Tersebutlah
sebuah ayat yang sangat popular dan barangkali setiap dari kita telah hafal di
luar kepala meskipun tidak diniati untuk menghafalkannya. Ayat tersebut adalah
QS. al-Dzariyat [51]: 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ
وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku (Allah) ciptakan jin dan manusia kecuali untuk
menyembahKu”
Bagi kita yang
berpikirnya serba sederhana ini, makna ayat di atas terasa jelas sekali, bahwa
tujuan Allah menciptakan jin dan manusia adalah untuk menyembah pada-Nya.
Artinya, kita sebagai manusia yang hidup di atas muka bumi ini diwajibkan untuk
selalu beribadah dan taat pada Allah swt. Nuansa normatifnya terasa gamblang
agar ibadah kepada Sang Pencipta menjadi rutinitas yang harus dilakukan oleh
manusia setiap saat. Eksistensi manusia adalah sebagai hamba dan Allah sebagai
Tuhan yang telah menciptakan hamba.
Namun bila sedikit
nakal, mungkin timbul pertanyaan, mengapa dalam ayat tersebut tidak ditemukan kata
malaikat. Apakah malaikat diciptakan tidak untuk menyembah pada-Nya? Apakah
hanya jin dan manusia saja seperti pesan secara tekstual ayat tersebut? Padahal
dalam berbagai ayat lainnya, Allah secara jelas telah menyebut banyak
keistimewaan malaikat dan secara eksplisit mengatakan keberadaan mereka sebagai
hamba seperti QS. al-Anbiya’: 26 “Bal ‘ibaadun mukramuun” (Sebenarnya
malaikat-malaikat itu adalah hamba-hamba yang dimuliakan) dan para malaikat selalu
beribadah pada Allah seperti QS. al-A’raf: 206 “laa yastakbiruuna ‘an
‘ibaadatihi” (para malaikat tidak merasa enggan untuk menyembah Allah).
Lantas, yang
menjadi pertanyaan besar adalah mengapa eksistensi malaikat tidak disebutkan
dalam QS. al-Dzariyat ayat 56? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu untuk
menelisik bagaimana jawaban dari ahli tafsir terkait adanya ganjalan dalam
pikiran tersebut. Berikut beberapa jawaban yang bisa diketengahkan berbekal eksplorasi
dari kitab tafsir Mafatih al-Ghaib karya seorang pemikir besar abad
pertengahan, Fakhruddin al-Razi:
Pertama, ayat-ayat yang ada sebelumnya berbicara
mengenai kekafiran, sehingga korelasi yang dibangun oleh ayat ini dengan
ayat-ayat sebelumnya adalah keburukan yang diakibatkan perilaku kekafiran
karena meninggalkan tujuan diciptakannya hamba. Jika dipahami, jin dan manusia
merupakan dua makhluk yang melakukan perilaku yang buruk ini dan bukannya
malaikat. Oleh sebab itulah, dalam ayat ini hanya jin dan manusia saja yang
eksis dan tidak disebutkan kata malaikat. Secara kuantitas, perilaku kafir dari
kalangan jin lebih banyak dibandingkan dengan manusia, dan hal tersebut berimplikasi
pada kata jin dalam ayat ini lebih didahulukan daripada manusia.
Kedua, selain manusia, Nabi juga diutus untuk bangsa
jin. Ayat popular ini mengingatkan pada bangsa jin tersebut mengenai keberadaan
dari makhluk (ciptaan) adalah untuk beribadah pada Sang Pencipta. Nabi Muhammad
sebagai pembawa risalah ketuhanan pun mengkhususkan hal ini pada makhluk-makhluk
yang memang menjadi umatnya, baik dari kalangan bangsa jin maupun manusia.
Dengan demikian, ayat ini terkait dengan dua golongan audiens yang menjadi umat
Nabi Muhammad saw., yakni jin dan manusia, sehingga di dalamnya tidak mencantumkan
kata malaikat.
Ketiga, para penyembah berhala lebih memilih untuk
menyembah malaikat daripada menyembah Allah. Mereka merasa bahwa tidak pantas
rasanya apabila harus menyembah Allah secara langsung, sehingga mereka pun
menyembah malaikat yang notabebenya diciptakan dan dijadikan untuk dekat
dengan-Nya. Bagi para penyembah berhala ini, malaikat menyembah Allah dan dijadikan
untuk beribadah kepada-Nya. Maka dari ini, penyembahan pada malaikat pun
dilakukan dengan asumsi bahwa mereka sama seperti beribadah kepada Allah. QS.
al-Dzariyat ayat 56 pun turun untuk membantah perilaku menyimpang ini. Ayat ini menegaskan bahwa pengetahuan adanya malaikat
yang menyembah Allah adalah benar adanya, tetapi perilaku penyembahan terhadap malaikat
merupakan hal yang terlarang. Seharusnya hanya kepada Allahlah penyembahan itu
dilakukan. Karena faktor inilah perintah malaikat untuk beribadah pada Allah tidak
tercakup dalam ayat ini, sebab telah diketahui dalam pengetahuan yang tertanam
dalam benak para penyembah berhala sebelumnya dan tidak termasuk pengetahuan
yang perlu disanggah. Dengan demikian, maka kata malaikat pun tidak muncul
dalam ayat yang popular ini.
Keempat, dalam kata jin tercakup juga kata malaikat,
sebab jin termasuk makhluk yang tertutup atau tidak terlihat oleh makhluk. Karakter
ini serupa dengan karakter yang menempel pada malaikat. Terkait dengan hal ini,
dalam ayat ke 56 dari surat al-Dzariyat, kata jin lebih didahulukan daripada
manusia dikarenakan masuknya malaikat dalam kata jin tersebut, yang mereka
termasuk makhluk yang lebih banyak ibadah dan lebih ikhlas. Jadi, tidak
disebutkannya kata malaikat dalam ayat ini bukan berarti mereka tidak ada. Mereka
memang tidak ada secara eksplisit, tetapi secara implisit mereka ada lewat kata
jin.
Kelima, dalam al-Qur’an, kata “khalq” mempunyai
relasi langsung dengan penuturan masa dan anggota badan seperti Allah
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa (al-Furqan: 59) dan Allah menciptakan
dengan “kedua tangan-Nya” (Shad: 75), sedangkan kata “amr” tidak
terdapat hal-hal yang seperti disematkan pada kata khalq. Bahkan dalam QS.
al-A’raf: 54 ditegaskan bahwa keduanya merupakan dua entitas yang berbeda “alaa
lahu al-khalq wa al-amr.” Malaikat bisa dikatakan seperti ruh yang termasuk
“alam amr” (qul al-ruuhu min amri rabbii, QS. al-Isra: 85) yang tidak
memerlukan berlalunya masa. Dalam al-Dzariyat: 56 disebutkan dengan kata “wa
maa kholaqtu” yang berarti hanya mencakup “alam khalq” semata
sehingga malaikat tidak masuk di dalamnya. Namun, pendapat ini dianggap batil
oleh Fakhruddin al-Razi, karena semua hal yang eksis nyata diciptakan oleh
Allah swt tanpa terkecuali (QS. Ghafir: 69). Alam sendiri merupakan
sesuatu yang ada selain Allah, yang biasa disebutkan dengan “kullu maa siwa
Allahi ‘aalam” (segala sesuatu yang ada selain Allah disebut sebagai alam).
Itulah lima
jawaban yang dapat ditawarkan untuk menjawab pertanyaan mengapa dalam ayat yang
popular itu tidak disebutkan kata malaikat juga. Jawaban-jawaban yang muncul
berasal dari kitab tafsir Mafatih al-Ghaib yang terkenal sebagai kitab
tafsir dengan corak bil ra’yi, yakni corak tafsir yang mengedepankan akal
pikiran mufassir. Hal yang diharapkan bukan hanya ditemukannya jawaban,
melainkan juga terpuaskannya akal pikiran seseorang dalam memahami
jawaban-jawaban yang disampaikan. Itulah yang menjadi salah satu kelebihan
tafsir bil ra’yi.
Allahumma
sholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar