Terdapat sebagian kalangan dari masyarakat kita yang
menolak untuk melakukan verbalisasi (pelafadzan) niat dalam shalat yang
terkenal dengan sebutan “Usholli.” Bagi mereka, niat itu berada dalam hati dan
bukan dalam bentuk perkataan lisan. Jadi, niat shalat – dan ibadah-ibadah yang
lainnya juga - seyogyanya tidak perlu diverbalkan, dan hanya cukup berada dalam
hati manusia semata. Jika masih nekat diverbalkan, maka malah menjadi sesuatu
yang bid’ah, tidak ada contohnya dari Nabi Muhammad saw.
Jamak diketahui bahwa verbalisasi niat sendiri merupakan tradisi
yang terbiasa dilakukan oleh kaum nahdhiyyin. Lazimnya sebelum shalat dimulai, warga
NU – termasuk saya hehe - mengucapkan “Usholli” terlebih dahulu dengan
mengikuti berbagai wujud shalat yang hendak dilaksanakan. Apakah itu shalat
wajib atau sunnah, ditentukan di sini. Apabila shalat wajib, maka shalat apa
yang hendak dilakukan pun ditentukan di sini pula, dan seterusnya. Meskipun
demikian, warga NU tidaklah melupakan niat dalam hati ketika takbiratul ihram,
sebab pada saat itulah (takbiratul ihram) sebenarnya yang merupakan kewajiban,
sedangkan verbalisasi niat sebelum shalat hanya memiliki kandungan hukum sunnah.
Terkait dengan verbalisasi niat ini, saya jadi teringat
dengan guyonan lama yang boleh jadi sangat populer. Dikatakan bahwa mengucapkan
Usholli ketika shalat itu membatalkan shalat, “Shalat kok moco Usholli?” (loe?,
tenang dulu ya). Ketika sedang shalat kita tidak boleh mengucapkan “Usholli”
karena bacaan tersebut tidak ada dalam bacaan shalat kita. Yang namanya shalat
itu membaca takbiratul ihram sebagai pembuka, doa iftitah, al-Fatihah, surat-surat
pendek, dan bacaan-bacaan lain sampai akhirnya ditutup dengan bacaan salam.
Tidak ada kata-kata Usolli di dalamnya. Namun, kalau membaca Usholli sebelum
shalat, ya itu beda lagi kasusnya, “Kalau sebelum shalat membaca Usholli itu
baru boleh.” Hal ini dapat dianalogikan seperti memakai kaos Golkar ketika
shalat bisa membatalkan shalat, “Shalat kok nggawe kaos Golkar?” Kalau memakai
kaos Golkar sebelum shalat dan kemudian baru melaksanakan shalat itu baru boleh
(hehe).
Saya sadari bahwa niat dalam hati itu sangat penting
karena memang di situlah ia bersemayam.
Bahkan dalam kajian fiqih disebutkan bahwa apabila terdapat seseorang yang hendak
melakukan shalat asar, yang kemudian ia berniat dalam hati melakukan ibadah
shalat asar, tetapi ternyata lisan mengucapkan shalat dzuhur, maka shalatnya
tetap dianggap sah. Inilah salah satu keistimewaan hati. Dalam hadis riwayat
al-Baihaqi dari sahabat Anas bin Malik ra. Disebutkan salah satu sabda Nabi
“laa ‘amala liman laa niyyata lahu” (tidak ada amal ibadah bagi orang yang
tidak menyertainya dengan niat). Namun, jangan juga meremehkan eksistensi lisan.
Salah satu indera manusia ini juga punya keistimewaan sebagaimana hati. Misalnya
saja dalam kasus talak atau perceraian. Disebutkan dalam kajian fiqih, ketika
seseorang mengatakan pada isterinya “Anti Thooliq” (kamu saya cerai)
meskipun niatnya cuma bergurau saja, tetap menjadi talak satu. Artinya, dalam
konteks talak shorih (jelas), niat dalam hati dapat diluluhlantakkan oleh lisan
yang secara eksplisit menyebutkan adanya perceraian. Dengan demikian, sebenarnya
kedua media ini, baik hati ataupun lisan seyogyanya penting bagi manusia.
Terdapat
sebuah hadis sentral yang berbicara mengenai niat, yang berasal dari sahabat
Umar bin Khattab ra. Salah satu hadisnya berbunyi:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا
لِامْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا
يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ
إِلَيْهِ
Hadis
di atas perlu dinalar lebih jauh maknanya agar bisa menjadi lebih bermanfaat
bagi manusia. Hadis menjadi salah satu petunjuk Allah swt. yang harus digali
makna-makna yang terkandung di dalamnya, baik makna yang eksplisit maupun implisit.
Begitu pula hadis mengenai niat yang dianggap oleh banyak ulama sebagai
sepertiga atau seperempat dari agama Islam ini. Berikut salah satu alternatif
pembongkaran maknanya dengan cara pertautan antara teks hadis dengan realitas
yang dialami manusia:
Untaian
kata “Innamaa al-A‘maalu bi al-Niyyah” sebagai pembuka hadis tersebut
menjadi patokan utama. Pembuka hadis ini lalu diinterpretasikan dengan kata-kata
“setiap ibadah harus disertai dengan niat”. Penalaran ini didapatkan karena
kata al-a’maalu bermakna perbuatan ibadah jika merujuk pada keterangan
Ibnu Hajar dalam Kitab Fath al-Bari, dan ditambah dengan redaksi
tersebut mempunyai faidah li al-hashr (pembatasan). Oleh sebab itu,
setiap ibadah yang dilaksanakan oleh orang Islam diharuskan memiliki niat
sebelumnya. Penalaran berupa “setiap ibadah harus disertai dengan niat” dinalar
lagi sehingga memunculkan “Niat tidak kuat bila belum diverbalkan”. Penalaran
tersebut terbentuk pasca menapaki realitas yang menimpa diri manusia ketika
melaksanakan ibadah yang penuh dengan gangguan, sehingga konsentrasi pada Allah
swt. pun berkurang. Setelah menyadari kelemahan ini, muncullah interpretasi
bahwa niat pada dasarnya belumlah kuat bila hanya diwujudkan dengan media hati,
tetapi ia juga harus diverbalkan. Setelah itu, penalaran baru yang muncul
adalah “niat ibadah harus divebalkan”. Hal ini dipahami dari konsekuensi dari
ibadah harus disertai niat dan niat belum kuat bila belum diverbalkan.
Secara
lebih jelas lihat alur berpikir sebagai berikut: “Innamaa al-A‘maalu bi
al-Niyyah” > “Setiap ibadah harus disertai dengan niat” > “Niat tidak
kuat bila belum diverbalkan” > “Niat ibadah harus diverbalkan.”
Dari alur pemikiran di atas dapat dipahami bahwa
verbalisasi niat bisa memberikan sumbangsih bagi realitas manusia, baik di masa
lalu maupun masa sekarang. Hal ini karena kedudukan ujaran verbal dari niat
yang dapat memperkokoh perkataan niat dalam hati. Setiap ibadah yang dilakukan
umat Islam, sebagai realitas yang harus dijalaninya sehari-hari membutuhkan
sesuatu yang mengukuhkan kehendak yang terbesit dalam hati, dan hal itu adalah
verbalisasi dari niat itu sendiri. Sehingga dari sini, realitas yang dijalani
dapat berjalan baik dan tidak tergoyahkan oleh godaan yang ada. Disadari
memang, niat pada hakikatnya diutarakan lewat media hati, tetapi alangkah lebih
baiknya jika media oral juga ikut berpartisipasi, karena ia menjadi semacam
penguat kehendak. Definisi iman pun tak ubahnya seperti itu, ia bukan hanya
diwujudkan dengan pengakuan dalam hati, tetapi ia juga harus disertai dengan
pengakuan secara lisan, selain juga diaktualisasikan dalam perbuatan. Ini menunjukkan
urgensitas media verbal yang bisa menyempurnakan perkataan dalam hati sanubari
seseorang.
Keterangan di atas dapat menjadi salah satu opsi
pemaknaan hadis mengenai niat yang kemudian berakhir dengan adanya verbalisasi
dari niat itu sendiri. Hadis harus dinalar dan dikaitkan dengan realitas
kehidupan yang dijalani manusia, sehingga ia menjadi seperti oase dalam gurun
pasir yang memiliki panas yang menyengat. Ia sangat menyejukkan hati manusia
yang mencoba untuk memahaminya. Walaupun demikian, saya juga tidak mau
menyalahkan orang yang tidak mau membaca “Usholli” sebelum shalat, sebab ini
hanya masalah khilafiyah, yang kalau diperdebatkan tidak akan selesai hingga
hari kiamat kelak. Yang mau pake Usholli silahkan, yang tidak mau memakai
Usholli juga silahkan, tapi yang jelas saya memakainya (hehe).
Dalam kerangka berpikir pada ahli fikih dalam Islam
sendiri, pendapat mengenai verbalisasi dalam niat ini terbagi atas madzhab-madzhab
yang ada. Pertama, kalangan Syafi’iyyah menyukai (istahabba) verbalisasi
niat, sebab ia dapat menolong hati. Kedua, kalangan Hanafiyah
berbeda-beda pendapatnya, sebagian dari mereka menyukai verbalisasi niat dan
menganggapnya sunnah, sedangkan sebagian yang lain memakruhkannya. Ketiga,
kalangan Malikiyah berpendapat bahwa verbalisasi niat itu boleh, tetapi yang
lebih utama adalah meninggalkannya. Sebagian dari mereka memandang bahwa
pengucapan niat merupakan sesuatu yang makruh dan bid’ah, kecuali bagi orang
yang was was. Keempat, kalangan Hanabilah menganggap verbalisasi niat
adalah perbuatan bid’ah (lihat Muhammd Shidqi, al-Wajiz fii idhaahi qawaa’id
al-Fiqh al-Kulliyah, hlm. 142-143).
Nah, sekarang sudah tahu kan bagaimana sebenarnya verbalisasi
dari niat atau yang lazim dinamakan “Usholli”? Terdapat beberapa kalangan ulama
yang menyerukan tindakan tersebut terutama kalangan Syafi’iyyah, yang kalau
merujuk pada wacana Islam keindonesiaan terepresentasikan dalam pikiran orang-orang
NU. Selain itu, hal lain yang dapat dipetik adalah jelas verbalisasi niat bisa
memperkuat niat yang tertanam dalam hati dari godaan-godaan yang siap membayangi
hati manusia ketika shalat. Penalaran dari hadis niat sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya menunjukkan arah ke situ. Jangan terburu-buru mengatakan
bid’ah juga, sebab verbalisasi niat berasal dari pemahaman akan pentingnya kekhusyukan
niat dalam ibadah. Kalaupun dikatakan bid’ah, maka ia masuk kategori bid’ah hasanah
dan bukan bid’ah dholalah. Maka dari sini tidak salah bila saya katakan: (sebelum)
shalat pake “Usholli”? Siapa Takut (hehe).
Allahumma sholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar