Dalam diskursus
studi hadis, muncul dua pandangan terhadap hadis yang saling berbeda satu
dengan lainnya. Dua pandangan tersebut adalah pandangan ahli hadis dan ahli
hukum Islam. Ahli hadis identik dengan orang yang bergelut di bidang hadis dan
aspek-aspek yang terkait dengannya, baik sanad maupun matan. Sementara itu, istilah
ahli hukum Islam menempel pada orang yang memahami dalil-dalil syariat – yang
salah satunya adalah hadis – dengan segala macam perangkat keilmuan yang ada.
Ahli hadis dan
ahli hukum Islam mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam melihat eksistensi
hadis itu sendiri. Jika ahli hadis memandang bahwa hadis merupakan segala macam
tindak-tanduk Rasulullah tanpa terkecuali, baik perkataan, perilaku, ketetapan,
maupun sifat-sifat jasmaniyah dan ruhaniyahnya, akan tetapi bagi ahli hukum
Islam, hadis hanya meliputi perkataan, perbuatan, dan ketetapannya saja.
Perbedaan seperti itu dilatarbelakangi oleh adanya distingsi cara pandang dalam
melihat sosok Rasulullah. Ahli hadis melihat Rasul sebagai suri tauladan (uswatun
hasanah) sehingga menjadi kewajiban untuk menirunya, sedangkan ahli hukum
Islam melihat sosok beliau sebagai salah satu syari – selain Allah – yang memproduksi
hukum-hukum syariat bagi umat Islam.
Para ahli hadis tidak
begitu mendalam dalam memahami berbagai hadis yang ada. Dengan maksud lain, (mohon
maaf) pikiran yang mereka miliki kurang begitu dimaksimalkan dalam proses
pemahaman hadis, sebab ia tidak bergerak bebas sebagaimana mestinya. Tenaga mereka
hanya tercurahkan pada aspek otentisitas dan originalitas hadis semata, apakah
hadis itu berkualitas shahih ataukah dhaif. Jika shahih wajib dipakai sebagai
pedoman, dan apabila dhahif mesti ditolak (meskipun masih ada perdebatan
seputar penggunaan hadis dhaif). Dalam cara berpikir ahli hadis, hadis itu
harus dimaknai apa adanya sesuai dengan apa yang dikatakannya dan tidak boleh
menyelisihinya. Akibatnya, mereka cenderung menjadi tekstual dan beku di kala
berhadapan dengan hadis.
Di sisi lain, ahli
hukum Islam sangat selektif dalam memahami dalil syariat. Kapasitas pikiran
mereka benar-benar dipergunakan dalam melakukan proses interpretasi teks al-Qur’an
maupun hadis. Tidak ada pikiran yang “nganggur” jika memakai pola pikir ahli
hukum Islam. Ia mampu bergerak dinamis mengikuti lajur perkembangan zaman. Oleh
sebab itulah, ilmu ushul fiqih sebagai perangkat metodologis penemuan hukum Islam
disebut sebagai ilmu al-naqliyah al-‘aqliyah, yakni ilmu yang
mengombinasikan antara media teks dan rasio. Dalam ushul fiqih, selain al-Qur’an
dan hadis sebagai sumber hukum, muncul pula ijma, qiyas, istihsan, maslahah, urf,
dan lain sebagainya. Dengan cara berpikir seperti ini, ahli hukum Islam mampu
menempatkan hadis secara kontekstual, bukan sebagai sesuatu yang “taken for
granted.”
Perbedaan pola
berpikir ini, menurut saya, berdampak pada perdebatan di era sekarang antara
sebagian orang yang berpikir secara tekstual dan sebagian lagi yang lebih mengedepankan
pemikiran kontekstual; antara orang yang sering memberikan dikotomi sunnah-bid’ah
dengan orang yang menyodorkan macam-macam hukum dari mulai wajib, sunnah,
mubah, makruh, dan haram; antara orang yang tidak kelihatan memakai ushul fiqih
dalam fatwa-fatwanya dengan orang yang berpikir keras dengan ushul fiqih terkait
dengan fatwa yang dihasilkannya; antara orang yang seringkali mengutip klaim shahih-dhaif
ala Nashiruddin al-Albani dengan orang yang memilih untuk lebih mendalam untuk memahami
hadis dan masih mengakomodir hadis-hadis dhaif. Mafhum kan maksud saya? Hehe..
Lantas sikap yang
proporsional bagaimana? Terkait dengan hal ini, saya suka dengan pendapat Muhammad
al-Ghazali dalam al-Sunnah al-Nabawiyah baina ahl al-fiqh wa ahl al-hadits
yang mengilustrasikan kedua golongan tersebut dengan pembuatan sebuah bangunan.
Ahli hadis diumpamakan sebagai pengumpul bahan bangunan dan ahli fiqih bertugas
sebagai orang yang membangun bengunan tersebut. Dalam sejarahnya, ahli hadis
memang “berpetualang”(rihlah) dalam mencari hadis dari satu regional ke
regional yang lain, sedangkan ahli fiqih lebih concern untuk memahami
dalil agar bisa menggali hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Nah,
kira-kira seperti itu juga sikap yang harus dibangun pada masa sekarang ini.
Jadi, jangan hanya tahunya cuma bid’ah-sunnah, bid’ah-sunnah saja yach... hehe
Allahumma
sholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar