Orang NU terkadang hanya ikut-ikutan saja tradisi yang ada di dalamnya,
tanpa tahu-menahu apa landasan dalil yang digunakan dan juga doktrin-doktrin
yang ada di organisasi ini. Sikap seperti ini, apabila disertai dengan
keyakinan bahwa tradisi dan doktrin di dalamnya merupakan ijtihad Ulama yang
berkompeten dan punya dalil-dalil tersendiri barangkali tidak akan memunculkan
masalah. Namun, akan menjadi problem tersendiri jika kita hanya manut tanpa
diiringi dengan keyakinan tersebut. Akibatnya, ketika kita berada dalam situasi
dan tempat yang berisikan orang-orang yang menghina NU dan juga
tradisi-tradisinya lengkap dengan kutipan ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis, maka
bisa jadi kita berpaling dari apa yang sudah dijalankan NU dan berbalik menghina
ataupun membid'ahkan/menyesatkan apa yang biasa kita lakukan itu.
Saya sadari barangkali itulah yang namanya kehidupan. Perubahan selalu ada.
Segala hal yang muncul di dunia ini pasti akan berubah, dan yang tidak bisa
berubah hanya satu yakni perubahan itu sendiri. Namun, alangkah lebih baiknya kita
yang biasa "acuh tak acuh" atau sekedar "manut" pada
tradisi-tradisi yang ada mengenal lebih dalam apa sebenarnya NU itu. Dengan
demikian, sebelum masuk pada atmosfer yang "heterogen" atau
"panas", kita sudah paham dengan pola pikir dan dalil-dalil yang
digunakan. Saya mengamati banyak orang yang tadinya NU, lantas setelah berada
di kalangan para penghujat NU kemudian keluar dan menghujat balik organisasi
ini biasanya belum paham secara mendetail apa sebenarnya NU itu.
Nahdhotul Ulama dalam berteologi mengikuti dua orang Ulama hebat, yakni
Imam Abu Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi; dalam bidang
yurisprudensi Islam (fiqih) mengikuti empat madzhab fiqih Imam Abu Hanifah,
Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi'i, dan Imam Ahmad bin
Hanbal; dalam bidang tasawuf mengikuti Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad al-Ghazzali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Inilah formulasi pandangan yang
ada dalam tubuh NU. Tapi pada tataran realitasnya, NU secara mayoritas menganut
Imam Abu Hasan al-Asy'ari dalam teologi, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi'i
dalam bidang fiqih, dan Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad
al-Ghazzali dalam bidang tasawuf. Ketiga Ulama ini disebut oleh banyak Ulama,
salah satunya adalah Ibnu Asakir sebagai Mujaddid (peng-update) agama,
sebagaimana sabda Nabi yang menyatakan bahwa dalam penghujung (ra'sun) seratus
tahun akan muncul orang yang "meng-update" (man yujaddidu) agamanya.
Adapun Mujaddid-Mujaddidnya, pada abad pertama adalah Umar bin Abdul Aziz; abad
kedua adalah Imam al-Syafi'i, abad ketiga ialah Imam Abu Hasan al-Asy'ari, abad
keempat adalah Imam al-Baqillani, dan abad kelima adalah Imam al-Ghazzali. Oleh
sebab itu, bisa dikatakan bahwa NU mengikuti para mujaddid pada abad kedua,
ketiga, dan kelima.
Apa sebagai orang NU sudah tahu bagaimana pemikiran masing-masing Ulama
itu? Perlu banyak waktu apabila harus menelaah karya masing-masing Ulama. La
wong baca beberapa lembar kitab aja buat mata berkunang-kunang (hehe). Paling
banter kita sebagai generasi sekarang hanya mengandalkan KH. Google saja dan
enggan membuka satu persatu karya para Ulama hebat tersebut. Mereka mempunyai
banyak sekali karya, terutama Imam al-Ghazzali yang terkenal dengan gelar Hujah
al-Islam. Meskipun demikian, hal yang paling mudah untuk dilakukan adalah
dengan memahami petuah-petuah dan ajaran-ajaran para kyai dan ustadz yang
dengan ikhlas mengajari kita yang awam ini di berbagai madrasah dan pondok
pesantren. Mereka mengajari kita mulai dari aqidah sifat wajib dan mustahil
Allah 20 dan 1 sifat jaiz dalam bidang akidah misalnya, berbagai produk fiqih
Syafi'iyyah dalam bidang yurisprudensi Islam misalnya, lahiriyah ibadah oke
tapi jangan lupa "isinya" (sah/tidak-diterima/tidak) dalam bidang
tasawuf misalnya, dan berbagai ajaran yang lain. Para Kyai dan Ustadz mengajari
kita produk pemikiran dan tidak merecoki dengan bagaimana produk pemikiran itu
dapat dihasilkan. Mereka hanya ingin supaya kita dapat memahami dengan mudah
ajaran-ajaran agama Islam, dan kemudian mengamalkan ajaran-ajaran tersebut dalam
kehidupan sehari-hari.
Secara metodologis, cara atau metode yang ditempuh oleh ketiga Ulama itu
adalah tawasuth, tawazun, tasamuh, dan i'tidal, yang sudah biasa didengar oleh
orang-orang NU. Secara mudahnya, metode yang dianut oleh Imam Abu Hasan al-Asy'ari, Imam Muhammad bin Idris
al-Syafi'i, dan Imam Abu Hamid al-Ghazzali prinsip moderasi (tengah-tengah). Imam
Abu Hasan al-Asy’ari berhasil mempertemukan dan mempersatukan antara akal dan
wahyu, antara qadariyah (free will) dan jabariyah (fatalism); Imam
al-Syafi’i berhasil mengkolaborasikan antara teks dan rasio dengan wujud qiyas;
Imam al-Ghazzali berhasil menggabungkan antara syariat dan hakikat. Jika
dipahami, semua berpijak pada prinsip tengah-tengah, tidak ekstrem ke salah
satu kubu. Inilah yang dimaksud dengan Ahlu Sunnah Wal Jamaah di kalangan
Nahdhotul Ulama.
Menyikapi cara berpikir di atas, maka dalam beragama penting untuk memilih
yang tengah-tengah saja, dan ini termanifestasikan dalam organisasi Nahdhotul
Ulama. Mengikuti NU berarti mengikuti golongan yang berprinsip tengah-tengah.
Pepatah mengatakan “Khoir al-Umuur Ausaathuhaa” (sebaik-baik sesuatu adalah
yang tengah-tengah). Hal ini sangat logis karena yang tengah-tengah kan sesuatu
yang paling enak (hehe). Oleh sebab itu, pilih yang tengah-tengah saja (NU),
kenapa tidak?
Untuk masalah tradisi atau ritual, ya itu kembali pada konsep bid'ah yang
saya kira sudah usang sekali dan terlalu menjemukkan kalau dibahas panjang
lebar. Secara gampangnya, bid'ah ada dua, bid'ah hasanah dan bid'ah dholalah.
Banyak Ulama yang berpendapat seperti ini seperti Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam
al-Nawawi, Izzuddin Abdissalam, dan segenap Ulama top lainnya. Realitas yang
ada pada masa Nabi dan sahabat menguatkan hal ini dengan munculnya beberapa
perilaku bid’ah dan tidak menjadi masalah. Dikuatkan lagi dengan perkataan Umar
bin Khattab secara eksplisit "Ni'mah al-Bid'ah hadzihi" (senikmat-nikmat
bid’ah ya hal ini) setelah melaksanakan shalat tarawih berjamaah untuk pertama
kalinya dalam sejarah Islam. Ya sudahlah, bosen rasanya bahas bid’ah (hehe).
Allahumma
sholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar