Sudah menjadi sunnatullah bahwa Indonesia
merupakan negara multikultur (banyak budaya) dan bukan monokultur (satu budaya).
Beratus juta manusia mendiami wilayah kepulauan kita ini. Hal ini berimplikasi
munculnya etnis, suku, ras, agama, dan kepercayaan yang bervariasi. Realitas
tersebut di satu sisi memberikan dampak positif bagi negara yang terkenal dengan
sebutan Untaian Zamrud Kaltulistiwa ini. Namun di sisi lain, hal-hal negatif
juga bermunculan dan tidak bisa terelakkan adanya.
Salah satu dampak positif yang timbul dari multikultur
ini adalah budaya, sebagai warisan kekayaan yang tiada duanya menjadi beraneka
ragam. Tentunya hal itu menjadi sesuatu yang patut dibanggakan dan perlu
diapresiasi, sebab jarang terdapat sebuah bangsa di belahan bumi lain yang
mempunyai aneka ragam budaya seperti negeri kita tercinta ini. Akan tetapi,
sisi negatif yang ditimbulkannya juga tidak kalah mencengangkan. Adanya konflik
antar suku maupun antar agama dan disintegrasi menjadi beberapa contohnya. Misalnya
saja terjadinya konflik sampit, poso, sampai isu-isu pembentukan negara Islam
yang marak terjadi pada saat-saat sekarang ini menjadi bukti ketidaksadaran akan
beragamnya suku, budaya, dan agama di Indonesia.
Jika dilihat secara luas, konflik antar suku bukan hanya
terjadi di Indonesia saja. Negara-negara lain yang terdiri atas suku dan agama
yang berbeda-beda juga banyak yang mengalami hal serupa. Sebut saja Afrika
Selatan yang sempat mengalami pergolakan politik warna kulit (apharteid)
antara warga kulit hitam dengan warga kulit putih. Mereka berpandangan bahwa warna
kulit menandakan perbedaan strata masyarakat. Kulit putih dianggap sebagai
kelas atas, sementara kulit hitam dipandang sebagai kelas bawah. Namun, pendiskreditan
semacam ini pun berakhir dengan munculnya sosok Nelson Mandela.
Peristiwa-peristiwa di atas haruslah menjadi sejarah
untuk orientasi ke depan dan bukan hanya menjadi sejarah yang terlupakan. Sisi-sisi
negatif yang ditimbulkan oleh multikultur itulah yang harus diselesaikan,
sehingga tidak menimbulkan penderitaan yang berkepanjangan bagi masyarakat dan
negara. Realitas multikultur bukan untuk digugat dan dibasmi, tetapi yang harus
dilakukan adalah menciptakan sikap yang proporsional terkait dengan munculnya realitas
tersebut. Masyarakat harus disadarkan akan urgennya paham demokrasi, humanisme,
dan pluralisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berkaitan dengan ini, pendidikan menjadi menjadi salah
satu ladang garapan utama dari paham multikulturalisme, yakni paham kesadaran
akan keragaman budaya. Karena tidak dapat disangsikan bahwa pendidikan
menempati posisi penting dalam paradigma bermasyarakat. Setiap pendidikan yang
ada di negeri ini, dari tingkat SD sampai perguruan tinggi mutlak harus menjalankan
pendidikan yang berbasis multikulturalisme. Sehingga dari hal itu, tidak ada
lagi dikotomisasi dan eksklusivitas suku, budaya, agama, dan gender. Tidak
hanya itu saja, kesatuan dan persatuan bangsa pun juga bisa terbangun dengan kokoh.
Menurut James A. Banks, pendidikan multikultural adalah
ide, konsep, atau falsafah sebagai rangkaian sebuah kepercayaan (self of
believe) dan penjelasan yang mengakui serta menilai pentingnya keragaman
budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas
pribadi, kesempatan-kesempatan dari individu, kelompok, maupun Negara.
Berdasarkan definisi di atas, kesadaran akan perbedaan
menjadi point penting dalam pendidikan multikultural. Pendidikan, sebagai sarana
utama pengembangan potensi sumber daya manusia tidak boleh membeda-bedakan satu
sama lain. Baik siswa, mahasiwa, guru, maupun dosen haruslah memiliki sikap keberagaman
(plurality), kesetaraan (equality), kemanusiaan (humanity),
keadilan (justice), dan nilai-nilai demokrasi (democration values).
Beberapa aspek itulah yang menjadi prinsip-prinsip yang dipegang dalam
mutikulturalisme pendidikan.
Pesantren dan
Sistem Pendidikan Berbasis Multikulturalisme
Pondok pesantren
merupakan sistem pendidikan Islam tertua di Indonesia. Eksistensinya sudah ada
sekitar lima ratus tahun silam. Berbagai macam tingkatan masyarakat berbaur
menjadi satu di dalamnya. Dari mulai kaum jelata sampai priyayi menimba ilmu di
sana. Mereka berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain dengan tidak
membeda-bedakan status sosial. Tidak ada rasa egoisme maupun dikotomisasi yang
diakibatkan perbedaan derajat masing-masing individu.
Sistem edukasi di pondok pesantren
berorientasi pada pemahaman kitab kuning (turats), sekaligus mencetak
kader-kader ulama yang siap melayani umat di masa depan. Dari hal tersebut,
diharapkan muncul pemimpin-pemimpin masyarakat yang berkapabilitas untuk
membina dan mengarahkan umat ke arah kebaikan. Di samping itu, membangun sisi
rohani (tasawuf) juga menempati porsi utama dalam pengajaran pondok pesantren.
Secara teoritis memang multikuturalisme pendidikan
berasal dari diskursus keilmuan Barat. Namun, jika ditelaah lebih dalam lagi,
maka sebenarnya prinsip-prinsip teori tersebut sudah diaplikasikan oleh pesantren
dalam aktivitas pendidikan kesehariannya. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa sistem
pendidikan maupun kegiatan pengajaran di pesantren sebagai berikut:
Pertama, Tidak ada dikotomisasi antara
si kaya dan si miskin. Dalam tradisi pesantren, baik santri dari kalangan
rakyat jelata maupun ningrat tinggal di satu atap yang sama. Mereka berkumpul,
belajar, dan tidur dalam ruang kamar yang sudah disediakan sebelumnya. Begitu
pula dalam proses belajar-mengajar, semua santri diperlakukan sama tanpa
melihat status sosial.
Kedua, Tidak ada eksklusivitas suku
dan budaya di Pesantren. Santri yang mondok (baca: belajar) di pesantren
bukan hanya berasal dari satu daerah saja. Akan tetapi terkadang berasal dari
berbagai wilayah geografis di Indonesia. Sebut saja misalnya pesantren al-Munawwir,
Ali Maksum, maupun al-Muhsin di Krapyak Yogyakarta yang memiliki santri dari
berbagai macam daerah di Indonesia. Semua santri diperlakukan secara equal
(setara). Baik santri yang berasal dari daerah setempat maupun daerah
pendatang, sama-sama memiliki kesempatan untuk maju dan mengembangkan
kreatifitas serta keilmuan yang dimilikinya.
Ketiga, Mengajarkan paham tasamuh (toleransi), tawasuth
(moderat), tawazun (seimbang), dan i’tidal (tegak lurus). Dalam
pendidikan ala pesantren, paham-paham moderasi tersebut selalu didengungkan
bagi setiap santri. Sehingga diharapkan dari sini akan muncul kader-kader yang
moderat, adil, dan bisa menerima pluralitas dengan lapang dada.
Keempat, Mengajarkan sikap bertoleransi antar umat beragama.
Pesantren adalah institusi pendidikan Islam. Oleh karenanya tidak mungkin
mempunyai santri dari kalangan non-muslim. Lantas, bagaimanakah cara pesantren
bersikap dan berinteraksi dengan golongan non-muslim, terutama dalam konteks
keindonesiaan? Menyikapi hal ini, pesantren selalu menyuarakan ayat “Laa
ikraaha fi al-Diin” (Tidak ada paksaan dalam hal beragama). Ini menunjukkan
adanya kepedulian pesantren terhadap saudara sebangsa dan setanah air dari
kalangan selain Islam. Berbeda keyakinan adalah realitas empiris yang tidak
bisa ditutupi, tetapi bukan karena hal itu kemudian menyebabkan pendiskreditan dan
permusuhan terhadap agama lain. Dalam struktur pemikiran di pesantren, ukhuwah
(persaudaraan) terbagi menjadi tiga, yaitu ukhuwah islamiyah (sesama
umat Islam), ukhuwah wathaniyah (sesama warga negara), dan ukhuwah
basyariyah (sesama keturunan Nabi Adam). Ketiga jenis persaudaraan inilah
yang menjadikan pesantren tidak mudah mempermasalahkan perbedaan agama yang ada
di Indonesia.
Kelima, Menanamkan rasa cinta tanah air. Mengenai hal ini,
dalam studi di pesantren terdapat jargon – dengan tidak mengatakan hadis – “Hubbu al-Wathan min al-Iman” (mencintai
tanah air adalah sebagian dari iman). Implikasinya, apabila seseorang tidak mencintai
tanah airnya, maka ia tidak dianggap beriman. Tentunya jargon tersebut mempunyai
dampak serius bagi pluralitas di Indonesia. Karena dengan adanya pengajaran
pesantren seperti itu, maka secara implisit, pesantren menyuarakan untuk selalu
menerima kondisi bangsa dan negara kita apa adanya, yang memang terdiri atas
beragam suku, budaya dan agama.
Keenam, Pemberian kesempatan pada perempuan untuk mengembangkan
daya intelektualitasnya setara dengan laki-laki. Memang tidak dapat dipungkiri
bahwa pada era dahulu, perempuan dianggap tidak sebanding dengan laki-laki. Perempuan
hanya dianggap memiliki tiga “tempat bekerja”, yaitu sumur, dapur, dan kasur. Namun,
seiring dengan berjalannya waktu, pandangan-pandangan semacam ini pun kian pudar.
Sekarang, banyak pesantren yang mulai berbenah dengan problem gender ini. Santri
perempuan kini banyak mendapatkan kesempatan-kesempatan sebagaimana yang
diperoleh santri laki-laki.
Beberapa sistem
pendidikan pesantren di atas itulah yang menjadi landasan bahwa pada hakikatnya
pesantren sudah mengaktualisasikan prinsip-prinsip multikulturalisme dalam
sistem pendidikannya. Disadari atau tidak, pesantren yang termasuk pendidikan rakyat
sebenarnya sudah mengajarkan sikap keberagaman, kesetaraan, kemanusiaan,
keadilan, dan nilai-nilai demokrasi.
Sikap seperti ini
haruslah lebih ditingkatkan kembali dengan cara mengintegrasikan teori-teori multikulturalisme
yang sudah mapan dalam studi di pesantren. Sehingga pendidikan ala pesantren
yang sebenarnya sudah menerapkan prinsip-prinsip multikulturalisme tersebut
dapat menjadi lebih humanis, plural, dan demokratis lagi. Dari hal tersebut, diharapkan
pesantren akan mencetak santri yang bukan hanya berwawasan islami saja, tetapi juga berparadigma multikultural
dan global. Proses ini menjadi penting agar dapat memberikan kontribusi yang
maksimal untuk persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Wallahu a’lam bi
al-Shawab.
Allahumma sholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad
NB:
Tulisan sangat ringan ini hanyalah re-post dengan sedikit
penambahan, sebab tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah Sarung edisi II,
Januari 2012 dengan judul “Pesantren
dan Pendidikan Multikultural: Sebuah Kontribusi Pendidikan Rakyat Untuk
Persatuan Bangsa.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar