Dulur, pada saat berbicara mengenai sebuah objek, maka seyogyannya kita
sedang mengkomunikasikan kepada orang lain tentang sesuatu dari objek tersebut.
Terlebih lagi, ketika orang lain itu bertanya atau bahkan butuh sekali dengan
keterangan dari kita, maka komunikasi ini menjadi kunci dalam berinteraksi
dengan mereka. Cara yang ditempuh untuk mengkomunikasikan uraian-uraian seputar
objek sendiri ada dua metode, yakni metode simplifikasi dan metode rumitisasi.
Keduanya merupakan media yang ada guna sampainya “pesan” dari “penyampai pesan”
kepada “penerima pesan” (dalam ilmu komunikasi yang pertama disebut komunikator
dan yang kedua dinamakan dengan komunikan hehe)
Simplifikasi merupakan sebuah kata yang berasal dari akar kata simple, yang
mempunyai arti sederhana, mudah, gampang. Jadi kira-kira maknanya adalah
membuat sesuatu menjadi sederhana. Dalam KBBI, kata ini berarti penyederhanaan.
Artinya, dengan metode simplifikasi, sesuatu yang rumit bisa disulap menjadi sederhana,
sesuatu yang susah diubah menjadi mudah, sesuatu yang dianggap menjadi bahasa langit
bisa diturunkan hingga menjadi bahasa bumi.
Sementara di kubu lainnya, rumitisasi adalah lawan kata dari simplifikasi.
Kata ini berasal dari kata rumit yang berarti njelimet, sulit, susah. Dari
sini, makna kata rumitisasi adalah membuat sesuatu menjadi njelimet atau susah
dipahami. Saya menulis kata “rumitisasi” bukan dari kamus bahasa manapun. Saya
asal-asalan karena bingung memikirkan lawan kata dari simplifikasi itu apa hehe.
Dari berbagai literatur yang saya baca kok belum menemukan lawan kata yang pas
dari kata simplifikasi, sehingga mendorong saya memformulasikan kata
“rumitisasi” dalam tulisan ini. Barangkali hal ini dikarenakan jarang ada orang
yang ingin sesuatu menjadi rumit atau njelimet, dan pasti inginnya yang
sederhana atau mudah-mudah saja (Mungkin para ahli bahasa bisa membantu hehe).
Ayyuha al-Ikhwah, pada tataran realitas, rumitisasi acapkali dipraktekkan
oleh para intelektual kita. Dengan uraian yang rumit dan berbelok-belok, mereka
menjelaskan konsep yang tertanam dalam pikiran mengenai “sesuatu”. Banyak
pendapat dari para ahli pun dikutip guna mengukuhkan pandangan yang diuraikan. Seabrek
referensi juga menyertai dimanapun dan kemanapun ia berbicara. Mereka tidak mau
memberikan informasi atau pengetahuan setengah-setengah atau juga hanya pada
tataran “bungkusnya” saja, akan tetapi melaju pada kajian “isi” juga sehingga “sesuatu”
itu bisa utuh atau komprehensif.
Adapun simplifikasi biasanya dilaksanakan oleh para kyai atau ulama yang berdakwah
di sekitar kita. Dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti, mereka
menjelaskan perihal ajaran agama dengan tutur kata yang gampang dipahami oleh
logika orang awam. Anekdot-anekdot lucu pun lazimnya menyertai ajaran-ajaran
yang mereka sampaikan. Tujuannya cuma satu, yakni audiens dapat memahami dengan
mudah dan akhirnya mengamalkan apa yang diutarakan. Inilah barangkali
manifestasi sabda Nabi Muhammad saw. yang sudah sedikit saya singgung dalam
tulisan saya sebelumnya “Yassiruu wa laa tu’assiruu, basysyiruu wa laa
tunaffiruu”, yang kalau bagi saya makna yang paling enak di telinga dan pas di
hati ya seperti perkataan Gus Dur “Gitu aja kok repot” hehe..
Bagi saya, kedua metode ini penting, sebab keduanya menjadi sarana
sampainya “pesan” pada audiens. Saat berbicara dalam forum intelektual, media
yang digunakan tentunya adalah rumitisasi, sedangkan apabila berada dalam
masyarakat awam maka media yang dipakai ya simplifikasi. Seseorang harus
melalui dua tahapan ini. Kurang tepat jika cuma mengambil salah satu media dan
meninggalkan media yang lain. Artinya, dua tahapan, baik simplifikasi maupun
rumitisasi ini harus kita lalui, supaya bisa menenangkan diri sendiri dan juga
masyarakat.
Misalnya saja, apabila kita hanya
sampai pada media rumitisasi, maka bisa berakibat “fatwa-fatwa”nya kurang bisa
dimengerti oleh masyarakat awam. Mereka hanya bisa bengong bin melongo saat melihat
dan mendengarkan pendapat-pendapat yang kita kemukakan. Bahkan barangkali masyarakat
awam hanya membuka satu mata seperti gaya “Apaan tu”nya Bung Jaja Miharja sambil
garuk-garuk kepala hehe.. Kemudian, ketika yang digunakan hanya simplifikasi saja
maka kita bisa kurang dihargai dalam forum-forum intelektual, yang membutuhkan
perangkat analisis-analisis ilmiah dan pembacaan terhadap literatur yang kuat.
“Siapa sich dia? Ngomongnya cuma hal-hal yang dasar banget, logikanya
sederhana, kurang membaca berbagai buku.”
Yang lebih
parah lagi, kita yang hanya mau yang simpel-simpel saja dan enggan pada yang
rumit-rumit terkadang bisa “kebelinger”. Kok bisa kebelinger?? Coba kita pikir,
misalnya bilamana kita hanya ingin yang bungkus-bungkus saja, dan enggan maju
pada tahapan selanjutnya yang lebih mendalam bisa berakibat dirinya gampang
truth claim, mengklaim diri sebagai orang yang paling benar dan mengindahkan
pendapat yang berbeda. Maksud saya di sini misalnya adalah orang yang hanya
sampai pada “al-Qur’an” dan enggan masuk pada wilayah “tafsir al-Qur’an,” maka
bisa jadi berakibat negatif. Apa yang menjadi “ wujud pembacaannya” pada
al-Qur’an dianggap benar, dan yang menyalahi pembacaannya dianggap salah. Dunia
layaknya hanya punya dua warna, kalau tidak putih ya hitam. Yang sesuai dengan
“wujud pembacaannya” berwarna putih dan yang tidak sesuai berwarna hitam. Wah,
kurang asyik kalau cuma dua warna saja dulur, pelangi saja ada banyak sekali warnanya
kok hehe.. Makanya dari hal ini penting ya kita sedikit merundukkan kepala guna
melihat tafsir al-Qur’an dan tidak melulu al-Qur’annya. Muhammad Husain
al-Dzahabi dalam Tafsir wa al-Mufassirun menyebutkan sebuah keyword tafsir yang
sangat luar biasa, yakni “biqadri thaaqah al-basyariyah” (sesuai dengan kadar
kemampuan manusia).
Poro dulur
kabeh, sepertinya tingkah laku yang pas adalah dengan melalui dua media penyampai
pesan ini. Pertama, ia bergelut dalam dunia rumitisasi, sehingga ia
mengenal berbagai pendapat terkait objek yang dikajinya. Kedua, setelah
puas dengan dunia rumitisasi ia beralih pada dunia simplifikasi agar menenangkan
hati masyarakat, tapi dengan tidak meninggalkan wacana rumitisasinya. Nah,
dengan kolaborasi dua media ini, maka akan didapatkan manusia yang luas dalam hal
wacana, mudah dalam menyampaikan pesan pada masyarakat, dan menjadi orang yang
tidak suka melakukan truth claim, sebab hanya Allah yang Maha Benar, manusia
hanya berijtihad. Dia (orang) sadar akan keterbatasannya. Barangkali inilah
yang disebut sebagai intelektual + kyai, atau kyai + intelektual, dan bukan
hanya berbicara mengenai aspek religiusitas dan intelektualitas semata.
(Tapi eitz,
jangan menganggap saya sudah melalui dua tahapan ini ya, sebab saya bukan
intelektual apalagi seorang kyai. Tidak ada yang namanya Kyai Benny, Gus Benny,
la wong Ustadz Benny saja membuat telinga jadi gatal barangkali hehe. Saya
masih berproses. Saya kira banyak dari sampeyan-sampeyan semua yang berproses
sama seperti saya. Mari sama-sama berdoa dan berikhtiar.)
Ada empat
tipe manusia sebagaimana kata Imam Khalil bin Ahmad yang dikutip al-Ghazzali dalam
Ihya Ulumiddin “(1) rojulun yadrii wa yadrii annahu yadrii [+++], (2) rojulun yadrii wa laa yadrii annahu yadrii [+-+], (3) rojulun
laa yadrii wa yadrii annahu laa yadrii [-+-], (4) rojulun laa yadrii wa laa
yadrii annahu laa yadrii [---]”. Saya kira tidak perlu diterjemahkan dan cukup
dikasih rumus saja, karena kata kuncinya cuma satu kata yaitu “yadrii” dan sepertinya
semuanya sudah tahu maknanya hehe.. Orang pertama adalah orang yang berilmu,
yang harus diikuti; orang kedua merupakan orang yang tertidur dan harus
dibangunkan; orang ketiga adalah orang yang perlu diberikan bimbingan dan
pengajaran; dan orang keempat ialah orang yang “jahil” yang harus diwaspadai,
seperti kata bang Napi “WASPDALAH WASPDALAH” hehe
Semoga kita
menjadi orang tipe pertama, jika tidak bisa maka tipe yang kedua juga boleh,
tapi jika tidak bisa lagi ya tipe yang ketiga juga tidak masalah, asalkan tidak
jadi tipe yang keempat. Tapi supaya lebih “mancep di hati” sepertinya tipe
ketiga lebih cocok untuk kita sebagai orang yang faqiir ilallaah ini.
Allahumma
sholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar