Istilah
“wayang” dan “dalang” merupakan dua entitas dalam
salah satu kesenian yang berasal dari tradisi Jawa. Wayang merupakan sebuah benda
seni yang bercerita tentang kisah yang dikehendaki oleh dalang. Dalangnya
sendiri mempunyai andil besar dalam menentukan bagaimana kisah yang dimainkan
oleh wayang. Dalang
menggerakkan dan menyurakan apa yang dilakukan dan dikatakan oleh wayang. Jika
dalang diam saja, maka wayang pun ikut diam. Apabila dalang beraksi, maka
wayang pun ikut beraksi. Semua tergantung dari kreasi dari sang dalang. Dialah
aktor utama sebagai penggerak dalam terwujudnya sebuah pertunjukkan pewayangan.
Dalam
hal ini, penonton biasanya tidak fokus melihat pada dalang, tetapi pada aksi
panggung wayang yang dipertontonkan. Suguhan yang disantap bukan gerakan-gerakan
dalang, tetapi gerakan-gerakan yang diperagakan sang wayang. Dari apa yang
tergambarkan oleh wayanglah cerita yang dihadirkan dapat diserap oleh penonton
yang menikmati pertunjukkan itu. Dahsyatnya pertarungan, konflik yang terjadi, proses
leraian yang ada dalam sebuah kisah semuanya tergambarkan secara jelas dari
sosok wayang.
Membicarakan
mengenai wayang, saya jadi teringat sebuah aliran dalam diskursus teologi
Islam. Terdapat sebuah paham bernama Jabariyah (fatalism) yang
menyatakan bahwa manusia tidak berdaya apa-apa, ia hanya digerakkan oleh Sang
Maha Pencipta. Perbuatan dan segala macam tindak laku manusia diciptakan oleh
Tuhan dan bukan manusia itu sendiri. Manusia tidak mempunyai potensi apapun
untuk berkreasi sesuka hatinya. Mereka hanya melakukan apa yang dikehendaki dan
ditakdirkan oleh Tuhan. Eksistensi manusia dan Tuhan laksana keberadaan wayang
dan dalang dalam dunia pertunjukkan. Wayang (manusia) secara bebas digerakkan
oleh dalang (Tuhan).
Meskipun
demikian saya tidak ingin membahas mengenai perdebatan yang sangat abstrak dalam
ranah ilmu teologi Islam itu, tetapi pada sesuatu yang real atau nyata, pada
sesuatu yang terlihat secara jelas dalam dunia ini, pada hal yang semua mata
bisa menyaksikan fenomena ini. Dalam konteks ini, banyak orang yang tertipu
dengan eksistensi wayang dan kurang memberikan perhatian pada tokoh dalang. Yach,
saya sadari memang wayanglah yang terlihat sehingga kalau ada hujatan atau
pujian maka hal itu akan dialamatkan pada wayang dan bukan dalangnya. Padahal
yang mengkreasi wayang adalah sang dalang. Dialah sosok yang mempunyai andil
besar dalam akting-akting yang diperagakan wayang.
Masih
hangat dalam ingatan mengenai keberadaan sosok artis yang mendadak menjadi seorang
ustadz karena membawakan salah satu berita islami, yang membahas persoalan
khilafiyah dalam tayangan-tayangan yang dipandunya. Parahnya, tidak ada analisis
secara mendalam perihal dalil yang ada dan diarahkan pada salah satu pendapat
yang bertentangan dengan mainstream yang berkembang di masyarakat. Pendapat
lainnya yang dianut oleh masyarakat pada umumnya tidak dicantumkan, dan
terkesan menganggap pendapatnya sendiri sebagai pendapat yang paling benar.
Tentu
saja hujatan yang bermunculan pun mengarah pada sosok artis tersebut. Tanpa
ampun berbagai media informasi, khususnya media dalam dunia maya ramai-ramai
berhujat si artis karena “fatwa”nya yang aneh itu. Tamparan dalam wujud dalil
dan berbagai pendapat ulama dialamatkan pada sosok yang disebut-sebut sebagai
ustadz itu, sampai akhirnya si artis pun meminta maaf atas apa yang telah
dikatakannya dalam tayangan yang disiarkan oleh salah satu televisi nasional
yang cukup populer.
Namun
apakah kita sadar, bahwa yang kita saksikan dan hujat bersama itu hanyalah
sebuah wayang? Apakah kita sadar bahwa yang menggerakkan aksi wayang adalah
sang dalang? Apakah kita sebagai penonton sadar bahwa wayang tidak bisa
melakukan apa-apa tanpa adanya aksi dari sang dalang?
Memang
saya sadari bahwa pada dasarnya si artis adalah manusia, yang tentu saja
berbeda dengan wayang. Wayang tidak mempunyai akal pikiran, ia hanya benda mati
yang digerakkan oleh benda hidup. Namun manusia bukanlah benda mati, melainkan makhluk
hidup yang diberikan potensi akal oleh Allah untuk membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk. Dengan akal, manusia mampu menguasai dunia dan menjadi
khalifah di bumi ini.
Walaupun
demikian, jika akal yang dimiliki sudah didoktrin sedemikian rupa maka saya
kira juga tidak akan bisa bergerak lagi. Benda hidup pun akan mengikuti apa
yang dikehendaki oleh sang dalang. Terlebih lagi, barangkali apabila tidak ada
“pegangan” yang dimilikinya, maka proses doktrinisasi akan mudah merasuk dalam
pikirannya. “Wayang hidup” tidak
mampu menyelisihi apa yang diarahkan oleh dalang yang menginginkan sebuah
peristiwa terjadi. Dari hal ini, dalam tayangan yang kita saksikan, memang yang
nampak itu bukan wayang sebagai benda mati tetapi “wayang yang hidup.”
Melihat
aspek tersebut, maka penting bagi kita menyadari untuk tidak terlalu fokus pada
keberadaan wayang, melainkan pada eksistensi sang dalang. Dalanglah yang
memberikan arahan, instruksi, dan apa yang harus diujarkan oleh sang wayang.
Untuk itu, kurang etis saya kira apabila hujatan (atau kritikan lebih tepatnya)
diarahkan pada sang wayang, dan malah melupakan sosok dalang yang seharusnya
bertanggungjawab atas aksi sang wayang. Kritikan boleh saja (bahkan harus) asalkan
masih dalam koridor sopan dan membangun.
Sebenarnya
para ulama kita sebelumnya sudah sangat cerdas dengan tidak mudah mengumbar
masalah khilafiyah dalam forum-forum umum, terlebih lagi dalam dunia
pertelevisian. Makanya kita melihat dalam khutbah-khutbah maupun dakwah dalam
televisi yang ada hampir tidak pernah (atau jarang) muncul
pembahasan-pembahasan mengenai persoalan khilafiyah. Kalaupun hal tersebut
muncul, maka biasanya masing-masing pendapat dijabarkan secara proporsional,
dan tidak tidak terkesan main hakim sendiri terhadap pendapatnya sendiri. Sajian
yang dibawakan bisanya mengenai perbaikan moral masyarakat yang sudah rusak. Ini
merupakan cerminan pemikiran secara cerdas dari para ulama kita, tetapi akankah
sesuatu yang cerdas itu harus dimusnahkan oleh kemunculan segelintir sosok
dalang yang berpikiran (mohon maaf) agak sempit, yang tentu saja memanfaatkan
popularitas wayang yang digerakkannya dan kemudian membuat kita terlena oleh
aksi sang wayang? Marilah kita pikirkan bersama-sama. Oleh sebab itu, kritikan
yang kita layangkan seyogyanya lebih diarahkan pada sosok sang dalang dan bukan
pada sang wayang itu sendiri dalam dunia yang penuh dengan ketidakjelasan ini. Wallahu
a’lam.
Allahumma
sholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar