Saya sebenarnya sangat malas untuk ikut berdiskusi kalau
muncul orang yang memperdebatkan tahlilan. Jika ada teman yang menggugat
tahlilan atau juga mengshare berita “hinaan” pada tahlilan, saya pun tidak
banyak berkomentar. Bagi saya, pembahasan mengenai tahlilan sudah sepantasnya dianggap
selesai, dan tidak perlu diotak-atik lagi. Apabila tetap dipermasalahkan juga,
maka saya kira tidak akan selesai hingga hari kiamat. Padahal banyak hal-hal
lain yang lebih bermanfaat daripada memperdebatkan tahlilan. Oleh karenanya, yang
mau tahlilan ya silahkan dan yang tidak mau ya silahkan, yang mau melaksanakan dzikir
ya silahkan dan yang tidak mau berdzikir ya silahkan, atau juga yang mau ngambil
“berkat” ya silahkan dan yang tidak mau mengambil “berkat” ya silahkan juga,
hehe..
Pada tataran doktrinal (argumentasi teks al-Qur’an atau
hadis Nabi), tahlilan sudah tidak perlu dibahas lagi, sudah selesai. Tapi pada
kesempatan ini, saya ingin sedikit menyoroti realitas yang ada di masyarakat
terkait dengan tahlilan itu sendiri. Yang saya maksud dengan tahlilan di sini
adalah tahlilan kematian bagi orang yang meninggal. Pembahasan ini penting agar
di kalangan masyarakat kita tidak terjadi hal-hal negatif dalam praktik
tahlilan, dan akhirnya menjadi boomerang bagi tahlilan itu sendiri. Sebab
sebagian orang “Islam” kini mulai “menghabisi” tahlilan berbekal realitas
tahlilan di masyarakat kita.
Fakta
di lapangan yang saya amati berkata, tahlilan seakan-akan menjadi kewajiban
bagi sebagian masyarakat. Kematian seseorang tidak akan sempurna apabila tidak
dibarengi dengan penyelenggaan tahlilan. Bagi orang kaya, tahlilan tidak
menjadi masalah (no problemo), sebab fulus berapapun bisa dikeluarkan demi memuluskan
penyelenggaraan tahlilan. Mereka memang punya dana, jadi tidak ada masalah. Namun
bagi orang miskin, tentunya ini menjadi momok tersendiri, sebab mereka harus
mempersiapkan dana finansial yang cukup tinggi untuk melaksanakan tahlilan.
Sepertinya tidak mungkin mengadakan tahlilan tanpa adanya suguhan yang
dihidangkan. Agaknya ironis memang, dalam masalah tahlilan ini, orang miskin
serasa berada di antara dua bahaya, yaitu bahaya finansial dan bahaya tradisi.
Poro
dulur, poin penting yang harus diingat sebenarnya adalah tidak adanya kewajiban
dalam melaksanakan tahlilan bagi seseorang yang telah meninggal. Inilah
sebenarnya yang harus dipahami. Akan tetapi, memang akan terasa hambar apabila
tahlilan tidak terselenggara. Terlebih lagi tahlilan sudah menjadi kultur yang
telah menempel pada Islam di Indonesia. Tahlilan juga menjadi “transfer” pahala
dari “dunia” kepada orang yang sudah meninggal. (ini bagi yang meyakini pahala
sampai lo ya hehe, dan saya sendiri meyakininya). Belum lagi silaturrahmi yang
ada dalam ngobrol-ngobrol santai setelah tahlilan hehe..
Sebagian
realitas tahlilan seperti dikemukakan sebelumnya memang menjadi masalah. Namun
tidak ada masalah tanpa adanya solusi, semuanya pasti ada solusinya. Hanya tayangan
Indonesia Lawak Klub (ILK) saja yang menyelesaikan masalah tanpa solusi hehe.. Oleh
sebab itu, solusi yang dapat diambil barangkali adalah salah satu ayat
al-Qur’an yang berbunyi:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا
تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى
وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ
وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ
اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang
ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang
dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri” QS. al-Nisa’[4]: 36.
Saya tidak mau membahas ayat di atas dalam
konteks tafsir, misalnya siapa yang dimaksud dengan “tetangga yang dekat” dan
“tetangga yang jauh”, sebab kalau hal itu dibahas maka tulisan ini malah
menjadi artikel ilmiah, bukannya ngobrol santae hehe,, Secara mudahnya, ayat di
atas menandaskan perintah berbuat baik pada setiap orang, baik orang yang dekat
maupun jauh secara kekerabatan. Pada konteks tahlilan, seseorang yang hendak
menyelenggarakan tahlilan haruslah diberikan bantuan secara moril maupun
materiil. Sebagaimana diketahui, berbuat baik menjadi kewajiban pada setiap
muslim. Perbuatan baik ini diberikan pada semua orang, baik itu anak yatim,
orang miskin, teman sejawat, ibnu sabil, hamba sahaya maupun juga tetangga
seperti kata ayat. Jika ada tetangga yang mau mengadakan tahlilan, sebagai
tetangga yang baik berilah mereka tambahan dana atau bantuan logistik. Atau
apabila saudara kita hendak menyelenggarakan tahlilan, bantulah mereka dengan hal
serupa.
Nah, dari alternatif
tersebut marilah sama-sama kita tahlilan untuk orang yang sudah meninggal,
sebab itu memberikan manfaat padanya. Namun, seyogyanya kita membantu keluarga
orang yang meninggal itu dengan bantuan moril dan materiil. Dalam hal tahlilan,
yang paling penting ya bantuan materiil, sehingga tambahan pahala untuk mayat bisa
tersalurkan karena tahlilan terlaksana, keluarga juga bahagia sebab bisa
menyelenggarakan tahlilan, kita pula dapat pahala karena membantu tetangga atau
saudara, dan lagi juga kita bisa dzikir mengingat Allah swt. secara
bersama-sama. Enak kan kalau seperti itu? Islam itu mudah, jangan dipersulit
seperti kata Nabi “Yassiruu wa laa tu’assiruu basysyiruu wa laa tunaffiruu” (Buatlah
mudah dan jangan mempersulit. Berilah kabar gembira dan jangan membuat orang
pada lari), yang kalau bagi saya terjemah enaknya adalah “Gitu aja kok repot”
hehe..
Dalam ayat lain, Allah menegaskan:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا
حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ
وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Siapakah yang mau
memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di
jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan
lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan” QS. al-Baqarah[2]: 245.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا
تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya” QS. al-Maidah[5]: 2.
Ini
hanya salah satu hal negatif dari realitas pelaksanaan tahlilan. Barangkali jika
ada hal-hal negatif lainnya bisa dipikirkan sendiri-sendiri, sebab manusia
diberikan potensi akal oleh Allah, jadi harus benar-benar dipakai. Mohon maaf
ya kalau terlalu panjang dan terlalu normatif hehe.., tapi yang jelas kesimpulannya
adalah bahwa semua masalah bisa diatasi. Lebih lanjut, apabila ditemukan
beberapa hal negatif dalam sebuah “sesuatu”, jangan buru-buru ingin merobohkan “sesuatu”
itu, apalagi “sesuatu” itu punya nilai manfaat yang sangat besar bagi manusia. Analogi
yang bisa disebutkan misalnya “jihad” tidak perlu dimusnahkan dalam ajaran
Islam lantaran terdapat segerombolan orang “ngawur” yang mengubahkannya menjadi
“jahat” seperti yang terjadi di Timur Tengah, dan segelintir orang di Indonesia.
Yang perlu dibasmi adalah pemahaman yang salah terkait jihad atau ke”jahat”annya,
dan bukan jihadnya itu sendiri. Gitu loehhh... hehe,,
Allahumma
sholli ‘alaa sayyidinaa Muhammad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar