Guru merupakan sosok yang mendidik manusia agar menjadi pribadi
yang lebih baik dari sisi intelektual maupun spiritual. Tanpa adanya guru,
kehidupan manusia tidak akan pernah bisa berkembang, dan transfer keilmuan
tidak akan pernah terjadi. Kaitannya dengan ini, guru hendaknya dipahami bukan
hanya dalam wilayah formal saja seperti di sekolah-sekolah, tetapi juga dalam wilayah-wilayah
informal sehingga cakupannya luas. Eksistensi guru sangat urgen dalam proses
pembelajaran yang dilakukan. Bahkan, sahabat Ali bin Abi Thalib, sebagaimana
dilansir oleh Burhanuddin al-Zarnuji dalam kitab Ta’lim Muta’allim, pernah
mencantumkan statemen yang luar biasa dan barangkali cukup kontroversial bila
dipandang secara sempit bahwa beliau (sahabat Ali) merupakan budak orang yang
pernah mengajarinya meskipun hanya satu huruf saja. Dalam konteks ini, orang
yang mengajarinya tersebut dapat berbuat apapun sesuka hatinya kepada sahabat
Ali bin Abi Thalib, baik menjual, memerdekakan, maupun juga tetap menjadikannya
sebagai budak. Inilah yang mendasari sikap seorang murid yang benar-benar patuh
pada guru yang telah mengajarinya, sebab diyakini bahwa guru tidak mungkin
menggelincirkan murid dalam kehancuran.
Dalam tataran realitas, guru akan menegur muridnya yang
melakukan kesalahan atau berada dalam rambu-rambu yang menurutnya kurang tepat.
Apabila terdapat kesalahan, maka guru akan membenarkan dan memberinya saran apa
saja yang seyogyanya dilakukan. Dengan penuh kasih sayang, ia mengingatkan
murid-muridnya akan jalan yang “lurus” dalam sebuah kehidupan. Namun sebelum mengingatkan
anak-anak didiknya, ia terlebih dahulu memberikan contoh suri tauladan terkait
apa yang hendak disampaikannya, paling tidak hal ini tergambarkan seperti kepanjangan
dari kata guru yang sangat populer di masyarakat, yakni diGUgu dan ditiRU (walaupun tidak semua seperti itu).
Para guru lebih banyak bergerak pada aspek normativitas,
sehingga gaya berpikir yang terlalu mendalam atau njelimet pun agaknya
ditinggalkan. Hal-hal yang dianggap tidak berguna – meskipun bagi orang lain
berguna – dan sepertinya hanya menghabiskan waktu diacuhkan begitu saja,
terlebih lagi pada hal-hal yang berpotensi “menggoyang” pemikiran anak-anak
didikannya. Bagi para guru, aspek yang paling penting dalam kehidupan adalah
bagaimana berbagai ilmu yang disampaikan bisa diserap dengan mudah oleh para
murid, juga anak didik bisa mengamalkan kebaikan-kebaikan dalam hidupnya
sehingga hidup mereka menjadi kehidupan yang berkah dan juga selamat di dunia
dan akhirat. Pengetahuan yang ditransfer pada murid pun bukan pengetahuan yang membuat
“aneh” lingkungan sekitar, tetapi pengetahuan yang sudah sesuai dengan
mainstream yang berkembang.
Di sisi yang lain, muncul pemikir yang merupakan sosok
dengan kemampuan nalar tinggi. Mereka menggunakan potensi akal pikiran dengan
cukup radikal, mirip seperti kalangan Mu’tazilah atau filosuf muslim dalam
khazanah ilmu-ilmu keislaman. Hal-hal yang tidak terpikirkan dan tidak dipikirkan
oleh orang pada umumnya dibahas oleh mereka secara menyeluruh. Bagi mereka, manusia
diberikan akal oleh Allah, dan sudah sewajarnya dipergunakan secara maksimal
oleh manusia untuk berpikir, memikirkan segala hal yang ada tanpa terkecuali.
Dalam banyak ayat, Allah pun telah secara eksplisit memerintahkan manusia untuk
berpikir dengan segala macam redaksi yang sangat popular, baik “afalaa
ta’qiluun”, “afalaa tatafakkaruun” maupun kata-kata lainnya.
Produk pemikiran yang dihasilkan oleh seorang pemikir pun
terkadang bertabrakan atau berseberangan dengan apa yang telah diyakini oleh
masyarakat pada umumnya. Mainstream yang telah tertanam dalam pengetahuan yang
mengkristal di masyarakat agaknya digoyang-goyang oleh produk pemikiran yang
dihasilkan. Masyarakat meyakini kasus A harus “begini” misalnya, namun bagi si
pemikir malah berkata harus “begitu.” Cara berpkir yang berbeda menyebabkan
adanya perbedaan dalam pengetahuan yang dihasilkan. Satunya memakai pola pikir
standart, tetapi yang satunya menggunakan pola pikir yang njelimet. Jika coba
disatukan, maka tidak akan bisa bertemu kecuali orang yang berpikir standart
bekerja keras memahami jalan pikiran orang yang berpikir njelimet.
Dalam melihat sesuatu, pemikir lebih cenderung melihat
sesuatu itu dari sisi historisitasnya dan bukan normativitasnya belaka. Historisitas
menentukan wujud realisasi di lapangan, sehingga tinjauan pada historisitas
menempati posisi yang sangat urgen. Tidak hanya itu saja, setelah melihat aspek
historisitasnya, para pemikir juga mulai mengkajinya dalam berbegai perspektif yang
ada dan dengan jalan berpikir yang mendalam. Bisa juga, tatkala muncul hal-hal
yang “salah” dalam kacamata umum, maka tidak langsung disalahkan oleh pemikir.
Mereka harus berpikir terlebih dahulu, apakah memang perbuatan itu benar-benar salah
atau hanya karena memang akal si pemikir tidak mampu memahami jalan pikiran
orang tersebut. Di sinilah barangkali muncul hal-hal yang tidak terpikirkan dan
dipikirkan oleh masyarakat, dan ternyata dihasilkan oleh jalan pemikiran para
pemikir.
Itulah kiranya telaah singkat dan mungkin agak subjektif
mengenai perbedaan antara seorang guru (teacher) dan seorang pemikir (thinker),
yang jika ditarik dalam tataran yang lebih luas adalah perbedaan antara
Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Ushuluddin meskipun disadari bahwa masing-masing
fakultas memiliki berbagai jurusan dengan karakteristik-karakteristik sendiri-sendiri,
dan tidak mesti juga harus sebagaimana yang diceritakan sebelumnya. Tinggal
yang menjadi pertanyaan, Anda mau pilih yang mana? Apakah menjadi seorang guru
atau seorang pemikir, atau barangkali menjadi orang yang mampu mengkombinasikan
keduanya? Itu semua terserah pribadi Anda. Yang jelas, bagi saya, keduanya
merupakan sosok penting dalam kehidupan agar kehidupan semakin indah krena
tidak dihegemoni oleh satu corak warna kehidupan saja. Masak hidup kok semua isinya
guru saja atau pemikir saja, ya bosen to? Iya nggak? Hehe..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar