Terdapat
sebagian orang menyatakan logika seperti ini: “Kamu ini sudah saya beritahukan
ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi kok masih mengelak saja! Jangan kamu pakai
pola pikir b*d’ah, l*beral, s*sat, dan sy*ah itu! Orang Islam patokannya cuma
al-Qur’an dan Hadis shahih saja, bukan yang lain. Ulama tidak bisa diikuti jika
bertentangan dengan ayat suci al-Qur’an dan Hadis shahih. Ulama itu hanya
manusia yang bisa salah dan menuruti hawa nafsunya. Ingat ya, dalam sebuah
hadis shahih, Rasulullah melarang kita berlaku sombong dan salah satu perilaku
sombong adalah dengan menolak kebenaran (bathor al-haqq). Dalam hadis ini juga
dikatakan oleh Nabi bahwa orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan
meskipun sangat kecil sekali, maka tidak bisa masuk surga. Sementara kamu sekarang
telah menolak kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya yang berarti sombong. Apakah
kamu tidak takut, tidak bisa masuk surga? Maka kembalilah pada cuma kepada
Allah dan Rasul-Nya ”
Sejenak menyimak
logika seperti ini, orang akan hanyut dalam perkataan orang yang menyatakannya.
Sepertinya tidak ada yang salah dengan kata-kata ini. Sumber umat Islam ya cuma
al-Qur’an dan Hadis shahih saja, bukan yang lain. Ini memang ada benarnya. Kalau
ada yang melanggar ketentuan dari ayat al-Qur’an maupun Hadis Nabi ya tidak
usah diikuti, dan apabila masih “ngeyel” untuk mengikuti hal tersebut maka kita
telah menolak kebenaran. Ini juga barangkali betul. Nah, Apabila kita menolak
kebenaran, maka kita termasuk orang yang sombong. Lantas, ketika kita termasuk
orang yang sombong, maka kita tidak bisa mencicipi keindahan surga. Ini juga
boleh jadi betul. (Logika ini mengikuti pola pikir sebagian orang lo ya, yang
sebenarnya masing-masing masih perlu diperinci lagi sebab ada kajianya tersendiri
dan tidak mesti pemahamannya harus seperti itu).
Hadis yang
berbicara tentang menolak kebenaran merupakan bagian dari kesombongan salah
satunya ada dalam shahih Muslim. Berikut redaksi hadisnya:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ
كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا
وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ
الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Deskripsi secara singkat mengenai hadis ini adalah, dijelaskan oleh Nabi
bahwa yang namanya sombong adalah orang yang “menolak kebenaran” (bathar
al-haqq) dan “menghinakan/meremehkan manusia” (ghomth al-nas). Penjelasan langsung dari
Nabi ini muncul setelah terdapat kasus orang yang memakai pakaian dan sandal
yang bagus dan barangkali dirasa termasuk kategori kesombongan. Namun, ternyata
hal itu tidaklah mengapa dan bukan termasuk kategori sombong, karena sabda Nabi
“Innallaaha jamiil yuhibbu al-jamaal.” Di awal hadis sendiri dinyatakan bahwa
tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan,
meskipun hanya kecil sekali (laa yadkhul al-jannah man kaana fii qolbihi
mitsqaala dzarratin min kibrin).
Kalimat “Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat
kesombongan sekecil apapun” memang memantik kontroversi dan membuat banyak
pikiran bertanya-tanya, bagaimana bisa rasa kesombongan meskipun hanya kecil
sekali, bisa membuat orang tidak dapat masuk surga? Siapa sich orang yang tidak
pernah merasa sombong di hatinya? Belum lagi apabila melihat hadis-hadis
lainnya yang berbicara seputar bagaimana cara yang ditempuh supaya masuk surga
dan menghindari neraka. Salah seorang ulama, al-Khattabi pun sampai menyebutkan
dua alternatif “takwil” untuk mengatasi permasalahan yang mendera matan hadis
ini. Belum lagi melihat pemahaman ulama klasik lainnya, seperti Qadhi Iyad dan
banyak ulama lainnya untuk mengatasi problem interpretasi dalam hadis mengenai
kesombongan ini, sebagaimana dilansir oleh Imam al-Nawawi dalam Syarah Shahih
Muslim.
Meskipun
demikian, ngobrol santai sambil ngopi ini tidak untuk membahas problematika
itu, tetapi lebih difokuskan pada frase yang bergaris bawah, yaitu “Bathor
al-Haqq”, menolak atau tidak menerima kebenaran. Penjelaskan ini penting agar
tidak terjadi “fitnah” di masyarakat terkait dengan kebenaran itu sendiri. Jangan
sampai kata “kebenaran” disalahgunakan hingga membuat ia merana dan kebingungan
hendak mau kemana hehe.. Menurut pengamatan sekilas saya, kata ini acapkali
dipakai sebagai “senjata” dalam “menghabisi” lawan-lawan keagamaannya,
sebagaimana ditunjukkan dalam paragraf pertama.
Poro dulur,
yang perlu dipahami adalah bahwa Islam memang satu, tetapi wujud pemahamannya
sangat beragam di kalangan umat Islam. Jangan coba-coba kita mempelajari Islam
apabila tidak paham dan meyakini adanya hal tersebut. Sebab, bisa jadi kita
akan tersesat dengan kepercayaan diri sebagai golongan yang paling Islam dan
masuk surga sendirian, yang lain tidak. Jelas ini kurang tepat, karena surga
itu luas, masak lahan surga yang luas itu nganggur dan tidak digunakan? Hehe Untuk
berbagai wujud pemahaman yang ada dalam khazanah keislaman, saya kira tidak
perlu diurutkan satu persatu, terlalu menyita waktu. Langsung saja pada apa
yang terjadi di masyarakat.
Saya ambil
contoh mengenai qunut pada waktu shalat subuh. Bagi sebagian orang, yang
namanya qunut pada waktu shalat subuh itu tidak ada, sebab tidak ditemukan
hadis shahih yang berbicara mengenai eksistensi qunut subuh. Jika ingin
mengikuti Imam Syafi’i, seharusnya ikutilah perkataannya “idzaa shahha
al-hadiitsu fahuwa madzhabii” (tatkala hadis itu shahih maka itulah madzhab
saya), dan bukan dengan qunut pada waktu shalat subuh sebab sudah jelas
hadisnya dhoif. Masak kita mau mengikuti hadis dhaif??? Yang dapat jadi
pegangan ya qunut nazilah (ketika ada musibah atau bencana), sebab hadisnya terbukti
shahih (Ini bukan berarti menafikan kajian mengenai qunut-qunut yang lain lo,
seperti qunut pada witir bulan ramadhan misalnya, tapi hanya sekedar
mengkonfrontasikan qunut subuh dengan qunut nazilah saja).
Bagi saya
yang awam ini, tidak ada masalah dengan pendapat itu, sebab itulah ijtihad. Para
Imam madzhab saja sudah berbeda pendapat, Imam Hanafi dan Imam Hanbali tidak mengenal
qunut pada waktu subuh, sementara Imam Maliki dan Imam Syafi’i meyakini ada
qunut pada shalat subuh, bedanya kalau Imam Maliki sebelum ruku tapi Imam
Syafi’i setelah ruku/i’tidal. Namun barangkali yang membuat telinga gatal, atau
mata menjadi berkunang-kunang adalah tatkala konsep kesombongan dikait-kaitkan
dengan pendapat ini dengan menolak kebenaran sebagaimana kata hadis yang
tertera dalam Shahih Muslim. Wah, susah kalau seperti itu.
Bagi Imam
Syafi’i sebagai Ulama yang hidup berdekatan dengan masa Nabi hadis qunut subuh
itu shahih, buktinya jadi sandaran pendapat beliau mengenai adanya qunut subuh.
Perkataan Imam Syafi’i jangan dikutip sebagai landasan pendapat larangan qunut
subuh, sebab maksudnya adalah hadis-hadis yang digunakan oleh Imam Syafi’i
adalah hadis-hadis yang shahih saja, yang dhoif tidak dipakai. Lagipula hadis
tersebut ada dalam Mustadrak ‘ala al-Shahihain karya Imam al-Hakim
al-Naysaburi, yang menyaring hadis-hadis yang sesuai dengan kualifikasi yang
dicanangkan oleh al-Bukhari maupun Muslim tetapi tidak dihimpun oleh mereka. Imam
Syafi’i lebih hebat, sebab memakai ushul fiqih juga hingga sampai pada
kesimpulan adanya qunut subuh. Huft, saya kira sudah cukup di sini saja, sebab
malah jadi kajian fiqih yang memeras pikiran dan tenaga hehe..
Contoh lain yang
sangat aktual sampai barangkali kita bosan untuk mendengarkannya kembali, lo??
(maksudnya sangat aktual hingga banyak dijadikan contoh dan akibatnya orang
bosan untuk mendengarkan hehe), yakni masalah isbal (memanjangkan sarung atau
celana melebihi mata kaki). Bagi sebagian orang, larangan isbal dalam Islam
harus dilakukan dengan memotong celana di atas mata kaki. Ini demi mematuhi
banyak hadis Nabi yang melarang adanya isbal. Jika celana tidak dipotong maka
kita sudah tidak melanggar perintah Nabi. Praktik ini berdasar hadis-hadis Nabi
yang shahih tentang larangan isbal. Menurut saya, memotong celana adalah
tindakan bagus dan memberikan manfaat untuk orang lain, sebab paling tidak akan
menguntungkan tukang jahit karena bisa dapat menambah penghasilan mereka hehe..
Sama seperti
masalah qunut dulur. Monggo kalau ingin memotong celananya sehingga tidak
sampai menjulur melebihi mata kaki. Tidak ada masalah (no problemo). Style
penampilan kan seseorang terserah bagaimana orang yang bersangkutan, mau dibuat
seperti apapun adalah menjadi haknya. Namun sekali lagi, yang menjadikan telinga
gatal, atau mata menjadi berkunang-kunang adalah ketika konsep kesombongan dengan
menolak kebenaran perintah-perintah Nabi Muhammad saw. dikait-kaitkan dengan
masalah ini, dan pada akhirnya tidak bisa masuk surga. Wah,,,, susah-susah.
Masalah
isbal itu masalah khilafiyah, yang terdapat beberapa pendapat atasnya. Kita
tidak bisa menyingkirkan begitu saja adanya pendapat bahwa isbal diperbolehkan
asalkan tidak “sombong” (Nah, sombong lagi hehe). Hadis-hadis yang dijadikan
sandaran oleh pendapat ini pun secara jelas menunjukkan illatnya adalah kesombongan.
Bahkan, Rasulullah tidak mempermasalahkan perilaku Abu Bakar yang menjulurkan
sarungnya melebihi mata kaki, sebab ia tidak termasuk orang yang sombong dan
terbiasa memakai tipe pakaian seperti itu. Apabila memang demikian, ketika kita
berada dalam situasi dan kondisi seperti sekarang yang orang menjulurkan celana
atau sarung melebihi mata kaki dengan tidak ada kesombongan ya tidak apa-apa
dong? Jangan-jangan malah orang yang memotong celana ada niat “kesombongan” di
hatinya sebagai orang yang paling benar, paling suci, paling nyunnah, dan
paling-paling yang lain.
Dulur, inti
dari pembahasan-pembahasan di atas adalah, kata “kebenaran” janganlah
ditarik-tarik, sebab ia mempunyai tempat sendiri. Jika masih dipaksa juga, maka
nanti ia bisa sobek atau juga patah (hehe). Biarkan kebenaran berada di
tempatnya sendiri ketika persoalan yang diangkat adalah masalah khilafiyah,
yang masing-masing orang memiliki rancangan pendapat sendiri-sendiri. Hal
seperti ini membutuhkan sedikit penurunan dari gaya berpikir “al-Qur’an dan
Hadis” pada gaya berpikir “Tafsir al-Qur’an dan Syarah Hadis.” Kalau kita tidak
mau turun-turun dan masih ngotot pada gaya pemikiran “al-Qur’an dan Hadis”,
maka bisa jadi mengakibatkan kita seakan berada di tempat yang tinggi terus sehingga
memandang orang lain yang tidak seperti keyakinan atau pemahaman kita itu
rendah dan akhirnya mereka salah, b*d’ah, s*sat, l*beral, sy*ah, dan segenap
hardikan-hardikan yang kurang etis lainnya.
Kata “kebenaran”
barangkali akan lebih bijaksana jika digunakan dalam konteks suatu ajaran yang
sudah menjadi ijma (konsensus), yang tidak ada perdebatan lagi. Bisa juga diterapkan
dalam masalah akhlak (moralitas), yang sebenarnya lebih universal, misalnya
saja seperti larangan berbohong, larangan melakukan fitnah, larangan mengadu
domba, dan perintah berbuat baik pada orang lain. Itu saya kira lebih enak dan
pas dipakai sebagai tempat “mangkal” kebenaran daripada ditarik-tarik pada
persoalan khilafiyah yang tidak ada ujungnya. Janganlah karena sensitifitas
atau truth claim akan pendapat diri sendiri, sehingga menghalalkan untuk memfitnah
orang lain dengan fitnah yang sangat keji dan tidak pantas. Demi membela
“kebenaran semu”, seseorang kemudian menerobos rambu-rambu dari “kebenaran
hakiki.” Na’udzu billahi min dzaalik. Wallahu a’lam.
Allahumma
sholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad
NB: Tulisan
santai sambil ngopi ini hanya “tafsiran” atas fenomena yang terjadi di
lingkungan kita sekarang ini, sehingga beberapa bagian merupakan penafsiran
individu penulis atas beberapa kejadian tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar