang dijalani atau dibiasakan, baik jalan hidup itu baik atau buruk, terpuji atau tercela. Menurut istilah dari para ahli hadist adalahsesuatu yang didapatkan dari Nabi SAW yang terdiri dari ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik atau budi, atau biografi, baik pada masa sebelum kenabian atau sesudahnya. Sunnah menurut pengertian ini sinonim dengan hadits menurut pendapat sebagian mereka.[15]

Atsar
Dari segi bahasa atsar diartikan البقية او بقية الشيئ : peninggalan atau bekas sesuatu, maksudnya peninggalan atau bekas Nabi karena hadist itu peninggalan beliau. Atau diartikan: المنقول (yang dipindahkan dari Nabi), seperti kalimat: الدعاء الماثور dari kata atsar artinya do’a yang disumberkan dari Nabi sedangkan menurut istilah ada dua pendapat, pertama atsar persamaan dari hadist. Kedua atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada para sabahat (mauquf) dan tabi’in (maqthu’) baik perkataan maupun perbuatan. Menurut ahli hadist atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW (marfu’), para sahabat (mauquf), dan ulama’ salaf.[16]
Khabar
Khabar secara etimologis berasal dari kata khabar yang berarti “berita” dan lafadz atsar arinya “bekas sesuatu”. Secara terminologis para ulama hadist tidak sepakat dalam menyikai lafadz-lafadz tersebut. Sebagian berpendapat bahwa khabar adalah sinoni dari kata hadist dan sebagian lagi tidak demikian. Ini dikarenakan khabar adalah berita, baik berita dari Nabi SAW, maupun dari sahabat atau berita dari tabi’in.[17]
Jadi, perbedaan hadist dan sunnah, jika penyandara sesuatu kepada Nabi walaupun baru sekali dikerjakan atau masih berupa azam (hadist hammi) menurut sabagian ulama disebut hadist bukan sunnah. Sunnah harus sudah berulang kali atau menjadi kebiasaan yang telah dilakukan Rosul. Hadist menurut sebagian ushuliyun identik dengan sunnah qawliyah saja, karena mereka melihat hadist hanya dalam bentuk perktaan sedangkan sunnah berbentuk tindakan atau perbuatan yang telah mentradisi secara kontinu.[18]
Sementara Fuqaha Khurrasan membedakan atsar adalah berita mawquf sedangkan khabar adalah berita marfu’. Dengan demikian atsar lebih umum dari pada khabar karena atsar terkadang beritanya datang dari Nabi dan dari yang lain, khabar adalah berita yang datang dari Nabi dan sahabat, sedangkan atsar adalah yang datang dari Nabi, sahabat dan yang lain.[19]



Rangkuman perbedaan hadist, sunnah, atsar, dan khabar.

Sandaran
Aspek dan Spesifikasi
Sifatnya
Hadist
Nabi
Perkataan (qowli)
Perbuatan (fi’li)
Persetujuan (taqriri)
Lebih khusus dan sekalipun dilakukan sekali
Sunnah
Nabi dan para sahabat
Perbuatan (fi’li)
Menjadi tradisi
Atsar
Sahabat dan tabi’in
Perkataan (qowli)
Perbuatan (fi’li)
Umum
Khabar
Nabi dan selainnya
Perkataan (qowli)
Perbuatan (fi’li)
Lebih umum

Sejarah Singkat Hadits Nabi dari Masa ke Masa
            Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits Nabi dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa periode, yaitu: 1) hadits pada masa Nabi, 2) hadits pada masa sahabat besar (al-Khulafa al-Rasyidun), 3) hadits pada masa sahabat kecil dan tabi’in, 4) hadits pada masa kondifikasi, 5) hadist pada masa awal sampai akhir abad III H, 6) hadits pada masa abad IV sampai pertengahan abad VII (jatuhnya Baghdad tahun 656 H), dan 7) hadits pada masa pertengahan abad VII sampai sekarang.[20]
A.   Hadits pada Masa Nabi
Masa ini dikenal dengan sebutan ‘Ashr al-Wahy wa al-Takwil, yaitu masa wahyu dan pembetukan karena pada masa Nabi ini wahyu masih turun dan masih banyak hadits-hadits yang muncul darinya. Ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi dijadikan penyejuk dan sumber kebahagiaan oleh para sahabat Nabi. Mereka selalu berusaha menghafal ajaran-ajaran Islam melalui al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi. Mereka menyadari betapa pentingnya kedudukan hadits Nabi dalam ajaran agama Islam, sunnah Nabi merupakan pilar kedua setelah al-Qur’an. Orang yang mengingkari akan celaka, dan untuk orang yang mengamalkan akan mendapat kebahagian.[21]
Tradisi meriwayatkan segala yang dikatakan dan dilakukan Nabi baik yang terkait dengan masyarakat umum ataupun khusus berkenaan dengan hal-hal yang pribadi telah terjadi sejak awal Islam. Dalam menyampaikan hadits-haditsnya, Nabi menggunakan berbagai cara, yaitu:[22]
Pertama, melalui majlis al-‘ilmu, yaitu pusat atau tempat pengajian yang dilakuakn oleh Nabi untuk membina jamaahnya. Melalui majlis tersebut para sahabat memperoleh bnayk peluang ungtuk menerima hadist sehingga mereka selalu berusaha untuk mengkonsentrasikan diri untuk mengkuti majlis tersebut.[23]
Diantara sahabat ada yang segaja membagi tugas untuk mendapat informasi dari Nabi. Contohnya Umar bin Khathab yang membagi tugas dengan tetangganya untuk mendapatkan  hadits Nabi. Bila tetangganya pada suatu hari menemui Nabi, maka Umar menemui Nabi ke esokan harinya. Pihak yang menemuin Nabi bertugas menyampaikan berita itu kepada pihak yang tidak bisa menemui Nabi. Pada masa Nabi tidak semata-mata hadist diriwayatkan dari Nabi sendiri, tetapi sebagian diriwayatkan oleh para sahabat kepada sahabat yang lain. Tidak jarang kepala-kepala suku yang jauh dari Madinah mengirim utusan untuk menghadiri majlis Nabi, kemudian utusan tersebut mengajarkan kepada suku mereka setelah kembali dari majlis Nabi.[24]
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah juga menyampaikan kepada sahabat tertentu, kemudian sahabat tersebut menyampaikan kepada sahabat yang lain. Ini dikarenakan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik secara kebetulan atau disengaja oleh Nabi.[25]
Ketiga, untuk hal-hal sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri, Nabi menyampaikan kepada istri-istrinya. Keempat, melalui ceramah atau pidato  ditempat terbuka, seperti saat futuh Mekkah dan haji wada’. Kelima, melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabat, yaitu dengan jalan musyahadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah.[26]
Pada masa Nabi, sedikit sekali sahabat yang bisa menulis, sehingga yang menjadi amalan mereka adalah ingatan mereka. Pada masa Nabi hadist belum dikondifikasikan secara resmi. Rasulullah tidak pernah memerintahkan sahabat tertentu untuk menulis hadist seperti al-Qur’an yang ditulis secara resmi oleh Zaid bin Tsabit (sekretaris pribadi beliau). Bahkan, dalam suatu wakttu Nabi melarang menulis hadits. Ini dilakukan karena beliau khawatir hadist akan tercampur dengan al-Qur’an.[27]
Akan tetapi ada sahabat tertentu yang diberi izin untuk menulis hadist, tetapi secara umum Nabi melarang sahabat untuk menulisnya karena kekhawatiran beliau dengan tercampurnya hadits dengan al-Qur’an. Sahabat yang memiliki catatan hadits yang diterima dari Nabi disebut shahifah. Di antara sahabat yang memiliki catatan hadist yaitu Abdullah ibn Amr ibn al-Ash dengan nama al-Shadiqah.[28]
B.   Hadits pada Masa Sahabat Besar (al-Khulafa al-Rasyidun)
Setelah Nabi wafat, tindak tanduk Nabi yang pada dasarnya dari ajaran Ilahi, hanya dapat diketahui melalui informasi para sahabat Nabi sebagai periwayatan pertama dalam menyampaikan hadits kepada umat muslim. Periwayatan hadist sejak itu mengalami perkembangan dan melibatkan banyak pihak.[29]
Periwayatan hadits pada masa sahabat terutama masa al-Khulafah al-Rasyidun sejak tahun11 H hingga 40 H belum begitu berkembang. Perhatian para sahabat masih berfokus pada memelihara dan menyebarkan al-Qur’an dan mereka berusaha membatasi periwayatan hadits. Masa ini disebut  masa pembatasan dan memperketat periwayatan (al-tatsabbut wa al-iqlal min al-riwayah). Kehati-hatian dan pembatasan periwayatan yang dilakukan oleh sahabat, disebabkan karena adanya kekhawatiran terjadinya kekeliruan, mereka menyadari bahwa hadits merupakan sember ajaran agama Islam setelah al-Qur’an yang juga harus terjaga dari kekeliruan sebagaimana al-Qur’an.[30]
Sikap hati-hati ini ditunjukkan oleh khalifah pertama Abu Bakr al-Shiddiq. Beliau mengambil kebijakan memperketat hadist dengan maksud agar hadist tidak disalah gunakan oleh kaum munafik untuk menghindari kesalahan dan kelalaian sebagai akibat memperbanyak periwayatan yang berujung pada sebuah kebohongan  hadits Nabi yang mereka riwayatkan.[31]
Sikap hati-hati juga ditunjukkan oleh Umar ibn al-Khathab. Umar meminta diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadist.  Sikap Abu Bakar maupun Umar ini di ikuti oleh Utsman dan Ali. Selain dengan cara-cara tersebut, Ali juga terkadang mengajukan sumpah kepada sahabat yang meriwayatkan suatu hadits. Maksud dari para sahabat ini tidak lain untuk berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadits.[32]
Pada masa sahabat tidak berarti tidak terjadi kekeliruan dalam periwayatan hadits. Menurut Shalah al-Din Ibn Ahmad al-Adhabi, kekeliruan kadang terjadi pada hadits yang diriwayatkan oleh seseorang periwayatan (hadist ahad-gharib). Kekeliruan ini tidak dibiarkan begitu saja, teteapi diantisipasi oleh para sahabat dengan cara menegur kekeliruan yang terjadi dan menjelaskan letak kekelituannya, serta mereka mencermati segala riwayat yang disampaikan sehingga kekeliruan yang terjadi bisa diantisispasisedini mungkin.[33]
Meskipun pada masa ini terjadi pembatasan dan pengetatan dalam periwayatan  tidak berarti keadaan hadist Nabi dalam kondisi autentik dan sahih semua. Sejarah menyebutkan bahwa telah terjadi pemalsuan hadits (wadh’ al-hadits) pada masa Ali ibn Abi Thalib (w. 40 H/661 H). Pihak pertama yang membuat hadist palsu adalah orang-orang Syi’ah, ketika mereka merasa yakin bahwa Ali dan keturunannya yang paling berhak menjadi Khalifah.[34]
C.   Hadits pada Masa Sahabat Kecildan Tabi’in
Pada masa sahabat kecildan tabi’in ini juga cukup berhati-hati dalam periwayatan hadits sebagaimana terjadi di masa sahabat besar. Cara-cara yang ditempuh selain dengan cara yang sama denagn yang dilakukan oleh para sahabat besar juga dengan cara yang sesuai dengan hati nurani mereka dalam rangka untuk menyampaikan hadist kepada generasi berikutnya secara benar dan tidak keliru.[35]
Pada masa ini, al-Qur’an sudah dikumpulkan menjadi mushaf dan pada masa akhir periode al-Khulafa al-Rasyidun (masa khalifah Ustman bin Affan) para sahabat ahli hadist telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam sehingga mempermudah para tabi’in untuk mempelajari hadits.[36]
Kondisi ini juga berimplikasi pada tersebarbya hadist ke berbagai wilayah kekuasaan Islam. Oleh karena itu, dikenal dengan masa menyebaran periwayatan hadits (‘ashr intisyar al-riwayah), yaitu masa hadist tidak lagi terpusat di Madinah tetapi sudah diriwayatkan di berbagai daerah dengan para sahabat menjadi tokoh-tokohnya.[37]
Hadits-hadits yang diterima oleh para tabi’in ini berbentuk tulisan dan ada yang harus dihafal. Dalam bentuk-bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk tersebut  saling melengkapi sehingga tidak terdapat hadist satu hadist pun yang tercecer dan terlupakan.[38]
Pada masa ini muncul kekeliruan periwayatan hadits ketika melemahnya kecermatan dan sikap kehati-hatian. Periwayatan tidak semata-mata menyangkut hadits-hadits yang berasal dari Nabi (marfu’), tetapi yang bersumber dari sahabat (mawquf) dan tabi’in (ma’tuq) bahkan pernyataan beberapa ahli kitab yang telah masuk Islam yang mereka sandarkan dari pernyataan bani Isra’il atau shuhuf mereka sebagai bahan komparasi setelah mereka masuk Islam. Dari pernyataan yang memiliki beragam sumber, tidak mustahil menimbulkan salah kutip, perkataan sahabat dinyatakan sebagai hadits Nabi atau pernyataan ahli kita sebagai hadits Nabi.[39]
D.  Hadis pada masa kodifikasi
Kegiatan ini dimulai pada masa pemerintahan Islam dipimpin oleh khalifah Umar ibn Abd Al Aziz (99-101 H), melalui instruksinya pada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr Hazm dan para ulama Madinah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadist dari para penghafalnya.Khalifah menginstruksikannya kepadan Abu Bakar ibn Muhammad ibn Hazm (W. 117 H) agar mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abd Al Rohman Al Anshari, murid kepercayaan Aisyah dan Al Qosim ibn Muhammad ibn Abi Bakar (W. 107 H), Instruksi yang sama ditujukan juga kepada Muhammad bin Shihab Al Zuhri (W. 124 H), yang dinilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui hadis dari pada yang lainnya. Dari para ulama inilah kodifikasi hadis secara resmi awalnya dilakukan.[40]
Ada beberapa faktor yang melatar belakangi kodifikasi hadis pada masa Umar ibn Abd Al Aziz tersebut. Menurut Muhammad Al Zafzaf, kodifikasi hadis tersebut dilakukan karena: pertama, para ulama hadis telah tersebar keberbagai negeri, dikhawatirkan hadis akan hilang bersama wafatnya mereka, sementara generasi penerus diperkirakirakan tidak menaruh perhatian kepada hadist. Kedua, banyak berita yang diada-adakan oleh pelaku bid’ah (al mubtadi’) seperti Khawarij, Rafidhah, Syi’ah, dan lain-lain yang berupa hadis-hadis palsu. Periwayatan hadis pada masa ini, sebagaimana masa sebelumnya, banyak diwarnai dengan hadis palsu dan bid’ah yang berasal dari kalangan-kalangan Khawarij, Syi’ah, orang-orang munafik, serta orang-orang Yahudi. Maka dari itu para periwayat hadis sangat hati-hati dalam menerima dan menyampaikan hadis.[41]

E.   Hadis pada masa awal sampai akhir abad III H
Masa kodifikasi dilanjutkan dengan masa seleksi hadis. Maksud dari masa seleksi atau penyaringan disini adalah masa upaya para mudawwin hadis yang melakukan seleksi secara ketat, sebagai kelanjutan dari upaya para ulama sebelumnya yang telah berhasil melahirkan suatu kitab tadwin. Masa ini dimulai sekitar akhir abad II atau awal abad III, atau ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti Bani Abbasiyah, khususnya sejak masa Al Makmun sampai dengan akhir abad III atau awal abad IV, masa Al Muktadir. Hal ini dikarenakan pada periode tadwin belum berhasil dipisahkan beberapa hadis yang berasal dari sahabat dan dari tabi’in dari hadis yang berasal dari Nabi. Dan juga belum bisa dipisahkan antara hadis yang dhaif dan yang shahih, bahkan masih ada hadis yang maudhu’ (palsu) tercampur pada hadis-hadis yang shahih. Masa ini disebut dengan masa penerimaan, pentashihan, dan penyempurnaan.[42]
Pada masa ini tidak seorangpun ulama yang membukukan hadis dengan menukil dari kitab lain. Mereka membukukan hadis berdasarkan hadis-hadis yang diterima dari para periwayat. Selain menyusun kitab-kitab hadis mereka juga menyusun kitab-kitab yang berisi teori-teori untuk mentashih hadis. Secara umum abad ketiga hijriah merupakan masa keemasan dalam peradaban Islam.[43]
F.   Hadis pada abad IV sampai pertengahan abad VII (jatuhnya Baghdad tahun 656 H)
Masa seleksi dilanjutkan dengan masa pengembangan dan penyempurnaan sistem penyusunan kitab-kitab hadis. Masa ini disebut juga dengan masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan. Penyusunan kitab-kitab pada masa ini lebih mengarah kepada usaha mengembangkan beberapa variasi pembukuan kitab-kitab yang sudah ada. Maka setelah berjalan beberapa saat dari munculnya al-kutub al-sittah, al-muwaththa’ karya Malik ibn Anas, dan Al Musnad karya Ahmad ibn Hanbal, para ulama mengalihkan perhatian mereka untu menyusun kitab-kitab yang berisi pengembangan dan penyempurnaan sistem penyusunan kitab-kitab hadis.[44]
Secara politis, masa ini hampir sama dengan masa sebelumnya. Namun, kekuatan-kekuatan dari luar Islam sudah mulai menggeliat. Hal ini dibuktikan dengan dikuasainya Bayt Al-Maqdis di Yerussalem oleh tentara Salib dan puncaknya Baghdad runtuh oleh serangan Jengis Khan.[45]
G.   Hadits pada masa pertengahan abad VII sampai sekarang
Masa ini disebut dengan ‘ashr al syarh wa al-jam’i wa al-takhrij wa al-bahts (masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan, dan pembahasan). Kegiatan ulama hadis pada masa ini berkenaan dengan upaya mensyarah kitab-kitab hadis yang sudah ada, menghimpun dan mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab-kitab yang sudah ada, mentakhrij hadis-hadis dalam kitab tertentu, dan membahas kandungan kitab-kitab hadits[46]
Masa ini terbentang cukup panjang, dari mulai abad keempat Hijriah terus berlangsung berlangsung pada abad berikutnya. Dengan demikian, masa perkembangan ini melewati dua fase sejarah perkembangan Islam, yakni masa pertengahan dan fase modern. Hingga muncul hadits-hadits yang berdasarkan kualitas atau topik tertentu.[47]
Kesimpulan
Hadits adalah sumber berita yang datang dari Nabi SAW dalam segala bentuk baik berupa perkataan, pernuatan, maupun sikap persetujuan. Terdapat beberapa istilah yang merupakan sinonim dari hadits yaitu sunnah, khabar, dan atsar. Yang mana dari kesemua itu memilki perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Perkembangan hadits di klasifikasikan menjadi tujuh masa, yaitu di antaranya Hadits pada Masa Nabi, Hadits pada Masa Sahabat Besar (al-Khulafa al-Rasyidun), Hadits pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in, Hadis pada masa kodifikasi, Hadis pada masa awal sampai akhir abad III H, Hadis pada abad IV sampai pertengahan abad VII (jatuhnya Baghdad tahun 656 H) dan Hadits pada masa pertengahan abad VII sampai sekarang.Sehingga dibukukannya hadits-hadits berdasarkannya kualitas atau topik tertentu.
Daftar Rujukan
Al bassam, Abdullah bin Abdurrahman. 2009. Syarah Bulughul Maram. Jakarta : Pustaka Azzam.
Al-siba’i, Musthafa. 1991. Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam. Jakarta : Pustaka Firdaus.
Idri. 2010. Studi Hadis. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Khaeruman, Badri. 2010. Ulumul Hadist. Bandung : Pustaka Setia.
Khariri. 2005. Melerai Hadist-hadist yang Saling Berlawanan. Purwokerto : STAIN Purwokerto Press.
Majid, Abdul. 2008. Ulumul Hadis. Jakarta : Sinar Grafika Offset.
Nata, Abuddin. 1993. Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta : Citra Niaga Rajawali Pers.
Zuhri, Muh. 2003. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya.

Revisi:
1.      Tidak ada indikasi copy-paste.
2.      Mengenai macam-macam hadis, tolong ditulis macam-macam dari sisi bentuknya (qouli, fi’li, taqriri, dan ahwali), dan juga sumbernya (marfu’, mauquf, dan maqthu’).
3.      Yang dibold hanya sub-bab saja, bukan yang ada di bawahnya.
4.      Saya suka dengan makalah ini karena referensial dan mengikuti arahan saya di awal.



[1] Khariri, melerai hadits-hadits (Purwokerto: STAIN Purwokerto Press,2005), hlm. 13.
[2]Ibid
[3]Ibid. hlm. 14.
[4]Abdul Majid Khon, Uumul Hadis(Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008), hlm.3.
[5]Khariri, melerai hadits-hadits (Purwokerto: STAIN Purwokerto Press,2005), hlm. 18.
[6]Ibid. hlm. 19
[7]Ibid. hlm. 19.
[8]Ibid. hlm. 20.
[9]Ibid
[10]Ibid
[11]Ibid. hlm. 21
[12]Khariri, melerai hadits-hadits (Purwokerto: STAIN Purwokerto Press,2005), hlm. 21.
[13]Ibid. hlm. 13.
[14]Ibid. hlm. 14.
[15]Abuddin Nata, al-Qur’an dan Hadits (Jakarta Citra Niaga Rajawali Pers,1993), hlm. 153.
[16]Badri Khaeruman, Ulum al-Hadits(Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 67.
[17]Ibid
[18]Abdul Majid Khon, Uumul Hadis(Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008), hlm.8.
[19]Ibid. hlm.9.
[20]Idri, studi Hadis (Jakarta: Kencana Prenata Media Group, 2010), hlm. 31.
[21]Ibid
[22]Ibid. hlm. 32.
[23]Ibid
[24]Ibid. hlm. 33.
[25]Ibid. hlm. 34.
[26]Ibid
[27]Ibid hlm. 36.
[28]Ibid. hlm. 38.
[29]Ibid. hlm. 39.
[30]Ibid
[31]Ibid
[32]Ibid. hlm. 40.
[33]Ibid. hlm. 42.
[34]Ibid. hlm. 43.
[35]Ibid. hlm. 44.
[36]Ibid
[37]Ibid
[38]Ibid. hlm. 45.
[39]Ibid
[40]Ibid. hlm. 47.
[41]Ibid
[42]Ibid
[43]Ibid. hlm. 48.
[44]Ibid
[45]Ibid. hlm. 49.
[46]Ibid. hlm. 51.
[47]Ibid. hlm. 52.

1 komentar: