Rabu, 23 Maret 2016

Tahlilan dalam Kacamata Realitas



Saya sebenarnya sangat malas untuk ikut berdiskusi kalau muncul orang yang memperdebatkan tahlilan. Jika ada teman yang menggugat tahlilan atau juga mengshare berita “hinaan” pada tahlilan, saya pun tidak banyak berkomentar. Bagi saya, pembahasan mengenai tahlilan sudah sepantasnya dianggap selesai, dan tidak perlu diotak-atik lagi. Apabila tetap dipermasalahkan juga, maka saya kira tidak akan selesai hingga hari kiamat. Padahal banyak hal-hal lain yang lebih bermanfaat daripada memperdebatkan tahlilan. Oleh karenanya, yang mau tahlilan ya silahkan dan yang tidak mau ya silahkan, yang mau melaksanakan dzikir ya silahkan dan yang tidak mau berdzikir ya silahkan, atau juga yang mau ngambil “berkat” ya silahkan dan yang tidak mau mengambil “berkat” ya silahkan juga, hehe..
Pada tataran doktrinal (argumentasi teks al-Qur’an atau hadis Nabi), tahlilan sudah tidak perlu dibahas lagi, sudah selesai. Tapi pada kesempatan ini, saya ingin sedikit menyoroti realitas yang ada di masyarakat terkait dengan tahlilan itu sendiri. Yang saya maksud dengan tahlilan di sini adalah tahlilan kematian bagi orang yang meninggal. Pembahasan ini penting agar di kalangan masyarakat kita tidak terjadi hal-hal negatif dalam praktik tahlilan, dan akhirnya menjadi boomerang bagi tahlilan itu sendiri. Sebab sebagian orang “Islam” kini mulai “menghabisi” tahlilan berbekal realitas tahlilan di masyarakat kita.
Fakta di lapangan yang saya amati berkata, tahlilan seakan-akan menjadi kewajiban bagi sebagian masyarakat. Kematian seseorang tidak akan sempurna apabila tidak dibarengi dengan penyelenggaan tahlilan. Bagi orang kaya, tahlilan tidak menjadi masalah (no problemo), sebab fulus berapapun bisa dikeluarkan demi memuluskan penyelenggaraan tahlilan. Mereka memang punya dana, jadi tidak ada masalah. Namun bagi orang miskin, tentunya ini menjadi momok tersendiri, sebab mereka harus mempersiapkan dana finansial yang cukup tinggi untuk melaksanakan tahlilan. Sepertinya tidak mungkin mengadakan tahlilan tanpa adanya suguhan yang dihidangkan. Agaknya ironis memang, dalam masalah tahlilan ini, orang miskin serasa berada di antara dua bahaya, yaitu bahaya finansial dan bahaya tradisi.
 Poro dulur, poin penting yang harus diingat sebenarnya adalah tidak adanya kewajiban dalam melaksanakan tahlilan bagi seseorang yang telah meninggal. Inilah sebenarnya yang harus dipahami. Akan tetapi, memang akan terasa hambar apabila tahlilan tidak terselenggara. Terlebih lagi tahlilan sudah menjadi kultur yang telah menempel pada Islam di Indonesia. Tahlilan juga menjadi “transfer” pahala dari “dunia” kepada orang yang sudah meninggal. (ini bagi yang meyakini pahala sampai lo ya hehe, dan saya sendiri meyakininya). Belum lagi silaturrahmi yang ada dalam ngobrol-ngobrol santai setelah tahlilan hehe..
Sebagian realitas tahlilan seperti dikemukakan sebelumnya memang menjadi masalah. Namun tidak ada masalah tanpa adanya solusi, semuanya pasti ada solusinya. Hanya tayangan Indonesia Lawak Klub (ILK) saja yang menyelesaikan masalah tanpa solusi hehe.. Oleh sebab itu, solusi yang dapat diambil barangkali adalah salah satu ayat al-Qur’an yang berbunyi:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” QS. al-Nisa’[4]: 36.

Saya tidak mau membahas ayat di atas dalam konteks tafsir, misalnya siapa yang dimaksud dengan “tetangga yang dekat” dan “tetangga yang jauh”, sebab kalau hal itu dibahas maka tulisan ini malah menjadi artikel ilmiah, bukannya ngobrol santae hehe,, Secara mudahnya, ayat di atas menandaskan perintah berbuat baik pada setiap orang, baik orang yang dekat maupun jauh secara kekerabatan. Pada konteks tahlilan, seseorang yang hendak menyelenggarakan tahlilan haruslah diberikan bantuan secara moril maupun materiil. Sebagaimana diketahui, berbuat baik menjadi kewajiban pada setiap muslim. Perbuatan baik ini diberikan pada semua orang, baik itu anak yatim, orang miskin, teman sejawat, ibnu sabil, hamba sahaya maupun juga tetangga seperti kata ayat. Jika ada tetangga yang mau mengadakan tahlilan, sebagai tetangga yang baik berilah mereka tambahan dana atau bantuan logistik. Atau apabila saudara kita hendak menyelenggarakan tahlilan, bantulah mereka dengan hal serupa.
 Nah, dari alternatif tersebut marilah sama-sama kita tahlilan untuk orang yang sudah meninggal, sebab itu memberikan manfaat padanya. Namun, seyogyanya kita membantu keluarga orang yang meninggal itu dengan bantuan moril dan materiil. Dalam hal tahlilan, yang paling penting ya bantuan materiil, sehingga tambahan pahala untuk mayat bisa tersalurkan karena tahlilan terlaksana, keluarga juga bahagia sebab bisa menyelenggarakan tahlilan, kita pula dapat pahala karena membantu tetangga atau saudara, dan lagi juga kita bisa dzikir mengingat Allah swt. secara bersama-sama. Enak kan kalau seperti itu? Islam itu mudah, jangan dipersulit seperti kata Nabi “Yassiruu wa laa tu’assiruu basysyiruu wa laa tunaffiruu” (Buatlah mudah dan jangan mempersulit. Berilah kabar gembira dan jangan membuat orang pada lari), yang kalau bagi saya terjemah enaknya adalah “Gitu aja kok repot” hehe..  

Dalam ayat lain, Allah menegaskan:

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan” QS. al-Baqarah[2]: 245.

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” QS. al-Maidah[5]: 2.

Ini hanya salah satu hal negatif dari realitas pelaksanaan tahlilan. Barangkali jika ada hal-hal negatif lainnya bisa dipikirkan sendiri-sendiri, sebab manusia diberikan potensi akal oleh Allah, jadi harus benar-benar dipakai. Mohon maaf ya kalau terlalu panjang dan terlalu normatif hehe.., tapi yang jelas kesimpulannya adalah bahwa semua masalah bisa diatasi. Lebih lanjut, apabila ditemukan beberapa hal negatif dalam sebuah “sesuatu”, jangan buru-buru ingin merobohkan “sesuatu” itu, apalagi “sesuatu” itu punya nilai manfaat yang sangat besar bagi manusia. Analogi yang bisa disebutkan misalnya “jihad” tidak perlu dimusnahkan dalam ajaran Islam lantaran terdapat segerombolan orang “ngawur” yang mengubahkannya menjadi “jahat” seperti yang terjadi di Timur Tengah, dan segelintir orang di Indonesia. Yang perlu dibasmi adalah pemahaman yang salah terkait jihad atau ke”jahat”annya, dan bukan jihadnya itu sendiri. Gitu loehhh... hehe,,

Allahumma sholli ‘alaa sayyidinaa Muhammad



          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar