Poro dulur sekalian, pada suatu pagi yang sangat indah saya
mendapatkan “sarapan gratis” dari dua orang mahasiswi (ingat, pake ‘i’ ya hehe)
pengikut organisasi yang sangat getol memperjuangkan khilafah. Dalam “sarapan gratis”
tersebut tertulis bahwa syariah dan khilafah mewujudkan Islam Rahmatan lil
Alamin. Ada juga tulisan mengenai delapan kemaslahatan ketika syariah dan
khilafah diterapkan secara kaffah. Pertama, terpeliharanya agama (hifdh
ad-din), yakni negara akan menjamin hak beragama tiap rakyatnya dan khususnya
menjaga keutuhan aqidah umat Islam dengan menerapkan hukuman yang tegas pada
muslim yang murtad dan menistakan agama. Kedua, terpeliharanya jiwa
(hifdh an-nasl), yaitu negara menjamin keamanan jiwa setiap warganya, dan jika
terjadi pelanggaran maka hukumannya bisa berupa diyat atau qishash. Ketiga,
terpeliharanya akal (hifdh al-‘aql), yakni negara menjaga akal setiap warganya
dengan mengharamkan, memproduksi, mengkonsumsi, mendistribusikan segala yang
merusak akal manusia seperti khamer, narkoba, dan seterusnya. Keempat, terpeliharanya
harta (hifdh al-mal), yaitu negara menjaga harta setiap warga negara dan
menghukum siapapun yang melanggar hak orang lain dengan hukuman potong tangan
dan takzir. Kelima, terpeliharanya keturunan (hifdh an-nasl), yaitu
negara menjaga keturunan tiap warganya dengan mengharamkan zina, sodomi, dan
homoseksual (lesbian, gay) dan memerintahkan pernikahan. Jika dilanggar, maka
sanksinya bisa berupa dicambuk atau dibunuh. Keenam, terpeliharanya
kehormatan (hifdh al-karamah), yakni negara menjamin kehormatan tiap warganya
agar tidak sembarangan dalam menuduh seseorang berbuat kejahatan, kecuali
dengan bukti, jika prinsip ini dilanggar maka sanksinya bisa berupa had atau
takzir. Ketujuh, terpeliharanya keamanan (hifdh al-amin), yaitu negara menjamin
keamanan individu, masyarakat, dan negara dari segala bentuk teror, intimidasi,
dan begal, pelakunya akan dikenai sanksi yang keras. Kedelapan, terpeliharanya
negara (hifdh ad-daulah), yakni negara menjaga kedaulatan dan stabilitas
keamanan dalam negeri dengan mengharamkan pemberontakan dan upaya untuk
memisahkan diri dari wilayah, pelakunya pun akan dikenai sanksi yang keras.
Saudara-saudara yang dirahmati oleh Allah swt. Bagi saya yang
notabenenya adalah orang awam ini, kiranya ada beberapa catatan yang harus dicermati
terkait dengan fenomena pegiat khilafah:
Pertama, saya banyak melihat
aktivis atau pegiat khilafah yang turun di lapangan berasal dari kaum feminis
ketimbang kaum maskulin, seperti cerita yang saya uraikan dalam penuturan sebelumnya.
Hal ini sangat menarik, sebab seakan-akan wanita menjadi “maskot” dalam kampanye
khilafah. Diakui atau tidak, wanita memang mempunyai daya tarik lebih, sehingga
eksistensinya lebih bisa dimanfaatkan dalam mengkampanyekan sesuatu. Dalam berbagai
iklan di televisi atau pameran mobil misalnya, wanita acapkali menjadi media “pemanis”
sekaligus “penarik” customer untuk membeli barang yang ditawarkan. Tanpa adanya
wanita, maka barang yang ditawarkan dirasa hambar dan tidak dapat memikat
pelanggan. Dalam hal ini, saya tidak mengatakan bahwa para pegiat atau aktivis
khilafah dari kalangan wanita sengaja dipasang untuk tujuan itu, sebab takut
dinilai merendahkan harkat dan martabat mereka. La wong ketika berkumpul dengan
lawan jenis di suatu forum saja harus menjaga jarak, masak meraka dijadikan “penarik”
atau “pemanis” khilafah, wah nanti saya dikira melakukan pelecehan dong hehe. Namun
yang jelas, fenomena yang tampak oleh mata manusia sedikit mendorong pikiran ke
arah itu.
Kedua, slogan yang diambil dari
ayat al-Qur’an, yakni Islam Rahmatan lil Alamin sekarang menjadi klaim berbagai
golongan. Secara mayoritas, slogan ini acapkali disemboyankan oleh organisasi
moderat yang ada di Indonesia (NU dan Muhammadiyah) guna menggaungkan Islam
yang menentramkan hati semua umat manusia dan seluruh alam semesta. Bagi mereka,
sesuai dengan pengamatan saya, Islam Rahmatan lil Alamin dimanifestasikan
dengan menerima NKRI dan menerima perbedaan dengan lapang dada. Tidak seperti apa
yang tengah terjadi Timur Tengah, terutama Syiria dan Iraq dengan menunculan ISIS
yang juga sebenarnya ingin mewujudkan khilafah dengan khalifahnya yang bernama
Abu Bakar al-Baghdadi. Sementara itu, dalam konteks organisasi yang getol
menyuarakan khilafah, seperti tergambarkan dalam kampanye sebelumnya, Islam
Rahmatan lil Alamin diwujudkan dengan penerapan syariah dan khilafah. Dengan
kolaborasi syariah dan khilafah sekaligus diproyeksikan muncul Islam yang
menjadi rahmat bagi sekalian alam. Dari sini dipahami bahwa terjadi tarik-menarik
slogan Islam Rahmatan lil Alamin antara satu kubu dengan kubu lainnya. Saya cuma
berdoa, semoga Islam Rahmatan lil Alamin tetap tegar dan tidak bengkok karena aksi
tarik-menarik itu hehe.. Masing-masing pemikiran memiliki karakteristik
sendiri-sendiri, misalnya saja pada kemaslahatan pertama mengenai penjaminan
hak beragama dan penjagaan terhadap aqidah umat Islam dikatakan bahwa diterapkan
hukuman yang tegas pada muslim yang murtad. Mayoritas ulama fiqih menyatakan
bahwa orang yang murtad (pindah agama dari Islam ke agama yang lain) harus
dibunuh berdasar pada tekstualitas hadis Ibnu Abbas “man baddala dinahu
faqtuluhu” (barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah). Sepertinya
inilah yang dimaksud dengan “hukuman tegas pada muslim yang murtad” ala
organisasi yang menyuarakan khilafah ini meskipun tidak secara eksplisit disebutkan.
Hal yang perlu dipertimbangkan dalam konteks beragama di Indonesia yang multi-agama
adalah, jika orang yang pindah agama dari non-Islam ke Islam tidak dibunuh,
sedangkan pnidah agama dari Islam ke non-Islam dibunuh, apakah nantinya tidak
menyebabkan gerakan pemberontakan dari agama non-Islam? Kemudian di mana letak hak
beragama masing-masing individu kalau memang harus seperti itu? Sudah pahamkah kita
yang awam ini terhadap kajian fiqih dan berbagai perdebatannya? Atau
jangan-jangan kita membaca al-Qur’an saja masih banyak kesalahan? Naudzubillah
min dzalik.
Ketiga, saya melihat kampanye
khilafah di atas sedikit menarik, sebab menggunakan teori maslahat berupa
al-dharuriyat al-khamsah dalam maqhashid al-syari’ah ditambah dengan beberapa
tambahan maslahat lainnya. Meskipun ini merupakan pembahasan yang lumrah ada
dalam fiqih, tetapi hal ini sangat bagus sebagai penambah pengetahuan tentang
khilafah. Namun, alangkah lebih baiknya pengetahuan itu dilengkapi dengan teori
maslahat yang berasal dari realitas (waqi), Artinya, kemasalahatan ini tidak
semata-mata bersumber pada teks (deduktif), tetapi terinspirasi juga dari
realitas (induktif). Untuk melihat apakah yang hendak diterapkan menjadi
maslahat apa tidak, perlu dilihat bagaimana kondisi masyarakatnya, sebab agama
diturunkan bukan untuk Tuhan, tetapi untuk manusia sebagai hamba Tuhan, jadi
manusia harus diperhatikan dalam proses beragama.
Keempat, Saya rasa para aktivis yang
mayoritas adalah mahasiswa terlalu terpana pada teori dan kurang melihat pada
praktek atau realitasnya. Dalam kata lain, mereka hanya getol berada pada
wilayah idealitas dan tidak dibarengi dengan pengamatan akan realitas yang
mumpuni. Ketika berbicara tentang khilafah kita juga harus melihat bagaimana
sejarah khilafah itu sendiri dari masa ke masa, sehingga tidak menjadi orang hanya
mampu berbicara teori-teori semata, tapi prakteknya nihil. Dulur, kita lihat
bagaimana wujud khilafah yang ada pada masa lalu penuh dengan pertikaian yang
membuat air mata mengalir deras, misalnya bagaimana munculnya khilafah Umawiyah
yang harus (mohon maaf) “mengibuli” Abu Musa al-Asy’ari dalam peristiwa tahkim
(arbitrase), melakukan pengkhianatan terhadap perjanjian dengan al-Hasan,
membantai al-Husain dengan sadis di tanah Karbala, hilangnya nyawa manusia dalam
berbagai perang dengan sia-sia. Belum lagi apabila melihat kemunculan khilafah dinasti
Abbasiyah yang membantai habis seluruh keturunan dinasti Umayyah kecuali Abdurrahman
al-Dakhil yang lari ke Andalusia. Tipu-menipu dan juga bunuh-membunuh seakan
menjadi hal yang lumrah untuk memperoleh kekuasaan yang diidam-idamkan dalam
khilafah. Sudahkah kita membaca sejarah itu kawan?
Kelima, kita sebaiknya jangan
menawarkan sesuatu yang belum jelas wujudnya, terlebih lagi hendak mengganti
sesuatu yang sudah “paten” dengan yang masih “remang-remang.” Maksud saya, apakah
kita mau mengganti konsep pancasila negara kita yang sudah paten ini dengan khilafah
yang sebenarnya masih remang-remang itu? Coba lihat misalnya sistem penggantian
khalifah yang ada dalam sejarah peradaban Islam yang berbeda-beda. Abu Bakar
dipilih dengan cara musyawarah (meskipun Bani Hasyim sedang mengurus pemakaman
Nabi); Umar dipilih dengan cara penunjukan Abu Bakar secara langsung; Usman dipilih
berdasarkan voting beberapa orang (perwakilan) yang telah ditunjuk oleh Umar
sebelumnya; Ali dipilih dengan musyawarah; Bani Umayyah dan Abbasiyah menganut
sistem monarchi. Nah, lantas bagaimana cara yang ditempuh oleh khilafah yang
ditawarkan oleh organisasi ini? Negara itu bukan barang mainan yang bisa
diubah-ubah seenaknya. Ia tidak bisa dirubah secara sembarangan, terlebih lagi dengan
sesuatu yang belum jelas. Jika nekat dilakukan juga, bukan maslahat yang
didapatkan, tapi malah madharat atau bahkan kehancuran. Perjelas diri dulu dong,
jangan yang abstrak-abstrak terus, kalau perlu diikutkan pemilu biar tahu
elektabilitasnya (meski katanya haram karena demokrasi haram hehe). Ikhwah, kita
harus ingat perjuangan para pahlawan dulu yang mati-matian dengan jiwa dan raga
mereka demi kemerdekaan negara kita dan akhirnya memunculkan konsep NKRI
seperti sekarang. Kita ini sudah enak sekali, tidak usah berperang dan tinggal
menikmati jerih payah para pendahulu kita itu saja. Masak kita yang tidak ikut
berjuang malah berperilaku seperti anak kecil yang ingin mengganti hal yang
sudah paten dengan yang masih remang-remang dengan alasan yang juga mirip
pemikiran anak kecil bahwa Indonesia milik Allah?
Keenam, khilafah Islam merupakan
ide yang sangat utopis, mustahil bisa terjadi. Sekarang negara-negara Islam
telah terpecah-pecah menjadi banyak negara (nation state), yang
masing-masing mempunyai idealitas sendiri-sendiri. Masing-masing bangsa telah membangun
karakter mereka berdasarkan budaya yang dimilikinya. Pertanyaannya, apakah
semua negara itu bisa disatukan dalam satu pemerintahan? Saya rasa itu hanya
jadi mimpi di siang bolong, atau dalam istilah ilmu nahwunya adalah ‘tamanni” dan
bukan “tarajji.” Satu masalah besar jika itu memang benar-benar terjadi adalah,
SIAPA yang berhak menjadi khalifah?? Niscaya darah akan banyak bercucuran untuk
itu bahkan lautan darah barangkali akan terbentuk sebagaimana terjadi pada masa
lalu. Banyak orang Timur Tengah dan sekelumit orang Indonesia yang tidak bisa
berpikir “dewasa” hingga mengakibatkan konflik berkepanjangan seperti terjadi
sekarang ini. Apa kita tidak merasa cukup dengan demokrasi yang aman-aman saja
seperti sekarang ini dan pancasila yang menyatukan semua perbedaan, tanpa
adanya bunuh-membunuh seperti yang terjadi pada masa lalu? Belum lagi bila
dikaitkan dengan disintegrasi yang terjadi. Bohong kalau dengan khilafah maka
negara bisa menjaga kedaulatan dan stabilitas keamanan dalam negeri (maslahat
8). Semua tergantung cara kepemimpinannya dan bukan khilafahnya itu sendiri. Coba
lihat bagaimana khilafah Ottoman (Turki Usmani) tidak bisa menghalau gerakan pemberontakan
wahabi pada abad kedepalan belas yang kemudian menjadi negara Saudi Arabia.
Dalam hal ini, khilafah tidak mampu melawan pemberontak wahabi dengan bantuan pihak
Barat, sampai akhirnya khilafah Ottoman harus menjadi periode khilafah terakhir
dalam sejarah peradaban Islam. Wah, kalau diteruskan kok malah jadi HT* versus
Salaf* gini ya hehe..
Saya rasa cukup enam poin saja catatan dari saya, karena sudah
terasa sangat panjang untuk menjadi obrolan santae sembari menemani minum kopi.
Mohon maaf jika uraian saya menyinggung sampeyn-sampeyan yang doyan khilafah. Seharusnya
sampayan berterima kasih pada saya karena sudah “mengkiklankan” khilafah dalam paragraf
pertama, meskipun harus saya berikan catatan-catatan. Setuju atau tidak setuju
dengan khilafah itu merupakan hak masing-masing orang. Namun yang jelas, ketika
melihat “sesuatu” janganlah kita hanya berhenti pada tataran “bungkusnya” saja,
tanpa melaju pada tahapan yang lebih dalam. Yang kita makan itu bukan bungkus,
tapi isinya. Bungkus memang penting tetapi jauh lebih penting dari itu semua
adalah isi yang merupakan subtansi dari apa yang ditawarkan oleh “sesuatu” itu.
Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad dalam
Ihya Ulumuddin menyatakan bahwa ilmu yang berhubungan dengan hakikat syariat
lebih diutamakan daripada ilmu yang hanya berhubungan dengan lahiriyahnya saja,
maksudnya ilmu fiqih saja tidak cukup dan harus disempurnakan dengan ilmu yang
lebih utama, yakni ilmu tasawuf. Begitu pula dalam berpikir, pemikiran akan
bungkus itu selayaknya diketahui sebagai pengetahuan awal, tetapi yang lebih
penting daripada bungkus itu adalah isinya.Isi tersebut hanya bisa ditelaah
dengan pemikiran yang mendalam mengenai “sesuatu” dengan mempertimbangkan
berbagai macam hal yang terkait dengan “sesuatu” itu sendiri. Dengan demikian,
cara berpikir kita tidak menjadi cara berpikir yang parsial, setengah-setengah,
atau tidak komprehensif. Wallahu a’lam.
Allahumma
sholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar