Problem rokok sempat menggurita beberapa tahun yang lalu. Majelis
Ulama Indonesia (MUI) sebagai organisasi yang menaungi ulama-ulama di seluruh
tanah air mengeluarkan fatwa mengenai haramnya rokok. Hal yang sama dilakukan
oleh Muhammadiyah, organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, melalui
Majelis Tarjih dan Tajdidnya memformulasikan fatwa tentang keharaman rokok.
Fatwa ini sempat mengundang pro dan kontra mengingat rokok menjadi konsumsi “wajib”
bagi sebagian orang, bahkan keberadaannya pun sangat penting dalam kehidupan
mereka terlebih saat usai menyantap makanan (nggak ada rokok jadi garing
katanya hehe).
Sebagian dari masyarakat kita terbiasa menghisap rokok dan
menikmati setiap kepulan asap yang dikeluarkan. Tanpa adanya rokok, hidup mereka
terasa hampa dan kurang memiliki gairah. Terkadang pula bagi sebagian
masyarakat kita ini, hanya rokok dengan merek tertentulah yang mengikat di
hati. Bila disuguhi dengan rokok dengan merek yang lain terasa kurang “ngeh”,
di lidah terasa hambar (hehe). Lantas yang menjadi pertanyaan besar adalah,
mengapa mereka bisa begitu enaknya menikmati rokok? Apakah mereka tidak
mengindahkan fatwa MUI dan Muhammadiyah? Apakah mereka memiliki pendapat sendiri
bahwa rokok itu tidak menjadi masalah dari sisi hukum? Kira-kira apa hujjah
yang digunakan oleh mereka dalam aktivitas merokoknya?
Memang disadari bahwa sejak dahulu kala, rokok (al-dukhaan)
- sebagaimana kopi (al-qahwah) - mengundang perdebatan sengit di antara
para ulama. Mereka tidak berada dalam satu paham terkait dengan status hukum
rokok. Terdapat sebagian ulama yang menyatakan keharaman rokok, sedangkan
sebagian yang lain tidak mempermasalahkannya. Secara simplisistis, argumentasi
yang dikemukakan oleh ulama-ulama yang mengharamkan rokok adalah karena rokok
mengandung bahaya (madharat) bagi kesehatan tubuh manusia, dan banyak ayat
al-Qur’an maupun hadis Nabi yang secara eksplisit menyatakan pelarangan hal-hal
yang membahayakan tubuh (saya kira tidak perlu dicantumkan karena sudah menjadi
aksioma, cari sendirilah hehe). Bahkan, muncul sebuah kata-kata yang sangat keras
mengecam eksistensi para perokok dari Sayyid al-Husain bin Abi Bakr, salah
seorang sufi “Barangsiapa yang tidak mau bertaubat dari merokok dalam waktu
empat puluh hari sebelum matinya, dikhawatirkan dia akan mati dalam keadaan su’ul
khotimah.” (Wah, luar biasa kan bahayanya dulur? Selain timbul bahaya di dunia,
bahaya di akhirat pun ada)
Secara lebih luasnya, ada beberapa tinjauan dari ulama-ulama
yang kontra rokok, sehingga ia lebih layak dihukumi haram. Pertama, rokok
dapat membahayakan kesehatan, dan sesuatu yang membahayakan kesehatan dihukumi
haram. Hal ini disepakai oleh seluruh ulama. Kedua, rokok termasuk
barang yang bisa memabukkan atau melemahkan badan, dan secara syar’i tidak
diperbolehkan. Ketiga, bau rokok sangat tidak disenangi (bau), sehingga
bisa menyakitkan hati orang yang tidak merokok. Keempat, merokok adalah
suatu pemborosan dan cerminan sikap berlebih-lebihan. Kira-kira inilah beberapa
tinjauan dari ulama-ulama yang mengharamkan rokok, yang kemudian berimplikasi
pada keharamannya.
Meskipun demikian, terdapat pula beberapa ulama yang mengkritisi
status haramnya rokok yang disematkan oleh sebagian ulama. Bagi ulama-ulama
ini, rokok tidak pantas dihukumi sebagai barang haram. Menurut pendapat kedua ini,
dinyatakan bahwa rokok sejatinya merupakan barang yang halal atau mubah. Namun
yang membuat rokok menjadi haram, bukan karena rokoknya itu sendiri, tetapi
karena ada faktor luar yang mempengaruhi atau merubah hukum halal atau
mubah itu. Faktor luar yang dimaksud di sini adalah bahaya yang ditimbulkan
dari rokok (kembali ke bahaya lagi hehe). Pendapat ini lebih jeli dengan tidak gegabah
menyematkan bahaya pada rokok secara langsung tetapi dengan membuat dikotomi
antara “rokok” dan “bahaya.” Secara subtansial, “rokok” sebagai sebuah entitas
berlainan dengan “bahaya” sebagai entitas lainnya. Dengan demikian, hukum rokok
pun menjadi relatif, tergantung pada orang yang menghisapnya. Ketika dengan
merokok bisa menyebabkan bahaya bagi dirinya maka dihukumi haram, tetapi apabila
tidak berbahaya maka dihukumi mubah.
Adanya pendapat bahwa merokok menimbulkan rasa mabuk sebenarnya
hanya sangkaan belaka. Disadari bahwa orang yang pertama kali belajar merokok terutama
apabila nyedotnya keras memang merasakan pusing, tetapi hal itu tidak
dapat dianggap menghilangkan kesadaran. Jikalau perasaan pusing dipandang
menghilangkan akal dan kesadaran, maka hal itu tidak dapat dipahami sebagai
memabukkan, sebab rokok tidak menyebabkan perasaan bergairah dan gembira (bahasa
kerennya fly) sebagaimana mengkonsumsi narkoba misalnya. Bahkan, rokok ternyata
menyimpan beberapa manfaat seperti mengobati beberapa macam penyakit (misalnya
menghilangkan serak), membantu memperoleh kefasihan lidah, dan membangkitkan
semangat dari kelesuhan.
Sebenarnya terdapat beberapa hadis yang mengharamkan rokok
dan dipakai oleh orang yang kontra rokok, seperti hadis “Sahabat Hudzaifah
berkata: Aku pernah keluar bersama Rasulullah saw. Ketika kami melihat sebuah
tumbuhan, tiba-tiba Rasulullah menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku pun bertanya,
mengapa engkau menggeleng-gelengkan kepalamu wahai Rasul? Beliau menjawab: pada
akhir zaman nanti, akan ada orang yang menghisap daun-daun tumbuhan ini. Lalu
mereka shalat setelahnya dalam keadaan mabuk. Orang-orang seperti mereka
berlepas dari diriku dan Allah pun berlepas diri dari mereka”; Diriwayatkan
dari Sahabat Ali bin Abi Thalib “Nabi bersabda: Barangsiapa menghisap daun-daun
tersebut, maka ia akan masuk neraka selama-lamanya dan iblis akan menjadi
temannya. Oleh karena itu, janganlah engkau berangkulan dengan penghisap rokok,
jangan engkau bersalaman dengannya, dan jangan pula engkau mengucapkan salam
untuknya, sebab dia bukan lagi umatku”; Ada pula riwayat “Mereka adalah
golongan kiri (ashhaab al-Syimaal), yakni golongan para penghisap pohon
tercela (pohon al-Asqiya).”
Hadis-hadis di atas merupakan hadis yang bathil, tidak sah
di mata para ulama dunia. Hadis-hadis itu tidak memiliki sandaran yang jelas. Syaikh
Ali al-Ajhuri pun sampai berkata “klaim bahwa hadis-hadis tentang rokok ini
datang dari Rasulullah adalah sebuah dusta yang mengada-ada.” Ada pula al-Rabi’
bin Husyaim berkata “Hadis selalu terang sebagaimana benderangnya siang,
sementara selain hadis akan tampak kelam seperti gelapnya malam.” Dengan
demikian, hadis-hadis yang berbicara mengenai keharaman rokok seperti
disebutkan sebelumnya tidak dapat dipakai sebagai dalil pijakan pengharaman
rokok. Artinya, memang tidak ditemukan dalil yang jelas, baik dari al-Qur’an
maupun hadis Nabi yang berbicara mengenai rokok.
Dari pemaparan pendapat kedua di atas, dapat disimpulkan
bahwa terdapat dua prasyarat pengharaman rokok, yaitu adanya madharat dan
kehilangan kesadaran. Jika merokok tidak menimbulkan dua efek tersebut, maka merokok
tidaklah haram. Syaikh al-Ajhuri berkata “Menghisap rokok hukumnya halal.
Dengan syarat, rokok tersebut tidak tidak membuat si perokok kehilangan
kesadaran dan tidak pula membuat tubuhnya tertimpa suatu madharat tertentu.” (sekarang
jadi mubah kan? hehe)
Di samping dua pendapat di atas, muncul pula pendapat ketiga
yang berusaha menengahi dua kubu yang bertolak belakang, Menurut pendapat ketiga
ini, hukum rokok tidaklah haram dan tidak pula mubah, tetapi makruh. Pendapat
ini dipandang mu’tamad (layak menjadi pegangan) oleh Syaikh Ihsan
Jampes. Banyak ulama yang berpendapat seperti ini. Imam al-Bajuri berkata “Pendapat
ini (bahwa rokok hukumnya haram) adalah pendapat yang lemah. Demikian pula
pendapat yang menyatakan bahwa merokok hukumnya mubah (boleh). Pendapat yang mu’tamad
adalah makruh. Namun demikian, hukum rokok dapat berubah menjadi wajib,
misalnya ketika seseorang mengetahui bahwa jika ia meninggalkan rokok dia akan
mendapatkan madharat. Terkadang pula hukum makruh itu dapat berubah menjadi
haram, misalnya ketika seseorang membeli rokok dengan uang yang seharusnya dia
gunakan untuk menafkahi keluarganya dan dia tahu bahwa dengan menggunakan uang
itu untuk membeli rokok, keadaan keluarganya dalam bahaya.”
Dari seluruh pemikiran yang diuraikan dalam banyak paragraf
di atas, secara mudahnya diketahui bahwa ada tiga pendapat terkait dengan hukum
rokok, yaitu pendapat yang mengatakan rokok itu haram, pendapat yang menyatakan
rokok itu mubah, dan pendapat yang berpandangan bahwa rokok itu makruh. Dalam
konteks ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, dan beberapa organisasi
yang berafiliasi pada gerakan Salafi memilih pendapat yang pertama (hukum rokok
haram).
Sementara itu, Nahdhotul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam
terbesar di Indonesia terlihat masih memperinci hukumnya menjadi tiga
sebagaimana yang terjadi dalam pendebatan fiqih. Pertama; hukum merokok adalah mubah
atau boleh karena rokok dipandang tidak membawa madharat. Secara tegas dapat
dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan. Kedua;
hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa madharat relatif kecil yang
tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram. Ketiga; hukum
merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak madharat.
Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat
menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung
dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya (www.nu.org.id)
Sekarang tinggal pendapat mana yang Anda pilih? Apakah
pendapat pertama (haram), pendapat kedua (mubah), atau pendapat ketiga
(makruh)? Ya itu terserah keyakinan Anda mau pilih yang mana (saya sendiri
bukanlah ahli hisab hehe). Dalam masalah rokok, sebelum berpendapat, seyogyanya
seseorang lebih baiknya menengok bagaimana perdebatan fiqhiyyah perihal rokok
yang terjadi di masa lampau biar tidak ramai sendiri, dan merasa diri sebagai orang
yang paling benar. Saya pada dasarnya memang orang yang berpandangan bahwa
rokok sebaiknya dijauhi, sehingga hukumnya makruh saja. Namun, saya tidak
meniscayakan adanya beberapa pendapat lainnya terkait status hukum rokok. Masing-masing
pendapat jika dipahami mempunyai argumentasi sendiri-sendiri dan tidak perlu
mengolok-olok karena berbeda pandangan. Hal yang penting adalah, antara satu
dengan yang hidup rukun dan tidak saling bertikai kan sudah terlihat manis
(hehe). Bagi yang merokok sadar diri kapan dan dimana Anda tidak menyalakan rokok,
patuhilah peraturan yang ada dan lihat orang di sekeliling Anda. Sedangkan bagi
yang tidak merokok diharapkan tidak mengganggu para perokok, dengan menampar wajah
misalnya hingga rokok yang menyala kena mulutnya (haha). Wallahu a’lam.
Allahumma sholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad
NB: Tulisan ini terinspirasi oleh buku Kitab Kopi dan
Rokok (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010) yang merupakan terjemahan dari kitab
Irsyaad al-Ikhwaan fii Bayaan al-Hukm al-Qahwah wa al-Dukhaan karangan
Syaikh Ihsan Jampes, seorang Ulama Nusantara yang lahir pada 1901 dan wafat
pada tahun 1952. Beberapa data dalam tulisan ringan ini pun merujuk pada buku
ini tanpa mencantumkan referensi secara jelas. Semoga Syaikh Ihsan Jampes
diberikan balasan pahala jariyah atas ilmu yang diberikan pada kita semua.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar