HADITS
DAN HISTORISITASNYA
Dinda
Mar’atush Sholihah, Febri Kurnianto, Nurul Chairiah
PAI D Semester III Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim, Malang
Abstract
Hadith is the source of the news coming from the Prophet in any form either in the form of words, pernuatan, as well as the attitude of approval. There are several terms that are synonyms of the hadith is sunnah, khabar, and atsar. Which of all of the differences between one another. The development of hadith are classified into seven periods, so in her book hadiths based on the quality or a specific topic.
Hadith is the source of the news coming from the Prophet in any form either in the form of words, pernuatan, as well as the attitude of approval. There are several terms that are synonyms of the hadith is sunnah, khabar, and atsar. Which of all of the differences between one another. The development of hadith are classified into seven periods, so in her book hadiths based on the quality or a specific topic.
Keywords: hadith, diversity, history
Pendahuluan
Selain
al-Qur’an sebagai sumber utama dalam Islam, hadits yang merupaan sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan),
dan hal ihwalnya, juga merupakan sumber ajaran yang banyak melengkapi kandungan
al-Qur’an. Hal ini selaras dengan ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan
orang-orang mukmin untuk mematui untusan Allah SWT, mengikuti
petunjuk-petunjuk, dan meneladani kehidupannya.
Hadits
dengan al-qur’an memiliki kaitan sangat erat karena untuk memahami dan
mengamalkan al-Qur’an dan hadits tidak bisa dipisah-pisahkan atau tidak bisa
berjalan sendiri-sendiri. Dikarenakan al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama
yang didalamnya berisi garis-garis besar syari’at-syari’at Islam, sedangkan
Hadits merupakan mubayyin (penjelas) terhadap al-Qur’an dan memberikan gambaran
kongkrit tentang batas-batas yang dinyatakan oleh al-Qur’an. Dengan demikian,
seseorang tidak akan bisa memahami al-Qur’an, jika tanpa memahami dan menguasai
Hadits, begitu pula jika hanya menggunakan Hadits tanpa al-Qur’an.
Pengertian hadits
Kata
hadits berasal dari bahasa arab, jama’nya al-hadits, al-hidsan, dan al-hudsan
yang berarti al-khobar (kabar atau berita), hadits juga sering dijama’kan
menjadi hidas dan hudasa yang berarti al-jadid (yang baru) sebagai lawan dari
al-qodim (yang lama).[1]
Hadits
menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya. Menurut
ulama ahli hadis pengertian hadits disebut juga dengan istilah sunnah adalah
segala apa yang didapatkan dari nabi SAW, berupa ucapan, perbuatan, taqrir
(ketetapan atau persetujuan), sifat fisik atau budi, serta biografinya, baik
pada masa sebelum kenabian seperti tahannusnya di gua Hiro, maupun sesudah masa
kenabian. Sebagian juga mendefinisikan hadits sebagai segala sesuatu yang
disandarkan kepada nabi, baik berupa ucapan, taqrir, maupun sifatnya.[2]
Dikalangan
ulama ahli hadits terdapat perbedaan persepsi antara yang membatasi bahwa apa
yang disandarkan kepada Nabi SAW itu setelah beliau sebagai Rosul, dan ada pula
yang memperluasnya yakni termasuk juga sebelum beliau menjadi Rosul. Dalam
pengertian yang umum hadits adalah apa yang disandarkan kepada Nabi SAW setelah
kenabian.[3]
Berdasarkan
definisi di atas dapat dikatakan bahwa hadits adalah sumber berita yang datang
dari Nabi SAW dalam segala bentuk baik berupa perkataan, pernuatan, maupun
sikap persetujuan. [4]
Macam-macam Hadits
Membicarakan
tentang pembagian hadits atau macam-macamnya para ulama berbeda pendapat.
Sebagian ulama membaginya secara global, hanya mencakup pokok-pokoknya saja,
sebagian pula membaginya secara rinci. [5]
Ditemukan
dari beberapa sumber, diketahui bahwa secara umum hadits yang sampai pada kita
itu dapat dibagi menjadi dua, yaitu: Hadits Mutawatir, dan Hadits Ahad. Hadits
Mutawatir terbagi menjadi tiga, yaitu:
Mutawatir Lafdzy, Mutawatir ‘Amaly, dan Mutawatir Ma’nawy. Hadits Ahad ditinjau
dari segi kualitas dan kuantitasnya.[6]
Hadits
Ahad ditinjau dari segi kualitasnya terbagi menjadi tiga yaitu Hadits Maqbul,
yakni hadits yang dapat diterima sebagai hujjah, Hadits Marbud (dhaif), yakni
hadits yang ditolak dan tidak dapat dijadikan sebgai hujjah, Hadits Musytarak (
bersekutu) yaitu hadits yang mencakup dua kemungkinan antara maqbul dan mardud.[7]
Hadits
Maqbul ditinjau dari segi implementasinya dibagi menjadi dua, yaitu Hadits
Ma’mul Bih, yang mengikuti Hadits Muhkam, Hadits Mukhtalif, Hadits Rajih, dan
Hadits Nasikh. Ghoiru Ma’mul Bih, meliputi Hadits Marjuh, Hadits Mansukh, dan
Hadits Manquf fih. Ditinjau dari segi kualitasnya, Hadits Maqbul dibagi menjadi
dua, yaitu Hadits Shahih, yang mencakup Hadits Shahih Lidzatih dan Hadits
Shahih Lighairih. Dan Hadits Hasan yang mencakup Hadits Hasan Lidzatih dan
Hadits Hasan Lighairih.[8]
Hadits
Ahad ditinjau dari segi kualitasnya yang kedua adalah Hadits Mardud (dhaif),
yaitu hadits yang ditolak dan tidak bisa dijadikan pegangan, serta tidak bisa
dijadikan hujjah karena kelemahannya, baik dari segi sanad maupun matannya.
Beberapa macam Hadits Dhaif antara lain Hadits Maudhu’, Hadits Matruk, Hadits
Munkar, Hadits Ma’ruf, Hadits Mu’allal
(ma’lul), Hadits Maqlub, Hadits Mudhtharib, Hadits Syadz, Hadits Mursal, Hadits
Munqothi’, Hadits Mu’dhal, Hadits Mudallas, Hadits Mubham (majhul/mastur),
Hadits Muqthalith, Hadits Masruq.[9]
Hadits
Ahad ditinjau dari segi kualitasnya yang ketiga adalah Hadits Musytarak
(bersekutu), yakni hadits yang mengandung dua kemungkinan, mungkin maqbul jika
memenuhi persyaratan untuk diterima sebagai hujjah dilihat dari segi sanad
maupun matan, dan mungkin juga masuk kedalam Mardud dalam arti ditolak untuk
dijadikan pegangan atau hujjah, apabila tidak memenuhi persyaratan dari segi
sanad maupun matannya.[10]
Macam-macam
hadits yang termasuk kedalam kelompok hadits ini cukup banyak, antara lain:
hadits qudsi, hadits marfu’, hadits mauquf, hadits maqthu’, hadits masyur,
hadits ‘aziz, hadits gharib, hadits musnad, hadits musttashil (maushul), hadits
muttabi’, hadits syahid, hadits musalsal, hadits mu’an’an, hadits muannam,
hadits mu’allaq, hadits muddraj, hadits mudabbaj, hadits mutasyabih, hadits
mushahhaf, hadits muharraf, hadits ‘ali, hadits nazil, hadits muttafiq dan
muftariq, hadits mu’talif dan mukhtalif, hadits sabiq, dan hadits lahiq.[11]
Adapun
pembagian Hadits Ahad yang ditinjau dari segi kuantitasnya ada tiga, yaitu:
Hadits Masyur, Hadits Gharib, dan Hadtst ‘Aziz. Dari ketiga hadist tersebut,
Hadits Gharib dapat dirinci lagi menjadi (a) Hadits gharib dilihat dari segi
penyendirian perawinya, yang terdiri dari hadits gharib mutlak dan nisbi (b)
hadits gharib dilihat dari segi keghariban sanad dan matan-nya. Di sini dibagi
lagi menjadi, gharib pada sanad dan matan bersama-sama, gharib pada sanad saja,
dan gharib pada sebagian matan-nya.[12]
Perbedaan antara hadits, sunnah, atsar, dan khabar
Hadits
Kata
hadits berasal dari bahasa arab, jama’nya al-hadits, al-hidsan, dan al-hudsan
yang berarti al-khobar (kabar atau berita), hadits juga sering dijama’kan
menjadi hidas dan hudasa yang berarti al-jadid (yang baru) sebagai lawan dari
al-qodim (yamg lama).[13]
Hadits
menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya. Menurut
ulama ahli hadis pengertian hadits disebut juga dengan istilah sunnah adalah
segala apa yang didapatkan dari nabi SAW, berupa ucapan, perbuatan, taqrir
(ketetapan atau persetujuan), sifat fisik atau budi, serta biografinya, baik
pada masa sebelum kenabian seperti tahannusnya di gua Hira, maupun sesudah masa
kenabian. Sebagian juga mendefinisikan hadits sebagai segala sesuatu yang
disandarkan kepada nabi, baik berupa ucapan, taqrir, maupun sifatnya.Berdasarkan
definisi di atas dapat dikatakan bahwa hadits adalah sumber berita yang datang
dari Nabi SAW dalam segala bentuk baik berupa perkataan, pernuatan, maupun
sikap persetujuan. [14]
Sunnah
Menurut
bahasa Sunnah adalah jalan hidup yang dijalani atau dibiasakan, baik jalan
hidup itu baik atau buruk, terpuji atau tercela. Menurut istilah dari para ahli
hadist adalahsesuatu yang didapatkan dari Nabi SAW yang terdiri dari ucapan,
perbuatan, persetujuan, sifat fisik atau budi, atau biografi, baik pada masa
sebelum kenabian atau sesudahnya. Sunnah menurut pengertian ini sinonim dengan hadits
menurut pendapat sebagian mereka.[15]
Atsar
Dari segi
bahasa atsar diartikan البقية او بقية الشيئ : peninggalan atau bekas
sesuatu, maksudnya peninggalan atau bekas Nabi karena hadist itu peninggalan
beliau. Atau diartikan: المنقول (yang dipindahkan dari Nabi),
seperti kalimat: الدعاء الماثور dari kata atsar artinya do’a
yang disumberkan dari Nabi sedangkan menurut istilah ada dua pendapat, pertama
atsar persamaan dari hadist. Kedua atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada
para sabahat (mauquf) dan tabi’in (maqthu’) baik perkataan maupun perbuatan.
Menurut ahli hadist atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW
(marfu’), para sahabat (mauquf), dan ulama’ salaf.[16]
Khabar
Khabar secara etimologis berasal dari kata khabar yang
berarti “berita” dan lafadz atsar arinya “bekas sesuatu”. Secara terminologis
para ulama hadist tidak sepakat dalam menyikai lafadz-lafadz tersebut. Sebagian
berpendapat bahwa khabar adalah sinoni dari kata hadist dan sebagian lagi tidak
demikian. Ini dikarenakan khabar adalah berita, baik berita dari Nabi SAW,
maupun dari sahabat atau berita dari tabi’in.[17]
Jadi, perbedaan hadist dan sunnah, jika penyandara
sesuatu kepada Nabi walaupun baru sekali dikerjakan atau masih berupa azam
(hadist hammi) menurut sabagian ulama disebut hadist bukan sunnah. Sunnah harus
sudah berulang kali atau menjadi kebiasaan yang telah dilakukan Rosul. Hadist
menurut sebagian ushuliyun identik dengan sunnah qawliyah saja, karena mereka
melihat hadist hanya dalam bentuk perktaan sedangkan sunnah berbentuk tindakan
atau perbuatan yang telah mentradisi secara kontinu.[18]
Sementara Fuqaha Khurrasan membedakan atsar adalah
berita mawquf sedangkan khabar adalah berita marfu’. Dengan demikian atsar
lebih umum dari pada khabar karena atsar terkadang beritanya datang dari Nabi
dan dari yang lain, khabar adalah berita yang datang dari Nabi dan sahabat,
sedangkan atsar adalah yang datang dari Nabi, sahabat dan yang lain.[19]
Rangkuman perbedaan hadist, sunnah, atsar, dan khabar.
|
Sandaran
|
Aspek dan Spesifikasi
|
Sifatnya
|
Hadist
|
Nabi
|
Perkataan (qowli)
Perbuatan (fi’li)
Persetujuan (taqriri)
|
Lebih khusus dan sekalipun dilakukan sekali
|
Sunnah
|
Nabi dan para sahabat
|
Perbuatan (fi’li)
|
Menjadi tradisi
|
Atsar
|
Sahabat dan tabi’in
|
Perkataan (qowli)
Perbuatan (fi’li)
|
Umum
|
Khabar
|
Nabi dan selainnya
|
Perkataan (qowli)
Perbuatan (fi’li)
|
Lebih umum
|
Sejarah Singkat Hadits Nabi dari Masa ke Masa
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits Nabi dapat
diklasifikasikan ke dalam beberapa periode, yaitu: 1) hadits pada masa Nabi, 2)
hadits pada masa sahabat besar (al-Khulafa al-Rasyidun), 3) hadits pada masa
sahabat kecil dan tabi’in, 4) hadits pada masa kondifikasi, 5) hadist pada masa
awal sampai akhir abad III H, 6) hadits pada masa abad IV sampai pertengahan
abad VII (jatuhnya Baghdad tahun 656 H), dan 7) hadits pada masa pertengahan
abad VII sampai sekarang.[20]
A. Hadits pada
Masa Nabi
Masa ini
dikenal dengan sebutan ‘Ashr al-Wahy wa al-Takwil, yaitu masa wahyu dan
pembetukan karena pada masa Nabi ini wahyu masih turun dan masih banyak
hadits-hadits yang muncul darinya. Ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi
dijadikan penyejuk dan sumber kebahagiaan oleh para sahabat Nabi. Mereka selalu
berusaha menghafal ajaran-ajaran Islam melalui al-Qur’an dan hadits-hadits
Nabi. Mereka menyadari betapa pentingnya kedudukan hadits Nabi dalam ajaran
agama Islam, sunnah Nabi merupakan pilar kedua setelah al-Qur’an. Orang yang
mengingkari akan celaka, dan untuk orang yang mengamalkan akan mendapat
kebahagian.[21]
Tradisi
meriwayatkan segala yang dikatakan dan dilakukan Nabi baik yang terkait dengan
masyarakat umum ataupun khusus berkenaan dengan hal-hal yang pribadi telah
terjadi sejak awal Islam. Dalam menyampaikan hadits-haditsnya, Nabi menggunakan
berbagai cara, yaitu:[22]
Pertama,
melalui majlis al-‘ilmu, yaitu pusat atau tempat pengajian yang dilakuakn oleh
Nabi untuk membina jamaahnya. Melalui majlis tersebut para sahabat memperoleh
bnayk peluang ungtuk menerima hadist sehingga mereka selalu berusaha untuk
mengkonsentrasikan diri untuk mengkuti majlis tersebut.[23]
Diantara
sahabat ada yang segaja membagi tugas untuk mendapat informasi dari Nabi.
Contohnya Umar bin Khathab yang membagi tugas dengan tetangganya untuk
mendapatkan hadits Nabi. Bila
tetangganya pada suatu hari menemui Nabi, maka Umar menemui Nabi ke esokan
harinya. Pihak yang menemuin Nabi bertugas menyampaikan berita itu kepada pihak
yang tidak bisa menemui Nabi. Pada masa Nabi tidak semata-mata hadist
diriwayatkan dari Nabi sendiri, tetapi sebagian diriwayatkan oleh para sahabat
kepada sahabat yang lain. Tidak jarang kepala-kepala suku yang jauh dari
Madinah mengirim utusan untuk menghadiri majlis Nabi, kemudian utusan tersebut
mengajarkan kepada suku mereka setelah kembali dari majlis Nabi.[24]
Kedua,
dalam banyak kesempatan Rasulullah juga menyampaikan kepada sahabat tertentu,
kemudian sahabat tersebut menyampaikan kepada sahabat yang lain. Ini
dikarenakan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik secara
kebetulan atau disengaja oleh Nabi.[25]
Ketiga,
untuk hal-hal sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan
kebutuhan biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri, Nabi
menyampaikan kepada istri-istrinya. Keempat, melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti saat futuh Mekkah
dan haji wada’. Kelima, melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para
sahabat, yaitu dengan jalan musyahadah, seperti yang berkaitan dengan
praktik-praktik ibadah dan muamalah.[26]
Pada
masa Nabi, sedikit sekali sahabat yang bisa menulis, sehingga yang menjadi
amalan mereka adalah ingatan mereka. Pada masa Nabi hadist belum
dikondifikasikan secara resmi. Rasulullah tidak pernah memerintahkan sahabat
tertentu untuk menulis hadist seperti al-Qur’an yang ditulis secara resmi oleh
Zaid bin Tsabit (sekretaris pribadi beliau). Bahkan, dalam suatu wakttu Nabi
melarang menulis hadits. Ini dilakukan karena beliau khawatir hadist akan
tercampur dengan al-Qur’an.[27]
Akan
tetapi ada sahabat tertentu yang diberi izin untuk menulis hadist, tetapi
secara umum Nabi melarang sahabat untuk menulisnya karena kekhawatiran beliau
dengan tercampurnya hadits dengan al-Qur’an. Sahabat yang memiliki catatan
hadits yang diterima dari Nabi disebut shahifah. Di antara sahabat yang
memiliki catatan hadist yaitu Abdullah ibn Amr ibn al-Ash dengan nama
al-Shadiqah.[28]
B. Hadits
pada Masa Sahabat Besar (al-Khulafa al-Rasyidun)
Setelah
Nabi wafat, tindak tanduk Nabi yang pada dasarnya dari ajaran Ilahi, hanya
dapat diketahui melalui informasi para sahabat Nabi sebagai periwayatan pertama
dalam menyampaikan hadits kepada umat muslim. Periwayatan hadist sejak itu
mengalami perkembangan dan melibatkan banyak pihak.[29]
Periwayatan
hadits pada masa sahabat terutama masa al-Khulafah al-Rasyidun sejak tahun11 H
hingga 40 H belum begitu berkembang. Perhatian para sahabat masih berfokus pada
memelihara dan menyebarkan al-Qur’an dan mereka berusaha membatasi periwayatan hadits.
Masa ini disebut masa pembatasan dan
memperketat periwayatan (al-tatsabbut wa al-iqlal min al-riwayah).
Kehati-hatian dan pembatasan periwayatan yang dilakukan oleh sahabat,
disebabkan karena adanya kekhawatiran terjadinya kekeliruan, mereka menyadari
bahwa hadits merupakan sember ajaran agama Islam setelah al-Qur’an yang juga
harus terjaga dari kekeliruan sebagaimana al-Qur’an.[30]
Sikap
hati-hati ini ditunjukkan oleh khalifah pertama Abu Bakr al-Shiddiq. Beliau
mengambil kebijakan memperketat hadist dengan maksud agar hadist tidak disalah
gunakan oleh kaum munafik untuk menghindari kesalahan dan kelalaian sebagai
akibat memperbanyak periwayatan yang berujung pada sebuah kebohongan hadits Nabi yang mereka riwayatkan.[31]
Sikap
hati-hati juga ditunjukkan oleh Umar ibn al-Khathab. Umar meminta diajukan
saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadist.
Sikap Abu Bakar maupun Umar ini di ikuti oleh Utsman dan Ali. Selain
dengan cara-cara tersebut, Ali juga terkadang mengajukan sumpah kepada sahabat
yang meriwayatkan suatu hadits. Maksud dari para sahabat ini tidak lain untuk
berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadits.[32]
Pada
masa sahabat tidak berarti tidak terjadi kekeliruan dalam periwayatan hadits.
Menurut Shalah al-Din Ibn Ahmad al-Adhabi, kekeliruan kadang terjadi pada
hadits yang diriwayatkan oleh seseorang periwayatan (hadist ahad-gharib).
Kekeliruan ini tidak dibiarkan begitu saja, teteapi diantisipasi oleh para
sahabat dengan cara menegur kekeliruan yang terjadi dan menjelaskan letak
kekelituannya, serta mereka mencermati segala riwayat yang disampaikan sehingga
kekeliruan yang terjadi bisa diantisispasisedini mungkin.[33]
Meskipun
pada masa ini terjadi pembatasan dan pengetatan dalam periwayatan tidak berarti keadaan hadist Nabi dalam
kondisi autentik dan sahih semua. Sejarah menyebutkan bahwa telah terjadi
pemalsuan hadits (wadh’ al-hadits) pada masa Ali ibn Abi Thalib (w. 40 H/661
H). Pihak pertama yang membuat hadist palsu adalah orang-orang Syi’ah, ketika
mereka merasa yakin bahwa Ali dan keturunannya yang paling berhak menjadi
Khalifah.[34]
C. Hadits
pada Masa Sahabat Kecildan Tabi’in
Pada
masa sahabat kecildan tabi’in ini juga cukup berhati-hati dalam periwayatan
hadits sebagaimana terjadi di masa sahabat besar. Cara-cara yang ditempuh
selain dengan cara yang sama denagn yang dilakukan oleh para sahabat besar juga
dengan cara yang sesuai dengan hati nurani mereka dalam rangka untuk menyampaikan
hadist kepada generasi berikutnya secara benar dan tidak keliru.[35]
Pada
masa ini, al-Qur’an sudah dikumpulkan menjadi mushaf dan pada masa akhir
periode al-Khulafa al-Rasyidun (masa khalifah Ustman bin Affan) para sahabat
ahli hadist telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam sehingga
mempermudah para tabi’in untuk mempelajari hadits.[36]
Kondisi
ini juga berimplikasi pada tersebarbya hadist ke berbagai wilayah kekuasaan
Islam. Oleh karena itu, dikenal dengan masa menyebaran periwayatan hadits
(‘ashr intisyar al-riwayah), yaitu masa hadist tidak lagi terpusat di Madinah
tetapi sudah diriwayatkan di berbagai daerah dengan para sahabat menjadi
tokoh-tokohnya.[37]
Hadits-hadits
yang diterima oleh para tabi’in ini berbentuk tulisan dan ada yang harus
dihafal. Dalam bentuk-bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah
para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk tersebut saling melengkapi sehingga tidak terdapat
hadist satu hadist pun yang tercecer dan terlupakan.[38]
Pada masa
ini muncul kekeliruan periwayatan hadits ketika melemahnya kecermatan dan sikap
kehati-hatian. Periwayatan tidak semata-mata menyangkut hadits-hadits yang
berasal dari Nabi (marfu’), tetapi yang bersumber dari sahabat (mawquf) dan
tabi’in (ma’tuq) bahkan pernyataan beberapa ahli kitab yang telah masuk Islam
yang mereka sandarkan dari pernyataan bani Isra’il atau shuhuf mereka sebagai
bahan komparasi setelah mereka masuk Islam. Dari pernyataan yang memiliki
beragam sumber, tidak mustahil menimbulkan salah kutip, perkataan sahabat
dinyatakan sebagai hadits Nabi atau pernyataan ahli kita sebagai hadits Nabi.[39]
D. Hadis pada masa kodifikasi
Kegiatan ini dimulai pada masa pemerintahan Islam
dipimpin oleh khalifah Umar ibn Abd Al Aziz (99-101 H), melalui instruksinya
pada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr Hazm dan para ulama Madinah agar
memperhatikan dan mengumpulkan hadist dari para penghafalnya.Khalifah
menginstruksikannya kepadan Abu Bakar ibn Muhammad ibn Hazm (W. 117 H) agar
mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abd Al Rohman Al Anshari,
murid kepercayaan Aisyah dan Al Qosim ibn Muhammad ibn Abi Bakar (W. 107 H), Instruksi
yang sama ditujukan juga kepada Muhammad bin Shihab Al Zuhri (W. 124 H), yang
dinilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui hadis dari pada yang
lainnya. Dari para ulama inilah kodifikasi hadis secara resmi awalnya
dilakukan.[40]
Ada beberapa faktor yang melatar belakangi kodifikasi
hadis pada masa Umar ibn Abd Al Aziz tersebut. Menurut Muhammad Al Zafzaf, kodifikasi
hadis tersebut dilakukan karena: pertama, para ulama hadis telah tersebar
keberbagai negeri, dikhawatirkan hadis akan hilang bersama wafatnya mereka,
sementara generasi penerus diperkirakirakan tidak menaruh perhatian kepada
hadist. Kedua, banyak berita yang diada-adakan oleh pelaku bid’ah (al mubtadi’)
seperti Khawarij, Rafidhah, Syi’ah, dan lain-lain yang berupa hadis-hadis
palsu. Periwayatan hadis pada masa ini, sebagaimana masa sebelumnya, banyak
diwarnai dengan hadis palsu dan bid’ah yang berasal dari kalangan-kalangan
Khawarij, Syi’ah, orang-orang munafik, serta orang-orang Yahudi. Maka dari itu
para periwayat hadis sangat hati-hati dalam menerima dan menyampaikan hadis.[41]
E.
Hadis pada masa awal sampai akhir
abad III H
Masa kodifikasi dilanjutkan dengan masa seleksi hadis.
Maksud dari masa seleksi atau penyaringan disini adalah masa upaya para
mudawwin hadis yang melakukan seleksi secara ketat, sebagai kelanjutan dari
upaya para ulama sebelumnya yang telah berhasil melahirkan suatu kitab tadwin.
Masa ini dimulai sekitar akhir abad II atau awal abad III, atau ketika
pemerintahan dipegang oleh dinasti Bani Abbasiyah, khususnya sejak masa Al
Makmun sampai dengan akhir abad III atau awal abad IV, masa Al Muktadir. Hal
ini dikarenakan pada periode tadwin belum berhasil dipisahkan beberapa hadis
yang berasal dari sahabat dan dari tabi’in dari hadis yang berasal dari Nabi.
Dan juga belum bisa dipisahkan antara hadis yang dhaif dan yang shahih, bahkan
masih ada hadis yang maudhu’ (palsu) tercampur pada hadis-hadis yang shahih.
Masa ini disebut dengan masa penerimaan, pentashihan, dan penyempurnaan.[42]
Pada masa ini tidak seorangpun ulama yang membukukan
hadis dengan menukil dari kitab lain. Mereka membukukan hadis berdasarkan
hadis-hadis yang diterima dari para periwayat. Selain menyusun kitab-kitab
hadis mereka juga menyusun kitab-kitab yang berisi teori-teori untuk mentashih
hadis. Secara umum abad ketiga hijriah merupakan masa keemasan dalam peradaban
Islam.[43]
F. Hadis pada abad IV sampai pertengahan abad VII (jatuhnya Baghdad tahun
656 H)
Masa seleksi dilanjutkan dengan masa pengembangan dan
penyempurnaan sistem penyusunan kitab-kitab hadis. Masa ini disebut juga dengan
masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan. Penyusunan
kitab-kitab pada masa ini lebih mengarah kepada usaha mengembangkan beberapa
variasi pembukuan kitab-kitab yang sudah ada. Maka setelah berjalan beberapa
saat dari munculnya al-kutub al-sittah, al-muwaththa’ karya Malik ibn Anas, dan
Al Musnad karya Ahmad ibn Hanbal, para ulama mengalihkan perhatian mereka untu
menyusun kitab-kitab yang berisi pengembangan dan penyempurnaan sistem
penyusunan kitab-kitab hadis.[44]
Secara politis, masa ini hampir sama dengan masa
sebelumnya. Namun, kekuatan-kekuatan dari luar Islam sudah mulai menggeliat. Hal
ini dibuktikan dengan dikuasainya Bayt Al-Maqdis di Yerussalem oleh tentara
Salib dan puncaknya Baghdad runtuh oleh serangan Jengis Khan.[45]
G. Hadits pada masa pertengahan abad VII sampai sekarang
Masa ini disebut dengan ‘ashr al syarh wa al-jam’i wa
al-takhrij wa al-bahts (masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan, dan
pembahasan). Kegiatan ulama hadis pada masa ini berkenaan dengan upaya
mensyarah kitab-kitab hadis yang sudah ada, menghimpun dan mengumpulkan
hadis-hadis dalam kitab-kitab yang sudah ada, mentakhrij hadis-hadis dalam
kitab tertentu, dan membahas kandungan kitab-kitab hadits[46]
Masa ini terbentang cukup panjang, dari mulai abad
keempat Hijriah terus berlangsung berlangsung pada abad berikutnya. Dengan
demikian, masa perkembangan ini melewati dua fase sejarah perkembangan Islam,
yakni masa pertengahan dan fase modern. Hingga muncul hadits-hadits yang
berdasarkan kualitas atau topik tertentu.[47]
Kesimpulan
Hadits adalah sumber berita yang datang dari Nabi SAW dalam segala
bentuk baik berupa perkataan, pernuatan, maupun sikap persetujuan. Terdapat
beberapa istilah yang merupakan sinonim dari hadits yaitu sunnah, khabar, dan
atsar. Yang mana dari kesemua itu memilki perbedaan antara satu dengan yang
lainnya. Perkembangan hadits di klasifikasikan menjadi tujuh masa, yaitu di
antaranya Hadits pada Masa Nabi, Hadits pada Masa Sahabat Besar (al-Khulafa
al-Rasyidun), Hadits pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in, Hadis pada masa
kodifikasi, Hadis pada masa awal sampai akhir abad III H, Hadis pada abad IV
sampai pertengahan abad VII (jatuhnya Baghdad tahun 656 H) dan Hadits pada masa
pertengahan abad VII sampai sekarang.Sehingga dibukukannya hadits-hadits
berdasarkannya kualitas atau topik tertentu.
Daftar Rujukan
Al bassam, Abdullah bin Abdurrahman. 2009. Syarah Bulughul Maram. Jakarta : Pustaka
Azzam.
Al-siba’i, Musthafa. 1991. Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam. Jakarta :
Pustaka Firdaus.
Idri. 2010. Studi
Hadis. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Khaeruman, Badri. 2010. Ulumul Hadist. Bandung : Pustaka Setia.
Khariri. 2005. Melerai
Hadist-hadist yang Saling Berlawanan. Purwokerto : STAIN Purwokerto Press.
Majid, Abdul. 2008. Ulumul Hadis. Jakarta : Sinar Grafika Offset.
Nata, Abuddin. 1993. Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta : Citra Niaga Rajawali Pers.
Revisi:
1. Tidak ada indikasi copy-paste.
2. Mengenai macam-macam hadis,
tolong ditulis macam-macam dari sisi bentuknya (qouli, fi’li, taqriri, dan
ahwali), dan juga sumbernya (marfu’, mauquf, dan maqthu’).
3. Yang dibold hanya sub-bab saja,
bukan yang ada di bawahnya.
4. Saya suka dengan makalah ini
karena referensial dan mengikuti arahan saya di awal.
[1] Khariri, melerai hadits-hadits
(Purwokerto: STAIN Purwokerto Press,2005), hlm. 13.
[2]Ibid
[3]Ibid. hlm. 14.
[4]Abdul Majid Khon, Uumul Hadis(Jakarta:
Sinar Grafika Offset, 2008), hlm.3.
[5]Khariri, melerai hadits-hadits
(Purwokerto: STAIN Purwokerto Press,2005), hlm. 18.
[6]Ibid. hlm. 19
[7]Ibid. hlm. 19.
[8]Ibid. hlm. 20.
[9]Ibid
[10]Ibid
[11]Ibid. hlm. 21
[12]Khariri, melerai hadits-hadits
(Purwokerto: STAIN Purwokerto Press,2005), hlm. 21.
[13]Ibid. hlm. 13.
[14]Ibid. hlm. 14.
[15]Abuddin Nata, al-Qur’an dan
Hadits (Jakarta Citra Niaga Rajawali Pers,1993), hlm. 153.
[16]Badri Khaeruman, Ulum al-Hadits(Bandung:
Pustaka Setia, 2010), hlm. 67.
[17]Ibid
[18]Abdul Majid Khon, Uumul Hadis(Jakarta:
Sinar Grafika Offset, 2008), hlm.8.
[19]Ibid. hlm.9.
[20]Idri, studi Hadis (Jakarta:
Kencana Prenata Media Group, 2010), hlm. 31.
[21]Ibid
[22]Ibid. hlm. 32.
[23]Ibid
[24]Ibid. hlm. 33.
[25]Ibid. hlm. 34.
[26]Ibid
[27]Ibid hlm. 36.
[28]Ibid. hlm. 38.
[29]Ibid. hlm. 39.
[30]Ibid
[31]Ibid
[32]Ibid. hlm. 40.
[33]Ibid. hlm. 42.
[34]Ibid. hlm. 43.
[35]Ibid. hlm. 44.
[36]Ibid
[37]Ibid
[38]Ibid. hlm. 45.
[39]Ibid
[40]Ibid. hlm. 47.
[41]Ibid
[42]Ibid
[43]Ibid. hlm. 48.
[44]Ibid
[45]Ibid. hlm. 49.
[46]Ibid. hlm. 51.
[47]Ibid. hlm. 52.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus