Dalam sebuah hadis Nabi yang cukup populer, disebutkan
sebuah definisi kata ihsan yang memiliki makna yang sangat dalam. Dikatakan
oleh Nabi Muhammad saw. bahwa ihsan ialah “an ta’budallaaha kaannaka taraahu
fain lam takun taraahu fainnahu yaraaka” (engkau menyembah Allah seolah-olah
engkau sedang melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihatnya maka sesungguhnya
ia sedang melihatmu). Definisi singkat tapi sarat makna ini mengisyaratkan
apabila tatkala sedang beribadah pada-Nya maka seseorang harus menyadari bahwa seakan-akan
Allah sedang berada di hadapannya, dan bila tidak bisa maka ia harus sadar bahwa
Allah melihat sepenuhnya yang sedang ia dikerjakan.
Ucapan Nabi di atas itulah yang dianggap oleh banyak orang
sebagai embrio dari tasawuf dan didukung oleh perilaku sebagian sahabat Nabi yang
zuhud terutama ahlu suffah (orang yang bertempat tinggal di serambi masjid
Madinah). Tasawuf berhubungan langsung dengan hati (qalb), dan hati
inilah yang merupakan aspek terpenting di kalangan sufi. Sehingga jika hati tersebut
rusak maka rusaklah semua tubuh manusia, tetapi sebaliknya apabila hati itu
baik maka tubuh manusia pun menjadi baik pula. Hati sendiri merupakan salah
satu organ esoteris dalam diri manusia, yang mendorong dirinya untuk menyadari
bahwa Allah sedang berada di hadapannya ketika sedang menjalani ibadah dan Dia menyaksikan
langsung wujud ibadah yang dilakukan.
Ayyuhal ikhwah, disadari bahwa masalah lahiriyah ibadah
seperti tata cara, rukun, syarat sah, kesunatan, hal-hal yang membatalkan, dan
lain sebagainya yang biasa disajikan dalam kajian fiqih memang penting untuk
diketahui oleh manusia. Namun, ada hal yang lebih penting daripada itu semua,
yakni ilmu tasawuf. Apabila fiqih hanya fokus pada aspek sah atau tidak sahnya
sebuah ibadah, maka tasawuf lebih berhubungan dengan diterima atau tidaknya
sebuah ibadah. Bisa jadi ibadah yang dilakukan sah dari kacamata fiqih, akan
tetapi ternyata tidak diterima oleh Allah karena tidak mempunyai “bobot” sama
sekali. Hujjah al-Islam Abu Hamid al-Ghazzali dalam master piece-nya Ihya
Ulumuddin pun sampai membuat semacam gradasi ilmu antara ilmu yang berbicara mengenai
hakikat syariat (tasawuf) dan ilmu yang hanya sekedar berhubungan dengan dzahiriyah
hukum (fiqih). Menurut beliau yang pernah menggeluti dunia rasionalitas dan
juga dunia sufistik ini, ilmu tasawuf lebih utama daripada ilmu fiqih.
Imam al-Gazzali juga menyontohkan beberapa ulama yang mampu
mengombinasikan antara ilmu fiqih, ilmu hakikat, dan juga pengamalannya
sekaligus. Mereka adalah Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Imam Malik bin
Anas, Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, Imam Ahmad bin Hanbal, dan juga Imam
Sufyan al-Tsauri. Kelima ulama yang masyhur dalam dunia madzhab fiqih tersebut
merupakan ulama yang abid (orang yang beribadah), zahid (orang yang zuhud), dan
alim (orang yang berilmu) dalam bidang ilmu akhirat (tasawuf) sebagaimana alim
dalam bidang ilmu fiqih. Ulama-ulama klasik tersebut sangat luar biasa dalam
berperilaku, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i umpamanya, beliau membagi waktu
malamnya menjadi tiga bagian, sepertiganya untuk mengkaji ilmu, sepertiganya
lagi untuk shalat, dan sepertiganya lagi untuk tidur.
Saudaraku sekalian, pada abad pertengahan, umat Islam sempat
menguasai dunia dengan ilmu pengetahuannya yang sangat luar biasa. Di dunia
Barat (Andalusia) ada dinasti Umayyah II, dan di dunia Timur (Baghdad) ada
dinasti Abbasiyah. Kedua dinasti ini sangat memperhatikan aspek ilmu
pengetahuan dalam dunianya masing-masing. Secara general, baik ilmu agama
maupun ilmu umum sama-sama berkembang pada masa kedua dinasti ini. Mayoritas
ilmu pengetahuan yang ada “diimpor” dari khazanah keilmuan Yunani klasik dan
kemudian dikembangkan dalam semangat ilmiah yang menggebu-gebu. Sarjana-sarjana
yang ahli di berbagai bidang ilmu pengetahuan umum pun bermunculan pada saat
itu, sebut Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Khawarizmi, dan Aljabar. Boleh dikatakan bahwa
masa ini adalah puncak peradaban yang pernah dialami oleh umat Islam.
Sebuah masa pasti mengalami pasang surut atau bisa dikatakan
tidak selamanya sebuah hal selalu berada di atas tapi terkadang berada di bawah.
Begitu pula apa yang menimpa umat Islam dahulu. Umat Islam yang sebelumnya
merasakan puncak peradaban keilmuan akhirnya pada masa-masa setelahnya harus
merasakan pil pahit dengan berbagai kemunduran yang terjadi. Setelah peradaban
Baghdad dibumihanguskan dengan cara yang sangat biadab oleh Hulagu Khan dari
Mongol dan saat umat Islam di Andalusia sepenuhnya diusir oleh orang-orang
Kristen Eropa, maka umat Islam pun mulai merasakan masa-masa kegelapan (dark
age), dan setelah itu pun mereka harus mengalami masa-masa dilematis dengan
berbagai bentuk penjajahan dari bangsa-bangsa Barat setelah Eropa mengalami
masa renaissance dan aufklarung.
Dari adanya pil pahit yang harus dirasakan umat Islam
tersebut, beberapa kalangan mulai mengkambinghitamkan tasawuf sebagai penyebab
kemunduran yang dialami umat Islam, terutama dengan maraknya tarekat-tarekat
yang banyak berkembang. Ia dianggap memalingkan manusia dari “bagian” keduniaanya
dan lebih memilih akhirat. Terkadang keterpalingan ini dikaitkan dengan wacana
serangan Abu Hamid al-Ghazzali terhadap filsafat, yang tidak mampu diredam oleh
Ibnu Rusyd. Bahkan yang lebih ironis
lagi, oleh sebagian kalangan, tasawuf dianggap sebagai sesuatu yang penuh bid’ah,
tahayul, khurafat, dan kesyirikan tanpa tahu-menahu secara mendetail apa itu
sebenarnya tasawuf. Dengan cara gebyah uyah dan tidak mau berpikir
secara lebih rumit, penilaian-penilaian negatif pun disematkan pada tasawuf.
Sampai pada akhirnya, para sufi dikejar-kejar dan dibunuh sebagaimana yang
terjadi pada saat awal gerakan wahabi yang muncul di Saudi Arabia dan gerakan teroris
ISIS yang menggeliat di Syiria dan Iraq.
Namun apakah kita sadar bahwa sebenarnya tasawuf merupakan
solusi atas jeratan ekstrimisme dalam beragama seperti yang ditunjukkan oleh
masa sekarang ini? Pada saat sekarang, situasi umat Islam sedang dirundung
kesedihan yang mendalam, terutama di wilayah Timur Tengah yang sedang kacau
balau. Perang saudara di dalam sebuah negara dan antar negara pun muncul, dan acapkali
dikaitkan dengan perseteruan antara golongan Sunni dan Syiah. Arab Saudi
berperang melawan negara tetangganya, Yaman. Arab Saudi juga bersitegang dengan
musuh globalnya, Republik Islam Iran. Semua yang saling bersitegang, saling berperang,
dan saling bunuh-membunuh adalah sama-sama beragama Islam. Kemudian, melihat juga
situasi di Iraq dan Syiria yang mencekam dan penuh dengan perbudakan,
pemerkosaan, pembunuhan, dan penghancuran oleh ekstrimis ISIS. Astaghfirullah,
apakah itu sebenarnya yang dikehendaki Islam? Apakah agama Islam yang kita anut
selama ini menghendaki adanya permusuhan, penghancuran, pemerkosaan,
perbudakan, dan pembunuhan?
Tasawuf menggunakan media hati yang merupakan tempat adanya
rasa, dazuq, intuisi dalam kerangka epistemologi irfani (ini sudah saya bahas dalam
tulisan ringan saya sebelumnya yang mencoba menghubungkan antara epistemologi
irfani dengan NU). Dengan hati, manusia lebih bijaksana dalam mengambil
keputusan. Dengan hati, manusia tidak mudah menyalahkan orang lain yang
berbeda. Dengan hati pula, harkat martabat manusia lainnya dijunjung tinggi, terlebih
lagi apabila sama-sama muslim. Hati menuntun manusia ke jalan ilahi yang penuh
dengan ketenangan dan ketentraman. Tidak ada peperangan dan pembunuhan, sebab
hati menyadari arti penting sebuah kehidupan. Maka dari hal inilah barangkali
hampir tidak ditemukan seorang sufi yang membunuh orang lain, dan bahkan mereka
sendirilah yang dikejar-kejar dan hendak dibunuh.
Saya secara pribadi melihat seorang sufi penuh dengan
ketawadhuan, tidak sombong, selalu ingat pada Allah, mengutamakan orang lain, tidak
mudah menyalahkan orang lain, selalu menghendaki adanya perdamaian, dan
beberapa sikap positif lainnya. Sepertinya jika dunia menganut paham sufistik
sebagaimana tampak dalam akhlak kaum sufi itu, niscaya kedamaian akan selalu
terpancar dalam negara-negara yang menganut agama Islam. Tidak ada peperangan dan
permusuhan yang terjadi, karena mereka menggunakan hati dan bukan nafsu. NU
dengan Islam Nusantaranya juga agaknya mengambil poin-poin penting dalam aspek
sufistik ini, sebab Islam di nusantara sendiri memang bukan disebarkan dengan cara
kekerasan (pedang) tetapi dengan cara kultural dan damai, yang dihiasi dengan
aspek sufistik yang kental. Makanya tidak mengherankan bila pesantren sebagai
tempat pengajaran agama Islam tertua di Indonesia mengajarkan perilaku sufistik
sekaligus juga mengkaji kitab-kitab yang berkonten tasawuf seperti Ihya
Ulumuddin karya Imam al-Ghazzali atau juga al-Hikam karya Ibnu
Athalillah as-Sakandari.
Melihat berbagai hal di atas, rasanya sangat penting untuk
mempelajari ilmu tasawuf agar kita tidak salah persepsi. Hal ini bisa
dianalogikan dengan orang tidak berhak mengatakan jeruk itu pahit, kecuali
setelah merasakan berbagai macam jeruk. Hasil akhir tidak menjadi masalah, yang
penting ia pernah merasakan jeruk-jeruk yang ada. Jika tidak demikian yang
dilakukan, maka jadinya malah fitnah kan? (hehe) Dengan belajar tasawuf sendiri,
kita sedikit banyak dapat berkontribusi untuk perdamaian dunia dengan konsep
Islam yang damai dan toleran. Tanpa tasawuf, dunia akan dipenuhi dengan angkara
murka dan kesombongan akan kebenaran pendapat pribadi. Akibatnya, sikap saling
menyalahkan dan perseteruan pun terjadi yang acapkali harus berakhir dengan
adanya peperangan. Oleh sebab itu, mari kita belajar tasawuf, mengapa tidak?
(hehe)
Allahumma sholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar