Nahdhotul Ulama (NU) dan Muhammadiyah merupakan representasi
dua organisasi Islam besar yang berhaluan moderat di Indonesia. Meskipun
sama-sama berpaham moderat, namun keduanya acapkali mempunyai jalur pemahaman yang
berbeda satu dengan lainnya. Dampak yang ditimbulkan pun terkadang hanya
berskala “kecil”, seperti NU menganjurkan qunut pada saat shalat subuh,
sedangkan Muhammadiyah meniadakannya. Terkadang pula dampaknya mempunyai skala
yang “besar”, seperti penetapan satu ramadhan dan satu syawal yang berpotensi
terjadi adanya perbedaan.
Secara umum, jika dianalisis lebih mendalam, terdapat
beberapa perbedaan yang mendasar di lingkungan NU dan Muhammadiyah, yang
kemudian berimplikasi pada munculnya jarak antara keduanya. Beberapa perbedaan
di bawah ini merupakan telaah penulis pada fenomena dan pola pikir yang
dimiliki oleh kedua organisasi Islam tersebut.
Pertama, pada
dasarnya NU merupakan bentuk organisasi keagamaan, yang lahir atas pergolakan
paham keagamaan di kalangan umat Islam. Telah lazim diketahui bahwa NU dibentuk
karena munculnya gerakan wahabi, yakni pengikut Muhammad bin Abdul Wahab dari
Nejed. Gerakan wahabi tersebut berhasil mengkudeta daerah Saudi Arabia dari
tangan khilafah Turki Usmani. Gerakan ini banyak membunuh orang yang dipandang
“kafir” dan melarang pemikiran madzhab empat untuk diajarkan di wilayah Hijaz
(Makkah dan Madinah) padahal sebelumnya para ulama dari madzhab empat bebas
memberikan pengajian di daerah Hijaz. Gerakan wahabi juga masuk ke Indonesia. Setelah
melihat adanya “paham berbahaya” wahabi, akhirnya ulama-ulama tradisionalis di
bumi nusantara ini menyikapinya dengan mendirikan organisasi yang bernama Nahdhotul
Ulama. Sukses terbesar organisasi ini adalah batalnya penghancuran makam Nabi Muhammad
saw. yang sebelumnya direncanakan hendak dihancurkan oleh orang-orang wahabi
sebagaimana makam-makam lainnya.
Sementara itu, Muhammadiyah pada dasarnya merupakan
organisasi sosial yang berupaya meningkatkan kemaslahatan hidup umat Islam yang
pada saat itu sedang mengalami penindasan oleh para penjajah. Kelahiran Muhammadiyah
pun banyak dipengaruhi oleh persentuhan dengan konteks imperialisme penjajahan
Belanda. Dengan pola pemikiran sebagai organisasi sosial tersebut, tidak
mengherankan jika Muhammadiyah mendirikan banyak rumah sakit, panti asuhan, sekolah,
dan perguruan-perguruan tinggi yang sangat populer hingga saat ini. Jika
melihat sejarah sosok KH. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah sendiri, ayat
yang diajarkan olehnya secara berulang-ulang adalah surat al-Ma’un yang merupakan
salah satu ayat yang berbicara mengenai hal-hal yang bersifat sosial.
Kedua, Nahdhotul Ulama sangat mengedepankan sisi tasawuf.
Dalam tradisi di kalangan NU, tasawuf merupakan aspek yang sangat ditonjolkan,
dan dimanisfestasikan dengan adanya tarekat-tarekat yang mu’tabarah.
Tarekat-tarekat tersebut merupakan sarana seseorang untuk bisa lebih
mendekatkan diri pada Allah, sekaligus sebagai sarana untuk mencapai hakikat
setelah seseorang telah berputar-putar di wilayah syariat. Dengan pola pikir seperti
ini, Nahdhotul Ulama mempunyai pemikiran-pemikiran yang bercorak mistik,
seperti konsep wali dengan berbagai tingkatannya, dari wali yang “sedikit aneh”
hingga yang “paling aneh” sekalipun, ada pula hubungan langsung antara ulama
yang sudah meninggal dengan ulama yang masih hidup yang dipercayai oleh kalangan
NU. Dengan pola pikir yang simplisitis, epistemologi yang banyak berkembang di
lingkungan Nahdhotul Ulama adalah epistemologi irfani, dengan dzauq, intuisi,
rasa sebagai alatnya.
Sementara itu, di lingkungan Muhammadiyah lebih dikedepankan
sisi rasionalitasnya, Hal-hal yang dianggap oleh kaum Nahdhiyyin sebagai sesuatu
yang dapat diterima eksistensinya, seperti konsep wali dengan berbagai
tingkatannya tidak diamini oleh kalangan Muhammadiyah. Mereka menganggap bahwa fenomena
tersebut dan yang semisal kurang rasional dan cenderung mencampuradukkan ajaran
Islam dengan ajaran di luar Islam. Seharusnya ajaran Islam yang dijalankan oleh
seorang muslim harus murni tanpa disertai dengan hal-hal yang berbau mistik
sebab bisa menyebabkan ia terjatuh pada penyakit TBC (Tahayul, Bid’ah, Churafat).
Dengan demikian, secara simplisitis, epistemologi yang banyak berkembang di
kalangan Muhammadiyah adalah epistemologi burhani, dengan akal sebagai alatnya.
Ketiga, Nahdhotul
Ulama mengedepankan sikap taqlid pada ulama-ulama terdahulu. Mereka menilai
bahwa pemahaman keagamaan yang dimiliki oleh seorang muslim pada zaman sekarang
belum dapat masuk dalam kriteria sebagai seorang mujtahid, sehingga diwajibkan
taqlid pada ulama-ulama pada masa lampau. Sebagaimana maklum dipahami bahwa
untuk mencapai tingkatan mujtahid mutlak seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam
Syafi’i, dan Imam Hanbali ataupun mujtahid madzhab seperti Imam Nawawi dan Imam
Rofi’i, seseorang harus menguasai berbagai perangkat keilmuan, dan hal itu terasa
mustahil untuk bisa dicapai. Tidak ada cara lain untuk bisa sampai pada ajaran
Islam yang benar selain membaca al-Qur’an dan Sunnah dengan kacamata
ulama-ulama terdahulu. Oleh sebab itu, untuk bisa kembali pada al-Qur’an dan Sunnah
(ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah), seseorang harus melalui “guide”
pemahaman yang telah dikonstruksi oleh ulama-ulama yang hidup pada masa lampau
yang tentunya lebih alim dan shalih. Dalam kajian Bahsul Masail dalam tradisi
NU pun, dalam memecahkan masalah, kaum Nahdhiyyin merujuk pada kitab-kitab mu’tabarah
yang diproduksi para ulama terdahulu demi memperoleh pemahaman yang tepat.
Sementara di sisi lain, Muhammadiyah mengembangkan budaya
ijtihad dan meninggalkan taqlid. Dengan pola seperti ini, mereka meninjau
kembali produk-produk keislaman yang telah ada selama ini. Kemudian, produk
yang telah ada itu disinkronkan dengan ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis Nabi
dan dikomparasikan dengan pendapat ulama-ulama yang lain. Dari proses semacam
ini, diharapkan muncul pendapat yang rajih (lebih kuat) dan menjadi pegangan di
kalangan warga Muhammadiyah. Lewat Majelis Tarjih wa Tajdid-nya, Muhammadiyah
berupaya untuk menemukan produk-produk keislaman yang tepat, seperti tidak
adanya qunut pada waktu shalat subuh dan shalat tarawih dan witir yang
berjumlah sebelas rakaat. Dengan demikian, bisa dikatakan Muhammadiyah langsung
kembali pada al-Qur’an dan Sunnah (ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah) dan
setelah itu baru menuju pada para pendapat para ulama. Yang membedakan antara
Nahdhotul Ulama dan Muhammadiyah hanya pada posisi ulama. NU menempatkan ulama
sebelum al-Qur’an dan Sunnah, tetapi Muhammadiyah menempatkan mereka setelah
al-Qur’an dan Sunnah. Hal tersebut memang wajar mengingat bahwa sangat tidak
mungkin seseorang melepaskan keberadaan ulama dalam memahami kajian-kajian
keislaman.
Itulah tiga perbedaan mendasar antara kalangan Nahdhotul
Ulama dan Muhammadiyah. Perbedaan-perbedaan tersebut bukan berarti antara satu
dengan yang lain tidak memiliki hal yang satunya, semisal bukan berarti NU pada
dasarnya merupakan organisasi keagamaan kemudian melupakan sisi sosialnya;
begitu pula Muhammadiyah yang pada dasarnya adalah organisasi sosial kemudian
melupakan sisi keagamaannya. Beberapa perbedaan itu dibuat berdasarkan fokus dan
corak pemikiran mainstrem yang berkembang di masing-masing organisasi, sehingga
perbedaan yang ada mungkin berlaku pada tataran yang general dan bukan
spesifik.
Munculnya perbedaan-perbedaan antara Nahdhotul Ulama dan
Muhammadiyah seperti ditulis di atas seharusnya bukan untuk dipertentangkan
antara satu dengan lainnya, tetapi untuk saling melengkapi. Keberadaan keduanya
penting untuk Indonesia, sebab kedua organisasi tersebut merupakan dua “benteng”
utama yang mempertahankan NKRI dari serangan idiologi-idiologi transnasional
yang ingin mengganti sistem pemerintahan negara. Tanpa adanya NU dan
Muhammadiyah, Indonesia sepertinya akan keropos dan mudah dijatuhkan oleh
pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab.
Allahumma
sholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar