Senin, 29 Agustus 2016

al-Qur'an dan Historisitasnya (PAI D Semester III)




AL-QUR’AN DAN HISTORISITASNYA

Dina Amelia Utami, Rafika Rahmatul Adha, dan M. Ali Musyafa’
PAI D Semester III
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang
e-mail: dina07amelia@gmail.com

Abstract: Qur’an is a revelation that given by Allah SWT to prophet Muhammad SAW as life instructions for moslems. The revelation is accepted by Muhammad SAW then it is learned by Muhammad’s friends for memorizing and understanding. Prophet Muhammad SAW kept Qur’an by two methods. They are memorizing and writing down on stone, bone, stem of palm, etc. First step, revelations are written by the secretary whom appointed by Muhammad SAW. Second step, in Abu Bakar’s period, revelations are collected become mushaf Qur’an. And the last step, in Utsman’s period Qur’an is collected become a script to unity moslem and not to differentiate the recitation all of moslem in the world.
Keywords: Qur’an, Revelation, Steps of collecting Qur’an.

Pendahuluan
Di dalam setiap kehidupan manusia dibutuhkan aturan-aturan serta petunjuk-petunjuk untuk mengatur tata kehidupan manusia itu sendiri. Bagi kaum muslimin, al-Qur’an adalah pedoman hidup yang luar biasa dan tidak tertandingi. Al-Qur’an merupakan kalam-Allah yang turunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk diajarkan kepada umatnya. Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang menjadi pedoman umat manusia yang mampu menembus dimensi ruang dan waktu.
Berdasarkan hal di atas, tidak kalah pentingnya menggali al-Qur’an secara mendalam, baik mengenai lafal, kandungan maupun sejarahnya. Dari sejarah al-Qur,an kita dapat mempelajari bagaimana awal mula  al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad sampai pada proses pembukuan al-Qur’an sehingga dapat kita pelajari sampai saat ini.

Definisi Al-Qur’an
Para ulama mengemukankan al-Qur’an dengan bermacam-macam definisi yang berbeda bunyi dan maksudnya. Hal ini disebabkan karena perbedaan pandangan dalam memandang sifat-sifat essensial dari al-Qur’an dari segi keahlian mereka masing-masing.[1]
Al-Qur’an yang dimaksud adalah firman Allah (kalamullah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW secara makna dan lafalnya, yang membacanya bernilai ibadah, terhimpun di dalam satu mushaf dan diriwayatkan secara mutawatir. Sebutan Al-Qur’an sebagai kalam Allah berasal langsung dari Allah, bukanlah pemberian Rasullullah ataupun para sahabatnya. Allah memberikan nama kitab ini Qur’an atau al-Qur’an.[2] Sebagaimana disebutkan pada ayat pertama yang diturunkan-Nya, yaitu :
            اِقْرَأ بِا سْمِ رَبِّكَ الَّذيْ خَلَقَ
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan”.(Q.S Al-Alaq:1)[3]
Dalam surat lain yang merupakan kategori ayat-ayat pertama yang diturunkan, Allah menyebutkan bahwa kitab suci umat Islam adalah al-Qur’an. Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ (١) قُمِ اللَّيْلَ إِلا قَلِيلا (٢) نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلا (٣) أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلا (٤

“Hai orang-orang yang berselimut (Muhammad). Bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya). (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. Atau lebihkan dari seperdua itu. dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan (tartil)” (Q.S Al-Muzammil : 1-4)[4]
Selain ayat diatas, nama Al-Qur’an sebagai kitab suci Islam disebutkan beberapa kali dalam berbagai surat. Terhitung sekitar  68 kali penyebutannya dalam Al-Qur’an. Diantaranya dalam surah : Al-Baqarah, ayat 185; An-Nisa’, ayat 82; Al-Ma’idah, ayat 101; Al-An’am, ayat 19; dan Al-A’raf, ayat 204.[5]
Imam Syafi’I menanggapi bahwa tidak perlu mengupas asal muasal mengapa Allah memberi nama kitab suci ini Al-Qur’an, seperti halnya memberi nama Taurat  yang diturunkan kepada Nabi Musa dan Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa. Namun ada beberapa ulama yang mengupas asal muasal Al-Qur’an. Menurut mereka, Al-Qur’an berasal dari kata, القرء  qar’u yang artinya الجمع –jam’u (pengumpulan), dan الضم dlommu (penggabungan).[6]
Pendapat diatas menurut Dr. Abdu Al-Mun’im Al-Namr dinilai tidak kuat. Sedangkan Pendapat Al-Zarqasyi dalam kitab al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an mengatakan bahwa kata Al-Qur’an diambil dari kata القري qaryu yang berarti الجمع al-Jam’u atau “kumpulan”, Hal ini diambil dari kebiasaan orang Arab yang mengucapkan kalimat “جمنت الماء في الخوض” (aku mengumpulkan air dalam kolam). Sedangkan alas an menurut Al-Raghib, karena Al-Qur’an merupakan kumpulan kitab-kitab yang dikumpulkan sebelumnya. Dan pendapat lain mengatakan karena Al-Qur’an menghimpun berbagai macam ilmu.[7] Hal ini sesuai dengan firman Allah :
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ ۚ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
“Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang kami luputkan di dalam Kitab. Kemudian kepada Tuhan mereka dikumpulkan.” (Q.S. al-An’am ayat 38)[8]
Menurut pandangan generasi mutaakhkhirin, kata Qur’an berasal dari kata قرأي --qara’a yang berarti ظهر dan بين .yang tampak, jelas atau gambling, karena saat orang membaca Al-Qur’an maka orang tersebut menampakkan dan mengeluarkan Al-Qur’an.[9]
Di samping itu, para ulama ahli bahasa arab, ulama fiqh, ulama ushul fiqh dan para mufasir mendefinisikan al-Qur’an dengan menitikberatkan berdasarkan teks atau lafal yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW mulai dari surat al-Fatihah sampai surat an-Naas.[10]
Allah memberi nama kitab-Nya dengan nama Al-Qur’an untuk membedakan dengan nama yang dipakai orang-orang Arab untuk menamai sya’ir dan khutbah. Mereka menamai sya’ir dan khutbah ini dengan sebutan “Diwan” yang sebagian isinya adalah qashidah, dan nama sebagian qashidah adalah qafiyah, sedangkan sebagian isi Al-Qur’an adalah surat, dan sebagian surat dalam Al-Qur’an disebut ayat.[11]
Dari segi bahasa, terdapat berbagai pendapat mengenai definisi Al-Qur’an. Sebagian berpendapat, penulisan lafal Al-Qur’an diberi huruf hamzah. Sebagian pendapat lain seperti, Asy-Syafi’I, al-Farradan al-Asy’ari menyatakan bahwa penulisan Al-Qur’an tanpa huruf hamzah.[12]
Al-Syafi’I berpendapat bahwa lafal Al-Qur’an bukan musytaq (pecahan dari akar kata apapun) dan tanpa tambahan huruf hamzah ditengahnya, jadi dibaca Al-Quran. Sedangkan Al-Farra berpendapat bahwa Al-qur’an adalah pecahan dari kata qara’in (jamak dari kata qarinah) yang artinya; kaitan, karena ayat-ayat Al-Qur’an saling berkaitan. Al-asy’ari dan pengikutnya mengatakan lafal Al-Qur’an adalah musytaq atau pecahan dari akar kata qarn. Tiga pendapat tersebut berkesimpulan bahwa lafal Al-Qur’an tanpa huruf hamzah ditengahnya. Hal ini berbeda dengan kaidah pembentukan kata yang biasa digunakan dalam bahasa Arab. Akan tetapi, ketiga pendapat tersebut memperlihatkan fungsi dan kedudukan Al-Qur’an sebagai kitabullah yang ayat-ayatnya saling berkaitan sehingga menjadi kesatuan yang serasi.[13] Berdasarkan pendapat diatas disimpulkan bahwa secara bahasa Al-Qur’an berarti saling berkaitan yang saling berhubungan antara ayat satu dengan ayat yang lain, dan berarti juga bacaan.
Pendapat yang masyhur kita dengar sejalan dengan pendapat Habi Ash-Siddieqy yang mengatakan bahwa al-Qur’an menurut bahasa adalah bacaan atau yang dibaca, karena al-Qur’an ialah masdar yang diartikan dengan arti isim maf’ul, yaitu maqru’yang dibaca.[14]
Dari segi istilah, para ahli berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah sebagai berikut :
Menurut Iman Jalaluddin As-Suyuthi, “Al-Qur’an ialah Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk melemahkan pihak-pihak yang menentangnya, walaupun hanya dengan satu surat dari padanya.”[15]
Sedangkan Syeh Muhammad Al-Khudhary Byk mengatakan :”Al-Kitab itu ialah al-Qur’an, yaitu Firman Allah dalam bahasa Arab, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk dipahami dan diingat, telah disampaikan kepada kita dengan  jalan yang mutawatir, telah tertulis di dalam mushaf, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.”[16]
Menurut Manna’ al-Qaththan, “Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan membacanya bernilai ibadah.” Kalam yang dimaksud pada dasarnya adalah meliputi semua perkataan, namun karena istilah ini disandarkan kepada Allah (kalamullah), maka disebut dengan al-Qur’an. dan jika perkataan tersebut berasal selain Allah, seperti perkataan manusia, jin dan malaikat maka tidak termasuk Al-Qur’an.[17]
Dari beberapa pendapat di atas dapat kita ketahui bahwa al-Qur’an merupakan wahyu yang berisi firman-firman Allah yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.
Al-Qur’an memiliki beberapa nama.[18] Diantaranya adalah :
a.    Al-Kitab. Alasannya adalah ayat-ayat Al-Qur’an tertulis dalam bentuk kitab. Ayat yang menjelaskan hal ini adalah :
الم (١) ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (٢)
“1. Aliflaammiim.2. Kitab Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (Q.S. al-Baqarah ; 1-2)[19]

أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلًا ۚ وَالَّذِينَآتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, Padahal Dialah yang telah menurunka nkitab (Al-Qur’an) kepadamu denga nterperinci? Orang-orang yang telah kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.” (Q.S al-An’am : 114)[20]

b.    Al-Furqan yang artinya pembeda. Karena Al-Qur’an menjadi penjelas antara hak dan yang batil, antara baik dan buruk. Dasar ayatnya yaitu :

تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا (١)

 Maha suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al-Quran) kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam”. (Q.S Al-Furqan : 1)[21]

c.     Al-Dzikr, yang artinya peringatan. Al-Qur’an mengandung peringatan-peringatan, nasihat-nasihat serta kisah tentang umat terdahulu sebagai peringatan dan nasihat bagi orang yang bertaqwa. Seperti halnya firman Allah :

أَمِ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ هَذَا ذِكْرُ مَنْ مَعِيَ وَذِكْرُ مَنْ قَبْلِي بَلْ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْلَمُونَ الْحَقَّ فَهُمْ مُعْرِضُونَ (٢٤)

Katakanlah, “Unjukkanlah hujjahmu ! (Al-Qur’an) ini adalah peringatan bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan bagi orang-orang yang sebelumku. Sebenarnya kebanyakan mereka tiada mengetahui yang hak, karena itu mereka berpaling.” (Q.S al-Anbiya’ : 24)[22]

d.    Al-Mushaf. Benda-benda yang digunakan menulis al-Qur’an pada jaman Rasulullah SAW disebut dengan suhuf. Dan suhuf ini dikumpulkan menjadi satu, maka para sahabat menyebutnya Mushaf.

Bukti-Bukti Al-Qur’an Sebagai Wahyu Allah
Al-Qur’an mampu menceritakan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi pada masa terdahulu, yang hanya diketahui oleh para Ahlul kitab yang telah mempelajari kitab-kitab lama semasa hidupnya. Hal ini membuktikan bahwa al-Qur’an bukanlah karangan Nabi Muhammad SAW yang sengaja diciptakan Allah SWT dalam keadaan ummi (tidak dapat menulis dan membaca).[23]Sebagaimana firman Allah SWT :
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu semua, Yang memilikikerajaanlangitdanbumi; tidakadatuhan (yang berhakdisembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, (yaitu) Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya). Ikutilah dia, agar kamu mendapat petunjuk.( Q.S al-A’rafayat 158)[24]
Selain itu, al-Qur’an juga mampu menceritakan peristiwa-peristiwa yang akan datang yang kemudian benar-benar terjadi, seperti kemenangan kerajaan Romawi Timur atas kerajaan Persia yang diceritakan dalam Q.S Ar-Rum ayat 1-4[25]

غُلِبَتِ الرُّومُ (2) فِي أَدْنَى الْأَرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ (3) فِي بِضْعِ سِنِينَ لِلَّهِ الْأَمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ (4( الم (1

“(1) Alif Lam Mim.(2) Bangsa Romawi telah dikalahkan. (3) di negeri yang terdekat dan mereka setelah kekalahannya itu akan menang. (4) dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan setelah (mereka menang). Dan pada hari (kemenangan Bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman.( Q.S Ar-Rum ayat 1-4)[26]

Dari segi hukum, al-Qur’an mengandung nilai-nilai hukum yang tinggi. Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an dapat menembus dimensi ruang dan waktu, sehingga selaras dengan kehidupan manusia di setiap tempat dan masa. Hal ini jauh berbeda dengan kitab-kitab terdahulu yang hanya berlaku pada umatnya atau pada masa dan tempat tertentu.[27]
Dari segi bahasa al-Qur’an memiliki keindahan gaya bahasa yang tinggi dan tidak tertandingi di luar kemampuan manusia. Kemukjizatan al-Qur’an terletak pada keindahan uslub-uslub serta ketinggian fashahah dan balaghahnya.[28] Di sampingitu, untuk membuktikan lebih jelas bahwa al-Qur’an bukanlah karangan Muhammad SAW, dapat dilihat perbedaan antara ayat al-Qur’an dengan hadist yang sangat mencolok. Dari sudut kandungan makna, cakupan al-Qur’an jauh lebih luas dalam bahasa yang singkat dan padat, sementara hadist bahasannya panjang akan tetapi hanya mencakup beberapa makna. Selain itu, apabila al-Qur’an dibuat oleh Muhammad, mengapa harus mengungkapkan kasus yang sama dalam ungkapan yang berbeda.[29]

Sejarah Singkat Penulisan dan Kodifikasi Al-Qur’an
1.    Masa Nabi Muhammad SAW
a.    Turunnya Wahyu
Nabi Muhammad adalah manusia pilihan yang telah dipersiapkan mental dan jiwanya secara bertahap untuk menerima wahyu Allah melalui Malaikat Jibril. Sesekali Malaikat Jibril untuk pertama kalinya mendatangi Nabi Muhammad pada saat di Gua Hira’. Malaikat Jibril berkata : “Bacalah !” Lantas Nabi Muhammad menjawab : “Saya tidak bisa membaca.” Malaikat Jibril pun mengulangi perkataannya sampai tiga kali, akan tetapi Muhammad SAW tetap memberikan jawaban yang sama dengan keadaan bingung serta ketakutan. [30]
Diriwayatkan oleh Muhammad bin Ishaq yang lebih dikenal dengan Ibn Abi Ya’qub an-Nadim dalam bukunya Fauzul Ulum (Al-Fihrits) dari Abu Hasan Muhammad bin Yusuf, dari Abu Abdillah Muhammad bin Ghalib, dari Abu Muhammad Abdullah bin Al-Hajjaj al-Madini, dari Bakr bin Abdul Wahhab, dari Al-Waqidi Muhammad bin Umar, dari Mu’ammar bin Rasyid dari az-Zuhri, dari Muhammad bin Nu’man bin Basyirberkata: “Ayat Al-Qur’an yang pertama turun adalah :[31]
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al ‘Alaq: 1-5).[32]
Selama tiga tahun setelah peristiwa di Gua Hira’ tersebut, tidak  satupun ayat yang turun. Masa ini disebut dengan fatratul wahy, yaitu masa berhentinya wahyu.[33]Keadaan ini digunakan oleh kaum kafir untuk menyerang Nabi Muhammad SAW dan tidak mau mempercayai bahwa beliau telah menerima wahyu dari Allah SWT dengan mengatakan : “Tentu saja Muhammad berkata bahwa wahyu Tuhan baru terputus, karena ia memerlukan beberapa waktu untuk mengarang lagi ayat-ayat selanjutnya.” Akan tetapi kemudian Allah menurunkan kembali wahyu kepada Nabi Muhammad sebagai bukti kerasulan Muhammad SAW.[34]Kemudian ayat al-Qur’an turun secara berangsur-angsur. Yang demikian itu berlangsung dalam kurun waktu kurang lebih 22 tahun.[35] Hikmah al-Qur’an diturunkan secara bertahap adalah untuk mempermudah dipelajari dan dihafalkan oleh para sahabat pada masa itu.[36] Sebagaimana firman Allah
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلً
“Dan Al-Qur’an (kami turunkan) berangsur-angsur agar engkau (Muhammad) membacakannya kepada manusia perlahan-lahan dan Kami menurunkannya secara bertahap. (Q.S. Al-Isra' Ayat 106)[37]
b.    Penyiaran dan Pemeliharaan Al-Qur’an
Wahyu-Wahyu yang diterima Nabi Muhammad SAW dipelihara dan dijaga keorisinalannya dengan menggunakan dua cara, yaitu menyimpan wahyu tersebut ke dalam dada manusia atau menghafalkannya serta menyimpannya secara tertulis dengan berbagai bahan untuk menulis. Kedua cara ini oleh para sarjana Muslim disebut dengan jam’ul qur’an.[38]
Surat dan ayat-ayat yang telah diterima dan dihafal oleh Rasullah SAW kemudian disampaikan kepada para sahabat dan menyuruh mereka untuk menghafalkannya.[39] Para sahabat berkali-kali mengulang bacaan mereka di hadapan Nabi Muhammad sampai benar-benar merasa mantap terhadap apa yang dihafalkan dan berhenti mengulang sampai Rasul membenarkan. Setelah hafal dan dianggap menguasai dengan sempurna, para sahabat menyebarluaskan hafalannya dan mengajarkannya kepada anak-anak kecil dari penduduk Makkah maupun Madinah dan sekitarnya yang tidak menyaksikan saat turunnya wahyu. Hafalan dan bacaan itu kemudian mereka cocokkan kembali kepada Nabi Muhammad SAW sampai khatam atau hanya sebagian.[40]
Cara kedua yang dilakukan Nabi Muhammad untuk memelihara wahyu yang diterimanya adalah dengan bentuk tulisan. Orang pertama yang diperintah Rasul untuk menjadi penulis wahyu bagi Nabi pada periode Makkah adalah ‘Abd Allah bin Abi Sarh dan para khalifah empat seperti, al-Zubayr bin Awwam, Khalid dan ‘Aban (putera Sa’id bin al-‘Ash bin Umayyah), Hanzhalah bin al-Rabi’ al-Asadi, Mua’ayqib bin Abi Fathimah, ‘Abd Allah bin al-Arqam al-Zuhri, Syurahbil bin Hasanah, dan ‘Abd Allah bin Rawahah . Setelah hijrah ke Madinah yang menjadi penulis pertama ialah Ubayy bin Ka’b dan diikuti oleh Zayd bin Tsabit dan sejumlah sahabat lainnya yang berkisar 43 orang.[41]
Para penulis wahyu mencatat setiap wahyu yang turun sesuai dengan lafal yang disampaikan Nabi dan mengikuti pedoman yang digariskan beliau, yaitu tidak dibenarkan mencatat apa yang disampaikan Nabi selain al-Qur’an. Di samping itu letak ayat bersama suratnya ditetapkan oleh Nabi SAW berdasarkan petunjuk dari Allah SWT.[42]
Salah satu bukti bahwa penyusunan al-Qur’an berdasarkan apa yang telah ditetapkan Nabi dan bukan ijtihad para sahabat adalah terdapatnya ayat-ayat Madaniyah dalam surat-surat Makkiyah. Pencatatan al-Qur’an secara resmi dilakukan di hadapan Rasul SAW yang kemudian dijadikan dasar oleh Abu Bakr dalam menghimpun al-Qur’an menjadi satu mushaf. [43]
Dalam mencatat wahyu-wahyu yang turun, alat dan bahan yang digunakan adalah benda-benda yang mudah didapatkan pada masa itu, seperti al-riqa’ (batu, pelepah kurma, tulang, dan lain sebagainya).[44]
Apabila memperhatikan susunan ayat-ayat al-Qur’an dapat diketahui bahwa penyusunan ayat demi ayat tidak didasarkan pada kronologi turunnya, karena banyak ayat-ayat yang turun di periode Madinah dimasukkan kedalam kelompok ayat-ayat yang turun di periode Makkah. Penyusunan al-Qur’an tidak pula ditetapkan berdasarkan pemikiran ijtihad atau kesepakatan para sahabat, sebab ingatan manusia tidak dapat bertahan lama, sedangkan ayat-ayat Madaniyah turun beberapa tahun kemudian. Selain itu, dimasukkannya ayat-ayat Madaniyah kedalam surat-surat Makkiyah, maka susunannya menjadi harmonis, serasi, dan maknanya menjadi utuh.[45]
2.    Masa Khalifah Abu Bakar as-Shidiq
Setelah Rasulullah SAW wafat tahun 11 H (632 M), Abu Bakar diangkat menjadi khalifah yang memegang pemerintahan menggantikan Nabi Muhammad. Selang beberapa waktu masa pemerintahannya, banyak kaum muslimin yang murtad serta muncul beberapa nabi palsu, seperti Musaylimah al-Kadzab (si pendusta) yang menyebabkan ketentraman masyarakat terancam. Hal ini mengakibatkan pecahnya pertempuran Yamamah yang memakan korban dari kedua belah pihak yang diantaranya terdapat 70 orang muslim yang hafal al-Qur’an.[46]
Khalifah Umar berasumsi apabila sering terjadi pertempuran seperti itu, maka keutuhan al-Qur’an akan terancam karena al-Qur’an pada masa Nabi SAW belum sempat dibukukan dan masih terpencar-pencar pada para penghafal dan catatan-catatan para penulis wahyu. Berdasarkan hal itu, Khalifah Umar mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar supaya al-Qur’an yang sudah ditulis pada masa Nabi dikumpulkan dan dihimpun menjadi satu kitab.[47]
Awalnya Abu Bakar menolak permintaan Umar untuk mengumpulkan al-Qur’an karena takut melakukan apa yang belum pernah dilakukan oleh Nabi, sehingga dianggap bid’ah. Kemudian Umar menegaskan bahwa hal ini dilakukan untuk kemaslahatan umat mengingat al-Qur’an sebagai dasar-dasar ajaran Islam. Selang beberapa waktu, Abu Bakar menerima usulan Umar dan memanggil Zaid bin Tsabit seorang pemuda yang cerdas yang ikut menjadi penulis wahyu. Zaid bin Tsabit diperintahkan untuk mencari catatan-catatan al-Qur’an dan mengumpulkannya. Pada mulanya Zaid menolak dengan alasan sebagai mana yang dikemukakan Abu Bakar kepada Umar. Dengan kehendak Allah, hati Zaid pun terbuka untuk menerima perintah dari khalifah tersebut.[48]
Abu Bakar berkata kepada Umar dan Zaid bin Tsabit r.a : “Duduklah kalian di pintu masjid. Siapa saja yang datang membawa ayat al-Qur’an serta dua orang saksi, segeralah kalian catat.[49] Kedua saksi dimaksudkan untuk memberikan kesaksian bahwa ayat yang disampaikan benar-benar telah dibaca ulang dan ditulis di hadapan Nabi SAW, sehingga pedoman pengumpulan al-Qur’an pada masa itu adalah hafalan dan tulisan sekaligus.[50]
Tentang kasus surat al-Taubah dan ayat 23 dari surat al-Ahzab, Zaid bin Tsabit menemukan catatan dan tulisan sekaligus hanya pada Abu Khuzaymah. Walaupun para sahabat telah banyak yang menghafalkan kedua ayat tersebut, akan tetapi tidak ada yang mencatatnya di hadapan Nabi Muhammad kecuali Abu Khuzaymah yang kesaksiannya sendiri di hadapan Nabi Muhammad dianggap sama kuatnya dengan kesaksian dua orang laki-laki.[51]
Fakta sejarah itu dapat dijadikan bukti bahwa Abu Bakar adalah orang yang pertama menghimpun al-Qur’an dalam bentuk buku yang kemudian disebut mushaf, karena tidak dijumpai sahabat sebelumnya yang membuat mushaf seperti yag dibuat oleh Abu Bakar as-Shidiq. Mushaf tersebut disimpan di rumah Abu Bakar, dan setelah beliau wafat disimpan di rumah Umar bin Khattab. Sepeninggal Umar, mushaf disimpan di rumah Hafshaf putri Umar  yang juga salah satu mantan isteri Nabi SAW.[52]
3.    Masa Khalifah Utsman bin Affan
Nabi Muhammad memberi kelonggaran kepada para sahabatnya untuk membaca al-Qur’an menggunakan lebih dari satu dialek demi memudahkan umat untuk membaca dan menghafalkannya.[53] Umar bin Khattab mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Mudhar dan bahasa tersusun dari tujuh kabilah, yaitu Kabilah Huzail Kinanah, Qis Qis, Dhabbah, Timurribab, Asad bin Khuzaimah, dan Kabilah Quraisy.[54]
Sepeninggal Khalifah Umar, perbedaan-perbedaan dalam membaca al-Qur’an inilah yang menyebabkan terjadinya berbagai perdebatan sengit di berbagai daerah yang kemudian disaksikan oleh Huzaifah al Yamani. Bahkan antara satu aliran qira’at dengan aliran qira’at yang lain saling mengkafirkan karena merasa bacaannya yang paling benar. Sepulangnya Huzaifah al Yamani dari perang Armenia dan Azerbaijan, ia menyampaikan apa yang terjadi kepada Khalifah Utsman tentang perbedaan dalam membaca al-Qur’an dan meminta Utsman untuk menyelesaikan permasalahan ini. [55]
Untuk maksud itu, Utsman mengutus orang untuk meminjam mushaf dari Hafshaf dan memerintahkan 4 orang[56], yaitu Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Az-Zubair, Sa’id bin al-‘Ash, dan Abdur Rahman bin al-Harith bin Hisham agar memperbanyak salinan mushaf kemudian mengembalikan mushaf Abu Bakr tersebut kepada Hafshaf. Khalifah Utsman memberitahukan kepada tiga orang yang berasal dari Quraisy : “Kalau kalian tidak setuju dengan Zaid bin Tsabit perihal apa saja mengenai al-Qur’an, tulislah dalam dialek Quraish sebagaimana al-Qur’an telah diturunkan dalam logat mereka.”[57]
Dalam penyusunan naskah al-Qur’an, Abu Ubaid mencatat adanya perbedaan ejaan at-tabuut yang menggunakan “t” terbuka (maftuhah) (التابوت), sedangkan temannya membaca dengan “t” tertutup (marbutoh) (التابوة).[58] Dalam hal ini, Khalifah Utsman memilih bacaan Zaid bin Tsabit karena pada masa Nabi ia adalah penulis wahyu.[59]
Dengan berpedoman pada apa yang digariskan oleh Khalifah Utsman, maka tim yang telah dibentuk berhasil membuat beberapa mushaf. Menurut Sijistani, jumlah mushaf secara keseluruhan adalah 7 buah.[60] Kemudian mushaf-mushaf tersebut dikirim ke Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan satu disimpan di rumah khalifah di Madinah. Bersama pengiriman mushaf keseluruh daerah, Utsman memerintahkan untuk memusnahkan semua shuhuf dan mushaf yang tidak sama dengan mushafnya termasuk mushaf pribadi para sahabat, seperti Mushaf Ibn Mas’ud, Mushaf ‘Aisyah, Mushaf ‘Ali, Mushaf Ubayy bin Ka’ab, Mushaf Salim, Mushaf Abu Huzhayfah, dan lain sebagainya. [61]
Perintah ini mendapat kecaman dan tentangan keras dari para sahabat Nabi terutama yang memiliki mushaf pribadi. Akan tetapi, setelah mengetahui bahwa mushaf tersebut berasal dari Mushaf Abu Bakar yang telah disepakati keorisinalannya oleh para sahabat Nabi, maka Ibnu Mas’ud dan para sahabat lainnya yang memiliki mushaf pribadi sepakat menerima mushaf Utsmani dan memusnahkan mushaf yang mereka miliki.[62]
Untuk mengklarifikasi tindakan Utsman dalam mengumpulkan kembali mushaf, maka Ali bin Abi Thalib berpidato:
Hai manusia, janganlah kalian bersikap keterlaluan tentang pribadi Utsman, dengan mengatakan, bahwa ia adalah pembakar mushaf-mushaf. Demi Allah, Utsman tidak bertindak demikian melainkan dengan persetujuan para sahabat Rasulullah. Ia mengumpulkan kami lalu berkata : Bagaimana pendapat kalian tentang bacaan al-Qur’an yang kini diperselisihkan oleh khalayak, sehingga seorang bertengkar dengan lainnya dan mengklaim bahwa, ‘Bacaanku lebih baik dari bacaanmu.’ Ini dapat mengarah kepada kekufuran. Kami yang hadir masing-masing mengajukan pendapatnya. Kemudian Utsman berkata : ‘Saya ingin menghimpun semua pembaca di bawah satu macam mushaf saja. Sebab jika kini kalian berselisih, orang-orang yang datang kemudian akan lebih parah lagi perselisihannya.’ Mendengar itu, kami berkata : Ini adalah pendapat yang tepat.[63]
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa al-Qur’an yang berada di tangan kita sekarang ini adalah hasil dari pembukuan al-Qur’an pada masa Khalifah Utsman yang dikenal dengan sebutan Mushaf Utsmani yang kemudian mengalami beberapa penyempurnaan tulisan untuk mempermudah para pembacanya.

Kesimpulan
Dari pemaparan mengenai definisi al-Qur’an sampai dengan sejarahnya, dapat diketahui bahwa al-Qur’an adalah wahyu yang berisi firman-firman Allah yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman dan petunjuk hidup umat manusia yang diawali dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas. Berbagai bukti juga secara jelas menyatakan bahwa al-Qur’an benar-benar wahyu Allah, bukanlah karangan Nabi Muhammad atau para sahabatnya. Selain itu, turunnya al-Qur’an sampai al-Qur’an menjadi sebuah mushaf yang utuh melalui 3 masa, yaitu masa Rasulullah SAW, masa Khalifah Abu Bakar As-Shidiq, dan terakhir pada masa Khalifah Utsman bin Affan.

Daftar Rujukan

Baidan, Nashruddin. 2005. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Amal, Taufik Adnan. 2001. Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an. Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama (FkBA).
Al-A’zami. 2005. The History of The Qur’anic Text : From Revelation to Compilation. Jakarta : Gema Insani Press.
Az-Zanjani, Abu Abdullah. 1986. Wawasan Baru : Tarikh Al-Qur’an. Bandung : Mizan.
Al-Abyadi, Ibrahim. 1992. Sejarah AL-Qur’an. Jakarta : PT Rineka Cipta
Mustofa. 1994. Sejarah AL-Qur’an. Surabaya: Al-Ikhlas
Sumbulah, Umi, dkk. 2014. Studi Al-Qur’an dan Hadis. Malang : UIN-Maliki Press.
Nata, Abudin. 1993. Al-Qur’an dan Hadist. Jakarta :Rajawali Pers


Catatan Revisi:
1.      Setelah ditelusuri di Google, tidak ditemukan adanya indikasi copy-paste. Selamat!!!
2.      Pendahuluan sudah bagus, tetapi lebih baiknya perlu diberikan sedikit pengantar mengenai bukti-bukti kewahyuan al-Qur’an.
3.      Dalam pembahasan tentang definisi al-Qur’an, berikan sebuah definisi al-Qur’an dengan memakai bahasa Arab.
4.      Penulis tiga orang atau lebih dalam footnote menggunakan format dkk. Seperti ditulis di daftar rujukan (Umi Sumbullah dkk.).
5.      Penulisan rujukan yang diulang dengan ada jeda footnote yang lain hanya memakai format: nama penulis, judul buku (sebaiknya 3 kata), halaman. Coba lebih diteliti lagi.
6.      Dalam pembahasan bukti-bukti al-Qur’an sebagai wahyu Allah, tolong ditambahkan mengenai kemukjizatan al-Qur’an dari aspek sains sebagaimana yang banyak diwacanakan di UIN Malang.
7.      Untuk kutipan langsung sebanyak lima baris atau lebih ditulis dalam paragraph sendiri dan agak menjorok ke dalam. Misalnya perkataan Ali bin Abi Thalib yang sudah saya benarkan.
8.      Kesimpulan yang ditulis kurang detail, tolong lebih didetailkan.
9.      Daftar Rujukan belum disusun secara alfabetis, tolong dibuat alfabetis. Untuk nama Arab yang ada “al” nya, yang menjadi patokan adalah huruf setelahnya, misalnya Az-Zanjani. Berarti yang menjadi patokan adalah huruf Z bukan huruf A.

Lepas dari masukan-masukan di atas, saya ucapkan selamat karena makalah yang kalian tulis cukup bagus dan tidak ditemukan adanya copy-paste.





[1]Mustofa, Sejarah Al-Qur’an, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1994) h.9
[2]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah, Studi Al-Qur’an dan Hadis, (Malang : UIN-Maliki Press, 2014) h. 5. Dalam buku Sejarah Al-Qur’an yang ditulis oleh Mustofa, berdasarkan pendapat Ahmad Ali, Ahmad Ali Ghanduran Imam Mohammad Abduh, maka wahyu sebagai suatu penetahuan yang didapat dengan cara rahasia dan cepat oleh seseorang (Nabi) dan Rasul di dalam dirinya disertai keyakinan bahwa pengetahuan tersebut dari Allah, baik dengan perantaraan atau tanpa perantaraan.
[3] Qur’an (96 : 1)
[4] Qur’an (73 : 1-4)
[5]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah, Studi Al-Qur’an dan Hadis, (Malang : UIN-Maliki Press, 2014) h. 6
[6]Ibid.
[7]Ibid., h. 7
[8] Qur’an, (6 : 36)
[9]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah, Studi Al-Qur’an dan Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2014) h. 7
[10]Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005) h. 15
[11]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, danNasrullah, Studi Al-Qur’an dan Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2014) h. 9
[12]Abudin Nata, Al-Qur’an dan Hadist, (Jakarta : RajawaliPers, 1993), h. 51
[13]Ibid. h. 52
[14]Ibid. h. 53. isim maf’ul adalah kalimat yang menunjukkan arti orang atau sesuatu yang dikenai pekerjaan (objek)
[15]Mustofa, Sejarah Al-Qur’an, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1994) h.10
[16]Ibid
[17]Abudin Nata, Al-Qur’an dan Hadist, (Jakarta : RajawaliPers, 1993), h. 54
[18]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah, Studi Al-Qur’an dan Hadis, (Malang : UIN-Maliki Press, 2014) h. 11
[19] Qur’an (2 : 1-2)
[20] Qur’an (6 : 114)
[21] Qur’an (25 : 1)
[22] Qur’an (21 : 24)
[23]Mustofa, Sejarah Al-Qur’an, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1994) hlm. 142
[24] Qur’an, (7 : 158)
[25]Mustofa, Sejarah Al-Qur’an, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1994) hlm. 142
[26] Qur’an, (30 : 1-4)
[27]Mustofa, Sejarah Al-Qur’an, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1994) hlm. 143
[28]Ibid.
[29]Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005) h. 44
[30] Al-A’zami, The History of The Qur,anic Text: From Relevation to Compilation,(Jakarta : GemaInsani Press, 2005) h.50
[31] Abu Abdullah Az-Zanjani, Wawasan Baru : Tarikh al-Qur’an,(Bandung : Mizan, 1986)h. 47
[32] Qur’an (96 : 1-5)
[33]Terjadi perbedaan pendapat mengenai urutan-urutan surat yang diturunkan sebelum dan sesudah masa fatratul wahy. Beberapa pendapat mengatakan urutannya adalah Surat al-‘Alaq, al-Muzammil, kemudian al-Mudatsir. Pendapat yang lain mengatakan Surat al-‘Alaq, al-Mudatsir, kemudian al-Muzammil, Selain itu ada yang mengatakan bahwa surat yang turun sebelum fatratul wahy hanya surat al-‘Alaq saja dan setelah fatratul wahy adalah surat al-Mudatsir.
[34]Mustofa, Sejarah Al-Qur’an, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1994) h.69
[35] Al-A’zami, The History of The Qur,anic Text: From Relevation to Compilation,(Jakarta : Gema Insani Press, 2005) h. 48.
Di dalam buku Sejarah  al-Qur’an yang ditulis oleh Mustofa dikatakan bahwa al-Qur’an turun dalam dua masa, yaitu pada masa Rasulullah SAW tinggal di Makkah (sebelum hijrah) selama 12 tahun 5 bulan 13 hari terhitung sejak 17 Ramadhan tahun ke-41 kelahiran Nabi sampai Rabiul-awal tahun ke-54 kelahiran Nabi yang ayat-ayatnya disebut sebagai ayat-ayat Makkiyah. Dan masa kedua adalah ayat-ayat yang turun sesudah hijrahnya Nabi ke Madinah selama 9 tahun 9 bulan 9 hari yang ayat-ayatnya disebut sebagai ayat-ayat Madaniyah.
[36] Ibrahim al Abyadi, Sejarah al-qur’an, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1992) h.52
[37] Qur’an, (17 : 106)
[38]Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, (Yogyakarta : Forum Kajian Budaya dan Agama FkBA, 2001) h.129
[39] Abu Abdullah Az-Zanjani, WawasanBaru : Tarikh al-Qur’an,(Bandung : Mizan, 1986) h. 53
[40]Ibid h.59
[41]Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005) h. 27
[42]Ibid h.28
[43]Ibid h.27
[44]Ibid
[45]Ibid h.30
[46]Ibid h.52
[47]Ibid h.53
[48] Abu Abdullah Az-Zanjani, Wawasan Baru : Tarikh al-Qur’an,(Bandung : Mizan, 1986) h. 85
[49]Ibid h.86
[50]Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta : PustakaPelajar, 2005) h. 55
[51]Ibid
[52]Ibid h.56
[53]Ibid h.59
[54] Ibrahim al Abyadi, Sejarah al-qur’an, (Jakarta : PT RinekaCipta, 1992) h.54
[55]Ibid h.57
[56]Beberapa rujukan mengatakan bahwa Utsman membentuk panitia yang terdiri dari 12 orang untuk mengumpulkan al-Qur’an.
[57] Al-A’zami, The History of The Qur,anic Text: From Relevation to Compilation,(Jakarta : Gema Insani Press, 2005) h. 99
[58]Ibid h.101
[59] Abu Abdullah Az-Zanjani, WawasanBaru : Tarikh al-Qur’an,(Bandung : Mizan, 1986) h.93
[60] Al-Suyuthi menegaskan bahwa yang masyhur Cuma lima buah, sedangkan Abd al-Shabur Syahin sependapat dengan al-Suyuthi. Pendapat lain menyatan bahwa mushaf itu hanya berjumlah empat buah. Pendapat ini didukung oleh Abu ‘Amr al-Dani sebagai mana dikutip al-Zarkasyi dan al-Muqni. Selain itu ada yang berpendapat bahwa jumlah mushaf yang dibuat adalah 8 buah dan ada yang mengatakan 9 buah.
[61]Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta : PustakaPelajar, 2005) h. 64
[62]Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar