AL-QUR’AN
DAN HISTORISITASNYA
Dina Amelia Utami, Rafika Rahmatul Adha, dan M. Ali
Musyafa’
PAI D Semester III
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang
e-mail: dina07amelia@gmail.com
Abstract: Qur’an is a revelation
that given by Allah SWT to prophet Muhammad SAW as life instructions for
moslems. The revelation is accepted by Muhammad SAW then it is learned by
Muhammad’s friends for memorizing and understanding. Prophet Muhammad SAW kept Qur’an
by two methods. They are memorizing and writing down on stone, bone, stem of
palm, etc. First step, revelations are written by the secretary whom appointed by
Muhammad SAW. Second step, in Abu Bakar’s period, revelations are collected
become mushaf Qur’an. And the last step, in Utsman’s period Qur’an is collected
become a script to unity moslem and not to differentiate the recitation all of
moslem in the world.
Keywords: Qur’an, Revelation,
Steps of collecting Qur’an.
Pendahuluan
Di dalam setiap kehidupan manusia dibutuhkan aturan-aturan
serta petunjuk-petunjuk untuk mengatur tata kehidupan manusia itu sendiri. Bagi
kaum muslimin, al-Qur’an adalah pedoman hidup yang luar biasa dan tidak tertandingi.
Al-Qur’an merupakan kalam-Allah yang turunkan kepada Nabi Muhammad SAW
untuk diajarkan kepada umatnya. Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang
menjadi pedoman umat manusia yang mampu menembus dimensi ruang dan waktu.
Berdasarkan hal di atas, tidak kalah pentingnya menggali
al-Qur’an secara mendalam, baik mengenai lafal, kandungan maupun sejarahnya. Dari
sejarah al-Qur,an kita dapat mempelajari bagaimana awal mula al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada Nabi
Muhammad sampai pada proses pembukuan al-Qur’an sehingga dapat kita pelajari sampai
saat ini.
Definisi Al-Qur’an
Para ulama
mengemukankan al-Qur’an dengan bermacam-macam definisi yang berbeda bunyi dan
maksudnya. Hal ini disebabkan karena perbedaan pandangan dalam memandang
sifat-sifat essensial dari al-Qur’an dari segi keahlian mereka masing-masing.[1]
Al-Qur’an yang dimaksud adalah firman Allah (kalamullah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW secara makna
dan lafalnya, yang membacanya bernilai ibadah, terhimpun di dalam satu mushaf
dan diriwayatkan secara mutawatir. Sebutan Al-Qur’an sebagai kalam Allah
berasal langsung dari Allah, bukanlah pemberian Rasullullah ataupun para
sahabatnya. Allah memberikan nama kitab ini Qur’an atau al-Qur’an.[2]
Sebagaimana disebutkan pada ayat pertama yang diturunkan-Nya, yaitu :
اِقْرَأ بِا
سْمِ رَبِّكَ الَّذيْ خَلَقَ
“Bacalah dengan
menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan”.(Q.S Al-Alaq:1)[3]
Dalam surat lain yang merupakan kategori
ayat-ayat pertama yang diturunkan, Allah menyebutkan bahwa kitab suci umat
Islam adalah al-Qur’an. Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا
الْمُزَّمِّلُ (١) قُمِ اللَّيْلَ إِلا قَلِيلا (٢) نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ
قَلِيلا (٣) أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلا (٤
“Hai
orang-orang yang berselimut (Muhammad). Bangunlah (untuk shalat) di malam hari,
kecuali sedikit (daripadanya). (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari
seperdua itu sedikit. Atau lebihkan dari seperdua itu. dan bacalah Al-Qur’an
itu dengan perlahan-lahan (tartil)” (Q.S Al-Muzammil : 1-4)[4]
Selain ayat diatas, nama Al-Qur’an sebagai
kitab suci Islam disebutkan beberapa kali dalam berbagai surat. Terhitung
sekitar 68 kali penyebutannya dalam
Al-Qur’an. Diantaranya dalam surah : Al-Baqarah, ayat 185; An-Nisa’, ayat 82;
Al-Ma’idah, ayat 101; Al-An’am, ayat 19; dan Al-A’raf, ayat 204.[5]
Imam Syafi’I menanggapi bahwa tidak perlu
mengupas asal muasal mengapa Allah memberi nama kitab suci ini Al-Qur’an,
seperti halnya memberi nama Taurat yang
diturunkan kepada Nabi Musa dan Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa. Namun
ada beberapa ulama yang mengupas asal muasal Al-Qur’an. Menurut mereka,
Al-Qur’an berasal dari kata, القرء qar’u yang artinya الجمع –jam’u
(pengumpulan), dan الضم dlommu (penggabungan).[6]
Pendapat diatas menurut Dr. Abdu Al-Mun’im
Al-Namr dinilai tidak kuat. Sedangkan Pendapat Al-Zarqasyi dalam kitab al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an mengatakan
bahwa kata Al-Qur’an diambil dari kata القري qaryu yang berarti الجمع al-Jam’u atau “kumpulan”, Hal ini diambil dari kebiasaan
orang Arab yang mengucapkan kalimat “جمنت الماء في
الخوض” (aku mengumpulkan air dalam kolam). Sedangkan alas an menurut
Al-Raghib, karena Al-Qur’an merupakan kumpulan kitab-kitab yang dikumpulkan
sebelumnya. Dan pendapat lain mengatakan karena Al-Qur’an menghimpun berbagai
macam ilmu.[7] Hal ini
sesuai dengan firman Allah :
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ
يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ ۚ مَا فَرَّطْنَا فِي
الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
“Dan
tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang
dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti
kamu. Tidak ada sesuatu pun yang kami luputkan di dalam Kitab. Kemudian
kepada Tuhan mereka dikumpulkan.” (Q.S. al-An’am ayat 38)[8]
Menurut
pandangan generasi mutaakhkhirin, kata Qur’an berasal dari kata قرأي
--qara’a yang berarti ظهر dan بين
.yang tampak, jelas atau gambling, karena saat orang membaca Al-Qur’an maka
orang tersebut menampakkan dan mengeluarkan Al-Qur’an.[9]
Di samping
itu, para ulama ahli bahasa arab, ulama fiqh, ulama ushul fiqh dan para mufasir
mendefinisikan al-Qur’an dengan menitikberatkan berdasarkan teks atau lafal
yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW mulai dari surat al-Fatihah
sampai surat an-Naas.[10]
Allah memberi
nama kitab-Nya dengan nama Al-Qur’an untuk membedakan dengan nama yang dipakai
orang-orang Arab untuk menamai sya’ir dan khutbah. Mereka menamai sya’ir dan
khutbah ini dengan sebutan “Diwan” yang sebagian isinya adalah qashidah,
dan nama sebagian qashidah adalah qafiyah, sedangkan sebagian isi
Al-Qur’an adalah surat, dan sebagian surat dalam Al-Qur’an disebut ayat.[11]
Dari segi
bahasa, terdapat berbagai pendapat mengenai definisi Al-Qur’an. Sebagian
berpendapat, penulisan lafal Al-Qur’an diberi huruf hamzah. Sebagian pendapat
lain seperti, Asy-Syafi’I, al-Farradan al-Asy’ari menyatakan bahwa penulisan
Al-Qur’an tanpa huruf hamzah.[12]
Al-Syafi’I
berpendapat bahwa lafal Al-Qur’an bukan musytaq (pecahan dari akar kata
apapun) dan tanpa tambahan huruf hamzah ditengahnya, jadi dibaca Al-Quran.
Sedangkan Al-Farra berpendapat bahwa Al-qur’an adalah pecahan dari kata qara’in
(jamak dari kata qarinah) yang artinya; kaitan, karena ayat-ayat Al-Qur’an
saling berkaitan. Al-asy’ari dan pengikutnya mengatakan lafal Al-Qur’an adalah musytaq
atau pecahan dari akar kata qarn. Tiga pendapat tersebut
berkesimpulan bahwa lafal Al-Qur’an tanpa huruf hamzah ditengahnya. Hal ini
berbeda dengan kaidah pembentukan kata yang biasa digunakan dalam bahasa Arab.
Akan tetapi, ketiga pendapat tersebut memperlihatkan fungsi dan kedudukan
Al-Qur’an sebagai kitabullah yang ayat-ayatnya saling berkaitan sehingga
menjadi kesatuan yang serasi.[13]
Berdasarkan pendapat diatas disimpulkan bahwa secara bahasa Al-Qur’an berarti
saling berkaitan yang saling berhubungan antara ayat satu dengan ayat yang
lain, dan berarti juga bacaan.
Pendapat yang masyhur kita dengar sejalan dengan pendapat
Habi Ash-Siddieqy yang mengatakan bahwa al-Qur’an menurut bahasa adalah bacaan atau
yang dibaca, karena al-Qur’an ialah masdar yang diartikan dengan arti isim maf’ul,
yaitu maqru’yang dibaca.[14]
Dari segi istilah,
para ahli berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah sebagai berikut :
Menurut Iman Jalaluddin As-Suyuthi, “Al-Qur’an
ialah Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk melemahkan
pihak-pihak yang menentangnya, walaupun hanya dengan satu surat dari padanya.”[15]
Sedangkan Syeh Muhammad Al-Khudhary Byk
mengatakan :”Al-Kitab itu ialah al-Qur’an, yaitu Firman Allah dalam bahasa
Arab, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk dipahami dan diingat,
telah disampaikan kepada kita dengan
jalan yang mutawatir, telah tertulis di dalam mushaf, dimulai dengan
surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.”[16]
Menurut Manna’
al-Qaththan, “Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dan membacanya bernilai ibadah.” Kalam yang dimaksud pada
dasarnya adalah meliputi semua perkataan, namun karena istilah ini disandarkan
kepada Allah (kalamullah), maka disebut dengan al-Qur’an. dan jika perkataan
tersebut berasal selain Allah, seperti perkataan manusia, jin dan malaikat maka
tidak termasuk Al-Qur’an.[17]
Dari beberapa
pendapat di atas dapat kita ketahui bahwa al-Qur’an merupakan wahyu yang berisi
firman-firman Allah yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.
Al-Qur’an memiliki beberapa nama.[18]
Diantaranya adalah :
a.
Al-Kitab.
Alasannya adalah ayat-ayat Al-Qur’an tertulis dalam bentuk kitab. Ayat yang
menjelaskan hal ini adalah :
الم (١) ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى
لِلْمُتَّقِينَ (٢)
“1.
Aliflaammiim.2. Kitab Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya;
petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (Q.S. al-Baqarah ; 1-2)[19]
أَفَغَيْرَ
اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ
مُفَصَّلًا ۚ وَالَّذِينَآتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ
مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
“Maka
patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, Padahal Dialah yang telah menurunka
nkitab (Al-Qur’an) kepadamu denga nterperinci? Orang-orang yang telah kami datangkan
kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu
dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang
ragu-ragu.” (Q.S al-An’am : 114)[20]
b.
Al-Furqan yang artinya pembeda. Karena Al-Qur’an menjadi
penjelas antara hak dan yang batil, antara baik dan buruk. Dasar ayatnya yaitu
:
تَبَارَكَ الَّذِي
نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا (١)
“Maha suci Allah yang telah menurunkan
Al-Furqaan (Al-Quran) kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada
seluruh alam”. (Q.S Al-Furqan : 1)[21]
c.
Al-Dzikr,
yang artinya peringatan. Al-Qur’an mengandung peringatan-peringatan,
nasihat-nasihat serta kisah tentang umat terdahulu sebagai peringatan dan nasihat
bagi orang yang bertaqwa. Seperti halnya firman Allah :
أَمِ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً قُلْ
هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ هَذَا ذِكْرُ مَنْ مَعِيَ وَذِكْرُ مَنْ قَبْلِي بَلْ
أَكْثَرُهُمْ لا يَعْلَمُونَ الْحَقَّ فَهُمْ مُعْرِضُونَ (٢٤)
“Katakanlah, “Unjukkanlah hujjahmu ! (Al-Qur’an)
ini adalah peringatan bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan bagi orang-orang
yang sebelumku. Sebenarnya kebanyakan mereka tiada mengetahui yang hak, karena
itu mereka berpaling.” (Q.S al-Anbiya’ : 24)[22]
d.
Al-Mushaf. Benda-benda yang
digunakan menulis al-Qur’an pada jaman Rasulullah SAW disebut dengan suhuf. Dan
suhuf ini dikumpulkan menjadi satu, maka para sahabat menyebutnya Mushaf.
Bukti-Bukti
Al-Qur’an Sebagai Wahyu Allah
Al-Qur’an mampu menceritakan peristiwa-peristiwa yang
telah terjadi pada masa terdahulu, yang hanya diketahui oleh para Ahlul kitab
yang telah mempelajari kitab-kitab lama semasa hidupnya. Hal ini membuktikan bahwa
al-Qur’an bukanlah karangan Nabi Muhammad SAW yang sengaja diciptakan Allah SWT
dalam keadaan ummi (tidak dapat menulis dan membaca).[23]Sebagaimana
firman Allah SWT :
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي
رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ ۖ فَآمِنُوا
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Katakanlah
(Muhammad), ‘Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu semua,
Yang memilikikerajaanlangitdanbumi; tidakadatuhan (yang berhakdisembah) selain Dia,
Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya,
(yaitu) Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya
(kitab-kitab-Nya). Ikutilah dia, agar kamu mendapat petunjuk.( Q.S al-A’rafayat 158)”[24]
Selain itu, al-Qur’an juga mampu menceritakan peristiwa-peristiwa
yang akan datang yang kemudian benar-benar terjadi, seperti kemenangan kerajaan
Romawi Timur atas kerajaan Persia yang diceritakan dalam Q.S Ar-Rum ayat 1-4[25]
غُلِبَتِ الرُّومُ (2) فِي أَدْنَى الْأَرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ (3) فِي بِضْعِ سِنِينَ لِلَّهِ الْأَمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ (4( الم (1
“(1) Alif Lam Mim.(2)
Bangsa Romawi telah dikalahkan. (3) di negeri yang terdekat dan mereka setelah kekalahannya
itu akan menang. (4) dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum
dan setelah (mereka menang). Dan pada hari (kemenangan Bangsa Romawi) itu bergembiralah
orang-orang yang beriman.( Q.S Ar-Rum ayat 1-4)” [26]
Dari segi hukum, al-Qur’an mengandung nilai-nilai hukum
yang tinggi. Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an dapat menembus dimensi
ruang dan waktu, sehingga selaras dengan kehidupan manusia di setiap tempat dan
masa. Hal ini jauh berbeda dengan kitab-kitab terdahulu yang hanya berlaku pada
umatnya atau pada masa dan tempat tertentu.[27]
Dari segi bahasa al-Qur’an memiliki keindahan gaya bahasa
yang tinggi dan tidak tertandingi di luar kemampuan manusia. Kemukjizatan
al-Qur’an terletak pada keindahan uslub-uslub serta ketinggian fashahah dan
balaghahnya.[28]
Di sampingitu, untuk membuktikan lebih jelas bahwa al-Qur’an bukanlah karangan
Muhammad SAW, dapat dilihat perbedaan antara ayat al-Qur’an dengan hadist yang
sangat mencolok. Dari sudut kandungan makna, cakupan al-Qur’an jauh lebih luas dalam
bahasa yang singkat dan padat, sementara hadist bahasannya panjang akan tetapi hanya
mencakup beberapa makna. Selain itu, apabila al-Qur’an dibuat oleh Muhammad,
mengapa harus mengungkapkan kasus yang sama dalam ungkapan yang berbeda.[29]
Sejarah
Singkat Penulisan dan Kodifikasi Al-Qur’an
1.
Masa Nabi Muhammad SAW
a.
Turunnya Wahyu
Nabi Muhammad adalah manusia pilihan yang telah
dipersiapkan mental dan jiwanya secara bertahap untuk menerima wahyu Allah
melalui Malaikat Jibril. Sesekali Malaikat Jibril untuk pertama kalinya
mendatangi Nabi Muhammad pada saat di Gua Hira’. Malaikat Jibril berkata : “Bacalah
!” Lantas Nabi Muhammad menjawab : “Saya tidak bisa membaca.” Malaikat
Jibril pun mengulangi perkataannya sampai tiga kali, akan tetapi Muhammad SAW
tetap memberikan jawaban yang sama dengan keadaan bingung serta ketakutan. [30]
Diriwayatkan oleh Muhammad bin Ishaq yang lebih
dikenal dengan Ibn Abi Ya’qub an-Nadim dalam bukunya Fauzul Ulum (Al-Fihrits) dari Abu Hasan Muhammad bin Yusuf, dari
Abu Abdillah Muhammad bin Ghalib, dari Abu Muhammad Abdullah bin Al-Hajjaj
al-Madini, dari Bakr bin Abdul Wahhab, dari Al-Waqidi Muhammad bin Umar, dari
Mu’ammar bin Rasyid dari az-Zuhri, dari Muhammad bin Nu’man bin Basyirberkata:
“Ayat Al-Qur’an yang pertama turun adalah :[31]
اقْرَأْ
بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ
وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ
مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang
menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Rabbmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam
(pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al
‘Alaq: 1-5).[32]
Selama tiga tahun setelah peristiwa di Gua
Hira’ tersebut, tidak satupun ayat yang turun.
Masa ini disebut dengan fatratul wahy, yaitu
masa berhentinya wahyu.[33]Keadaan
ini digunakan oleh kaum kafir untuk menyerang Nabi Muhammad SAW dan tidak mau
mempercayai bahwa beliau telah menerima wahyu dari Allah SWT dengan mengatakan
: “Tentu saja Muhammad berkata bahwa wahyu Tuhan baru terputus, karena ia
memerlukan beberapa waktu untuk mengarang lagi ayat-ayat selanjutnya.” Akan
tetapi kemudian Allah menurunkan kembali wahyu kepada Nabi Muhammad sebagai
bukti kerasulan Muhammad SAW.[34]Kemudian
ayat al-Qur’an turun secara berangsur-angsur. Yang demikian itu berlangsung
dalam kurun waktu kurang lebih 22 tahun.[35]
Hikmah al-Qur’an diturunkan secara bertahap adalah untuk mempermudah dipelajari
dan dihafalkan oleh para sahabat pada masa itu.[36]
Sebagaimana firman Allah
وَقُرْآنًا
فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلً
“Dan
Al-Qur’an (kami turunkan) berangsur-angsur agar engkau (Muhammad)
membacakannya kepada manusia perlahan-lahan dan Kami menurunkannya secara
bertahap. (Q.S. Al-Isra'
Ayat 106)[37]
b.
Penyiaran dan Pemeliharaan Al-Qur’an
Wahyu-Wahyu yang diterima Nabi Muhammad SAW
dipelihara dan dijaga keorisinalannya dengan menggunakan dua cara, yaitu
menyimpan wahyu tersebut ke dalam dada manusia atau menghafalkannya serta menyimpannya
secara tertulis dengan berbagai bahan untuk menulis. Kedua cara ini oleh para
sarjana Muslim disebut dengan jam’ul
qur’an.[38]
Surat dan ayat-ayat yang telah diterima dan
dihafal oleh Rasullah SAW kemudian disampaikan kepada para sahabat dan menyuruh
mereka untuk menghafalkannya.[39] Para sahabat berkali-kali mengulang bacaan
mereka di hadapan Nabi Muhammad sampai benar-benar merasa mantap terhadap apa
yang dihafalkan dan berhenti mengulang sampai Rasul membenarkan. Setelah hafal
dan dianggap menguasai dengan sempurna, para sahabat menyebarluaskan hafalannya
dan mengajarkannya kepada anak-anak kecil dari penduduk Makkah maupun Madinah
dan sekitarnya yang tidak menyaksikan saat turunnya wahyu. Hafalan dan bacaan
itu kemudian mereka cocokkan kembali kepada Nabi Muhammad SAW sampai khatam
atau hanya sebagian.[40]
Cara kedua yang dilakukan Nabi Muhammad untuk
memelihara wahyu yang diterimanya adalah dengan bentuk tulisan. Orang pertama
yang diperintah Rasul untuk menjadi penulis wahyu bagi Nabi pada periode Makkah
adalah ‘Abd Allah bin Abi Sarh dan para khalifah empat seperti, al-Zubayr bin
Awwam, Khalid dan ‘Aban (putera Sa’id bin al-‘Ash bin Umayyah), Hanzhalah bin
al-Rabi’ al-Asadi, Mua’ayqib bin Abi Fathimah, ‘Abd Allah bin al-Arqam
al-Zuhri, Syurahbil bin Hasanah, dan ‘Abd Allah bin Rawahah . Setelah hijrah ke
Madinah yang menjadi penulis pertama ialah Ubayy bin Ka’b dan diikuti oleh Zayd
bin Tsabit dan sejumlah sahabat lainnya yang berkisar 43 orang.[41]
Para penulis wahyu mencatat setiap wahyu yang
turun sesuai dengan lafal yang disampaikan Nabi dan mengikuti pedoman yang
digariskan beliau, yaitu tidak dibenarkan mencatat apa yang disampaikan Nabi
selain al-Qur’an. Di samping itu letak ayat bersama suratnya ditetapkan oleh
Nabi SAW berdasarkan petunjuk dari Allah SWT.[42]
Salah satu bukti bahwa penyusunan al-Qur’an
berdasarkan apa yang telah ditetapkan Nabi dan bukan ijtihad para sahabat
adalah terdapatnya ayat-ayat Madaniyah dalam
surat-surat Makkiyah. Pencatatan
al-Qur’an secara resmi dilakukan di hadapan Rasul SAW yang kemudian dijadikan
dasar oleh Abu Bakr dalam menghimpun al-Qur’an menjadi satu mushaf. [43]
Dalam mencatat wahyu-wahyu yang turun, alat dan
bahan yang digunakan adalah benda-benda yang mudah didapatkan pada masa itu,
seperti al-riqa’ (batu, pelepah kurma,
tulang, dan lain sebagainya).[44]
Apabila memperhatikan susunan ayat-ayat
al-Qur’an dapat diketahui bahwa penyusunan ayat demi ayat tidak didasarkan pada
kronologi turunnya, karena banyak ayat-ayat yang turun di periode Madinah
dimasukkan kedalam kelompok ayat-ayat yang turun di periode Makkah. Penyusunan
al-Qur’an tidak pula ditetapkan berdasarkan pemikiran ijtihad atau kesepakatan
para sahabat, sebab ingatan manusia tidak dapat bertahan lama, sedangkan
ayat-ayat Madaniyah turun beberapa
tahun kemudian. Selain itu, dimasukkannya ayat-ayat Madaniyah kedalam surat-surat
Makkiyah, maka susunannya menjadi harmonis, serasi, dan maknanya menjadi
utuh.[45]
2.
Masa Khalifah Abu Bakar as-Shidiq
Setelah Rasulullah SAW wafat tahun 11 H (632
M), Abu Bakar diangkat menjadi khalifah yang memegang pemerintahan menggantikan
Nabi Muhammad. Selang beberapa waktu masa pemerintahannya, banyak kaum muslimin
yang murtad serta muncul beberapa nabi palsu, seperti Musaylimah al-Kadzab (si
pendusta) yang menyebabkan ketentraman masyarakat terancam. Hal ini
mengakibatkan pecahnya pertempuran Yamamah yang memakan korban dari kedua belah
pihak yang diantaranya terdapat 70 orang muslim yang hafal al-Qur’an.[46]
Khalifah Umar berasumsi apabila sering terjadi
pertempuran seperti itu, maka keutuhan al-Qur’an akan terancam karena al-Qur’an
pada masa Nabi SAW belum sempat dibukukan dan masih terpencar-pencar pada para
penghafal dan catatan-catatan para penulis wahyu. Berdasarkan hal itu, Khalifah
Umar mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar supaya al-Qur’an yang sudah ditulis
pada masa Nabi dikumpulkan dan dihimpun menjadi satu kitab.[47]
Awalnya Abu Bakar menolak permintaan Umar untuk
mengumpulkan al-Qur’an karena takut melakukan apa yang belum pernah dilakukan
oleh Nabi, sehingga dianggap bid’ah. Kemudian
Umar menegaskan bahwa hal ini dilakukan untuk kemaslahatan umat mengingat
al-Qur’an sebagai dasar-dasar ajaran Islam. Selang beberapa waktu, Abu Bakar
menerima usulan Umar dan memanggil Zaid bin Tsabit seorang pemuda yang cerdas
yang ikut menjadi penulis wahyu. Zaid bin Tsabit diperintahkan untuk mencari
catatan-catatan al-Qur’an dan mengumpulkannya. Pada mulanya Zaid menolak dengan
alasan sebagai mana yang dikemukakan Abu Bakar kepada Umar. Dengan kehendak
Allah, hati Zaid pun terbuka untuk menerima perintah dari khalifah tersebut.[48]
Abu Bakar berkata kepada Umar dan Zaid bin
Tsabit r.a : “Duduklah kalian di pintu masjid. Siapa saja yang datang
membawa ayat al-Qur’an serta dua orang saksi, segeralah kalian catat.”[49]
Kedua saksi dimaksudkan untuk memberikan kesaksian bahwa ayat yang disampaikan
benar-benar telah dibaca ulang dan ditulis di hadapan Nabi SAW, sehingga
pedoman pengumpulan al-Qur’an pada masa itu adalah hafalan dan tulisan
sekaligus.[50]
Tentang kasus surat al-Taubah dan ayat 23 dari
surat al-Ahzab, Zaid bin Tsabit menemukan catatan dan tulisan sekaligus hanya
pada Abu Khuzaymah. Walaupun para sahabat telah banyak yang menghafalkan kedua
ayat tersebut, akan tetapi tidak ada yang mencatatnya di hadapan Nabi Muhammad
kecuali Abu Khuzaymah yang kesaksiannya sendiri di hadapan Nabi Muhammad
dianggap sama kuatnya dengan kesaksian dua orang laki-laki.[51]
Fakta sejarah itu dapat dijadikan bukti bahwa
Abu Bakar adalah orang yang pertama menghimpun al-Qur’an dalam bentuk buku yang
kemudian disebut mushaf, karena tidak
dijumpai sahabat sebelumnya yang membuat mushaf seperti yag dibuat oleh Abu
Bakar as-Shidiq. Mushaf tersebut disimpan di rumah Abu Bakar, dan setelah
beliau wafat disimpan di rumah Umar bin Khattab. Sepeninggal Umar, mushaf
disimpan di rumah Hafshaf putri Umar
yang juga salah satu mantan isteri Nabi SAW.[52]
3.
Masa Khalifah Utsman bin Affan
Nabi Muhammad memberi kelonggaran kepada para
sahabatnya untuk membaca al-Qur’an menggunakan lebih dari satu dialek demi
memudahkan umat untuk membaca dan menghafalkannya.[53]
Umar bin Khattab mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Mudhar dan
bahasa tersusun dari tujuh kabilah, yaitu Kabilah Huzail Kinanah, Qis Qis,
Dhabbah, Timurribab, Asad bin Khuzaimah, dan Kabilah Quraisy.[54]
Sepeninggal Khalifah Umar, perbedaan-perbedaan
dalam membaca al-Qur’an inilah yang menyebabkan terjadinya berbagai perdebatan
sengit di berbagai daerah yang kemudian disaksikan oleh Huzaifah al Yamani.
Bahkan antara satu aliran qira’at dengan aliran qira’at yang lain saling
mengkafirkan karena merasa bacaannya yang paling benar. Sepulangnya Huzaifah al
Yamani dari perang Armenia dan Azerbaijan, ia menyampaikan apa yang terjadi
kepada Khalifah Utsman tentang perbedaan dalam membaca al-Qur’an dan meminta
Utsman untuk menyelesaikan permasalahan ini. [55]
Untuk maksud itu, Utsman mengutus orang untuk
meminjam mushaf dari Hafshaf dan memerintahkan 4 orang[56],
yaitu Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Az-Zubair, Sa’id bin al-‘Ash, dan Abdur
Rahman bin al-Harith bin Hisham agar memperbanyak salinan mushaf kemudian
mengembalikan mushaf Abu Bakr tersebut kepada Hafshaf. Khalifah Utsman
memberitahukan kepada tiga orang yang berasal dari Quraisy : “Kalau kalian
tidak setuju dengan Zaid bin Tsabit perihal apa saja mengenai al-Qur’an,
tulislah dalam dialek Quraish sebagaimana al-Qur’an telah diturunkan dalam
logat mereka.”[57]
Dalam penyusunan naskah al-Qur’an, Abu Ubaid
mencatat adanya perbedaan ejaan at-tabuut yang menggunakan “t” terbuka (maftuhah) (التابوت),
sedangkan temannya membaca dengan “t” tertutup (marbutoh) (التابوة).[58]
Dalam hal ini, Khalifah Utsman memilih bacaan Zaid bin Tsabit
karena pada masa Nabi ia adalah penulis wahyu.[59]
Dengan berpedoman pada apa yang digariskan oleh
Khalifah Utsman, maka tim yang telah dibentuk berhasil membuat beberapa mushaf.
Menurut Sijistani, jumlah mushaf secara keseluruhan adalah 7 buah.[60]
Kemudian mushaf-mushaf tersebut dikirim ke Makkah, Syam, Yaman, Bahrain,
Bashrah, Kufah, dan satu disimpan di rumah khalifah di Madinah. Bersama
pengiriman mushaf keseluruh daerah, Utsman memerintahkan untuk memusnahkan
semua shuhuf dan mushaf yang tidak sama dengan mushafnya termasuk mushaf
pribadi para sahabat, seperti Mushaf Ibn Mas’ud, Mushaf ‘Aisyah, Mushaf ‘Ali,
Mushaf Ubayy bin Ka’ab, Mushaf Salim, Mushaf Abu Huzhayfah, dan lain
sebagainya. [61]
Perintah ini mendapat kecaman dan tentangan
keras dari para sahabat Nabi terutama yang memiliki mushaf pribadi. Akan
tetapi, setelah mengetahui bahwa mushaf tersebut berasal dari Mushaf Abu Bakar
yang telah disepakati keorisinalannya oleh para sahabat Nabi, maka Ibnu Mas’ud
dan para sahabat lainnya yang memiliki mushaf pribadi sepakat menerima mushaf
Utsmani dan memusnahkan mushaf yang mereka miliki.[62]
Untuk mengklarifikasi tindakan Utsman dalam
mengumpulkan kembali mushaf, maka Ali bin Abi Thalib berpidato:
“Hai manusia, janganlah kalian bersikap
keterlaluan tentang pribadi Utsman, dengan mengatakan, bahwa ia adalah pembakar
mushaf-mushaf. Demi Allah, Utsman tidak bertindak demikian melainkan dengan
persetujuan para sahabat Rasulullah. Ia mengumpulkan kami lalu berkata :
Bagaimana pendapat kalian tentang bacaan al-Qur’an yang kini diperselisihkan
oleh khalayak, sehingga seorang bertengkar dengan lainnya dan mengklaim bahwa,
‘Bacaanku lebih baik dari bacaanmu.’ Ini dapat mengarah kepada kekufuran. Kami
yang hadir masing-masing mengajukan pendapatnya. Kemudian Utsman berkata :
‘Saya ingin menghimpun semua pembaca di bawah satu macam mushaf saja. Sebab
jika kini kalian berselisih, orang-orang yang datang kemudian akan lebih parah
lagi perselisihannya.’ Mendengar itu, kami berkata : Ini adalah pendapat yang
tepat.”[63]
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita
simpulkan bahwa al-Qur’an yang berada di tangan kita sekarang ini adalah hasil
dari pembukuan al-Qur’an pada masa Khalifah Utsman yang dikenal dengan sebutan
Mushaf Utsmani yang kemudian mengalami beberapa penyempurnaan tulisan untuk
mempermudah para pembacanya.
Kesimpulan
Dari pemaparan mengenai definisi al-Qur’an
sampai dengan sejarahnya, dapat diketahui bahwa al-Qur’an adalah wahyu yang berisi firman-firman Allah
yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman dan petunjuk
hidup umat manusia yang diawali dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat
an-Naas. Berbagai bukti juga secara jelas menyatakan bahwa al-Qur’an
benar-benar wahyu Allah, bukanlah karangan Nabi Muhammad atau para sahabatnya.
Selain itu, turunnya al-Qur’an sampai al-Qur’an menjadi sebuah mushaf yang utuh
melalui 3 masa, yaitu masa Rasulullah SAW, masa Khalifah Abu Bakar As-Shidiq,
dan terakhir pada masa Khalifah Utsman bin Affan.
Daftar Rujukan
Baidan, Nashruddin. 2005. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Amal, Taufik Adnan. 2001. Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an. Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama
(FkBA).
Al-A’zami.
2005. The History of The Qur’anic Text : From
Revelation to Compilation. Jakarta : Gema Insani Press.
Az-Zanjani,
Abu Abdullah. 1986. Wawasan Baru : Tarikh Al-Qur’an. Bandung : Mizan.
Al-Abyadi,
Ibrahim. 1992. Sejarah AL-Qur’an. Jakarta : PT Rineka
Cipta
Mustofa. 1994. Sejarah AL-Qur’an. Surabaya: Al-Ikhlas
Sumbulah, Umi, dkk. 2014. Studi
Al-Qur’an dan Hadis. Malang : UIN-Maliki Press.
Nata, Abudin. 1993. Al-Qur’an dan Hadist.
Jakarta :Rajawali Pers
Catatan Revisi:
1.
Setelah ditelusuri di Google, tidak ditemukan
adanya indikasi copy-paste. Selamat!!!
2.
Pendahuluan sudah bagus, tetapi lebih baiknya
perlu diberikan sedikit pengantar mengenai bukti-bukti kewahyuan al-Qur’an.
3.
Dalam pembahasan tentang definisi al-Qur’an,
berikan sebuah definisi al-Qur’an dengan memakai bahasa Arab.
4.
Penulis tiga orang atau lebih dalam footnote
menggunakan format dkk. Seperti ditulis di daftar rujukan (Umi Sumbullah dkk.).
5.
Penulisan rujukan yang diulang dengan ada jeda
footnote yang lain hanya memakai format: nama penulis, judul buku (sebaiknya 3
kata), halaman. Coba lebih diteliti lagi.
6.
Dalam pembahasan bukti-bukti al-Qur’an sebagai
wahyu Allah, tolong ditambahkan mengenai kemukjizatan al-Qur’an dari aspek
sains sebagaimana yang banyak diwacanakan di UIN Malang.
7.
Untuk kutipan langsung sebanyak lima baris atau
lebih ditulis dalam paragraph sendiri dan agak menjorok ke dalam. Misalnya
perkataan Ali bin Abi Thalib yang sudah saya benarkan.
8.
Kesimpulan yang ditulis kurang detail, tolong
lebih didetailkan.
9.
Daftar Rujukan belum disusun secara alfabetis,
tolong dibuat alfabetis. Untuk nama Arab yang ada “al” nya, yang menjadi
patokan adalah huruf setelahnya, misalnya Az-Zanjani. Berarti yang menjadi
patokan adalah huruf Z bukan huruf A.
Lepas dari masukan-masukan di atas, saya
ucapkan selamat karena makalah yang kalian tulis cukup bagus dan tidak
ditemukan adanya copy-paste.
[1]Mustofa, Sejarah Al-Qur’an, (Surabaya
: Al-Ikhlas, 1994) h.9
[2]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah, Studi
Al-Qur’an dan Hadis, (Malang : UIN-Maliki Press, 2014) h. 5. Dalam buku Sejarah
Al-Qur’an yang ditulis oleh Mustofa, berdasarkan pendapat Ahmad Ali, Ahmad
Ali Ghanduran Imam Mohammad Abduh, maka wahyu sebagai suatu penetahuan yang
didapat dengan cara rahasia dan cepat oleh seseorang (Nabi) dan Rasul di dalam dirinya
disertai keyakinan bahwa pengetahuan tersebut dari Allah, baik dengan perantaraan
atau tanpa perantaraan.
[3] Qur’an (96 : 1)
[4] Qur’an (73 : 1-4)
[5]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah, Studi
Al-Qur’an dan Hadis, (Malang : UIN-Maliki Press, 2014) h. 6
[6]Ibid.
[8] Qur’an, (6 : 36)
[9]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah, Studi
Al-Qur’an dan Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2014) h. 7
[10]Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005) h. 15
[11]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, danNasrullah, Studi
Al-Qur’an dan Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2014) h. 9
[12]Abudin Nata, Al-Qur’an dan Hadist,
(Jakarta : RajawaliPers, 1993), h. 51
[14]Ibid. h. 53. isim maf’ul adalah
kalimat yang menunjukkan arti orang atau sesuatu yang dikenai pekerjaan (objek)
[15]Mustofa, Sejarah Al-Qur’an, (Surabaya :
Al-Ikhlas, 1994) h.10
[16]Ibid
[17]Abudin Nata, Al-Qur’an dan Hadist,
(Jakarta : RajawaliPers, 1993), h. 54
[18]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah, Studi
Al-Qur’an dan Hadis, (Malang : UIN-Maliki Press, 2014) h. 11
[19] Qur’an (2 : 1-2)
[20] Qur’an (6 : 114)
[21] Qur’an (25 : 1)
[22] Qur’an (21 : 24)
[23]Mustofa, Sejarah Al-Qur’an, (Surabaya :
Al-Ikhlas, 1994) hlm. 142
[24] Qur’an, (7 : 158)
[25]Mustofa, Sejarah Al-Qur’an, (Surabaya :
Al-Ikhlas, 1994) hlm. 142
[26] Qur’an, (30 : 1-4)
[27]Mustofa, Sejarah Al-Qur’an, (Surabaya :
Al-Ikhlas, 1994) hlm. 143
[28]Ibid.
[29]Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005) h. 44
[30] Al-A’zami, The
History of The Qur,anic Text: From
Relevation to Compilation,(Jakarta : GemaInsani Press, 2005) h.50
[31] Abu Abdullah Az-Zanjani, Wawasan Baru : Tarikh al-Qur’an,(Bandung : Mizan, 1986)h. 47
[32] Qur’an (96 : 1-5)
[33]Terjadi perbedaan pendapat mengenai urutan-urutan
surat yang diturunkan sebelum dan sesudah masa fatratul wahy. Beberapa pendapat
mengatakan urutannya adalah Surat al-‘Alaq, al-Muzammil, kemudian al-Mudatsir.
Pendapat yang lain mengatakan Surat al-‘Alaq, al-Mudatsir, kemudian
al-Muzammil, Selain itu ada yang mengatakan bahwa surat yang turun sebelum fatratul
wahy hanya surat al-‘Alaq saja dan setelah fatratul wahy adalah surat
al-Mudatsir.
[34]Mustofa, Sejarah Al-Qur’an, (Surabaya :
Al-Ikhlas, 1994) h.69
[35] Al-A’zami, The
History of The Qur,anic Text: From
Relevation to Compilation,(Jakarta : Gema Insani Press, 2005) h. 48.
Di dalam
buku Sejarah al-Qur’an yang
ditulis oleh Mustofa dikatakan bahwa al-Qur’an turun dalam dua masa, yaitu pada
masa Rasulullah SAW tinggal di Makkah (sebelum hijrah) selama 12 tahun 5 bulan
13 hari terhitung sejak 17 Ramadhan tahun ke-41 kelahiran Nabi sampai Rabiul-awal
tahun ke-54 kelahiran Nabi yang ayat-ayatnya disebut sebagai ayat-ayat Makkiyah.
Dan masa kedua adalah ayat-ayat yang turun sesudah hijrahnya Nabi ke Madinah
selama 9 tahun 9 bulan 9 hari yang ayat-ayatnya disebut sebagai ayat-ayat Madaniyah.
[36] Ibrahim al Abyadi, Sejarah al-qur’an, (Jakarta
: PT Rineka Cipta, 1992) h.52
[37] Qur’an, (17 : 106)
[38]Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, (Yogyakarta : Forum Kajian Budaya dan Agama FkBA, 2001) h.129
[39] Abu Abdullah Az-Zanjani, WawasanBaru : Tarikh al-Qur’an,(Bandung : Mizan, 1986) h. 53
[41]Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005) h. 27
[44]Ibid
[48] Abu Abdullah Az-Zanjani, Wawasan Baru : Tarikh al-Qur’an,(Bandung : Mizan, 1986) h. 85
[50]Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir,
(Yogyakarta : PustakaPelajar, 2005) h. 55
[51]Ibid
[54] Ibrahim al Abyadi, Sejarah al-qur’an, (Jakarta
: PT RinekaCipta, 1992) h.54
[56]Beberapa rujukan mengatakan bahwa Utsman membentuk
panitia yang terdiri dari 12 orang untuk mengumpulkan al-Qur’an.
[57] Al-A’zami, The
History of The Qur,anic Text: From
Relevation to Compilation,(Jakarta : Gema Insani Press, 2005) h. 99
[59] Abu Abdullah Az-Zanjani, WawasanBaru : Tarikh al-Qur’an,(Bandung : Mizan, 1986) h.93
[60] Al-Suyuthi menegaskan bahwa yang masyhur Cuma lima
buah, sedangkan Abd al-Shabur Syahin sependapat dengan al-Suyuthi. Pendapat lain
menyatan bahwa mushaf itu hanya berjumlah empat buah. Pendapat ini didukung oleh
Abu ‘Amr al-Dani sebagai mana dikutip al-Zarkasyi dan al-Muqni. Selain itu ada
yang berpendapat bahwa jumlah mushaf yang dibuat adalah 8 buah dan ada yang
mengatakan 9 buah.
[61]Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir,
(Yogyakarta : PustakaPelajar, 2005) h. 64
[62]Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar